9 | helm
Rei hampir saja bergumam "Tuhan, jemput aku sekarang," saking malunya, tapi nggak berani, takut betulan dijawab "di mana?".
Cewek itu menunduk, nggak berani melihat wajah Jenar karena terlalu shock. Sekujur badannya kaku, bikin dia rikuh bergerak. Satu tangan Jenar masih bertumpu di tembok, tepat di sebelah kepala Rei, sementara dia menarik tangannya yang lain dari punggung cewek yang ada di hadapannya. Selain memasang kembali pengait yang terlepas, Jenar tidak melakukan tindakan lain.
"Oy."
"..."
"Oy!"
"..."
"HEH!!" Jenar malah panik, akhirnya menepuk pelan salah satu pipi Rei. "Napas! Jangan bikin gue takut!"
Oh... pantas berasa sesak... ternyata Rei lupa napas.
Rei menghela udara dalam-dalam seperti orang yang barusan tenggelam. Jenar mengernyit, memandang padanya dengan tatapan meneliti berbalut kecemasan. Rei balik memandang Jenar. Mata mereka saling beradu, terkunci dengan menyisakan jarak yang serasa bertransformasi menjadi medan listrik tidak kasat mata.
Kemudian...
Rei menampar pipi Jenar keras-keras, hingga tangannya sakit dan pipi Jenar memerah. Telapak tangannya meninggalkan bekas yang cukup kentara di sana. Jenar mengerjap tidak percaya, tapi perlahan, kekagetannya terganti oleh seringai.
"Tamparan lo lumayan juga."
"You're unbelievable." Rei berkata pelan, suaranya nyaris tidak terdengar.
"Apa? Gue nggak dengar."
"LO UNBELIEVABLE!!" Rei mengulangi. Dia barusan menampar Jenar. Tangannya panas. Tapi kenapa pipinya jadi ikutan panas seakan-akan lagi tertempeli setrikaan? Waktu melihat wajah Jenar, Rei berani taruhan, tamparannya pasti terasa sakit. Tiba-tiba saja dia merasa takut. Mereka lagi ada di departemennya Jenar. Kalau cowok itu nggak terima... maka habislah sudah riwayat seorang Regina Arunika.
"Good."
"Apanya?"
"Kalau dipegang-pegang cowok sembarangan, bagusnya emang lo kayak gitu."
"What?!" Rei nggak mengerti apa maksud Jenar, namun dia hanya bisa menunduk dengan tegang dan kikuk saat tawa Jenar pecah. Lesung pipinya muncul lagi, jauh lebih jelas daripada ketika dia tersenyum. Rambutnya dipermainkan angin, beberapa helai yang terkena sinar matahari secara langsung tampak cokelat kemerahan.
"Gue... gue..."
"Mau ngomong sesuatu?" Jenar bertanya.
Rei ternganga, lantas sebuah ide melintas di kepalanya. Dia memandang ke kejauhan, melewati bahu Jenar sambil pura-pura kaget. "KAK JOHNNY?!!!!"
Jenar refleks menoleh ke belakang dan saat dia begitu, Rei memanfaatkan situasi buat... kabur. Dia berlari sekencang-kencangnya, membuat Jenar yang telah sadar ditipu sempat melongo. Namun cuma sebentar, karena secara tidak terduga, dia justru mengejar Rei.
Rei berasa kayak aktris tolol yang secara nggak terencana, tiba-tiba harus syuting adegan ala film India.
Mereka jadi tontonan beberapa mahasiswa Mesin yang kebetulan lagi berjalan atau duduk di sekitaran koridor yang mereka lewati. Rei malu banget, tapi sudah kepalang basah, nggak mungkin juga dia menyerah. Jenar juga nggak tahu malu, masih saja berlari mengejarnya.
Rei terus bergerak melewati pintu samping departemen Mesin, melompati selokan lebar yang kering tanpa air layaknya seekor kancil dan tengah bermaksud menyeberang jalan ketika dia dikejutkan oleh suara klakson motor yang terdengar nyaring dan panjang. Seluruh tubuhnya langsung terhenti, membatu di tempatnya berdiri. Dia bengong, nggak ngerti harus berbuat apa hingga sebuah tangan mencengkeram lengannya, menariknya kembali ke pinggir jalan.
Ternyata, tangannya Jenar.
Cowok itu berseru dengan nada tinggi yang terkesan marah tepat di depan wajah Rei. "HEH, LO GILA YA?!!!"
Rei mengerjap beberapa kali, sekujur badannya yang sempat kaku kini mulai gemetar dan lututnya terasa melemas.
Dia sering mengira kalau adegan sinetron bagian orang yang mau ketabrak mobil terus bukannya lari tapi malah mematung tuh adalah adegan goblok, tapi ternyata faktanya, saat seseorang lagi shock atau takut berat, konon nge-freeze adalah salah satu mekanisme defense natural badan manusia. Rei barusan mengalaminya. Bingung mau bergerak kemana, alhasil hanya bisa diam saja.
(walau nggak pakai teriak AaaAAaaAaaAAAaaaAAA selama lima menit penuh disusul kata 'BERSAMBUNG' kalau nggak iklan ya).
Jenar menarik Rei ke pinggir jalan, airmukanya terkesan terkejut, bercampur kesal dan jengkel. Napasnya masih terengah, soalnya dia juga habis berlari. Tadinya, Jenar mau mengomel, namun saat sadar kalau Rei gemetar, dia mengurungkan niatnya dan justru membawa Rei ke warung pinggir jalan paling dekat dari tempat mereka berada. Cowok itu mendudukkan Rei di bangku panjang, lalu membelikannya teh botol dingin.
"Minum."
"Hng... nggak haus."
"Lo abis shock. Minum." Setelan ala Komdis galak lagi ngatur mabanya Jenar langsung muncul. Rei menurut, akhirnya dia minum karena mulutnya berasa kering. Jenar hanya diam, berdiri di depan Rei sambil melihat pada cewek itu lekat-lekat. Rei menatap kosong dengan sedotan di mulut, berusaha mengembalikan dirinya ke kenyataan.
"Dua kali loh."
Rei melepaskan sedotan dari bibirnya. "Apanya yang dua kali?"
"Lo lari dari gue. Di plotter. Ujung-ujungnya nyemplung comberan. Di sini. Hampir aja ketabrak motor."
"Kelakuan lo bikin gue pengen lari."
"Terus maunya gimana?"
"Gimana apa?"
"Gimana biar lo nggak lari?"
"Dangdut banget, ya Tuhan. Kayak dialog FTV." Rei menjawab ucapan Jenar sambil memutar bola mata, habis itu dia menyedot teh botolnya banyak-banyak.
"Ya abis."
"Lo nih mencurigakan banget, tau nggak? Kayak out of nowhere tiba-tiba lo lagi-lo lagi. Tau-tau ada di mana-mana. Gini deh logikanya ya, gue udah bersemester-semester kuliah. Departemen kita nggak jauh-jauh amat, at least gue bisa cuci mata lihatin mantan Kahim di parkiran—" Jenar langsung mendengus saat sadar mantan Kahim yang dimaksud Rei itu Johnny, tapi Rei santai saja meneruskan ucapannya setelah sebelumnya nyengir tanpa dosa. "—lo nggak tau gue ada. Kita nggak saling kenal. Gue tau lo—"
"Lo tau gue?!" Jenar memotong, terlalu cepat dan terdengar terlampau antusias.
"Gue nggak hidup di bawah batu. Lagian lo pernah masuk kampusganteng." Rei berujar, buru-buru menambahkan saat dilihatnya Jenar senyam-senyum tengil. "—tapi bukan itu intinya! Intinya, kenapa sekrang tiba-tiba lo jadi ngasih gue perhatian yang nggak perlu?"
"Suka deh lihatnya kalau lo udah ngomong panjang lebar gitu." Jenar senyum lagi. "Berasa kayak kita tuh akrab."
"Tuh kan, tiap gue ngomong serius, lo mengalihkan."
"Kenapa juga harus merasa aneh?" Jenar akhirnya menanggapi pertanyaan Rei. "Terus nggak usah sotoy!"
"Sotoy bagian mananya ya, Pak?"
"Gue tau lo ada dari awal lo baru masuk."
Rei terbatuk. "Tetap nggak menjustifikasi semua kelakuan lo yang kayak cari perhatian banget ke gue."
"Ya gimana..."
"Gimana apanya?"
"Lo kan nggak pernah ngasih kesempatan gue buat kenal sama lo."
"..."
"Kesempatannya baru datang hari itu, waktu lo ngomongin cowok Aquarius sama temen lo di bawah pohon."
Se-ben-tar... ini maksudnya Jenar apa ya?
Rei nggak ngerti.
"Gue nggak ngerti lo ngomong apa."
"Nggak expect buat ngerti sih. Udah ketakar kepekaan lo tuh seberapa."
"Terserah." Rei beranjak dari bangku panjang yang dia duduki. Lututnya sudah nggak lemas lagi. Cewek itu mengeluarkan hp, niatnya mau chat Yua. Jelas, dia pergi lebih dari sepuluh menit.
rei: oy, dimane???
yua: lo yang dmn anjir, gue udah lanjut ambil data.
rei: nyasar di mesin
yua: nyasar di mesin apa nyasar di hatinya anak mesin?
rei: ngga usah sarkas gt
yua: udah kelar ambil datanya. gue udah balik. nanti lo compile aja.
rei: yaudah, ini gue langsung balik aja?
yua: iya.
"Yaudah, gue balik."
"Regina,"
"Apa lagi, sih?"
"Itu teh botolnya belom bayar. Bayar dulu."
YA KAN REI KIRA MAU DIBAYARIN GITU SAMA JENAR?!!
Rei langsung nyolot, soalnya tengsin. "Gue kira mau dibayarin!!"
"Hehe, emang. Cuma mau ngeledekin lo doang." Jenar nyengir. Jenar tuh ya, kalau mukanya lagi jaim sok cool, Rei merasa biasa saja. Paling malas sama cowok ganteng yang sadar dirinya ganteng dan paham bagaimana caranya memanfaatkan kegantengannya itu. Tapi kalau Jenar sudah nyengir atau ketawa... separuh nyawa Rei berasa dihisap sama lesung pipinya.
Nggak tahu dah itu lesung pipi apa blackhole.
"Jadi gue mesti bayar atau nggak?!" Rei jengkel betulan.
"Nggak usah."
"Yaudah."
"Pulang naik apa?"
"Nggak tau, ojol kali."
"Oh."
"Tumben cuma 'oh'."
"Nawarin nganter juga kayaknya bakal ditolak."
"Rei,"
"Hmmmm?"
"Gue nggak ada niat jahat sama lo, atau niat mau nyakitin lo."
Rei yang lagi sibuk pesan ojol langsung mengangkat wajah dari layar hp-nya, jadi dia bisa menatap langsung ke Jenar. "Tiba-tiba ngomong gitu, kenapa?"
"Lo ngerasa perhatian dari gue mencurigakan dan bikin lo nggak nyaman?"
"Jujur, iya."
"Sori."
Rei tercengang untuk yang kesekian kalinya. Jenar ini apa ya... nggak tahu kenapa kayak sulit dibaca saja. Sejauh ini, apa yang dia lakukan selalu nggak terduga buat Rei.
"Lo kenapa, sih?"
"Gue minta maaf, tapi gue nggak akan berhenti."
"..."
"Lihat aja nanti."
"Lihat aja nanti apanya?"
"Yang tadinya nggak nyaman... lama-lama bakal nyaman."
Nyaman nggak nyaman, sudah macam tagline iklan seprei.
Rei tidak membalas. Habis memesan ojol dan mengonfirmasi titik penjemputan, dia duduk lagi di bangku panjang depan warung. Jenar ikut duduk di sebelahnya. Refleks saja, kaki Rei gerak-gerak, bikin bangkunya jadi ikut goyang. Jenar spontan menoleh.
"Kenapa sih kakinya nggak bisa diam gitu?"
"Nggak tahu. Releks."
"Ck." Jenar menempatkan telapak tangannya di lutut Rei. "Coba diam."
Rei mengernyit, tapi Jenar cuek saja. Dia memandang ke depan, nggak menatap pada Rei meski telapak tangan berada di lutut cewek itu.
"Je—"
"Apa?"
"Sierra tuh siapa?"
"Hah?!"
"Kemarin nggak sengaja denger lo sebut-sebut nama cewek sama Johnny. Sierra tuh siapa?"
"LO DENGER APA LAGI SELAIN ITU?!!" Jenar panik.
"Nggak ada, nggak jelas sih. Soalnya Jella nyuruh lo berdua diam kan? Suaranya dia yang kedengeran sampai dapur."
Jenar batal panik. "Kepo ya?"
"Yaudah, kalau nggak mau ngasih tahu."
"Orang."
"Mantan lo?"
"Mantan temen bobo."
"NGGAK USAH DIPERJELAS."
"Lo yang nanya! Gimana sih?!"
"..."
"Mantan sama mantan temen bobo tuh beda, Rei."
"Bedanya apa?"
"Mantan doang, berarti mantan pacar. Kalau mantan temen bobo ya sebatas temen bobo. Nggak pakai hati."
"Kata siapa? Jangankan pacaran, banyak tuh orang yang nikah nggak pakai hati."
"Nikah emang nggak pakai hati, tapi pakai duit."
"NGGAK GITU!!!" Rei membantah.
"Intinya Sierra gitu lah."
Tak berapa lama kemudian, ojol pesenannya Rei datang. Rei langsung berdiri dan pengemudinya memberikan helm. Waktu Rei mau naik ke boncengan motor, tahu-tahu Jenar ikut berdiri dan melangkah menghampiri Rei.
"Pake helmnya yang bener." Gitu ucapnya sambil mengancingkan pengait di bawah dagu Rei. "Kalau gue bilang buat kabarin gue saat lo udah sampe kosan, bakal lo lakuin nggak?"
"Nggak."
"As expected."
*
Malam harinya, menjelang jam sembilan, tepat sehabis Rei selesai mengompilasi data yang tadi dikumpulkan Yua, Rei mengetuk kamarnya Jella.
"Laaaaaa... makan yuk!!"
"Lah, gue udah delivery makanan tadi sama Sakura. Lo ditanyain mau apa nggak, jawabnya ntar-ntar melulu!!"
Rei shock. "HAH?!! MASA?!!"
"Iya, tanya aja si Sakur kalau nggak percaya."
"SAKURA, KAK!! Tambahin 'a' doang elahhhhh!!" terdengar Sakura protes dari kamarnya.
Rei cemberut. "Namanya juga lagi serius nugas..."
"Lagian, orang tuh makan sebelum nugas, bukan nugas dulu baru makan!!" Jella malah ngomel, persis emak-emak.
"Gue nggak bisa makan kalau kerjaan belum selesai."
"Mati muda lo lama-lama!"
"Ocha mana Ocha?"
"Nemennin Jinny, mau beli kado buat temennya."
"Ujuy?"
Yumna menjawab dari kamarnya dalam teriakan. "Gue udah Herbalife!!!"
"Lah, emang Herbalife makan?"
"Diet. Yuta lagi pedekate sama Clara. Masa gue kalah?!"
"Ck."
"Delivery ajalah, jangan kayak orang susah." Jella menimpali.
"Lagi pengen makan nasi sardennya Mas Agus. Nggak ada di Gofood."
"Ck." Gantian Jella yang berdecak.
Rei paling malas kalau sudah begini, tapi ya mau bagaimana lagi? Akhirnya dia ganti baju, karena nggak mungkin banget ke warungnya Mas Agus pakai baju tidur. Baru selesai ganti baju dan lagi nyari ikat rambut, tahu-tahu ada dm baru di Instagram.
jenardigs: otw kos lo.
regina_ar: ngapain?!!
jenardigs: jella bilang, ada yg butuh temen makan malem.
*
Bicara soal Yuta, cowok itu memang mantannya Yumna.
Bisa dibilang, Yumna sama Yuta adalah pasangan ter ter ter ter pokoknya segala ter yang jelek-jelek dan bar-bar kayaknya mereka pegang deh. Semacam sinting ketemu sinting jadi sinting kuadrat. Yumna anak Teknik Lingkungan, Yuta anak Teknik Sipil. Ditambah lagi, departemen mereka juga bersebelahan—karena ya di kampus, gedung seluruh departemen yang ada di fakultas mereka tuh satu komplek dan otomatis jadi berdekatan.
Gimana mereka bisa jadian?
Gara-gara Yumna kalah main UNO.
Saat itu, Yumna lagi main ke kosannya Tigra. Bareng Rossa doang. Rei cuma main sama Tigra dan Dhaka, jadi rada canggung di dekat anak kosan lainnya. Rossa, as usual, datang cuma buat lihat Milan sekalian caper, tapi malah jadi bahan gombalan Jaka. Main UNO kan mereka, lalu dengan sombongnya, Yumna bersabda.
"Ini main UNO nggak ada bet atau konsekuensi apa kek gitu, biar seru?!" Tigra yang memulai pergonjang-ganjingan dunia persilatan Ujuy-Atuy.
"Ngga usahlah, kasian kalian semua pasti kalah sama gue!!" Yumna berseru penuh jumawa, selaku juara bertahan dalam setiap pertandingan UNO. Ini kalau UNO ada kejuaraannya, Yumna sudah pasti dianggap selevel dengan Lionel Messi.
"Hoki doang lo mah!" Jaka menanggapi.
"Mana ada hoki berkali-kali?! Dari maba, gue adalah expert dalam permainan UNO!" Yumna berkata lagi. "Gini aja dah, betnya siapa yang bisa mengalahkan gue, jikalau cewek, maka akan gue jadikan sodara. Jikalau cowok, akan gue jadikan suami."
"ANCURRRRR!!!" Milan ngakak. "LO KIRA LO DAYANG SUMBAY?!!!"
"Kalau gue Dayang Sumbi, berarti lo semua siluman anjing kayak si Tumang!"
"Yaudah." Yuta menukas. "Iyain aja biar cepet."
Main kan tuh mereka.
Terus... unexpectedly... ternyata Yuta yang menang. Jaka sama Milan ngakak dengan suara menggelegar. Yumna shock berat sampai nggak mampu berkata-kata.
"Kudu dipanggilin penghulu nggak nih?" Dhaka meledek.
"Nggak usah." Yuta yang menjawab.
"Yaudah, anggap aja bet yang tadi tuh kesalahan." Yumna angkat bicara dengan muka yang memerah.
"Nggak bisa gitu juga." Yuta nggak setuju.
"Terus mau lo apeeee, Anak Muda?!" Yumna mulai sewot.
"Nggak usah jadi suami, jadi pacar ajalah."
Terus gimana? Jadian.
Lantas kenapa sekarang tahu-tahu putus? Soal itu, nggak ada satupun diantara mereka kecuali Yumna, Yuta dan Yang Maha Kuasa yang tahu.
Bahkan Tigra sang pengepul kejulidan umat manusia aja have no idea.
*
Habis nyepol rambut seadainya dan pakai sandal jepit, Rei berjalan keluar dari kosan menuju pintu pagar. Sengaja rambutnya digelung begitu, soalnya sudah lepek dan berhubung ini juga sudah malam, Rei nggak mau terlalu mikirin rambut yang jelek. Ternyata, Jenar sudah menunggu di luar pagar. Dia duduk di atas motornya, jaketan dan helmnya disangkutkan di stang motor.
"Loh, ini lo serius?!" Rei nggak mau banyak berekspektasi, jadi dia kira Jenar cuma ngeledek dia doang.
"Kalau soal lo mah gue selalu serius."
"Oh."
"Rambut lo bagus deh digituin."
Rei menatap Jenar dengan pandangan horor, nggak biasa mendengar Jenar memuji penampilannya. "Apa maksud nih?"
"Muji."
"Nggak biasa. Jadi geli."
"Dibiasain dong makanya." Jenar tertawa, lalu memberikan helm pada Rei. "Nih, pake."
Helmnya pink. Wangi pula.
"Helm lo?"
"Nggak, helm ceweknya Lanang. Gue pinjam."
"Ngapain?!"
"Buat lo."
"Dekat ini, ngapain pake helm?"
"Safety, Rei." Jenar berdecak. "Pake."
"Tapi ya kenapa juga sampai harus minjem helm ceweknya Lanang?"
"Gue nggak punya helm cewek."
"..."
"Tapi kalau lo mau sering dibonceng gue, nanti gue beli deh."
"..."
"Jadi gimana?"
"Gimana apanya?"
"Ada niatan mau sering dibonceng gue?"
to be continued.
***
-bonus-
Tahun pertama Regina Arunika di kampus...
Pernah lihat orang bodoh di jalan yang cute?
Kayaknya mustahil banget, tapi terus-terang aja, gue pernah. Nggak sengaja sih. Waktu itu gue lagi nunggu Johnny sama beberapa anak Hima lainnya di kafe buat ngobrolin perkara ospek untuk maba. Kafe ini depan-depanan sama toko stationery. Orang yang datang baru gue sama Kun doang. Rada lambat, karena memang lagi hujan. Nggak deras, tapi ya kalau lo berdiri setengah jam di tempat yang nggak teduh ya paling basah juga.
Gue randomly menatap ke luar jendela dan melihat sesuatu yang nggak gue duga.
Ada cewek keluar dari toko stationery. Dia pakai payung. Tiba-tiba dia berhenti berjalan setelah beberapa meter. Gue mengernyit ketika dia berjongkok di depan seekor anak kucing yang nggak berteduh. Nggak tau kenapa. Mungkin karena si kucing masih kecil, jadi otaknya belum sepenuhnya tumbuh. Atau ya positive thinking, ibunya terlalu sibuk kawin lagi sampai lupa ngajarin anaknya kudu gimana ketika hujan turun.
Cewek itu diam sejenak, buang napas dan tahu-tahu, dia naro payungnya di tanah buat menaungi anak kucing itu.
Setelahnya? Dia pergi begitu aja, jalan santai dan membiarkan dirinya sendiri terkena hujan.
Ternyata, itu bukan pertemuan terakhir—konyol juga sih disebut pertemuan, orang cuma gue yang lihat dia dari jauh.
Tempatnya di perpustakaan fakultas. Gue lihat dia lagi duduk sendirian, baca buku yang anjrit, tebal banget. Itu gue yakin yah, kalau ada orang digaplok kepalanya pakai tuh buku, dia bisa auto gegar otak.
Gue mengernyit, mikir sebentar terus iseng aja mendekat. Gue duduk di sebelahnya. Dia nggak bereaksi.
Gue menghela napas, mengumpulkan niat buat menyapa, seenggaknya nanya kenapa dia ninggalin payungnya cuma buat seekor anak kucing kampung ketika dia menutup bukunya dengan wajah bete, terus langsung melangkah pergi meninggalkan gue.
Wow, gue merasa agak tertohok ya.
Apa itu kali pertama?
Ternyata nggak.
Beberapa hari dari sana, lagi ada acara di gedung aula fakultas. Gue datang bareng Kun dan Johnny. Ada dia lagi. Dia sedang duduk di tangga bagian teras gedung, menunduk dan main hp. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue mendekatinya lagi. Gue duduk di sebelahnya—masih cukup berjarak sih, tapi gue adalah yang duduk paling dekat dengannya hari itu.
Begitu bokong gue menyentuh lantai, dia beranjak pergi. Lagi.
Kenapa ya dia memperlakukan gue kayak gue tuh wabah penyakit?
Setelahnya, beberapa kali ketemu dan dia melakukan sesuatu yang sama—terlalu sering, untuk disebut kebetulan.
"Menurut lo, dia gitu kenapa sih?" gue minta pendapat ke Kun, nggak mungkin ke Johnny, nanti dia malah ikut penasaran sama tuh anak.
"Lo bau kali."
"Kun, gue serius!"
"Nggak tahu, mungkin dia nggak nyaman duduk di deket orang asing?"
"Tapi kan—"
"Lagian kenapa sih dipikirin amat?"
"Heran aja."
"Hm." Kun mengedikkan bahu. "Tapi kalau nggak salah, gue pernah lihat dia sama Jella."
"Jella siapa?"
"JELLA ANAK BIMBINGAN LO BUAT OSPEK FAKULTAS, YAILAH!!!"
"Oh..."
"GIMANA SIH LO JADI KAKAK PEMBIMBING KOK NGGAK PAHAM ANAK BIMBINGAN LO?! KITA SEBAGAI KAKAK PEMBIMBING TUH HARUS SJESUHUIEFHSFJSDFADJKAKDADHHEWYRYDABLABLABLAJUDIOQOWDN—"
Ujung-ujungnya,gue malah diomelin sama Kun.
***
"Ini beneran."
Lanang menyipitkan mata. "Kenapa putus?"
"Udah waktunya putus."
"Del, gue serius."
"Biasa."
"Biasa apanya?"
"Bosen."
"Wah, emang akhlak lo makin hari makin rusak aja."
"Gimana dong Nang, gue emang orangnya bosenan."
"Atau mungkin itu pertanda dari Tuhan, Del."
Delta mengerjap. "Pertanda apa?"
"Lo pernah bosen nggak sama gue?"
"Hng..."
"Nggak, kan?"
"..."
"Itu pertanda dari Tuhan buat lo untuk berhenti nyari yang lain saat gue di sini selalu ada buat lo."
"Kan kita sepakat cuma temenan aja, Nang."
"Kalau lo mau lebih dari itu, gue bisa kasih."
***
a/n:
bukan main emang, sedepartemen jenar isinya fakboi semi softboi semua.
kecuali kun deng.
hihiw.
karena ternyata pada cepet bgt vommentnya wkwk 1,2k votes and 600 comments for next chapter.
***
Delta
***
August 30th 2020 | 16.15
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro