Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8 | bra

warning: tangan masuk ke baju


***

"Hng..."

"Deg-deg-an kan?" Jenar sempat-sempatnya bertanya, tapi matanya memandang cewek di depannya dengan serius.

"Iya sih—eh tapi kan kalau nggak deg-deg-an ya mati dong!!" Rei menggelengkan kepala, bersikap kritis dan nggak segampang itu mempercayai alasan Jenar. Dia berniat menarik tangannya, tapi genggaman Jenar terlalu keras.

"Regina—"

"Mungkin lo deg-deg-an karena lo takut ketahuan kalau lo gay?!" Rei berspekulasi.

Jenar melotot kaget, lantas buang napas dengan frustrasi. "Lo mau gue membuktikan kalau gue bukan gay?"

"Lo gay juga nggak ngaruh sama gue sih, malah gue jadi lebih bisa ngerti kenapa lo nggak mau gue dekat-dekat sama Johnny! Makanya lo juga bohong kalau Johnny gay, kan?!" Rei membalas sambil menuduh. "But look, kalau Johnny straight, lo nggak berhak melarang dia suka cewek. Tolong jangan dipaksa buat jadi gay, apalagi sampai lo menghalangi cewek-cewek yang mau deket sama dia. Bukan berarti gue berharap mau deket sama dia ya, tapi obsesi itu nggak baik—"

"Sweet Jesus, you're really a talker, huh? I said it, I am not gay!"

"Jenar—"

"I can kiss you right now, right here, and 100% will enjoy it because I like girls. Damn it!"

Rei mengerjap tidak percaya. "W—what?!!!"

"But are you sure she's going to enjoy it, though?"

Ketika Rei masih bengong, bingung karena nggak tahu harus ngomong apa, suara Johnny terdengar memecah keheningan. Spontan, Rei mengembuskan napas lega. Dia menarik tangannya dari genggaman Jenar, buru-buru beranjak dari kasur dan merapikan rambutnya seperti barusan nggak terjadi apa-apa.

"Tangganya udah, Kak?"

"Udah."

"Oke... hm... kalau gitu..." Asli, Rei merasa canggung maksimal. "... gue bikin minum deh ya? Buat lo berdua. Bentar..."

Rei bergerak, bermaksud melangkah melewati Johnny, tapi lengannya ditahan. Demi Tuhan, Rei mengomel sendiri dalam hati, merasa situasi yang sedang dia hadapi sekarang dramatis banget, namun dia tak bisa bilang jantungnya baik-baik saja. Inni orang yang dia taksir, yang dia kagumi. Puja kerang ajaib, dari yang cuma bisa menatap dari jauh saat Johnny ada di parkiran kampusnya, sekarang cowok itu berada di kamarnya... memegang tangannya...

"Gue bukan gay. Jenar bukan gay. Kita nggak saling naksir. Clear?"

"C—clear, Kak."

"Oke." Johnny melepaskan tangannya dari lengan Rei, disusul cewek itu buru-buru kabur ke dapur, meninggalkan Johnny dan Jenar hanya berdua di dalam kamar.

"Stop it." Johnny memperingatkan Jenar.

"Stop apaan?"

"Apa pun permainan yang mau lo lakukan."

"There's no game, Johnny. Not with her."

"Gue paham sama track record lo. Nggak usah sok gentleman."

"Kayak lo nggak brengsek aja." Jenar mencibir.

"Nggak dia, Jenar. Dia temennya Dhaka."

"Terus kalau dia bukan temennya Dhaka, nggak apa-apa?"

"She's not the one you can play with. Do you know that she is—"

"I like her." Jenar memotong, membuat Johnny speechless dengan sempurna. Lalu sebelum Johnny sempat membantah, Jenar sudah meneruskan. "Eh, salah, deng. I like her FIRST."

Johnny terperangah, disusul tawa kecil yang lepas dari mulutnya.

Jenar kontan membara. "KENAPA LO KETAWA?!!"

"What a joke."

"It wasn't a joke."

"Really?" Johnny bertanya dengan nada sarkastik yang terksan mengejek. "Lo kira gue sebodoh itu buat percaya? You? Suddenly like her? Jangan bercanda sama gue, Jenardi."

"Gue bilang, gue nggak bercanda."

"Kalau gitu, bohong lo kurang meyakinkan. Lo bahkan mungkin nggak tau dia satu fakultas sama kita sampai hari itu, ketika lo duduk di dekat dia dan bohong soal gue yang gay."

"Lo kira alasan kenapa gue duduk di bawah pohon hari itu apa kalau bukan dia?" Jenar membalas diiringi decak. "Jelas gue tau kalau dia ada! Dia bukan cuma sebatas temannya Dhaka!"

"Oh ya? Apa?"

"Dia temannya Jella."

Di kamar sebelah, Jella rasanya kepingin menampar muka Jenar pakai pengki sambil berseru, "Apa bedanya, Goblooooooook!!"

"I don't care, anything you want to do with her, stop it. Atau gue akan bertindak."

"Lo nggak berhak melarang gue, atau melarang dia."

"She's not Sierra, for fuck's sake!!" Johnny membentak, membuat Jenar terdiam, lalu meneguk saliva. "I know what you did to Sierra and I swear to God, if you ever do the same to—"

"Oy." Jella nggak tahan lagi, akhirnya berteriak dari kamar sebelah, secara otomatis memutus perdebatan antara Jenar dan Johnny.

"Ape?!" Jenar nyolot.

"Kalau mau ribut jangan di sini. Lagian lo berdua nggak malu apa kalau Rei sampai nggak sengaja dengar cekcok mesra kalian ini?"

"..."

"Orang pertama yang mulai keributan lagi, harus beliin gue pisang."

"Pisang yang man—"

"Lo bercanda kayak gitu sekali lagi sama gue, gue sodok lo pake cangkul ya, Jenardi!"

Jenar refleks tutup mulut.

*

Rei lagi sibuk masukkin es batu dari wadahnya ke gelas saat Yumna tiba-tiba langsung masuk dan nggak pakai bismillah, menembaknya dengan pertanyaan.

"Jujur sama gue, lo ada apa sama tuh dua anak Mesin?!!"

"Nggak ada apa-apa, Juy. Beneran." Rei capek banget meladeni pertanyaan perkara Jenar dan sekarang, Johnny juga ikut terlibat. "Soal Johnny, gue naksir. Tapi ya crush doang, you know it's not like I want to be close to him for real and be his girlfriend whatsoever. Cuma crush gemes kayak junior ke seniornya sih gimana. Kalau Jenar, gue nggak tahu. Lo tanya aja langsung ke dia."

"Males. Dia aneh."

"Emang. Bikin pusing juga."

"Gue pengen molor. Jangan berisik lo pada."

"Buset, ini udah sore!"

"Justru itu, gue mau bosor alias bobo sore. Soalnya nanti malam mau lembur."

"Nugas?"

"YA BUKAN LAH!!!"

Kelihatannya doang Yumna nih peju alias pemudi jujur, padahal mah sebenarnya dia doyan dugem. Anak malam sejati. Cocok sih pacaran sama Yuta—anak Teknik Sipil teman satu kosan Dhaka dan Tigra. Tapi sekarang sudah putus kayaknya. Pacaran unexpected gara-gara Yumna kalah main UNO. Putus juga unexpected, dan Yumna nggak pernah cerita apa penyebabnya.

Habis bikin minum, Rei balik ke kamar dengan nampan di tangan. Jenar dan Johnny duduk berjauhan, saling diam. Persis kayak anak SD lagi marahan.

"Lah kak, kok lo pada diem?"

"Oh, jadi sekarang manggil gue pake 'kak'?" Jenar balas menyindir.

"Halah, serba salah! Rewel bener kayak bayi belum nyusu."

"Kenapa? Mau nyusuin?"

Ini Rei bertanya-tanya, emaknya Jenar tuh ngidam apa ya waktu hamil Jenar, kok anaknya jadi begini banget?

"Yang sopan kalau ngomong sama cewek." Johnny menyela.

"Jadi kalau ngomong sama cowok boleh nggak sopan?" Jenar mengangkat alis. "Wah, yang sexist gini lo sukain?"

"Je—"

"Nggak konsisten." Jenar menyambar. "Mau pake 'kak' apa nggak?"

"Oke, Kak Jenar—"

"Tapi kedengarannya aneh juga ya."

"TERUS MAU LO APA?!!!!" Rei hampir naik pitam.

"Bikin lo kesel." Jenar tertawa dan Rei mengutuki dirinya sendiri sampai ke dasar inferno karena berpikir wajah Jenar yang lagi ketawa terlihat seganteng itu. Bukan sekali ini, saat Jenar tersenyum atau tertawa sampai lesung pipinya terlihat, dia diam-diam membatin 'demi Tuhan, ganteng banget'. Jadi bingung, mau terpesona apa marah-marah.

Memang benar, beauty privilege itu nyata adanya.

"Masalah lo sama gue apa sih?"

"Tau nggak kata-kata Shakespeare?"

"Nggak."

"Hate me or love me, no in between. Kalau lo sayang sama gue, gue akan selalu ada di hati lo. Kalau lo benci sama gue, gue akan selalu ada di kepala lo. learly, gue nggak ada di hati lo dan berhubung kepala lebih gampang dimasukkin daripada hati—" Jenar mengangkat bahunya. "Lo tahu kan intinya? Kalau kagak tahu, hasil TPB lo patut dipertanyakan."

"Apa urusannya hati gue sama lo?"

"Nggak tahu, kayaknya gue mau coba masuk." Jenar berujar santai diikuti siul ganjen.

"Ngapain sih? Kurang kerjaan."

"Nyoba aja." Jenar mengedikkan bahu, melirik puas pada Johnny yang kini buang muka. "Siapa tau betah, terus bisa jadi rumah."

Rei memilih mengabaikan ucapan Jenar dan meraih gelas minumnya. Dia meneguk air dingin yang ada di dalam gelas dengan cepat. Nggak tahu kenapa, tiba-tiba saja dia merasa gerah.

*

Seminggu berlalu sejak Jenar dan Johnny mendatangi kosan Rei. Segalanya berlangsung damai. No more Johnny, no more Jenar. Nggak tahu kenapa, mungkin Jenar juga sudah bosan main-main sama Rei. Sesekali, update Instagram story Rei di-reply sama Devan—that's all, lebih ke friendly gesture dan Rei nggak ada niatan untuk menganggap apa yang Devan lakukan sebagai sesuatu yang 'lebih'. Masa-masa dia naksir Devan sudah berlalu.

Lagipula, menurut Rei, seseorang itu seperti pemandangan sebuah kota, suatu cityscape di malam hari. Saat dilihat dari jauh, cahaya kota itu terlihat indah. Tapi nggak sama ketika dilihat dari dekat. Jalanan berlubang, dinding yang kusam dimakan cuaca, anak-anak jalanan bertungkai kurus yang mengejar orang-orang untuk ditawari ojek payung dengan sekujur badan basah kuyup... Rei rasa nggak ada yang indah dari itu.

Sama seperti lampu, dia memberi terang, namun kalau berdiri terlalu dekat, dia menyilaukan dan justru menguarkan panas.

Terkadang, agar bisa terkenang indah, perasaan cukup hanya dipendam dalam angan tanpa direalisasikan.

Selain Devan, Lingga, temannya Devan yang juga personel Indica sempat ketemu sama Rei di suatu kafe dan mereka sempat mengobrol karena Lingga juga senior Rei dulu. Mereka ngomongin banyak hal, mulai dari kisah asmara Devan yang kandas sampai Alfa yang ribut seru sama pacarnya, terus berujung saling spill dan jadi trending di Twitter. Dari Lingga, Rei tahu kalau ternyata Devan dan Krystal putus gara-gara Krystal mau lanjut ambil master di Amerika Serikat dan Devan keberatan kalau mesti LDR.

Cuma itu. Dunia Rei kembali semembosankan biasanya, hingga dia kedapatan tugas untuk mapping persebaran fasilitas penting di sekitar kampus. Awalnya Rei fine-fine saja, sampai dia tersadar, wilayahnya berada pas banget di sekitar gedung Mesin.

Yak, the bangke-st situation of the year goes to...

Tapi mau gimana lagi, harus professional. Untungnya, Rei nggak sendiri. Dia partner-an sama Yua. Mereka lancar-lancar saja ambil data hingga...

"Lo kenapa sih nggak bisa diem dari tadi?"

Rei mengeluh. "Pengen pipis."

"Ck, jangan ditahan, nanti kencing batu! Sono, mending numpang di toilet Mesin!"

"HAH?!!! NGGAK AH!!!"

"Lo mau ngompol atau mau kena kencing batu?"

"NGGAK DUA-DUANYA!!!"

"Yaudah, sana! Gue tunggu 10 menit! Lebih dari itu gue tingal!"

"Anterin dong..."

"Males ah, Mesin isinya para batang haus belaian!"

Rei manyun dan meski berat hati, dia nggak punya pilihan lain. Mungkin karena sudah lewat jam makan siang, kampus Mesin cukup sepi. Patut disyukuri. Rei menyusuri koridor, mulai resah ketika dia sudah bolak-balik dan nggak kunjung menemukan toilet yang dia cari. Gedung ini nggak familiar untuknya.

"Eh, nyari siapa?"

Rei refleks menoleh, langsung lega karena yang barusan menegusnya bukan Jenar, tapi Lanang. Ngomong-ngomong soal Lanang, nih anak benar-benar definisi sempurna dari namanya. Tampangnya laki banget. Ibarat kata kalau Jenar tuh punya vibes ala pangeran dan Johnny itu punya vibes ala businessman berwibawa, Lanang ini punya vibes bintang Ekstra Joss. Badannya tinggi besar, berotot di tempat-tempat yang tepat. Satu telinganya disemati anting. Nyokapnya Rei pernah jadi fangirl garis kerasnya Ray Sahetapy dan jujur saja, Lanang rada mirip sama Ray Sahetapy waktu masih muda.

"Eh—hng—lo Lanang kan ya?"

"Yoi. Temennya Bang Tigra kan?"

"Rei aja panggilnya."

"Woke."

Saat di Mech-Fest tempo hari, Rei lihat Lanang punya tato di salah satu lengan bagian atasnya, tapi kalau di kampus, kayaknya dia lebih sering pakai jaket. Sangar banget, memang. Walau kesan ngeri sepenuhnya terbasuh habis saat dia tersenyum. Senyumnya terkesan polos, kayak anak-anak.

"Nyari Bang Jenar ya?"

"Kagak. Gue lagi turun lapangan, kebetulan di dekat sini. Pengen numpang ke toilet."

"Woohhhhh, toilet di ujung koridor sini. Sebelah kanan. Mau dianter?"

"Eh, nggak usah!" Rei tersipu. "Oke, makasih ya."

"Sip."

Rei melenggang pergi dan Lanang lanjut berjalan, hingga cowok jangkung itu menyadari sesuatu dan refleks menghentikkan langkahnya. Matanya melotot seperti mau melompat keluar. Dia langsung berbalik, tapi Rei nggak lagi kelihatan.

Dia baru sadar... dia salah memberi tahu toilet... dan malah ngasih arah menuju toilet cowok. Gini nih, efek separtemen lebih banyak yang ganteng daripada yang cantik. Lanang tuh kalau ditanya soal toilet, connectnya langsung ke toilet cowok. Toilet cewek memang ada, tapi nggak sebanyak toilet cowok. Wajar, karena ibaratnya nih, dari seratus cowok, paling banter ceweknya cuma sepuluh biji.

Lanang terdiam bimbang, tapi nggak lama karena sejenak kemudian, dia melihat Jenar melangkah sendirian dari ujung koridor yang lain menuju tempat di mana toilet cowok berada.

Oke deh, kalau gini Lanang bisa pura-pura nggak tahu.

*

Sambil setengah berlari, Rei masuk ke toilet. Firasatnya langsung nggak enak saat mendapati ada banyak urinoir di dalam toilet. Dia terpaku ragu, baru balik badan dan niatnya mau cari toilet yang lain saat Jenar masuk. Cowok itu lagi pakai jaket himpunan berwarna biru gelap. Dia kelihatan seperti mahasiswa baik-baik. Tas punggung tersampir di pundaknya.

Jenar kaget, Rei apalagi.

"Ini nggak salah nih?!!" Jenar ternganga. "Ngapain lo di toilet cowok?! Di departemen gue pula!!" Jenar menyembur Rei dengan tuduhan bertubi-tubi.

"Ini nggak seperti yang lo pikir—"

"Emang menurut lo, apa yang gue pikir?"

"Kalau gue cewek mesum."

"Yhaaaa... nggak bisa dibilang polos juga sih. Mana ada cewek polos nyimpan foto cowok yang di-take diam-diam di kamarnya?"

Wajah Rei serasa terbakar. "... gue cuma mau ke toilet doang..."

"Ee apa pipis?"

"HARUS BANGET NANYA GITU?!!!"

"Yaudah, gue ralat. Poop or pee?"

"Ck." Rei berdecak. "Gue nggak ada niat jadi mesum. Tadi ketemu Lanang dan dia nunjukkin toilet ini. Gue lagi ambil data sama Yua, nggak jauh dari departemen lo."

Jenar justru tertawa terbahak-bahak dan itu bikin Rei mendelik.

"KENAPA KETAWA?!!!"

"See? Even the Universe tries to bring you to me."

Cringe banget, Rei geli sendiri sampai kepengen muntah. Dia berjalan ke pintu, niatnya mau keluar, tapi Jenar malah menghalangi jalan dengan satu lengannya—yang kini berada tepat di depan leher Rei.

"Sini, gue antar pipis."

"Nggak usah." Rei menolak.

"Gue berhutang nganterin lo pipis, sesuai yang gue bilang di tempatnya Tigra waktu itu. Inget?"

Rei terlalu kebelet untuk mendebat, jadi dia menurut saja sementara Jenar membawanya menuju toilet cewek. Ternyata, toilet cewek ada di sisi lain koridor. Begitu sampai di sana, Rei langsung saja masak, nggak mikir macam-macam. Jadilah dia menuntaskan setoran alam, lalu keluar, sempat ngaca dikit tentunya sebagaimana kebanyakan cewek kalau ke toilet.

Lumayan, Rei nggak kucel-kucel amat, cuma kucel doang.

Di luar, ternyata Jenar masih menunggu sambil bersandar ke tembok dan menunduk, sibuk main hp.

"Udah?" Cowok itu menoleh ketika menyadari Rei sudah keluar.

"Udah."

"Yaudah."

"Oke." Rei menyahut singkat, meneruskan gerak menuju pintu samping departemen, soalnya kalau lewat pintu depan, jalannya kejauhan. Tapi dia langsung berhenti tatkala sadar Jenar mengikutinya. "Ngapain lo ngikutin gue?"

"Nggak tau gue juga."

"Jenar, please—" Rei batal bicara saat merasakan ada sesuatu yang tidak enak di punggungnya. Cewek itu termenung sejenak, menundukkan kepala untuk melihat ke badannya sendiri dan langsung meringis dengan muka merona.

Clasp bra-nya copot satu nih kayaknya.

Jenar menanggapi dengan kening berkerut. "Kenapa tiba-tiba berhenti ngomong?"

Tali bra yang awalnya kerasa longgar dikit, sekarang jadi kerasa longgar banget. Segalanya diperparah dengan fakta bahwa dari sekian banyak hari, siang ini Rei memutuskan untuk nggak pakai jaket, soalnya cuacanya panas banget.

"Nggak apa-apa."

"Kok lo tiba-tiba pucat gitu sih?" Jenar maju beberapa langkah, memicu Rei untuk mundur. Lipatan di dahi Jenar makin dalam, matanya terarah pada Rei dengan penuh tanya.

"J—jangan deket-deket..."

Jenar melongo, memandang beberapa lama, tapi kemudian dia menarik seringai. Langkahnya berlanjut, bikin Rei terus mundur sampai-sampai punggung cewek itu membentur tembok.

"J—Je—kita di kampus—"

"Siapa juga yang bilang kita di warteg?"

He was so close that she could smell his perfume. His body radiated something that somehow... felt comfortable.

Jenar berdecak, tertawa tanpa suara dan mengulurkan tangannya masuk ke balik baju Rei, ke belakang punggung. Jari-jarinya bersentuhan dengan kulit punggung Rei, terasa seperti punya daya listrik yang membuat bulu kuduk cewek itu kompak berdiri. Matanya masih terarah pada Rei ketika dia mengaitkan clasp yang terlepas.

"There. Problem solved.




to be continued. 

***

a/n: 

dengan sejumlah perubahan dari yang ada di igstory hahahaha

as usual, 1k votes and 500 comments if you want to unlock next chapter. 


***

bonus 


"Kerjaan lo main DOTA melulu, Nang." 

"Lo-nya aja kebetulan liat gue lagi main DOTA, Del." 

"Bosen gue. Jalan yuk?" 

"Nggak ah, males." 

"Nang." 

Lanang masih nggak beralih dari layar komputernya. "Hoh?" 

"Nang!" 

"Iye, apa, gue dengerin." 

"Gue putus ama cowok gue." 

"Sampe  ini prank lagi, kita musuhan."


***

August 29th 2020 | 16.35

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro