7 | lampu
Begitu mereka tiba, yang bukain pintunya Yumna.
"Lama bange dah, mana sabun cuci piring—HEH KATANYA SAMA DANIEL, KOK YANG NONGOL COBEK MESIN!!!?"
"Cobek Mesin apaan?" Jenar menyela.
"Cowok brengsek Mesin."
"Julukan yang lumayan juga walau gue bukan cowok brengsek."
"Dih, nggak tahu diri." Rei mencibir. "Udah nyampe kosan. Sana pulang!"
"Tapi kalau Johnny mau mampir terus minum-minum lucu bentar, nggak apa-apa kok." Jella menyambar.
"NGGAK USAH GANJEN!!" Rei melotot pada Jella, tapi dia berpaling pada Johnny dan nada suaranya berubah drastis. "Tapi kalau Kak Johnny mau mampir minum dulu, nggak apa-apa kok."
"SAMA AJA KAYAK GUE ELAH!!!" Jella protes.
"Udahlah, sono lo cuci piring!!" Yumna berseru.
Rossa muncul dari ujung tangga. Wajahnya antusias, tapi langsung manyun ketika dilihatnya hanya ada Jenar dan Johnny. "Yahhh... nggak ada Milan..."
"Milannya di Italia!" Yumna berseru sewot.
"Kan udah gue bilang, nggak ada, Ros." Jella menimpali.
Seperti belum cukup ramai, Jinny ikut nongol di belakang Rossa. "Kak Rei, tadi ada paket Syopi."
"Ohhh, kayaknya lampu gue udah nyampe deh! Yaaay!!!" Rei berseru senang sambil mengangkat kedua tangannya dan bertepuk tangan, bikin Jenar menoleh padanya dengan salah satu alis terangkat, sementara Johnny mati-matian menahan senyum geli.
Rei biasanya jarang berekspresi di depan orang yang nggak dia kenal, bikin kebanyakan orang mengira dia pemalu—padahal ya, kalau sama orang yang sudah dia kenal baik, boro-boro pemalu, yang ada malah malu-maluin. Terus raut wajah cewek itu tergolong jutek, membuatnya terkesan berada dalam mood yang buruk sepanjang waktu. Sisi Rei yang rada child-like seperti sekarang jarang dilihat orang luar, tapi teman-teman se-kosannya sih sudah khatam kelakuannya yang begini.
Cewek itu buru-buru naro tas, niatnya mau ambil tangga di gudang dekat garasi, tapi tanya Jenar menghentikan langkahnya.
"Mau kemana lo?!" ujarnya sambil menarik bagian belakang kerah baju Rei, seperti sedang memegang leher anak kucing.
"Ambil tangga."
"Buat apa?"
"Masang lampu lah, Bahlul!"
"Sini, gue bantuin." Johnny memotong.
Wajah Rei langsung pucat. Pertama, tawaran Johnny itu tidak terduga. Kedua, sebagai salah satu fans berat Johnny, Rei punya foto candid Johnny dalam acara pembukaan POR Fakultas setahun lalu—dia nggak sengaja mengambil foto Johnny yang bagus banget terus ya dia cetak dan pajang di dinding kamar.
Ini namanya cari mati.
"Eeehhh, nggak usah repot-repot, Kak." Rei menolak halus. Harga dirinya memang sudah remuk di depan Johnny, tapi Johnny bakal bilang apa kalau menemukan fotonya tertempel di grid tembok estetik ala-ala Tumblr yang Rei tatap buat suntikan semangat saban pagi?
"Nggak apa-apa."
"Bisa tuh, ceilings kamar Kak Rei tinggi kan. Kakak pake tangga juga belum tentu nyampe." Jinny ikut berkata.
Opini yang bagus sekali, Jinny. Kenapa tidak sekalian cemplungin gue ke empang Haji Muhidin sekalian?
"Nggak apa-apa, Jinny. Gue bisa sendiri."
"Udah lah, nggak apa-apa. Mumpung ada dua tiang yang bisa bantuin." Jella memperburuk suasana sambil mengunyah sepotong pisang cokelat.
"Takut dia, di kamarnya masih banyak kolor bertebaran." Jenar nyeletuk sambil senyam-senyum jahil.
"Dih, maap-maap, gue bukan tipe yang berantakan kayak lo!" Rei spontan membantah dengan wajah merah, nggak terima sama tuduhan Jenar karena kesannya dia tuh jorok banget membiarkan pakaian dalam berserakan.
"Oh ya? Mari kita buktikan! John, ambil tangga!!"
"Lah, kenapa jadi nyuruh gue?" Johnny mengernyit.
"Bagi tugas aja. Ntar gue bagian masang lampunya."
Rei stressssss dan kalau divisualisasikan, bentuknya kayak gini: ┻━┻︵ \(°□°)/ ︵ ┻━┻. Gila ya ini, kalau sampai dia tertangkap basah, nanti Johnny mikir dia cewek apaan?
"Ambil, John!!"
Johnny membuang napas, kelihatan sudah capek duluan untuk berdebat sama Jenar, jadi dia jalan menuju gudang setelah sebelumnya bertanya ke Jella gudang ada di mana. Rei ketar-ketir berat.
"Kamar lo di mana?"
"Je, plis ini mah ya—"
Jenar tergelak. "Apaan sih orang gue nanya kamar lo di mana kok malah plas-plis-plas-plis kayak lagi diapain aja."
"Tolong jangan gini........."
Jenar membungkukkan badan, sengaja mencondongkan tubuhnya ke depan biar wajahnya sejajar dengan Rei yang lebih pendek darinya. Refleks, cewek itu menahan napas. "Gue jadi curiga deh, lo nyimpen apa di kamar lo sampai segininya?"
"Jenar—"
"La, kamar nih orang di mana?!"
"Di atas, nomor tujuh."
JELLA BANGKE.
Jenar meneruskan langkah menuju tangga, mulai menapaki satu-persatu anak tangga yang ada. Rei mengekorinya sambil merengek, berusaha meraih lengan cowok itu, tapi Jenar malah ngakak, seperti sangat menikmati penderitaan Rei. Waktu dia tiba di depan pintu kamar Rei, tangannya terulur ke kenop. Pintu kamar Rei memang nggak dikunci (dan itu jadi sebuah kewajaran di kosan karena jarak pintu gerbang menuju pintu utama cukup jauh, ditambah lagi kamar Rei berada di lantai dua. Rei panik, impulsif saja, dia peluk pinggang Jenar dari belakang sambil menempelkan satu pipinya ke punggung cowok itu.
"JENAR PLIS JENAR JANGAN GINI!! TOLONG KITA BISA BICARAKAN INI BAIK-BAIK!!!"
Jenar nge-freeze di tempatnya.
Di saat situasi lagi dramatis kayak gitu, pintu kamar nomor lima terbuka. Sakura yang baru mandi muncul, niatnya mau ambil sheetmask yang dia simpan di kulkas. Cewek itu tercengang kaget ketika lihat Jenar dan Rei lagi in action di depan pintu kamar. Mereka berdua kompak menoleh ke Sakura yang kontan menutupi wajahnya pakai kedua telapak tangan.
"GUE NGGAK LIAT KAK, GUE MAU AMBIL SHEETMASK DOANG—AW—" Sakura menabrak pilar, tapi tetap lanjut buka kulkas, ambil sheetmask, terus ngacir lagi ke kamarnya. "Silakan dilanjutkan!!"
"SAKUR—" Rei mau jelasin juga sudah terlambat.
Jenar melongo, menatap sejenak pada tangan Rei yang ada di pinggangnya, tapi habis itu dia tertawa lagi.
"Untung tangannya masih di situ..."
Rei tersedak, baru tersadar dan buru-buru melepaskan tangannya.
"Coba kalau rada turun dikit..."
"......"
"Kan bahaya, bisa membangunkan macan yang sedang tidur."
Valid no debat, Jenar adalah pemilik mulut tersampah se-departemen Mesin.
"Ini namanya pelecehan."
"Tadi lo pegang gue tanpa izin, itu juga pelecehan."
"Itu beda—JENAR!!"
Jenar membuka pintu kamar Rei. Nggak membuang waktu, dia masuk begitu saja. Cowok itu diam sejenak setelah melewati pintu. Kamar Rei punya jendela, jadi walau lampunya mati, saat matahari masih terang di luar seperti sekarang, cahaya yang ada cukup bagi Jenar untuk bisa melihat apa saja yang ada di kamar Rei.
Matanya tertuju pada foto Johnny, lalu dia menarik senyum menyebalkan itu lagi. "Oh... jadi ini alasannya..."
Rei meringis, tidak bisa lagi berkata-kata karena terlampau malu.
"What?" Jenar balik badan. "The cat got your tongue?"
"Whatever." Sembari menahan rasa jengah, Rei melangkah maju, niatnya mau mencabut foto Johnny, tapi saat Rei melewatinya, Jenar meraih salah satu lengan cewek itu.
"Wait, gila ya, muka lo merah banget kayak baru ketumpahan Fanta."
Terdengar suara Johnny dan Jella dari arah tangga.
"Jenar..."
"Mm-hm??"
"Plis." Beneran, Rei mau nangis.
"Since you asked very nicely." Jenar melepaskan tangan Rei dan Rei langsung mencabut foto Johnny, memasukkannya ke kantung jaket.
It was a close call, karena beberapa detik setelahnya, Johnny tiba di depan pintu yang agak tertutup. Jella membukanya, disusul decakan.
"Enak-enakan ya lo berdua—heh, muka lo kenapa?!! Merah banget!!"
"Abis gue apa-apain." Jenar menukas santai.
"That's not funny." Johnny memotong, nada suaranya tajam.
"What?" Jenar justru terkesan menantang.
"I said, it's not funny."
"Terus kalau menurut lo nggak lucu kenapa? Rei aja ngerasa itu lucu. Iya nggak?"
Rei tidak menduga kalau sejenak kemudian, Jenar akan merangkul bahunya dan menarik badannya sampai membentur bahu cowok itu.
"Jenar!!"
"Wah, wah." Jella menyipitkan matanya, memandang curiga. "Ngaku lo, ada apa sama si kadal Kemang satu ini?!!"
"Kasih tahu, Rei."
"Nggak ada apa-apa!" Rei membantah, terus menjauh dari Johnny, maksudnya mau mengambil alih tangga dari tangan Johnny.
"Kak Johnny, makasih banyak ya udah dibawain—"
"Mana lampunya? Sini, sekalian gue pasangin."
"Nggak usah, Kak. Gue aja—"
"Regina."
Rei hampir tewas.
Bukan lagi ((temennya Dhaka)).
Bukan Rei.
Tapi Regina.
"Regina," Johnny memanggil lagi.
"... iya, Kak?"
"Napas."
Tuhan... kenapa semuanya jadi harus sememalukan ini. Rei hanya bisa meratap dalam hati sementara Johnny masangin lampu yang baru dia beli. Lampu kamar dipasangin sama crush tuh gimana ya rasanya kayak Rei dilambungkan ke langit kesembilan.
Setelah lampu terpasang, Johnny turun dari tangga dan menekan saklar. Kamar jadi terang, dengan tone yang terkesan warm.
"The mood is nicer now." Johnny berkomentar, lalu menengok pada Rei dan tersenyum. "Selera lo bagus."
Johnny anak Mesin, bukan anak Desain Interior, tapi Rei tetap merasa tersanjung dengar pujiannya. Cowok jangkung itu tertawa, sementara Jenar malah cemberut. Jella memutar bola matanya.
"Alright, time for me to discard myself dan menikmati pisang gue."
"Pisang yang mana?" Jenar terpancing.
"Pisang enak." Jella tidak meladeni Jenar dan ngeloyor ke kamarnya.
Johnny berpindah dan mengambil tangga, niatnya mau balikin ke gudang lagi. Geraknya bertepatan dengan Rei, jadi tangan Johnny mendarat di atas tangan cewek itu.
Anjim.
Rei kira sinetron itu berlebihan, tapi ternyata sensasinya memang dahsyat, gan!
"Gue aja, Kak."
"Nggak, gue aja."
Johnny tetap ngotot, hingga Rei akhirnya mengalah. Cowok itu yang membawa tangganya ke bawah untuk dibalikin ke gudang. Rei ditinggalkan bersama Jenar, sibuk mesem-mesem dengan hati berbunga-bunga hingga suara Jenar merusak kedamaiannya.
"Silly, you better look at yourself in the mirror right now."
"Apaan sih, nggak bisa lihat orang seneng banget?!!" Rei sewot.
"Bikin lo seneng segampang itu ya?"
"Cuma kalau lo Johnny."
"Mmm..." Jenar kembali berdendang hingga suara baritonnya memenuhi kamar, terus tahu-tahu, dia merebahkan badan di atas ranjang Rei.
"HEH—APA-APAAN?!!"
Jenar malah menepuk santai ruang kosong di sampingnya. "Here, join me."
Rei bertolak pinggang. "Ini kasur gue, bukan kasur lo!!"
"Lah yang bilang kasur gue juga siapa?"
"Badan lo kotor abis dari luar!! Nanti kasur gue ikut-ikutan kotor!"
"Kalau Johnny nggak apa-apa ya?"
"Iya, nggak apa-apa."
Jenar berdecak. "Kasur cewek tuh kenapa selalu wangi sih?"
"Ini kasur cewek keberapa yang udah lo tidurin?" Rei menyindir.
"Nggak tau, lupa." Jenar berkata santai. "Lo tegang banget. Sini, tiduran dulu."
"Nggak mau."
"Yaudah, duduk, kek! Risih gue lihat orang berdiri."
Rei membuang napas, akhirnya duduk di samping Jenar yang masih berbaring. Mata Jenar tertuju pada langit-langit kamar Rei sambil sebelah tangannya bergerak bikin pola lingkaran yang terkesan random di punggung tangan Rei.
"Regina,"
"Apa?"
"Kenapa sih suka sama Johnny?"
"Hah?"
"Kenapa suka sama Johnny?"
"Emang suka harus ada alasannya?"
"Lo mau bilang lo suka sama dia tanpa alasan?"
"Iya emang kenapa?"
Rei nggak ngerti ini kenapa mereka jadi saling melempar tanya.
"Omong kosong."
"Maksudnya?"
"Suka tanpa alasan adalah alasan suka yang paling bullshit menurut gue." Jenar mendengus. "Nggak ada seseorang yang suka sama orang lain tanpa alasan. Even seorang ibu sayang sama anaknya ya karena itu anaknya. Tetap ada alasan. Gue mau tanya, di angkatan lo ada berapa orang?"
"Hah?"
"Jawab aja."
"Nggak tahu, sekitaran 85... mungkin..."
"Ada 85 orang di angkatan lo. Belom senior dan junior. Belom dari departemen lain. Dari sekian banyak orang itu, yang bisa gue bilang ribuan, perhatian lo jatuh sama satu orang. Johnny." Jenar memandang Rei masih sambil tiduran. "Dan lo mau bilang lo suka dia tanpa alasan?"
Rei tidak percaya dia berpikir Jenar ada benarnya.
"Karena dia Johnny."
"Nggak bisa diganti?"
"Lo kira perasaan itu perkara semudah beli kaos kaki?"
"Ganti."
"Kenapa sih? Apa urusannya sama lo?"
"Gue nggak suka lo suka sama Johnny."
"Je,"
"Apa?" Jenar mengubah posisi berbaringnya jadi agak menyamping, tapi jari telunjuknya masih berputar-putar tidak jelas, menggambar pola lingkaran di punggung tangan Rei. Lama-lama jadi kerasa agak geli tapi surprisingly... Rei nggak merasa keberatan.
"Tangan lo ngapain sih?"
"Refleks." Jenar menyahut sekenanya. "Tadi lo mau ngomong apa?"
"Jangan-jangan... sebenarnya lo yang gay ya? Terus lo suka sama Johnny, makanya lo nggak mau gue suka sama Johnny."
Jenar batuk-batuk, kontan beranjak dari kasur dan menatap Rei dengan tatapan yang amat dalam. Sumur saja kalah kayaknya.
"Apa lo bilang?!!"
"Nggak apa-apa, Je. Gue orangnya nggak akan menghakimi."
"GUE BUKAN GAY!!"
"Ngaku aja. Nggak apa-apa. Serius."
"Regina,"
"Gue nggak akan bilang siapa-siapa."
"...... Ck."
"And I think it's like a trend being gays nowadays tho? Yha, walau yang konservatif pasti bakal lebih—"
Rei tidak mampu meneruskan ucapannya karena tahu-tahu, Jenar menggeser badannya maju. Posisinya jadi... ambigu banget... mirip orang yang mau ciuman... ditambah lagi nggak lama kemudian, Jenar meraih salah satu tangan Rei, menempatkan telapak tangan cewek itu di dada kirinya.
INI APA MAKSUDNYA, HARUSKAH REI MENGHUBUNGI POLISI?!!
"Gue nggak akan se-deg-deg-an sekarang kalau gue gay, ngerti?"
*
Sebagai orang yang kamarnya bersebelahan dengan kamar Rei, Jella tuh berusaha pura-pura nggak dengar kelakuan dua orang yang ada di kamar sebelah. Tapi susah, njir. Laptopnya doang yang memutar drama Korea, mulutnya mengunyah pisang, tapi telinganya penuh sama kata-kata Jenar dan Rei.
"Apa-apaan sih nih dua orang?" Jella bergumam pada dirinya sendiri.
Eh, tau-tau keselek.
Cewek itu batuk-batuk, buru-buru keluar kamar untuk mengambil air es di kulkas—Jella memang sudah kebiasaan minum air dingin, jadi kurang suka minum air putih biasa. Tapi tiba-tiba, dia berpapasan sama Johnny yang baru habis dari gudang. Kebetulan, kulkas tuh ditempatin di dekat tangga dan pose minum Jella semacam berdiri di depan kulkas yang masih terbuka, lantas menenggak air dari botol berukuran besar secara langsung tanpa kena bibir. Udah kayak mamang-mamang.
Johnny speechless, sedangkan Jella bodo amat, tidak merasa tertuntut untuk jaim di depan Johnny.
"Aus, Bu?"
"Greget denger omongan anak sebelah."
"Jenar?"
"Iya, sama teman gue." Jella berdecak, disusul memiringkan wajah. "Lo nggak naksir teman gue kan?"
"Emang kenapa?"
"Nggak lah ya." Jella menjawab sendiri. "Nggak apa-apa. Stupid me. Lo temannya Jenar. Lo pasti lebih tau soal dia daripada gue yang cuma dekat ketika ospek fakultas aja."
"Tahu apa?"
"Isi hatinya."
to be continued.
***
a/n:
ini bukan cerita b x b trims
as usual, 1k votes and 500 comments for next chap.
***
***
August 27th 2020 | 19.20
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro