37 | kafe
warning: kuburan.
***
Jujur, Rei berasa macam curut yang terjebak di pojok ruangan. Nggak ada tempat kabur. Dia benar-benar doomed. Mana mukanya Dhaka tampak serius banget. Johnny lebih kurang mengintimidasi, karena dia lebih memilih meminum teh manis hangatnya sambil menggulirkan layar ponsel. Tigra diam saja, sesekali berdeham dan kentara sekali, dia menghindari menatap Rei.
Duh, Rei nggak suka banget berada dalam situasi seperti ini.
"Gue mau beliin Rossa—"
"Beli apa?"
"Rossa pengen sarapan pake soto. Gue di sini mau beliin, terus gue Go-send ke kosan."
"Kenapa mesti Go-send?"
Rei nggak paham, ada apa sama Dhaka sampai-sampai dia sebawel hari ini? Mana masih pagi. Biasanya, pagi-pagi gini tuh nyawanya Dhaka belum sepenuhnya berkumpul. Masih grumpy dan mager ketemu orang. Lah ini kok bisa-bisanya dia sudah fasih merepet?
"Soalnya... gue kan mau makan di sini..." Rei beralasan.
"Ngaco. Pasti karena semaleman, lo tidur di tempatnya Jenar."
"Dhaka—"
"Lo segitu cinta matinya sama dia?" tanya Dhaka terkesan sinis dan menusuk.
"Nggak!"
"Nggak salah lagi." Dhaka menyambung, lalu berpaling pada dua rekannya yang sama-sama kompak diam. "Lo berdua malah pada diam! Nggak tiba-tiba kecepirit di celana kan?"
"Emangnya kita kudu ngapain?" Johnny bertanya.
"Lepasin unek-unek! Mumpung orangnya ada di sini!"
"Gue kan nggak punya unek-unek..."
"Rasa yang lo pendam itu tuh unek-unek, John."
Johnny batuk-batuk, sementara Rei ternganga. Ini kenapa ya, sepertinya ada yang salah dengan udara pagi ini karena orang-orang jadi pada aneh semua. Tapi maksud Dhaka soal rasa yang Johnny pendam tuh apa? Mana yang bikin makin mencurigakan, Tigra nggak kelihatan kaget sama sekali, justru sibuk mengaduk-aduk kuah soto pakai kerupuk—yang nggak berapa lama, langsung mlonyos layaknya kebanyakan benda crispy kalau kena air.
"Oke, apa pun itu yang mau lo omongin, gue bakal dengerin. Tapi bentar dulu, gue kudu beliin Rossa soto. Setelah gue send sotonya lewat abang ojek, gue duduk dan dengerin semua khotbah lo sampai selesai. Oke?"
"Kalau sampai lo bohong, gue sumpahin lo mandul." Dhaka menukas pedas.
"Emang nggak ada niatan punya anak, sih."
"REGINA!"
"Astaga, iya, Dhaka, iya!" Rei mengiakan, kemudian buru-buru mendekati penjual soto yang sedang beraksi di depan gerobak. Dia pesan sotonya empat. Tiga untuk dikirimkan ke kosan soalnya Rossa biasanya ditemani sama Jella dan Yumna, terus satu lainnya di makan di tempat, buat dirinya sendiri. Untuk sarapannya Jenar, nanti Rei belikan ketika dia sudah mau balik ke apartemen saja, berhubung kayaknya ceramah dari Dhaka—mungkin juga dari Johnny dan Tigra—bakal berlangsung cukup lama.
Sehabis mengirimkan tiga soto via abang ojek, Rei pun duduk di ujung meja, hanya bisa pasrah ditatap oleh tiga pasang mata cowok yang duduk semeja bersamanya.
Rei berdeham gugup. "Jadi... mau ngomongin apa?"
"Siapa yang mau pertama?"
"Lo dulu aja." Johnny berujar pada Dhaka yang barusan bertanya.
"Oke." Dhaka melegakan tenggorokannya, kayak Ketua BEM mau berpidato di depan rektor dan jajaran dekan. "Gue mau protes."
"Soal apa—btw, ini boleh sambil makan nggak? Kasihan nanti mi di soto gue jadi blenyek duluan..."
"Boleh, tapi harus dengerin gue dengan serius."
"Oke. Apa?" Rei lanjut bertanya seraya menggulung mi di sotonya ke garpu.
"Gue tau lo udah pacaran sama Jenar—dan nggak, ngapain lo mau ngomong?! Mau menyangkal?! Nggak usah! Nggak guna! Jelas semua orang tau!"
"Temen-temen terdekat doang yang tau." Rei mengoreksi, meski dia masih merasa, kata pacaran bukan kata yang cocok untuk menggambarkan mereka berdua. Dia dan Jenar memang dekat... tapi pacaran... rasanya istilah yang terlalu asing Rei dengar. Bukan berarti dia bohong soal perasaannya ke Jenar. Dia peduli pada cowok itu. Sama seperti yang Jenar inginkan untuknya, nggak tau sejak kapan, Rei juga menginginkan yang baik-baik untuk Jenar.
"Jenar tuh bukan pusat dunia lo, Regina. Lo punya teman-teman lo yang lain. Ada gue. Ada Tigra. Anak-anak Sadewo. Jangan kayak Harsya yang begitu jadian sama Jackson, langsung lupa sama kita-kita. Kalau lo putus, emangnya yang ngelapin air mata sama mampus-mampus-in lo siapa? Kita-kita juga."
"Tunggu, Dhaka, ini pesan moral dari keluhan lo apa sebenarnya?"
"Jangan keseringan sama Jenar melulu, Nyet."
"Dhaka ngerasa ditinggalkan." Johnny menyela, sengaja memperjelas dengan mengucapkan kata-kata yang nggak mau Rei akui. "Katanya, lo jadi jarang main ke kosan. Lo jadi lambat kalau balas chat. Lo lebih sering ke perpus atau belajar sama Jenar. Sebagai teman lo dari lama, Dhaka merasa tersisih. Katanya juga, lo cuma dateng ke dia waktu lagi berantem sama Jenar, atau ketika lo punya sesuatu yang nggak bisa lo ceritain ke Jenar. Even habis Jenar jemput lo dari kosannya sambil marah-marah waktu itu, lo nggak ngabarin Dhaka sama sekali, ketika dia khawatir banget sama lo." Nih Rei penasaran, Johnny dibayar berapa buat jadi juru bicaranya Dhaka.
Rei mengerjap. "Gue... begitu?"
"See? Cinta emang buta. Lo aja sampai nggak sadar." Dhaka membalas sinis.
Rei menelan saliva. "Oke. Gue ngerti. Dhaka, gue minta maaf. Gue bakal berusaha buat... adil—maksud gue, of course, lo teman gue. Sahabat gue dari lama. Sori, kalau gue bikin lo ngerasa tersisih."
"Sama ada saran lagi dari gue,"
"Apa?"
"Jangan keseringan zina."
Rei batuk-batuk hebat, keselek kuah soto sampai hidungnya terasa perih. Dengan penuh pengertian, Johnny memberikan kotak tisu di dekat sikunya pada Rei. Wajah cewek itu memerah, terutama di hidungnya.
"Dhaka," Tigra melotot pada Dhaka yang langsung meringis.
"Sori, tapi saran gue masih tetap sama."
"Gue nggak keseringan zina!"
"Semalem ngapain aja?" Dhaka menantang.
"Hng... abis ke acara keluarganya Jenar, dia bikinin gue soju pake Yakult. Terus karena enak, gue minum sampe tepar—"
"Terus pas tepar, lo diapa-apain sama dia." Dhaka masih saja salty.
"Nggak sih kayaknya."
"Yakin?"
"Soalnya, pas bangun, baju gue masih rapi dan di leher gue nggak ada bekas apa-apa." Sahutan Rei membuat ketiga cowok yang semeja dengannya kontan saling memandang, tapi Rei nggak menyadari itu, masih saja melanjutkan kata-katanya. "Jenar tuh rada barbar. Terus suka ninggalin tanda di mana-mana, jadi—"
"Regina." Tigra memotong. "That's too much information."
Rei tersadar, wajahnya merona seketika. "Hng... sori..."
Nggak pernah sekalipun terlintas dalam pikiran Rei kalau akan ada saatnya dia canggung ketika bicara dengan Tigra. Bahkan di pagi hari setelah mereka tidur bareng waktu itu—sesuatu yang nggak bisa dibilang pengalaman yang menyenangkan buat Rei—mereka nggak awkward sama sekali. Namun sekarang, Tigra seperti sangat hati-hati sewaktu bicara padanya.
Jadi kelihatan kayak bukan Tigra.
"Oke..." Rei merasa perlu melegakan tenggorokannya lagi. "Terus... apa lagi... yang mau diomongin?"
"Abisin aja dulu tuh soto lo."
"Gue... mau diapain?"
"Abisin aja dulu." Dhaka berkata.
"Tas gue masih di tempat Jenar. Kalau gue lama nggak balik, dia bakal nyariin gue dan—"
"Abisin dulu soto lo. Lagian kenapa sih respon lo gitu banget? Nggak, kita semua belum gila dan nggak ada rencana masukkin lo ke karung terus ngelemparin lo ke Laut Jawa. Abisin aja dulu makanan lo, takutnya lo keselek kayak tadi."
Rei menghabiskan sotonya dengan resah. Hari mulai menjelang siang dan pengunjung warung soto mulai berkurang. Memang, biasanya tempat makan sekitar kampus tuh ramainya di jam-jam makan, kayak jam sarapan, jam makan siang atau jam makan malam. Ini weekend sih, makanya lagi pada libur, namun pada umumnya, mahasiswa yang nggak bisa bangun pagi lebih suka sarapannya digabungin sekalian sama makan siang.
"Udah abis."
"Kerupuknya masih."
"Seriously, Dhaka?" setelan komdis Dhaka kayaknya benar-benar dikeluarkan secara paripurna pagi ini.
"Kalau nggak diabisin, nanti kerupuknya nangis."
"Lucu lo." Rei menggerutu, namun tetap melahap sisa kerupuk di mangkuknya. "Udah. Terus?"
"Silakan, John." Tigra mempersilakkan.
"KOK GUE?!" Johnny tercekat.
"Tadi kan lo ikutan ghibahin Rei juga sama kita. Lo juga mesti ikutan lah!"
Johnny menghela napas, memandang sambil deg-deg-an pada Rei yang kini melipat tangan di dada. Mukanya sarat rasa ingin tau. Soalnya gara-gara ucapan Dhaka barusan, Johnny kelihatan flustred. Hilang semua kesan berwibawa yang biasanya dia tunjukkan di depan Rei. Aura-aura mantan kahimnya langsung lenyap entah kemana.
"Sori, Rei, tapi gue nggak ngomongin yang jelek-jelek kok."
"... iya, Kak?"
"Cuma ikut nimpalin sesekali aja."
"Iya, Kak. Nggak apa-apa kok."
"Sebenarnya, dia demen sama lo." Dhaka membalas dendam, mewakili Johnny mengatakan apa yang cowok itu hindari untuk katakan.
"DHAKA—"
"Gantian. Sekarang kita impas."
"WHAT?!" Rei nggak bisa menahan keterkejutannya.
"That's true." Johnny akhirnya menyerah. "Gue sempat suka sama lo."
"Sekarang juga masih." Tigra menambahkan.
"What—but how..."
"I guess, I just do." Johnny menjawab dengan ketenangan yang mulai kembali. "First, of course I think you're cute. Lo lucu. Dan lo dekat sama Dhaka dan Tigra. Gue rasa, lo pasti sangat baik, makanya mereka bisa cocok temenan sama lo to the point kalian lengket banget dan tau aib satu sama lain. But that's it. Ada suka yang gue inginkan hanya jadi sebatas rasa. Itu yang gue punya buat lo. Apa gue jadi kesal sama Jenar kayak gimana Dhaka kesal sama Jenar? Nggak juga. Do I get jealous? Sometimes yes. Tapi apa gue berniat merebut lo dari Jenar kayak di sinetron-sinetron? Totally no. He's better for you."
"Menurut Kak Johnny... gitu?"
"Lo teman ngobrol yang enak, tapi kalau orang kayak lo bareng sama orang kayak gue, mungkin nggak sampai tiga bulan, kita udah pisah. Karena gue bukan orang yang cocok untuk lo."
"..."
"Tapi gue mau nanya deh, Rei."
"... nanya apa, Kak?"
"Tentang lo naksir sama gue... itu beneran apa cuma ocehannya Jenar doang?"
"... beneran kok."
"Oh... oke..."
"Tapi sama kayak gimana kata-kata lo tadi, gue pun tau ada rasa suka yang lebih bagus tetap jadi sebatas rasa aja. Disimpan, nggak perlu diwujudkan di dunia nyata. I can see, the feeling is mutual. We share the same thought."
"Makasih, Rei."
"Makasih buat apa?"
"Nggak tau kenapa, sekarang jadi lebih lega aja."
Rei menarik senyum sebelum beralih ke Dhaka. "Udah belom?"
"Kalau udah?"
"Mau cebok." Rei bergurau.
"BELOM." Dhaka mendengus. "Sekarang giliran Tigra."
"Dhaka, apaan sih—"
"Mumpung orangnya lagi ada di sini. Mau sampai kapan lo berdua saling menghindar? Lihatnya aja udah capek. Man up and be like Johnny, dong. Tuh lihat, dia aja bisa berani ngaku di depan Rei."
"Man up cocot lo man up!" Tigra sewot.
"Kalau lo mau ngomong..." Rei menyela, membuat Tigra terdiam seketika. "Gue bakal ngedengerin kok, Gra."
Tigra menghela napas panjang. "Harus banget di sini? Rame banget."
"Kalau lo mau tempat yang lebih sepi, di ujung jalan sini ada kuburan."
"Candaan lo nggak lucu." Tigra membalas ucapan Dhaka.
"YEU, SIAPA YANG BERCANDA?!"
Nggak sampai setengah jam kemudian, Rei sama Tigra sudah ditinggalkan berdua saja di depan kuburan.
Ternyata betulan, memang di ujung jalan yang nggak seberapa jauh dari warung soto tempat mereka makan, ada taman pemakaman. Letaknya di pojok, mepet gang buntu, jadi jarang dilalui orang. Sehabis menarik Rei sama Tigra kesana, Johnny sama Dhaka balik ke warung soto, meninggalkan mereka berdua saja.
Mereka saling berdiri berhadapan dengan disaksikan banyak batu nisan kelabu—beberapa ada yang dihiasi lumut, sudah mengusam sebab dimakan oleh cuaca.
"Tempat nggak rame yang gue maksud sebenarnya bukan tempat yang kayak ginian..." Tigra jadi yang pertama memecah keheningan.
"It's okay. Gue nggak takut kok. Tapi kalau lo takut—"
"Gue nggak takut." Tigra memotong cepat, memandang Rei sejenak, lalu pelan-pelan berujar. "Regina, I am so sorry."
"Lo nggak punya salah apa-apa."
"Apa pun itu, yang terjadi kemarin-kemarin, gue mau minta maaf." Tigra menelan saliva, membuat jakunnya bergerak. "Gue nggak seharusnya begitu. Sori. Tapi kata-kata gue... semuanya jujur. Gue nggak akan menarik kata-kata gue tentang gue yang sayang sama lo."
"... Tigra,"
"Gue sayang sama lo. Mau itu dulu, saat kita masih sama-sama, bahkan sampai sekarang. Waktu lo ngajak putus, gue sudah beli cincin itu, yang kemarin lo temuin di laci gue. Gue mau ngasih itu ke lo. Kalau semuanya terserah gue, gue nggak pernah mau kita udahan. Tapi gue nggak bisa egois. Gue paham, lo bukan orang yang suka dipaksa. Gue mencoba ngasih lo ruang, namun lo nggak pernah berubah pikiran." Tigra terdiam, memandang Rei sejenak. "Saat itu, gue pikir nggak apa-apa. Selama gue masih tetap bisa ada di dekat lo. Toh mau temenan atau pacaran, kedekatan kita nggak pernah berubah. Lalu tau-tau, lo mulai sering direcokkin dia. Gue ngerti, lo jelas terganggu. I thought it was all fun, ngelihat lo ngomel-ngomel, marah-marah gara-gara Jenar, sangat bukan lo banget yang biasa cuek, until you started to like him, more than you do to me."
"Gue nggak bermaksud—"
"Emang lo nggak pernah ada tujuan untuk suka sama dia. Gue paham, kok. Tapi pada akhirnya, itu yang lo lakukan, kan?"
"..."
"Dhaka selalu bilang, Jenar itu nggak baik buat lo. Tapi gue nggak sependapat. Menurut gue, lo lebih berbahaya buat Jenar daripada gimana dia berbahaya buat lo. Lo lebih bisa menghancurkan perasaan dia daripada dia yang menghancurkan perasaan lo. Seenggaknya, itu yang gue pelajari dari pengalaman gue."
"Tigra, gue minta maaf."
"Nggak perlu. Kalaupun gue bisa mengulang segalanya dari awal, gue nggak akan pernah buang kesempatan untuk bisa kenal sama lo, Rei. Sekalipun akhirnya akan tetap sama, meski gue berharap, sangat berharap, kalau orang itu pada akhirnya gue. Tapi kayaknya nggak, sih."
"... sorry." Rei benar-benar merasa jahat.
"Lo boleh nggak jawab ini kalau nggak mau, namun... apa itu benar? Tentang yang dibilang Dhaka. Lo sayang sama Jenar?"
"Akan bohong kalau gue bilang nggak."
"Good for him. At least, hati dan perasaannya aman. Good for you, that you finally with someone who can make you happy."
Rei ingin minta maaf lagi, tetapi sepertinya, Tigra nggak butuh mendengar itu.
"Nggak perlu minta maaf. Namanya hati, kita nggak pernah tau dia akan berhenti pada siapa, kan? Cuma... sebagai teman lo, gue mau minta satu hal."
"... apa?"
"Cincin yang kemarin lo temukan." Tigra berkata. "Boleh simpan itu untuk gue?"
"Oke."
"Thankyou."
"That's it?"
"Maksudnya?"
"Mana cincinnya?"
"Di kosan, njir. Gue kan nggak berencana ketemu sama lo pagi ini!" Tigra akhirnya tertawa. "Life is not well-planned like a movie, you know. That's what makes it real."
"Sekarang gantian, sebagai teman lo, gue mau minta satu hal."
"Hm?"
"Boleh gue peluk lo sekarang?"
Tigra merentangkan tangan. "Come here."
Rei menarik senyum sebelum dia mendekat dan membiarkan Tigra merengkuhnya. Pelukan Tigra hangat, tapi sampai kapan pun, Rei rasa dia nggak akan pernah bisa memandang Tigra dengan cara serupa seperti bagaimana dia memandang Jenar.
Tigra memberinya kebebasan penuh, memberinya ruang. Namun ruang itu terlalu luas dan kebebasan justru membuat Rei yang tengah merasa tersesat justru kian kehilangan arah. Jarak itu perlu, tetapi jarak yang terlampau jauh akan memicu salah satu pihak terbiasa dengan kesendirian, tanpa pihak yang lainnya.
"Oh ya, satu pertanyaan lagi."
"Hm?"
"Kenapa lo nggak pernah bilang kalau lo dekat sama Johnny?"
"Ogah, nanti lo minta tolong dikenalin sama dia."
"Ck. Terus kalau lo sedekat itu sama Johnny, kenapa lo nyebarin gosip kalau dia gay?!"
"Gue nggak nyebarin! Gue cuma bercanda aja sama Dhaka, terus kalau ada orang lain yang denger dan anggep itu serius, emangnya salah gue?!"
"Hadeh, makanya tuh mulut dikondisikan dong!"
*
Di luar terkaan Jenar, ternyata Ivonne setuju untuk bertemu dengannya.
Yah, hubungan diantara mereka tidak bisa dibilang buruk sih, sebetulnya. Kakak sepupunya itu beberapa tahun lebih tua dari Jenar, cenderung jadi anggota keluarga yang tertutup kepada anggota keluarga lain, namun masih bisa mengobrol dengan baik dengan Jenar. Bisa jadi, karena Jenar bukan orang yang judgemental atau suka ngomongin yang aneh-aneh tentang Ivonne di belakang. Jenar juga nggak menjauhinya seperti wabah penyakit, walau sudah mendengar kalau Ivonne telah bertahun-tahun pacaran sama lelaki yang jauh lebih tua—yang lebih parahnya lagi, konon katanya sudah berkeluarga. Tambahan lainnya, keluarga Ivonne punya hutang budi sama Jenar karena sesuatu yang terjadi di masa lalu.
Mereka ketemuan di sebuah restoran yang berada agak jauh dari kampus—sengaja, Jenar meminimalisir kemungkinan dia ketemu Rei tanpa sengaja. Walau sepertinya nggak mungkin. Selepas hari di mana acara keluarga Jenar diadakan, Rei nggak pernah menyinggung soal itu. Dia kembali fokus menghadiri kelas, mengerjakan tugasnya dan bertandang ke tempat Jenar untuk bikin-bikin camilan ketika Jenar sibuk mengurus proposalnya.
Ivonne datang duluan, langsung menyapa ketika Jenar tiba dan menarik kursi untuk duduk di hadapannya.
"Lo terkesan serius banget, which is very unlikely you. Kenapa?"
"Gue bikin cepet aja deh nih ya?"
Ivonne mengangguk. "Go ahead."
"Kemarin itu, yang datang sama lo ke acara keluarga... dia beneran pacar lo?"
Ekspresi wajah Ivonne berubah sedikit. "Iya."
"Udah berapa lama pacarannya?"
"Jenar—"
"Kalau lo nggak mau jawab juga nggak apa-apa sih, Kak. Gue nggak akan maksa."
Ivonne menghela napas panjang. "Cukup lama. Dari awal-awal gue kuliah."
"Kenapa harus dia?"
"Kenapa nggak mesti dia?"
"Ada banyak alasannya."
"Kita semua punya cara yang beda-beda untuk bahagia, Jenar."
"Bisa gue mengerti." Jenar menganggukkan kepalanya. "Sayangnya, cara lo untuk bahagia nyakitin orang lain."
"..."
"Dia punya keluarga, kan?"
"..."
Jenar menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Serius deh, Kak. Kurangnya lo apa? Lo cantik. Lo berpendidikan. Keluarga lo baik-baik aja. Finansial lo oke. Lo bisa dapetin lelaki manapun yang lebih baik dan terutama, yang masih lajang. Bukan laki-laki yang lebih pantas jadi bapak lo dan udah berkeluarga pula."
"Gue nggak butuh yang lebih baik. Gue mau dia." Ivonne berdecak. "Lagipula, kenapa juga lo peduli soal ini? Lo adalah orang paling nggak pedulian di keluarga kita. Orang yang gue tau nggak akan menghakimi gue. Kenapa tiba-tiba sekarang lo jadi gini?"
"Ada banyak alasannya."
"Kasih gue seenggaknya satu alasan , yang nggak bikin lo kedengeran seperti polisi moral yang judgemental terhadap cara hidup orang lain."
"Gue punya lebih dari satu." Jenar menukas cepat. "Pertama, laki-laki yang lo ajak kemarin ke acara keluarga kita itu udah berkeluarga. Dia punya satu anak perempuan. Tebak siapa anak perempuannya? Pacar gue."
Ivonne ternganga. "How come—"
"Kedua, gimana bisa gue nggak peduli dengan cara lo bahagia ketika cara lo bahagia itu nyakitin orang yang gue sayang?"
Ivonne membuka mulutnya, seperti sudah siap untuk berargumen, tetapi mulutnya tertutup lagi dan kata-katanya tertelan bersama tegukan ludah.
"Namanya Regina."
"Gue nggak butuh tau namanya."
"Nyokapnya nggak mau pisah sama bokapnya dan sebagai gantinya, bokapnya justru ngelampiasin kekesalannya ke Regina. Bertahun-tahun, dia jadi samsak tinju diantara kedua orang tuanya karena mereka nggak cukup berani untuk ribut berdua aja tanpa ngelibatin anak mereka. He stopped supporting her financially. Lalu apa? Dia mesti mendukung dirinya sendiri. She hurt herself, got sick, all while doing that. Can you imagine how much it's killing me?"
"Gue nggak butuh dengar itu..." suara Ivonne terdengar bergetar.
"Karena itu bikin lo ngerasa bersalah?" Jenar menantang. "Gue nggak punya masalah dengan cara lo bahagia, se-kontroversial apa pun itu, selama lo nggak nyakitin orang lain. Tapi apa yang lo lakukan nggak begitu."
"Terus lo expect apa dari gue?!"
"It takes two to tango. Kalau lo berhenti, semua kegilaan ini juga bakal berhenti."
"Gue nggak bisa."
"Kalau lo masih menghargai gue dan apa yang pernah gue lakukan buat Ivory, harusnya lo bisa mengusahakannya."
"Jenar—"
"I saved your little sister from Johnny. Now it's time for you to pay me back."
"Gue bisa lakuin apa pun untuk lo, tapi nggak dengan ini—"
"Ini, adalah satu-satunya yang akan gue minta dari lo."
Setelah mengatakan itu, Jenar beranjak dari duduk dan bergerak menuju pintu tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
*
Beberapa hari setelah persidangan di warung soto, keadaan betul-betul membaik. Tadinya, Rei sudah pusing setengah mati memikirkan gimana dia bisa meneruskan kehidupan dengan baik tanpa dukungan finansial hingga kakak laki-laki ibunya yang tinggal di luar pulau mendengar soal apa yang terjadi dan berinisiatif mengambil alih tanggung jawab yang nggak ayah Rei penuhi. Rei sempat menolak, namun om-nya memaksa dan dipikir lagi, sepertinya masih lebih masuk akal menerima bantuan dari keluarganya sendiri daripada dari Jenar.
Tambahan lainnya, untuk memenuhi aspirasi Dhaka yang merasa 'ditinggalkan' dan 'dicuekin' karena Rei makin dekat dengan Jenar, Rei mempersilakkan cowok itu untuk belajar di kafe tempatnya biasa part-time.
"Kalau monyet lo ngamuk gimana?"
"Gue amuk balik."
"Bener ya?" Dhaka merasa perlu memastikan.
"Bener!"
Makanya, hari ini Dhaka nongkrong di kafe bersama laptopnya. Dia duduk di salah satu meja yang ditempatkan cukup dekat dengan counter tempat orang-orang biasa memesan, jadi waktu lagi nggak meladeni pengunjung, dia bisa ngobrol sama Rei yang berdiri di belakang counter.
"Katanya mau nugas, malah ngobrol melulu."
"Nugasnya sih alasan aja."
"Idih."
"Kan gue kangen ama lo." Dhaka membalas santai.
"Lo kenapa sih?! Aneh banget nggak kayak biasanya!" Rei berujar sambil menunjuk lengannya, pada bulu-bulu halus yang kini berdiri. "Gue sampe merinding..."
"Biarin." Dhaka menjulurkan lidah. "Tapi btw, tumben amat monyet lo belom nongol di mari."
"Katanya mau bimbingan dulu sama pembimbingnya, baru kesini."
"Wah, ngamuk nggak ntar tuh orang?"
"Harusnya nggak. Konyol banget, masa jealous sama lo."
"EMANGNYA KENAPA KALO JEALOUS SAMA GUE?!" Dhaka rada nggak terima.
"Sekalipun gue mau nikah sama lo, kagak bisa kecuali gue ganti nama dari Regina jadi Aisyah."
Dhaka meringis. Duh, kenapa dia harus diingatkan pada tembok tinggi itu lagi sih?
"Bener apa bener?"
"Bener sih."
Rei balik nyengir sementara Dhaka balik mengetikkan sesuatu di laptopnya, hingga dia melihat seseorang terpaku sejenak di pintu kafe sebelum berjalan mendekat. Punggung Rei langsung menegak tegang seketika. Dia menelan ludah, menghela napas dan berusaha professional.
"Selamat datang. Bisa saya bantu untuk pesanannya—"
"We have to talk." Lelaki setengah baya itu menjawab, nada suaranya kaku tapi terkesan nggak bisa dibantah.
"I am working right now." Rei berujar dengan suara rendah, enggan mengundang keributan.
Sudah berbulan-bulan Rei nggak bertemu lelaki itu, sampai kemarin mereka saling bertatapan dari kejauhan di acara keluarganya Jenar. Mendapati lelaki itu ada di depanya seperti sekarang, rasanya tenggorokan Rei seperti dijejali oleh segenggam batu.
"I don't care. I need to talk to you."
"Saya nggak mau."
"Then, let me ask you something." Lelaki itu membalas. "Kemarin itu, kenapa kamu ada di sana?"
Rei berupaya tetap memasang ekspresi wajah normal, walau matanya telah memanas dan lututnya mulai gemetar.
Dia menggigit bibirnya sebelum menjawab. "I was with my boyfriend."
"Kamu nggak ada bedanya sama Mama kamu. Selalu menggunakan orang lain, berlindung di balik orang lain."
"Saya nggak ngerti—"
Dhaka mengalihkan tatapan dari laptopnya, menoleh pada Rei dan senyumnya lenyap seketika. Dia buru-buru bangun dari kursi ketika dia mengenali siapa lelaki setengah baya berwajah blasteran yang berdiri di depan Rei sekarang. Itu ayahnya Rei.
"Kamu nyuruh pacar kamu itu bilang apa ke Ivonne?"
"Ivonne—who—ah, so it's her name."
"And what you're gonna do, now? Crying? Again, sama seperti Mama kamu, kamu juga suka playing victim."
"Sorry, sir, but I think your presence is unwanted here." Dhaka kontan menempatkan dirinya diantara Rei dan ayahnya, membuat perhatian sejumlah pengunjung tertuju pada mereka.
"See? Selalu menggunakan orang lain. Aren't you tired of using people to protect you, to gain something from them?"
"Dhaka, nggak usah—" Rei menyentuh bahu Dhaka yang sekarang berdiri memunggunginya. Tinggi badan cowok itu cukup mampu membuatnya agak tersembunyi. Dhaka bergeming, sampai Rei bicara lagi. "—please? Gue mau ngomong sama dia."
Ketidak relaan jelas terbersit di wajah Dhaka ketika dia bergeser.
Rei benci menangis, apalagi menangis di depan seseorang yang telah jadi alasan kenapa dia membenci dirinya selama bertahun-tahun. Rei tau, selayaknya musim, hati manusia bisa berubah. Namun dia nggak pernah menyangka ada orang yang bisa berubah drastis dalam waktu yang demikian singkat. Suatu hari, ayahnya pulang dan memutuskan bahwa beliau tak lagi mencintai istrinya. Mereka nggak cukup bernyali untuk saling menghadapi satu sama lain, menjadikan Rei sebagai pelampiasan. Ibunya akan mengungkapkan rasa frustrasi dan keluhannya pada Rei. Ayahnya menumpahkan kekesalan dan kemarahan yang nggak tersampaikan, juga padaRei.
Selama bertahun-tahun, Rei selalu bertanya kenapa hingga dia menarik kesimpulannya sendiri; dia penuh dengan kesalahan, dan kesalahan-kesalahan itu menjadi alasan kenapa ayahnya berhenti menyayanginya.
Tapi dalam situasi semacam ini, perih yang menjalar terlampau menyengat, hingga air mata pun jatuh tanpa mesti disadari.
"Saya nggak nyuruh dia bilang apa-apa. Kalau dia bilang sesuatu ke Ivonne—atau siapalah dia—itu bukan karena saya yang minta..."
"And you think I am gonna believe you?"
"Terserah, mau percaya atau nggak." Rei mengerjapkan matanya, menyingkirkan genangan air yang membuat tatapannya jadi blur. "Tapi bagusnya, karena—" suara Rei tercekat karena kebingungan yang menyerangnya, sebab memanggil lelaki 'Papa' sekarang akan terdengar sebuah kesalahan. "—bagusnya, sekarang saya bisa ngomong apa yang mau saya omongin. Selama bertahun-tahun ini, saya nggak pernah minta apa pun. Nggak pernah bertanya kenapa saya pantas menerima kemarahan-kemarahan dan makian-makian itu, ketika saya nggak ngerasa saya melakukan kesalahan. Namun sekarang, kalau bisa minta, dari semua orang, bisa nggak jangan perempuan itu?"
Senyap, dan perhatian semua pengunjung kafe telah tertuju pada mereka.
"I lost my father. It should be enough. I can't lose him too."
Lelaki itu menatapnya sejenak, tanpa simpati, hanya ada percik emosi yang terkesan dingin. Lantas dia berbalik, namun tak bisa langsung meneruskan langkah sebab Jenar telah berdiri tidak jauh dari pintu depan kafe, beberapa meter di depannya.
Dia memandang pada Rei yang sekarang berurai air mata, lalu pada lelaki setengah baya yang bermaksud berjalan menuju pintu depan.
Kemarahan menghinggapinya dan tanpa pikir panjang, Jenar melangkah cepat menghampiri ayahnya Rei untuk mendaratkan kepalan tinjunya di rahang lelaki setengah baya itu.
to be continued.
***
a/n:
apakah ini akan menjadi road to be a sad boy?
WKWKWKWKWKWKWKWK
btw, ceritanya rossa-jaka-wirya ntar ya, mereka akan jadi semacam extra sendiri di work ini. sekalian penceritaan dikit soal milan dan jella sama yumna-yuta.
soalnye dari awal kan fokus cerita ini tentu saja adalah yang punya rawa.
bokapnya rei tuh kaya apa yah kaya cowo blasteran yang udah berumur macem ari wibowo gitu kali yak.
wkwkwkwkwkwkwk.
dah ah.
sekian dan terimakasih luv.
ciao.
(BANYAK JUGA YANG KETIK TENGNONG YAH)
woojae, semoga kamu kuat melihat ending cerita ini.
***
February 7th 2021 | 16.55
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro