Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36 | soju yakult

warning: biasalah



***

Rei masih belum menjawabnya, tapi dari gestur badannya, gadis itu jelas tengah merasa tegang.

Jenar meraih salah satu tangannya, menggenggamnya, membuat Rei refleks menoleh padanya. "Regina, what's wrong?"

Rei mengerjap beberapa kali, menghela udara setelah seperempat menit tanpa bernapas yang terasa begitu panjang.

"Je—"

"Lo keliatan shock banget. Kenapa?"

"Gue—" Rei menarik napas sekali lagi dan anehnya, kini dia justru merasa hampir menangis. ".. gue—"

"It's okay. It's okay." Jenar menggeser sedikit duduknya, membiarkan Rei duduk di sebelahnya. "Nggak usah ngomong dulu. Tarik napas, oke? Pelan-pelan."

Rei menggeleng, meneruskan dengan suara pelan yang nyaris nggak terdengar. "Tadi itu... tadi itu... gue lihat seseorang."

"Di sini?"

"Iya."

"Siapa?"

Rei menggigit bibir, sedangkan Jenar tetap diam, nggak berusaha mendesak Rei supaya cepat-cepat bicara. Dia mengulurkan tangannya, menyentuh salah satu pipi Rei dengan telapak tangannya. "It's okay. Nggak apa-apa. Ada gue."

"Bukan gitu..."

"Terus apa, hm?"

"Tadi gue lihat... bokap gue."

Jenar mengerjap. "... really?"

Rei mengangguk.

"Tapi ngapain bokap lo di sini?"

Rei meneguk saliva. "Gue juga nggak tau."

"It's okay. Dia nggak bisa ngapa-ngapain di sini. Ada gue. Oke?"

Rei ingin bilang jika Jenar salah kira. Dia nggak takut pada ayahnya. Dia bisa membela dirinya sendiri. Satu-satunya alasan kenapa Rei menghindari konfrontasi dengan pria itu adalah karena Rei terlalu malas adu mulut, lalu ribut. Ayahnya nggak akan mendengarkannya, dan energinya hanya akan terbuang sia-sia.

Keterkejutannya jelas, namun kini, seluruh kekagetan itu perlahan-lahan bergeser, tergantikan oleh sebuah rasa takut. Beragam pikiran buruk menjejali kepala Rei. Benar apa yang ditanyakan Jenar tadi. Ngapain juga ayahnya ada di sini? Ini acara keluarganya Jenar, bukan pertemuan bisnis atau acara apa pun itu yang mengundang teman-teman dan sahabat orang tuanya Jenar. Alasan paling masuk akal kenapa ayahnya berada di sini... bisa jadi...

"Gue udah nyariin lo kemana-mana dari tadi, eh ngumpet di sini!"

Seruan seorang gadis muda membuat pikiran Rei buyar. Perhatiannya, juga perhatian Jenar otomatis tersita oleh kemunculan sebuah sosok yang ternyata Hyena, kakak perempuannya Jenar. Rei ingat, sewaktu ketemu Hyena pertama kali di tempatnya Jenar sehari setelah ulang tahun cowok itu, Hyena kelihatan chic dan sangat cantik. Hari ini, dia kelihatan lebih kalem, dengan terusan batik yang terkesan lebih "sopan".

"Tumben pake baju halal." Jenar berkomentar.

"Mama ngamuk kalau belahan toket gue diumbar kemana-mana." Hyena membalas, beralih pada Rei dan tersenyum. "Regina! Mama udah bilang kalau dia minta Jenar ajak kamu, tapi aku nggak expect kamu bakal datang beneran!"

Rei menarik senyum yang masih terkesan kaku. Dia sengaja berdiri supaya terlihat sopan, tetapi di luar dugaan, Hyena kian mendekat dan tahu-tahu menariknya dalam pelukan. Dekapannya sangat erat, membuat wangi parfumnya yang semula samar jadi menguat. Rei agak salah tingkah, hingga Jenar menariknya paksa sampai terlepas dari rengkuhan Hyena.

"Apaan lo pelak-peluk dadakan?!"

"Loh, apa salahnya peluk calon adik ipar?"

"Don't listen to her." Jenar berujar pada Rei. "Emang anaknya rese dari lahir."

"Sotoy, waktu gue baru lahir, lo bahkan belom direncanakan! Nggak usah songong!" Hyena mendelik, lalu matanya menyipit. "Tapi ini sengaja apa sengaja deh?"

"Apanya?"

"Baju lo sama Regina. Warnanya matching."

"Masih nanya? Dia kan gandengan gue. Wajar matching! Tapi kenapa juga nanya-nanya? Sirik ya? Makanya, cari gandengan!"

"Bentar deh, sini..."

"Apaan?"

"Regina, kamu mundur dulu. Nah biar si begundal ini yang maju, nggak usah banyak bantah, maju, nah kurang deket—oke—" Begitu Jenar berada cukup dekat di depannya, Hyena menyentil dahi Jenar keras hingga terdengar bunyi jari beradu dengan jidat. "—rasain!"

"KAK, AH, SAKIT!!!"

"Lagian, cocot lo nggak dikondisikan banget, padahal lagi ngomong sama kakak lo!"

"Sama gue aja pakai gue-lo." Jenar bersungut-sungut, mengelus dahinya yang merah. "Sama Rei aja, pakenya aku-kamu."

"Soalnya Regina berbudi dan sopan, nggak kayak kamu."

"Nggak juga, kadang dia suka rada berisik. Apalagi ketika—" Jenar melirik pada Rei, tetapi ekspresi jahil bercampur tengil yang semula terlintas di wajahnya langsung terganti oleh rasa penasaran bercampur tanya tatkala dia sadar bagaimana kini Rei menatap pada seseorang yang berada di sisi lain hall. Jenar mengikuti arah pandangnya, mendapati seorang laki-laki setengah baya yang sedang berdiri bersebelahan dengan salah satu kakak sepupunya. "—Regina?"

Agak gelagapan, Rei menjawab. "Hng... iya?"

Hyena ikut mengekor tatapan Rei, lantas membuang napas pelan. "Sori ya, Regina."

Rei mengerjap. "... sori buat apa, Kak?"

"That you have to see that." Hyena membuang napas. "Pretty sure, Mama udah bilang ke Ivonne untuk nggak main-main di acara ini. Tapi dia nggak mau dengerin."

Jenar menatap sekilas pada Rei, mulai mampu mengumpulkan kepingan puzzle dan membaca situasi. Dia lalu bertanya hati-hati, sambil menarik Rei lebih dekat padanya, merangkul bahu cewek itu dan sesekali mengusap punggungnya. "Emang yang sama Ivonne itu siapa?"

"Jangan kaget dan jangan ngelihat ke dia."

"Iya. Nggak. Siapa?"

"Pacarnya Ivonne."

Rei merasakan rangkulan Jenar di bahunya mengerat—yang terus terang saja, sangat dia apresiasi. Kehadiran Jenar bikin perasaannya nggak langsung pecah berkeping-keping. "Seriously, sis? But he is far too old for her."

"Semua orang waras yang punya mata jelas tau itu."

"Terus ngapain Ivonne bawa so called pacarnya itu kesini?"

"Buat memberontak, mungkin."

"What?" Jenar benar-benar nggak habis pikir.

"Dia sama pacarnya mau nikah. Jelas, nggak ada satupun di keluarga kita yang setuju. Well, nggak tau sih soal orang tuanya. Tapi kalau mereka ngurus anak-anaknya dengan benar, nggak akan anak-anaknya pada salah jalan banget kayak sekarang. Setelah apa yang terjadi ke Ivory, harusnya mereka bisa take notes." Hyena mengembuskan napas. "Dari semua laki-laki di muka Bumi ini, kenapa harus naksir sama suami orang sih?"

"... you know about... um... that man?"

"Nggak. Gue nggak kenal. Tapi logika aja, jarang banget ada laki seumuran gitu yang belum punya keluarga. Dia cukup tua buat jadi bokap gue, atau bokap lo. Dan sekarang, dengan nggak tahu malunya, dia datang kesini bareng laki-laki itu—is she out of her mind or something? Nggak sekalian aja bawa toa dan umumin kapan mereka mau nikah. Bisa-bisa Mama kalap dan guyur mereka berdua pakai es buah." Hyena mengedikkan bahu, berbalik ketika terdengar suara keributan yang dipicu oleh kata-kata penuh kemarahan dan sarat kesinisan dari mamanya Jenar. "Oh shit, gotta get there before Mom truly loses her shit. Kalian di sini aja." Hyena berkata pada Jenar dan Rei, kemudian dia melangkah melintasi hall untuk menghampiri ibunya.

"Itu—"

Jenar memotong ucapan Rei dengan anggukan. "Gue tau, Regina. Gue tau. No need to say anything."

Rei menelan saliva untuk yang kesekian kalinya, mendengar mamanya Jenar meluapkan kemarahan. Beberapa anggota keluarga lainnya yang lebih tua mendekat, mencoba menenangkannya, termasuk papanya Jenar. Akan tetapi, sepupunya Jenar tampak nggak mau kalah. Dia tetap bersikeras dengan kemauannya, berkata dia datang kemari bukan hanya untuk menghadiri acara keluarga, tetapi juga untuk mengumumkan rencana pernikahannya. Mendengar itu, lidah Rei terasa kelu. Dia membatin, merasakan matanya mulai memanas.

"Mau pulang? Gue bisa bilang nyokap gue kalau lo sakit—"

Rei menggeleng, suaranya bergetar sewaktu dia menjawab. "Nggak... nggak apa-apa..."

"Serius, Regina."

"Nggak apa-apa. Cuma—"

"Cuma?"

Tangan Rei memegang ujung lengan baju Jenar. "—jangan kemana-mana. Di sini aja."

Jenar mengangguk seraya melepaskan tangan Rei dari ujung lengan bajunya dan ganti memegang tangan gadis itu.

*

"Pulangnya ke tempat gue aja ya?"

Rei nggak langsung merespon pertanyaan Jenar, terus saja diam sembari membuang pandang ke luar jendela mobil.

Jenar menatap gadis di sebelahnya beberapa lama. Sebagian dirinya merasa marah pada banyak orang, pada Ivonne, pada ayahnya Rei, sebab bisa-bisanya mereka muncul di sana tanpa rasa malu. Separuh lainnya membenci dirinya sendiri, karena dia nggak bisa melakukan apa-apa untuk bikin perasaan Rei jadi lebih baik.

Jenar mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Rei diikuti gumam pelan. "Regina?"

Rei tersentak, langsung menoleh. "Hng... tadi lo bilang apa?"

"Pulangnya ke tempat gue aja ya?" Jenar mengulang lagi pertanyaannya yang sebelumnya.

"Gue nggak ada baju."

"Biasanya juga pake baju gue."

"Nanti dicariin Jella sama Yumna."

"Nanti gue telpon Jella, ngabarin sekalian minta izin. Kalau ada yang perlu dikerjain, bisa pake laptop gue atau gue bantuin sekalian. Gimana?"

"Nggak ngerepotin lo?"

"Jujur, ini juga buat ketenangan gue. Kayaknya, gue nggak akan bisa tidur malam ini kecuali gue udah mastiin kalau lo nggak sendirian."

"... ih, emang kenapa kalau sendirian?" Rei melepas tawa yang justru terdengar muram. "Biasanya juga sendiri, kok."

"Lo tuh yah, kalau dibiarin sendirian, suka over-thinking."

"Nggak ada yang salah dari over-thinking."

"Nggak ada yang salah gimana? Apa-apa yang berlebihan tuh nggak pernah baik. Even minum air putih berlebihan aja bisa bikin lo keracunan." Jenar berdecak. "Kalau gue biarin lo sendirian malam ini, lo bakal over-thinking, terus ada suara-suara dalam kepala lo mengatakan sesuatu tentang lo, mengatakan sesuatu yang jelek-jelek, yang sebetulnya nggak benar, tapi lo percayai, karena memang begitu kan yang dilakukan orang yang over-thinking?"

"Gue rada kaget, ternyata lo bisa ngomong dengan bahasa yang terkesan seperti bahasa orang yang berpendidikan."

"Gue masih lebih pinter daripada lo." Jenar berkata sembari memasang sabuk pengamannya, terus melajukan mobilnya keluar dari parkiran. "Besok perlu bangun pagi atau ngelakuin sesuatu nggak?"

"Emangnya kenapa?"

"Kalau nggak, gue mau ajak lo seneng-seneng."

"Kemana?"

"Ke tempat gue."

"Seneng-seneng di kamar lo, maksudnya?"

"Di kamar bisa, di ruang tengah bisa, di balkon bisa. Tergantung, lo sukanya di mana."

"Hm, pantesan ngajakkin gue nginep di tempat lo malam ini. Ternyata ada agenda busuk."

"Busuk apanye?!" Jenar berseru, terdengar nggak terima. "Emang lo mikir seneng-seneng yang gue maksud tuh apa?"

"Biasalah."

"APAAN?!" Jenar jadi sewot.

"Biasanya kalau seneng-seneng sama gue, lo ngapain?"

"Gue nggak ngerti sumpah."

"Bobo bareng."

"YA TUHAN, KAGAK! Ngeres aja ya pikiran lo tuh!" Jenar membantah.

"Lah, biasanya juga gitu. Sampai-sampai gue tuh pernah mikir, wah jangan-jangan gue dideketin buat dijadiin temen enak doang. Tapi ya dipikir lagi, kalau cuma temen enak, dari sekian banyak cewek, kenapa juga gue yang dipilih."

"Kok mikirnya gitu sih?!"

"Soalnya kalau posisinya dibalik ya, misal gue disuruh milih antara Regina, Sierra sama Celia, wah fix sih udah gila banget kalau gue milihnya Regina."

"Jangan banyak bacot, lo bukan ENFP!" Jenar menukas. "INTJ tuh kenapa yah, kalau udah pede, berasa bisa ngalahin manusia sedunia, tapi kalau udah insecure, bisa jahat banget ngata-ngatain dirinya sendiri."

"Namanya juga INTJ."

"Nah tuh, kalau sadar, nggak usah sok-sok-an posisinya dibalik segala macem. Lo bukan ENFP, jadi lo nggak akan ngerti isi pikiran gue."

"Terus maksudnya seneng-seneng yang lo bilang tadi tuh apa?"

"Kita minum bareng."

"Minum air?"

"MINUM THAI TEA PAKE BOBA!" Jenar sewot lagi.

"Gue nanya baik-baik, dih."

"Minum minuman berat."

"Sengaja ya?"

"Sengaja apa?"

"Bikin gue mabok. Biar lo bisa ngapa-ngapain sama gue."

"Lo nggak usah dibikin mabok aja udah mau ngapa-ngapain sama gue. Ngapain ngeribetin diri sendiri?"

"Gue kalau mabok malu-maluin."

"Iya, tau kok."

Wajah Rei memerah. "Kalau tau, kenapa masih ngajakin?!"

"Gue nggak bilang gue nggak suka lihat lo yang malu-maluin."

"Ck, Jenar!"

Jenar tergelak. "Seriously, tho. Awalnya, gue heran ya pas gue dengar dari Tigra sama Yumna, kalau gue nggak akan mau lihat lo yang lagi mabok. Tapi pas gue melihatnya dengan mata-kepala gue sendiri, hm, sangat bisa dimengerti."

"TUH KAN!" Rei menutup wajahnya yang mulai memanas, menolak untuk mengingat apa yang terjadi diantara dia dan Jenar pada malam ulang tahun Yumna waktu itu. Sumpah, malu-maluin banget. Itu pun untungnya, dia nggak ingat secara men-detail. Coba kalau ingat, Rei rasa dia nggak akan sanggup menatap Jenar tepat di mata pada hari berikutnya.

"Tapi gue tetap suka."

"Udah gila."

"Gila karena cinta."

"STOP! Merinding gue dengarnya."

"So... my place?"

Rei mengangguk, merasa itu adalah keputusan terbaik untuk sekarang ini. Jika dia pulang ke kosan, dia hanya akan memikirkan banyak hal—seperti yang Jenar bilang tadi, overthinking—lalu mulai melakukan sesuatu yang bodoh seperti misalnya menangis. Jika Jella dan Yumna sampai tahu, mereka akan menginterogasinya, kemudian Dhaka dan Tigra juga akan tahu. Rei belum siap menghadapi mereka, terutama... Tigra.

"Anyway, did something happen between you and your friend?"

"Siapa?"

"Tigra."

Rei tercekat sejenak. "Kata... siapa?"

"Tigra kan dekat sama Johnny. Johnny sempat ngobrol sama gue waktu kita ketemu di Family Mart dekat basement, pas mau beli donat pagi-pagi."

"Kalian tuh suka ngerumpi juga ya?"

"Kalian siapa?"

"Cowok-cowok."

"Iyalah, emangnya cewek-cewek doang yang bisa ghibah?"

"Tigra bilang apa?"

"Meneketehe, dia kan ceritanya sama Johnny. Kata Johnny, lo menghindari Tigra. Tumbenan banget. Kenapa?"

"..."

"Tapi kalau nggak mau cerita, nggak apa-apa, sih. Mungkin itu konflik internal lo berdua."

"Biasalah." Rei akhirnya berkata.

"Biasalah gimana?"

"Namanya temen, akan selalu ada saatnya nggak akur."

"Temen di mata lo, tapi nggak di mata dia."

"Obvious banget?" Rei terkejut, karena Jenar bisa menebak dengan telak.

"Lo pikir kenapa gue gampang bete kalau denger lo lagi sama Tigra, sama Dhaka atau sama Johnny? They all are interested in you, Regina."

"KOK BISA?!"

"Gue cuma bisa kasih alasan dari sudut pandang gue."

"Apa?"

"Pertama, not gonna lie, gue juga nggak munafik, you're pretty."

"Ada banyak cewek cantik di kampus kita."

"Correct, that's why I am gonna give you another reason. Lo terkesan don't give a fuck banget. Careless. Nggak pedulian sama orang. Tapi pada beberapa orang yang emang betul-betul dekat sama lo, apa ya, kelihatan banget lo tulus dan lo akan berusaha semampu lo buat bantu orang-orang itu ketika mereka butuh bantuan, berusaha ada, sewaktu mereka butuh lo. Gue rasa, itu bikin orang-orang yang lo pedulikan ngerasa kalau mereka spesial."

"Konyol banget."

"Lainnya, karena lo jujur, nggak manja, terus bisa-bisanya nolak gue. Tapi alasan utamanya sih, karena lo disayangi sama gue."

Rei terbatuk. "Apa hubungannya?!"

"Cuma orang-orang istimewa yang bisa disayang sama gue."

"Nyesel gue dengerin lo."

"Tetap nggak mengubah fakta kalau gue sayang sama lo."

"Terserah."

"Dan lo juga sayang sama gue."

"Terserah."

Jenar melebarkan senyum.

*

"Aman nggak nih?"

"Apanya?"

"Gue suka denger berita, ada yang meninggal karena miras oplosan."

Jenar memandang Rei dengan tatapan yang jelas-jelas tampak tersinggung. "Terang aja mereka tewas, orang ngoplosnya pakai Autan!"

"Siapa tau kan, pertemuan senyawa ini dengan senyawa itu bisa bikin racun?"

"Gue sama anak-anak udah sering bikin ginian."

"Oh, pantesan lo ama temen-temen lo otaknya rada geser."

"Udahlah! Lo diem! Gue jamin enak!"

Rei manggut-manggut sambil tetap duduk bersila di depan Jenar. Mereka terpisah jarak yang cukup untuk memberi ruang diantara keduanya, yang kini dipenuhi oleh beragam benda; dua botol soju, lima botol Yakult dan sebotol Sprite. Selain itu, adajuga pitcher, shot glasses juga pengaduk. Mukanya Jenar serius banget, kayak Heisenberg dari serial Breaking Bad yang mau bikin crystal meth.

"Pertama tuh yah, masukkin es batu."

"Biar apa?" Rei bertanya penasaran.

"Biar dingin. Kalau gue maunya panas, yang gue masukkin air panas." Jenar berdecak. "Setelahnya, campurin deh nih soju, Yakult sama Sprite. Empat shot soju, dua shot Yakult dan satu shot Sprite. Rasionya segitu dan berlaku kelipatan."

"Udah kayak diskon Transmart aja."

"Komentar lo bener-bener nggak berfaedah ya?"

"Biar nggak sepi." Rei beralasan.

"Terus aduk deh." Sehabis mencampurkan semua bahan-bahan, Jenar menuang isi pitcher ke dua shot glasses, memberikan satu pada Rei.

"Cheers?"

"Cheers."

Terdengar bunyi bibir gelas yang beradu dan mereka menenggak isi gelas masing-masing dalam sekali teguk.

"Gimana?"

"Oke juga ternyata." Rei manggut-manggut, meraih pitcher dan mengisi ulang gelasnya.

"See?"

"Tapi lo nih bener-bener sesat ya."

"Sesat gimana?" Jenar bertanya, masih membiarkan ketika Rei mengisi ulang gelasnya untuk yang ketiga kali.

"Gue diajakkin mabok."

"Maboknya kan di tempat gue, nggak di tempat rame. Ada gue yang jagain lo. Jadi aman."

"Lo menghancurkan kepolosan gue."

"No, gue mengajarkan hal-hal baru ke lo."

"Hal-hal liar."

Jenar tertawa, mengisi ulang gelasnya sendiri. Malam merambat menuju larut diiringi oleh isi pitcher yang kian berkurang. Jenar menonton bagaimana perlahan, mata Rei yang tadinya terbuka lebar ganti jadi sayu, disusul ucapannya yang mulai terdengar seperti racauan.

"Stop, it's enough." Jenar memegang pergelangan tangan Rei, mencegah cewek itu mengisi ulang gelasnya dengan soju dari dalam pitcher.

"Ini terakhir. Please?"

"No, it's enough."

Rei manyun, lalu akhirnya menjatuhkan punggungnya ke atas karpet yang melapisi lantai, memandang pada langit-langit sebelum kemudian menguap.

"Udah mau tidur?"

Rei nggak menjawab, hanya mengerjap sambil masih tetap menatap pada langit-langit, terus dia mengangguk.

"Tidurnya di kamar, gih. Jangan di sini,"

"Kamar... siapa?"

"Kamar gue."

Rei beranjak dari posisi berbaringnya ke posisi duduk. Lambat dan tampak nggak seimbang. "Peluk dulu."

"Hah?"

"Mau peluk."

"Peluk siapa?"

"Peluk lo."

Jenar berdecak, menahan tawa geli. "I guess drunk Regina is back."

"I am not drunk!" Rei membantah, mencoba terdengar galak yang justru membuatnya jadi lucu karena matanya yang sudah lima watt. Jenar bisa menerka, nggak butuh waktu lama bagi cewek itu untuk ketiduran.

"Okay, you're not drunk."

"Peluuuuuuukkkkkk..." Rei mengulurkan kedua tangannya, kali ini seraya merengut.

"Kenapa mau dipeluk?"

"Pengen ngerasa disayang."

"..."

"Kalau dipeluk, rasanya kayak disayang."

"Alright." Jenar menggeser pitcher dan shot glasses yang berada diantara mereka, kemudian duduk di depan Rei. Dia menarik cewek itu ke dalam pelukan. Erat dan lama, seakan melalui rengkuhan tangannya, Jenar menegaskan jika nggak akan pergi kemana-mana.

"Udah peluknya."

"Udah?"

"Em-hm. Lepas."

"Kalau gue nggak mau..."

"Kenapa nggak mau? Pelukannya kan udahan."

"Nggak mau. Mau terus peluk."

"Kalau terus peluk, nggak bisa tidur, nggak bisa pipis, nggak bisa mandi..."

Jenar menghela napas panjang, akhirnya melepaskan dekapannya pada Rei dan sebagai gantinya, membawa kedua telapak tangannya menyentuh kedua sisi wajah cewek itu.

"Mau tidur?"

Sembari masih membiarkan kedua tangan Jenar di pipinya, Rei mengangguk.

"Janji dulu."

"Janji apa?"

"Jangan mimpi buruk."

"Iya. Janji."

"Mau goodnight kiss?"

"Maunya goodnight kisses."

"Loh, apa bedanya?"

"Maunya cium banyak, bukan cium sedikit."

Jenar tertawa. "Alright, what my baby wants, my baby gets."

Itu yang dia ucapkan sebelum dia mencondongkan badan, meninggalkan kecupan-kecupan ringan di dahi, kelopak mata, pucuk hidung, pipi dan terakhir bibir gadis di depannya.

"Goodnight, Regina."

"Jenar."

"Mm-hm?"

"Kalau bokap gue, somehow, pada akhirnya nikah sama sepupu lo..."

"... ya?"

"... kita... gimana?"

Napas Jenar tertahan sebentar di tenggorokan. Kemudian, dia menggelengkan kepalanya sambil memaksakan senyum lebih lebar. "Sepupu gue nggak akan nikah sama bokap lo, Rei. Keluarga gue kan ngelarang."

"Gue juga ngelarang bokap gue buat jalan sama perempuan lain, tapi dia tetap ngelakuin itu."

"Jangan dipikirin."

"... tapi kan—"

"Kita nggak akan kenapa-napa. Oke?"

Rei terdiam, mengedipkan kedua matanya yang makin redup beberapa kali. "... beneran?"

"Beneran. Kita akan baik-baik aja. Gue janji."

"... nggak bohong?"

"Nggak bohong."

Rei melepaskan tawa yang tanpa suara dan terkesan breathy, dengan tatapan yang kian sayu. Dia berbisik sama. "Gue... lega..."

"Lo jelas udah ngantuk banget. Tidur, yuk."

"Satu lagi..."

"Apa?"

"Do you need a goodnight kiss too?"

Jenar memandang Rei sebentar, lalu akhirnya tersenyum sambil memejamkan mata. "Okay. Go ahead. Kiss me."

Dia menerka, Rei akan menciumnya di kening, atau di pipi. Tapi ternyata tebakannya salah. Dia justru merasakan bibir Rei mendarat di atas bibirnya. Dan itu bukan sebatas kecupan biasa. Bibir gadis itu bertahan di sana, sebelum mulai bergerak, memagut dan mengecup lambat.

Jenar membiarkan dirinya larut dalam ciuman itu sebelum satu tangannya naik, menempatkan diri di pipi Rei sementara dia memiringkan wajah dan memperdalam ciuman mereka. Dia menggigit bibir bawah gadis dalam rengkuhannya, membuat napas Rei tersentak. Satu tangan Jenar yang lain menjalar kemana-mana, ke punggung, ke bahu, berhenti di dadanya dan mulai meremas pelan. Tindakannya membuat Rei mengerang lirih, mengeluarkan suara yang membuat Jenar hampir kehilangan akal sehat.

Jenar menarik Rei lebih dekat, hingga nyaris tak ada jarak diantara tubuh mereka. Satu tangannya masih berada di dada gadis itu ketika Rei menggeser kecupan ke dagunya, lalu merambat turun ke dekat telinga, terus ke leher, meninggalkan gigitan kecil di atas kulitnya. Tangan Jenar yang semula berada di pipi Rei bergeser, mengusap punggung gadis itu. Dia tertawa kecil, yang nggak bertahan lama, dengan segera terganti alis yang terangkat ketika dia merasakan Rei menhentikan apa yang sedang gadis itu lakukan.

"Baby?"

Rei nggak menjawab, hanya embus napasnya yang hangat menerpa leher Jenar.

"Regina?"

Lalu, terdengar suara dengkur samar.

"Oh shit, how cruel." Jenar menggerutu ketika sadar Rei telah jatuh tertidur, dengan wajah terbenam ke lekuk lehernya. "Really? You're leaving me high and dry like this?"

Tak ada sahutan, sebab Rei telah mulai menjelajahi dunia mimpinya lebih dalam.

"Fine, fine." Jenar berdecak, lalu menarik Rei dari lehernya untuk kemudian cepat menempatkan satu lengannya di punggung Rei dan lengannya yang lain di bawah lutut gadis itu. Lantas dia membawa Rei menuju kamar tidurnya, membaringkannya dengan hati-hati di atas kasur. Seperti yang sudah-sudah, Jenar menarik selimutnya hingga sebatas dada gadis itu, menaikkan temperatur ac sebelum melangkah keluar dari kamar.

Waktu telah menunjukkan hampir tengah malam, namun tetap tak menahan Jenar untuk mengetikkan sebaris pesan singkat buat seseorang.

to: ivonne
ada yang mau gue omongin.
kapan lo ada waktu?

*

Waktu Rei terbangun keesokan paginya, kepalanya dirambati oleh denyut samar. Pasti efek yang tersisa dari minum-minum semalam. Heran banget, padahal miras oplosan, tapi ternyata cukup tokcer juga bikin drunk. Hari masih sangat pagi, sebab di luar jendela kamar Jenar yang hanya diselubungi gorden tipis, langit tampak redup.

Rei mengerjap beberapa kali sebelum menukar posisi berbaringnya dengan posisi duduk. Dia mengedarkan pandang ke sekelilingnya, mendapati Jenar terbaring di sampingnya. Cowok itu masih tidur, dengan rambut berantakan dan pipi yang merah. Rei meraih remot pendingin ruangan yang berada di atas nakas, sadar jika seperti biasa, Jenar telah menaikkan suhunya. Nggak heran kalau dia jadi kepanasan.

Rei berdecak, menurunkan kembali suhunya ke temperatur yang biasa Jenar gunakan. Angin sejuk berembus. Usai kembali meletakkan remot tersebut kembali ke atas nakas, Rei menggeser sedikit posisinya biar lebih dekat pada Jenar, lantas dia menunduk, mencium dahi cowok itu. Jenar nggak bereaksi, masih saja tertidur.

Rei memutuskan bangun duluan, melangkah keluar kamar dan membuka kulkas untuk mengambil sekaleng susu beruang. Akhir-akhir ini, Jenar selalu punya stok susu beruang di kulkasnya. Selain karena katanya Rei jadi cukup sering berada di tempatnya, dia juga butuh immune boost karena lagi sibuk menggarap proposal.

Tau-tau, perhatiannya dicuri oleh bunyi ponselnya yang tergeletak begitu saja di atas karpet. Rei buru-buru mendekat untuk memungutnya, takut suaranya membangunkan Jenar. Ternyata telepon dari Yumna.

"Halo."

"Gue perhatiin akhir-akhir ini lo makin betah aja di tempat laki lo ya. Kapan-kapan kayaknya seru bawa densus 86 buat grebek lo sama si Jenar."

"Kita nggak ngapa-ngapain kok."

"Widih, kok bisa?"

"Come on, nggak selamanya gue sama Jenar cuma... gitu deh."

"Cuma zina, maksud lo?"

"Ini ada apa ya tiba-tiba telepon gue?"

"Kemaren gimana soal lo dan acara keluarganya Jenar?"

Sungguh, Rei nggak mau mengingat yang kemarin. Tapi tanpa Yumna bertanya soal itu pun, kayaknya mustahil untuk lupa. Pening kembali menyerang kepalanya dan itu bukan karena efek minum-minum semalam. "Baik. Kakaknya Jenar baik. Orang tuanya juga."

"Keluarganya demen sama lo?"

"Mamanya ngajakkin kapan-kapan minum kopi bareng."

"Siap-siap aja dilamar tuh."

"Ngaco." Rei berdecak. "Kenapa? Gue yakin, lo nggak akan nelepon gue hanya buat nanyain itu."

"Lo di tempatnya Jenar, kan? Di daerah deket apartemennya tuh ada warung soto. Namanya Warung Soto Hajjah Iyem. Nah, si Rossa lagi pengen sarapan pake tuh soto. Beliin dong! Btw, lo pagi ini balik, kan?"

"Balik. Paling abis ini, nunggu Jenar bangun. Tapi kenapa tiba-tiba nyuruh gue?"

"Sotonya kagak ada di Go-food, Neng."

"Bukannya Rossa punya tig—eh maksudnya bukannya ada Jaka sama Milan?" Rei baru ingat soal Rossa dan Wirya yang lagi renggang karena penyebab yang nggak dia ketahui detailnya.

"Milan lagi deket lagi sama Jella. Gue jadi rada nggak enak gitu ngebabuin dia. Paling nanti sih, kalau udah fix jadian sama Jella baru gue babuin lagi. Terus gue nggak tega minta tolong Jaka. Anaknya lagi sakit. Tepar, kayaknya sih masuk angin, semoga aja nggak kelanjut sampe tipus."

"Yuta?"

"Gue ama dia lagi rumit."

"Emang kapan lo sama dia nggak rumit?"

"Ahelah, si Bangsat. Beliin deh. Atau kalau lo belom mau balik, lo beliin dulu, nanti lo kirimin ke kosan pake Go-send."

"Kenapa nggak lo Go-shop aja?"

"Males, gue pelit. Lagian kalau Go-send kan bisa lo dulu yang bayar."

"Ahelah. Yaudah."

"Trims, Sayang."

Seusai menerima telepon dari Yumna, Rei menandaskan susu dalam kalengnya dan memutuskan meminjam jaket Jenar, yang cowok itu biarkan tergeletak begitu saja di atas sofa. Dia sengaja meninggalkan tasnya, biar Jenar tau dia nggak pulang tanpa pamit. Rei juga membawa kunci cadangan biar saat masuk nanti, dia nggak perlu mengetuk pintu.

Menemukan warung soto yang Yumna maksud nggak terlalu sulit, cuma memang tempatnya agak tersembunyi. Kayaknya, sotonya termasuk soto legendaris deh, soalnya pagi-pagi begini sudah rame. Rei jadi terpikir buat beli juga, untuk dirinya dan untuk Jenar. Dia baru saja masuk ke warung soto itu ketika terdengar seseorang menyapanya.

"Regina?"

Rei menoleh, tercengang sejenak kala mendapati tiga pasang mata cowok tengah memandangnya—tiga pasang mata milik Johnny, Dhaka dan... Tigra.

"Oh—wow—hai!" Rei salah tingkah, menggaruk belakang lehernya yang nggak gatal dengan rikuh. Tiga cowok itu terlihat masih bermuka bantal dan mengenakan setelan khas orang baru bangun tidur—hoodie, kalau nggak kaos yang dipadu dengan celana pendek longgar selutut atau celana training.

"Sendirian aja?" Dhaka bertanya. "Kalau ada di dekat-dekat sini, biasanya alasannya nggak jauh-jauh dari si Bekantan."

"Si Bekantan?"

"Jenardi."

"Dhaka, please yah—"

"Nggak usah plas-plis-plas-plis." Dhaka menendang kursi plastik di depannya, kode untuk menyuruh Rei duduk. "Duduk. Kita semua perlu ngomong sama lo."

"Gue nggak—"

"Lo yang paling butuh ngomong, jadi lo diem!" Dhaka berujar pada Tigra yang langsung kicep, terus dia berpaling lagi pada Rei. "Tunggu apa lagi, Regina?"

Rei menelan ludah, berasa kayak maling yang mau disidang. "Apa?"

"Duduk." 





to be continued. 

***

a/n: 

yha gitu deh. 

sedih banget yah jadi jenar, udah berjuang setengah mati eeee dihancurkan oleh para kampret ini. 

jadiin sad boy apa ngga ni. 

jadiin aja kali ya. 

ketik tengnong untuk menjadikan jenar sad boy. 


***

February 3rd 2021 | 21.20

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro