35 | venus
Kata-kata Yuta bikin Yumna melongo, ternganga doang karena bingung harus jawab apa. Jujur, Yuta sempat agak senang sih. Tandanya, Yumna mendengarkan ucapannya dengan serius, nggak menganggap kata-katanya hanya sebatas bercandaan kayak yang sudah-sudah. Namun, setelah lima menit berlalu dan Yumna masih nggak juga buka suara, Yuta mulai gregetan sendiri.
"Oy, Raden Roro!"
Yumna mengerjap beberapa kali. "... apa?"
"Komentarnya mana?!"
"Oh, nungguin?"
"KALAU GUE MAU NGOMONG SENDIRI, MENDING GUE NGOMON SAMA TEMBOK!"
"Santai, anjir. Mulut lo gegerowokan sok galak bener, macem jamet pengkolan aja."
"Emang! Emang jamet! Nggak sekalian kritik rambut gue yang gondrong dan suka dikuncir kayak jamet?!" Yuta jadi salty.
"Nggak sih, kalau bagian rambut gondrongnya, gue suka."
"..."
"Bisa dijadiin pegangan hidup kalau lagi lupa diri gara-gara nganu..."
"Seriously, Yumna?!"
"Apanya?!"
"Gue baru aja menyatakan seluruh perasaan gue dengan penuh ketulusan, dan lo malah mikir yang nggak-nggak?!"
"..."
"I feel like you're just using me as teman curhat—"
"—merangkap teman bobo." Yumna menyambung.
"YUMNA!"
"Can't help it, abis lo enak sih."
"FOR GOD'S SAKE, YUMNA!!"
"Halah, gaya for God's sake fir Gid's siki, biasanya juga Gusti Allah."
"Gue serius."
"Soal yang tadi?"
"Iya."
"Soal lo naksir gue sebelum gue kalah main UNO?"
"Iya."
"Oh."
"Cuma 'oh'?!"
"Nggak heran sih. Soalnya gue cakep. Cowok mana yang nggak akan kepincut. Tapi btw, kalau lo emang senaksir itu sama gue, gimana bisa lo ngajak Clara nongkrong ke tempat-tempat yang biasa kita datengin pas pacaran dulu?!"
"Buat bikin lo cemburu, lah!"
"Soalnya Clara nggak mau lebih dari teman sama lo?"
"Nggak, sih. Clara naksir gue."
"Alah, nggak usah ngarang!"
"Serius. Dia ngajak gue bobo bareng."
"DAN LO BOBO BARENG SAMA DIA?!" gantian Yumna yang nge-gas, bikin sekelompok ukhti berjilbab gede dan rok panjang yang duduk di dekat mereka langsung memandang dengan pandangan julid seraya mengucapkan 'astagfirullah' dalam hati. Mungkin mereka bete, karena manusia-manusia macam Yuta sama Yumna ini yang berpotensi bikin kiamat dipercepat.
"Nggak sampe sana."
"Terus sampe mana?!"
"Main jari doang."
"Gue nggak percaya ya sama lo, Yuta!"
"Lo-nya juga jahat sama gue!" Yuta manyun sekalian membela diri. "Lo jahat sama hati gue!"
"Still, gue nggak tidur atau main-main sama cowok lain, even setelah kita bubaran!! Sedangkan lo—" Yumna memasang ekspresi wajah nggak percaya yang dihiasi secercah kecewa. "Laki tuh emang ya—"
"Jangan mengalihkan pembicaraan! Jawab aja dulu apa yang gue omongin tadi!"
"Gue kudu jawab apa?!"
"Kita mau dibawa kemana?!"
"Kemana aja boleh."
"YUMNA!"
"Bentar elah, gue mikir dulu!"
"Kenapa harus mikir lagi sih?!"
Yuta sama Yumna yang cekcok hebat, yang nontonin yang berasa seret dan haus.
"Gue nggak tau mau lo tuh apa."
"LO MASIH NGGAK TAU?!" Yuta heran, bisa-bisanya ada cewek yang nggak peka pakai double macam Yumna.
"Emang lo bilang, lo mau apa?"
"I am done." Yuta beranjak dari duduk, melangkah cepat menuju pintu restoran. Para ukhti kembali sibuk menyebut nama Tuhan. Bukan karena julid, tapi karena Yuta terlihat sangat jantan dan ganteng waktu dia jalan seraya memajang muka galak—didukung kemeja flannel yang lengannya digulumg sampai ke siku, backpack hitam nangkring di pundak lebar yang sepertinya cukup kokoh untuk dijadikan sandaran hidup dan rambut gondrong ala-ala Yoon Ji-hu dari drama Boys Over Flowers. Tinggal setelin sesange sori chillo aja tuh, Yuta sudah siap melawan Gu Jun-pyou. Ganteng tapi nakal, amboy sangat menggoda untuk dituntun menuju jalan taubat yang hakiki.
"YUTA, YOU STOP THERE!"
Drama banget, tapi Yuta senang, soalnya triknya berhasil.
"Kasih gue alasan untuk nggak pergi, Yumna."
"Lo udah mesen makanan, tapi belum dibayar, Nyet! Siapa yang mau bayar? Bagian makan sih gue sanggup! Tapi bagian bayar? Enak aja! Sini lo! Kalau mau pergi, tinggalin duit dulu!"
Yuta nggak jadi senang.
*
Seingat Rei, terakhir dia ketemu Mark tuh waktu mereka main basket beberapa bulan lalu—tepat di awal-awal Rei baru ada sepik-sepik (sok) asik sama Jenar. Kata Mark, Rei jadi jarang nongol di sosmed dan kalaupun Mark chat Rei lewat WhatsApp, dibalasnya lama banget. Rei agak merasa bersalah, tapi dia terlalu 'malu' buat cerita ke Mark soal keadaannya sekarang. Kesannya tuh kayak minta dikasihani banget. Makanya, Rei mengiakan ketika Mark ngajak main bulu tangkis bareng di indoor stadion kampus Mark yang memang nggak jauh jaraknya dari kampus Rei. Turned out, ternyata Mark juga ngajak Jenar.
"Biar lengkap, Kak." Gitu kata Mark di telepon.
"Lah, emang lo ngajak orang?"
"Ho-oh."
"Siapa?" Rei menyelidik.
"Temen."
"Cewek apa cowok?"
Mark ketawa doang.
Rei baru tau kalau teman yang Mark maksud itu cewek ketika dia dan Jenar tiba di stadion. Mark sama temannya yang cewek ini sudah tiba duluan. Mereka menunggu sambil mengobrol, dan kelihatannya sih dekat banget. Rei keingat gimana ekspresi muka Mark ketika Jenar meledeknya soal temannya ini di McDonald's beberapa bulan lalu. Rei sempat agak speechless. Bukan gimana-gimana, tapi baru sadar saja kalau ternyata Mark, adik kelasnya yang dulu suka ngintilin dia kemana-mana itu sudah gede.
"Udah lama, Mark?" Rei bertanya sembari meletakkan tas berisi raket di atas bangku tribun.
"Baru bentar, Kak. Santai aja."
"Ohhhh." Rei manggut-manggut, sementara Jenar sudah menunggu di belakangnya. Jenar dan Rei nggak saling bicara, tapi mereka seperti sudah sama-sama saling ngerti gitu. Jenar membantu membuka jaket Rei dengan menurunkan jaket dari bahunya. Mark mengamati dengan wajah dimiringkan, agak kaget.
"Kak Reggy?!"
"Iya?" Rei menyahut, bersamaan dengan Jenar erjalan menjauh, meletakkan jaket Rei di atas salah satu tempat duduk.
"Are you and Kak Je... I mean... a thing... right now?"
Rei mengerjap, sedangkan Jenar yang ikutan mendengar langsung menoleh ke arah Mark.
"Yes."
"No."
Dahi Mark berlipat, heran karena dua orang di depannya menjawab satu pertanyaannya secara berbarengan, tapi jawabannya berbeda. "OMG, guys, don't play meeeeee!" Mark jadi stress sendiri.
"Mark, Mark, don't overreact." Teman ceweknya memperingatkan sambil menahan tawa.
"Sori, tapi aku heran campur excited aja?! Like it's so wow?! Kamu tau nggak sih, terakhir aku ketemu sama mereka, mereka kayak gimana?!"
"That's not important." Rei memotong sekalian mengalihkan pembicaraan. "Ini temen?"
"Temen."
"Tapi mesra?" Jenar meledek.
Mark terkekeh. "Namanya Mina. Mina, ini Kak Regina, sama Kak Jenar. Kak Reggy ini dulu satu SMA sama gue. Kalau Kak Jenar, satu gereja."
"Mina."
"Sweet. Regina." Rei menjawab Mina dengan senyum di wajahnya.
Sebenarnya, Rei kepingin menggoda Mark soal Mina lebih jauh, tapi tampaknya Mina cukup pemalu, terutama di depan orang yang baru dia kenal. Jadi deh, ledekannya ditahan dulu. Nggak berapa lama, mereka lanjut main bulu tangkis. Awalnya Mina lawan Rei, terus Mark lawan Jenar. Setelahnya, mereka bertukar. Mina jadi lawan Mark dan Rei lawan Jenar.
"You look so tired, babe. Gue bakal santai mainnya." Jenar meledek sambil menarik seringai.
"Oh come on, jangan ngaco! Give me your all!"
"I did." Jenar mengedipkan salah satu matanya, dengan nada suara yang terkesan ambigu. Mark makin melongo.
"Honestly, what's going on between the two of you?!" Mark makin merasa dipermainkan.
"Nothing—"
"You know what coitus means, Markie?" Jenar nyengir, sedangkan Rei melotot.
"Wait—WHAT?! GUYS—"
"WE HAVE A GAME TO PLAY!" Rei buru-buru menyela, sebelum Jenar ngomong lebih banyak. Nggak, nggak, nggak. Buat Rei, selamanya Mark itu akan jadi seperti adiknya sendiri. Nggak sopan banget ngomongin yang begituan di depan Mark.
Jenar tertawa, nggak lanjut bicara sama Mark dan mulai melambungkan shuttlecock yang berada di tangannya. Permainan berlanjut, dan Mark menyerah mendesak. Dia memulai permainannya dengan Mina. Sempat seru banget tuh ya, karena shuttlecock-nya sempat bolak-balik nggak berhenti-berhenti, hingga akhirnya Jenar lelah sendiri dan memutuskan melakukan smash dengan mengerahkan segenap tenaganya.
Shuttlecock melesat cepat membelah udara, berakhir dalam benturan keras dengan jidat Rei.
Jenar bukan satu-satunya yang kaget. Mark sama Mina juga kaget, bahkan sampai berhenti main. Nggak heran sih, sebab bunyi PLETAKKKKK-nya keras banget. Namanya juga pantat cock beradu dengan dahi. Rei langsung tumbang.
Nggak deng, itu sih lebay.
Jidatnya Rei memang sakit, tapi nggak sampai muncul benjol segede telur. Jenar tercengang sesaat, hanya untuk terbahak sejenak kemudian. Ketawanya puas banget. Rei jadi sebal. Kesal karena Jenar nggak berhenti tergelak sampai mukanya semerah tomat, Rei inisiatif saja pura-pura terkapar di atas lapangan. Jadi habis balik badan sambil memegangi jidat, dia sok-sok-an oleng... lantas rebahan.
Tawa Jenar terhenti seketika.
"KAK?! ANJIR, ITU KAK REGGY PINGSAN?!" Mark dramatis banget.
Jenar betulan panik. Dia buru-buru meletakkan raket di tangannya, lalu berlari dan merunduk ketika menyeberang ke sisi lain net.
"Regina"
Rei nggak menyahut, tapi iya sih, dahinya merah saat Jenar lihat dia lebih dekat.
"Regina?!"
Masih sunyi, memicu Jenar menunduk untuk menangkup kedua sisi wajah Rei dengan telapak tangannya. Sewaktu jarak mereka sudah cukup dekat, Rei memanfaatkannya untuk menampar pipi Jenar.
"Rei?!"
"Akhlak lo minus banget, anjir! Udah bikin jidat gue kayak gini, malah ngakak puas!"
Jenar cemberut, memegangi pipinya. "... sakit."
"Jidat gue juga sakit! Salah siapa!?"
Jenar mengerucutkan bibir, menunduk sedikit, namun tetap menjawab. "... salah gue."
Kecelakaan kecil yang terjadi, secara tak terencana, mengakhiri sesi permainan badminton mereka. Keempatnya setuju buat menyelesaikan permainan mereka lebih dini. Justru lanjut makan Soto Medan yang berada nggak jauh dari stadion.
"Kak Reggy, gue mau nanya sekali lagi nih." Mark berujar setelah mereka memesan dan menunggu makanan mereka diantarkan. "Lo ama Kak Jenar ada apa sih?"
"Nggak ada apa-apa, Mark."
"Ada apa-apa sih, Mark."
"Sebelum lo ngomong gitu, lo lihat dulu nih dahi gue." Rei jengkel, menunjuk keningnya yang masih merah.
"Regina, gue kan udah minta maaf."
"Maaf-meef-moof. Tadi lo ngakak puas banget."
"Itu namanya refleks."
"Kalau gue nyemplung sumur, lo refleks ketawa juga ya?"
"Nggak tau. Belum pernah lihat lo nyemplung sumur. Kalau mau dicoba, nggak apa-apa. Ayo kita cari sumur."
"JENARDI!"
"Iya?"
"Tau ah!"
Mark sama Mina saling pandang. Kok ini jadi kayak mereka berdua yang lebih tua gitu ya? Padahal Jenar sama Rei jelas-jelas seniornya Mark.
"Jadi, kapan?"
"Kapan apanya?"
"Kalian berdua. Jadiannya kapan?"
"Hah?!"
"Jelas, kalian berdua pacaran." Mark menyeruput teh hangat tawar yang disediakan di meja.
"14 Februari." Jenar menyahut, lalu bersiul santai.
"Well..." Rei nggak bisa membantah.
"Widih, gimana tuh nembaknya?"
"Nembaknya ke kondom."
Mark langsung batuk-batuk, sedangkan Mina buang muka dengan pipi memerah. Untungnya, Jenar ngomongnya nggak keras-keras banget. Kalau sampai kedengaran sama abang Batak yang jual soto, bisa-bisa mereka dicap sebagai anak liar produk kemajuan jaman yang sudah larut dalam kesesatan.
"Jenar!"
"Kan faktanya gitu, Regina."
"Oke, Kak Reggy, Kak Je," Mark berdeham. "Gue nggak nanya lagi. Tapi jujur, gue nggak butuh info se-detail itu."
Rei dan Jenar saling memandang tanpa bertukar kata.
"Walau gitu, harusnya gue nggak heran ya. Sepertinya kalian berdua emang—"
"Emang apa?!"
Mark hampir angkat tangan ditodong pertanyaan yang sama dari dua orang secara berbarengan.
"Nggak akan gue lanjutin. Nanti lo berdua ribut lagi."
Akhirnya, mereka berempat lanjut makan. Sudah pasti, sambil ngobrol. Candaan Mark masih segaring dulu, tapi justru karena garingnya itu, malah jadi lucu. Habis mereka makan, Jenar beranjak buat membayar. Katanya nggak apa-apa, semuanya dia yang bayarin. Hitung-hitung pajak jadian.
Nggak lama setelah Jenar berada agak jauh dari mereka, baru deh Mark berbisik ke Rei. "Kak Reggy, no offense, but I heard about your father."
"Ah... really?"
Mark mengangguk. "Gue khawatir banget sama lo. I'm trying to check on you. Tapi sekarang gue lega, karena udah ada yang jagain lo."
"..." Rei nggak tau harus bilang apa.
"Kak Je orangnya baik. Gue yakin itu. Of course, dia bukan malaikat yang serba sempurna, tapi diantara kita semua, gue, lo, even Mina, nggak ada yang sempurna, kan?" Mark senyum. "Lo juga baik, Kak. Boleh jujur? Dulu, tiap lihat lo di sekolah setelah potong rambut—yang nggak pernah lo biarin panjang—gue ngerasa sedih. Mungkin karena gue bisa nebak, alasan kenapa lo nggak pernah manjangin rambut lo. But now, you look prettier, and a lot happier. Happiness looks good on you, Kak."
"Mark, makasih banget."
"No need to."
"Lo juga, longlast ya..." Rei berkata sambil melirik Mina yang langsung tersipu.
Mark mengerjap beberapa kali, terus nyengir. "Is that so obvious?"
"Yap. Lo jelas sayang Mina dan Mina sayang lo."
"Thanks, Kak Reggy. You too." Mark tertawa kecil. "I know you like Kak Je too. A lot. And Kak Je cares a lot about you too."
"..."
"Kak Reggy, gue cuma pengen lo tau, hanya karena lo ngerasa kuat sendiri, bukan berarti lo nggak berhak dijaga dan ditemani. Don't be too hard on yourself, okay?"
"..."
"Terus ya, gue rasa, mengakui kalau lo sayang sama seseorang to the point lo happy dengan kehadirannya nggak akan bikin lo kiamat."
Terus terang, Rei nggak tahu kapan Mark jadi sedewasa itu. Atau mungkin, memang Mark selalu sedewasa itu. Rei yang nggak pernah betul-betul sadar, sebab dia selalu menganggap Mark kayak adiknya. Saudara yang nggak pernah dia punya, karena dia anak tunggal. Dipikir lagi, Mark adalah salah satu orang yang bikin masa-masa SMA Rei jadi lebih bearable. Mark yang bikin Rei nggak pernah ngerasa benar-benar sendirian.
"Mark, makasih banyak."
"It's nothing, Kak Reggy."
"Nggak. Serius. Makasih banyak untuk semuanya. Maaf, karena gue careless, gue jadi nggak pernah ngabarin lo lagi semenjak gue lulus terus lanjut kuliah dan—"
"Kak Reggy, it's okay."
"... thank you."
Mark mengangguk, kali ini sambil tersenyum lagi.
*
Sudah bisa dipastikan, Jenar balik sama Rei.
Sepanjang jalan, mereka lebih banyak diam. Bukan apa-apa sih, tapi Rei memang ngerasa ngantuk banget. Selain karena hari ini kelasnya cukup padat, juga karena dia lelah bermain bulu tangkis ditambah makan cukup banyak. Biasanya, kalau sudah kenyang, memang paling enak dibawa tidur.
Cewek itu menghela napas, menyandarkan punggungnya di jok mobil. Malam ini, Jenar sengaja nyetir mobil, nggak bawa motor. Alasannya, motornya lagi di bengkel untuk servis rutin. Padahal sebetulnya sih biar Rei nggak kena angin malam saja. Habis ngelihat pain relief patch di belakang leher Rei tempo hari, Jenar jadi mikirnya Rei tuh rentan masuk angin.
"Tidur aja, nggak apa-apa." Jenar bilang sambil kedua tangannya lekat ke roda kemudi.
"Nggak mau. Takut di-grepe."
"Alah, lo juga suka di-grepe."
"Benar juga." Rei tertawa dengan mata yang sudah sayu. "Tapi gue suka heran deh."
"Heran kenapa?"
"Kenapa ya, kalau gue grepe pake tangan sendiri tuh kayak biasa aja, tapi kalau di-grepe pake tangan lo tuh jadi beda gitu?"
"Tangan gue ada magicnya."
"Najong."
"Lagian, mulai ngaco omongan lo nih. Udah, tidur deh. Nanti kalau udah sampe, gue bangunin."
Rei menguap, terus nggak lama, ya memang tidur betulan. Jenar melirik sesekali, terus begitu deh, sengaja melambatkan mobilnya dan memutari sebuah bundaran besar sampai lima kali. Sengaja, biar perjalanan balik ke kosannya Rei jadi lebih lama. Bukan modus, soalnya Jenar kasian kalau mesti membangunkan Rei cepat-cepat. Bahkan ketika sudah tiba di depan pagar kosan pun, Jenar nggak membangunkan Rei, justru menunggu hingga cewek itu terbangun sendiri.
Rei terbangun dengan satu tangannya jadi isian sandwich diantara dua telapak tangan Jenar. Satu telapak tangan cowok itu mengusap punggung tangannya. Kulitnya terasa hangat.
"Kenapa nggak bangunin gue?" Rei bertanya, suara raspy khas orang yang baru bangun tidur.
"Nggak apa-apa."
"Tangan lo kenapa gini?"
"Tangan lo gampang dingin."
Rei berdecak, agak geli, tapi di saat yang sama, menghargai gestur kepedulian yang Jenar tunjukkan.
"Herannya, tangan lo tuh tetap anget, padahal rajin kena ac."
"Nggak tau juga, mungkin karena semesta tau gue bakal demen sama orang yang tangannya gampang dingin kali ya?"
"Gombal."
"Serius."
Rei mengerjap, tersenyum sedikit, terus menarik punggungnya dari sandaran jok mobil untuk memeluk Jenar. Tiba-tiba banget dan sekilas saja, namun efeknya gokil. Jenar membatu, nggak menyangka dia bakal dapat dekapan mendadak.
"Kenapa?" Jenar bertanya usai Rei melepas pelukannya.
"Nggak suka?"
"Suka."
"Nggak apa-apa. Pengen peluk aja." Rei menguap lagi. "Oke, gue turun deh ya. Ati-ati nyetirnya. Kalau udah sampe tempat lo, kasih tau gue."
"Ah ya, Regina,"
Rei langsung menoleh, soalnya biasanya, Jenar hanya memanggilnya 'Regina' di saat-saat tertentu, kayak untuk menunjukkan rasa sayang, menegaskan kekesalan, atau ketika dia mau bicara tentang hal penting.
"Iya?"
"Nanti bakal ada acara kumpul-kumpul keluarga gue. Weekend ini. Di Jakarta, dan Mama bilang, kalau bisa, dia mau gue ngajak lo."
Rei menggigit bibirnya. Itu respon yang wajar buat Jenar. Maka, dia mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Rei.
"Hey, don't worry. Nyokap gue suka lo. Kakak gue juga. Lagian, ini cuma acara ketemuan biasa aja. Bukan sesuatu yang serius. Dresscodenya pun casual."
"Kumpul keluarga tuh... biasanya ngapain?"
"Hm?"
"Gue nggak pernah dateng ke acara kumpul keluarga. Bokap gue bukan tipe orang yang dekat sama saudara-saudaranya dan... lo tau kan... keadaan keluarga gue gimana..."
Jenar menarik senyum, berusaha menghalau kecemasan Rei. "Kayak makrab aja. Tapi yang dateng anggota keluarga. Keluarga gue... tergolong bebas. Dan yang terpenting, nyokap gue demen sama lo. Gue rasa, dia akan berusaha bikin lo ngerasa nyaman."
Rei menghela napas. "... oke."
"That's my sweetheart."
*
Tigra kaget berat sewaktu Rei muncul di kosannya menjelang jam dua belas siang. Nggak terduga sih, soalnya biasanya kalau mau ke tempatnya, Rei bilang dulu. Mana Tigra baru banget selesai mandi. Rambutnya masih basah dan dia belum pakai baju ketika dia membuka pintu, bikin Rei bisa melihat dada, perut dan punggungnya.
"Tunggu—itu tato baru yah?!" Rei refleks memekik saat melihat tato di punggung Tigra—ukurannya nggak terlalu besar, terdiri atas tiga gambar yang mencipta satu kesatuan; simbol mahkota Ratu, huruf Q yang biasa ditemukan pada kartu Queen, dan bentuk hati di bawahnya. "Inspired by Queen card?"
"Iya." Tigra membalas cuek sambil menyampirkan handuk di pundaknya. Dia berupaya tampak santai. Padahal dalam hati sih sudah deg-deg-an banget. "Lo ngapain kesini nggak bilang-bilang?!"
"Pinjem laptop lo boleh nggak? Laptop gue specnya nggak kuat buat rendering file SketchUp."
"SketchUp siapa?"
"Ada. Anak Arsi, minta tolong tugasnya dikerjain."
"Laptop Jenar nggak bisa?"
"Orangnya kan lagi nyusun proposal. Kalau gue minjem laptop dia, gimana bisa cepat kelar tuh kerjaannya?"
Tigra menghela napas. "Tau dari mana kalau gue di kosan?"
"Dhaka."
"Edan, padahal dianya aja lagi di kampus."
"Lo kan best friend forever-an sama dia. Makanya wajar kalau dia ngertiin lo banget, even sampe bisa nebak telak jam segini lo bakal ada di mana."
"Nggak valid." Tigra membalas seraya menapaki tangga dan Rei mengekorinya.
"Hah?"
"Kita juga best friends forever, tapi gue nggak bisa nerka apa yang ada dalam kepala lo."
Rei hanya tertawa, membuat perasaan Tigra seakan ban yang digembosi paksa. Duh, padahal Tigra serius barusan. Tapi Rei pasti menganggapnya hanya candaan.
Mereka masuk ke kamar Tigra. Tigra langsung membuka lemari, mengeluarkan sehelai kaos dan memakainya. Seenggaknya, tatonya yang tadi sempat menarik perhatian Rei nggak lagi terlihat. Dia membuat tato itu nggak lama setelah mereka pulang dari staycation mereka yang terakhir. Rencana mereka bikin tato bareng gagal dan terus terang, Tigra merasa agak patah hati gara-gara itu. Namun itu tak lantas membuatnya batal menggurat tato untuk dirinya sendiri.
"Ah ya, gue lupa flashdisk gue yang kapasitas penyimpanannya gede ditaro mana. Kayaknya masih dipinjam Sakura. Jadi, gue kesini bawa laptop gue. Buat mindahinnya, gue minjem flashdisk lo aja kali ya. Ada nggak?"
"Butuh yang berapa giga?"
"Segede-gedenya yang lo punya."
"Coba cek di laci."
"Oke."
Rei menuruti instruksi Tigra, menarik laci meja belajar Tigra yang penuh barang. Beraneka benda-benda kecil tersimpan di sana, seperti gantungan kunci, gunting kuku, cotton bud yang kemasannya belum dibuka dan... dahi Rei berlipat tatkala tanpa sengaja, matanya menemukan kotak beludru yang tersimpan agak di dasar laci.
"What is this—wow?" rasa penasaran Rei membuatnya tak sempat berpikir panjang, apalagi menanyai Tigra. Dia membuka kotak itu, disambut oleh sebentuk cincin berkilau di dalamnya. "You're keeping this kind of thing?"
"What kind of—oh." Tigra ternganga ketika dia mengenali kotak beludru yang ada di tangan Rei. "You found it."
"Ini jelas bukan cincin cowok—I mean, gue bisa memperkirakan jari lo segimana ukurannya. Ini cincin cewek." Rei mengangkat alis, lalu senyumnya yang terkesan menggoda tertarik. "Hayooooooo... mau ngasih cincin ke siapa?!"
"Hng..."
"Lo lagi naksir orang yah?! Dih jahat, kok diem-diem aja?!"
"..."
"Siapa orangnya?"
"Regina."
"Gue cuma kepo, kok. Soalnya kayak bukan lo banget. Dia pasti cukup spektakuler, mengingat lo sampe beli ginian buat dia."
"..."
"Siapa sih orangnya, Gra?"
"Regina."
"Cuma nanya!"
"Regina."
"Yaudah, kalau nggak mau ngasih tau." Rei menutup kotak beludrunya, meletakkannya lagi dalam laci dan ganti meraih flashdisk yang terselip diantara kabel data.
"Barusan gue kasih tau lo."
"Hah?"
"Barusan gue kasih tau lo siapa orang yang mau gue kasih cincin itu."
"... siapa?"
"Regina."
"Regina man—"
Tigra menghela napas panjang. "Regina Arunika."
"..."
"Lo."
"Wait, what?! But why—"
"Kenapa? Gini deh, Rei, menurut lo aja nih ya, cowok ngasih cewek cincin tuh biasanya kenapa?"
"... but we broke up."
"Gue nggak pernah mau putus dari lo."
"Tapi lo bilang iya dan—"
"Sebab gue tau, itu yang lo mau. Karena gue ngerti, sama lo, gue nggak bisa egois. Gue nggak boleh egois."
"Tigra—"
"Tapi lucunya, dalam usaha gue ngasih lo ruang untuk 'bernapas', gue justru kehilangan lo."
Rei tercekat, tidak mampu berkata-kata sebab apa yang didengarnya terasa sukar dipercaya.
"Kalau gue pemaksa kayak Jenar, apa saat ini, lo masih bakal sama gue?"
Rei masih nggak bersuara.
"Gue tau, gue nggak seharusnya berpikir kayak gitu. But honestly, to be fucking honest, I really don't get it. I keep wondering, apa yang Jenar punya yang gue nggak punya?"
Rei menelan saliva, tertunduk sejenak, lantas begitu saja, dia melepaskan flashdisk milik Tigra dari tangannya. Meletakkannya di atas meja belajar Tigra. Tidak hanya sampai di sana, Rei lanjut membereskan tasnya. Dia buru-buru melangkah menuju pintu, membuat Tigra melepaskan dengusan yang terkesan putus asa.
"Dan sekarang, ketimbang menjawab pertanyaan gue, lo lebih memilih menghindar."
"Gue nggak menghindar." Rei menjawab, tapi dia nggak punya keberanian buat berbalik dan memandang langsung pada Tigra—atau kebalikannya, membiarkan Tigra memandangnya.
"Terus apa?"
"Gue nggak tau—mungkin—" napas Rei tertahan di tenggorokan dan nggak tahu kenapa, dia jadi merasa sukar bicara. "—mungkin—gue nggak seharusnya mengganggu lo hari ini."
Tigra nggak bisa menahan Rei, hanya mampu menonton cewek itu berjalan melewati pintu kamarnya sambil tak henti merutuki kebodohannya sendiri.
*
"Lo mikirin apa?"
Untuk yang kesekian kalinya, pertanyaan Jenar membuat Rei disentak keluar secara paksa dari lamunannya.
"Nggak apa-apa."
"Lo banyak bengong berapa hari ini."
"Nggak apa-apa. Serius. Paling cuma capek."
"Hari ini juga capek?"
"Nggak. Cuma lagi zoning out aja."
"Is it too much?"
"Apanya?"
"Gue, meminta lo ada di sini."
Rei menggeleng. "Jangan gitu. Gue seneng kok ada di sini."
Jenar menarik senyum lebar hingga lesung pipinya tercetak begitu dalam. Rei balas tersenyum. Sesuai ajakan Jenar selepas mereka main badminton kemarin-kemarin, Rei menyertai Jenar ke acara kumpul-kumpul keluarganya. Ternyata, acaranya diadakan di sebuah hall milik ayahnya Jenar dengan konsep prasmanan dan meja-meja. Belum banyak orang yang datang, bahkan kedua orang tuanya Jenar pun belum muncul. Untuk membuang waktu, Jenar mengajak Rei bergerak ke piano yang berada di sudut hall. Rei berdiri di dekatnya, sementara Jenar duduk, menarikan jari-jarinya di atas tuts hitam-putih.
Soal Tigra, Rei belum bertemu lagi dengan cowok itu setelah apa yang terjadi di kamar Tigra hampir seminggu yang lalu. Rasanya terlalu canggung. Rei juga nggak pernah membalas pesan yang Tigra kirimkan, termasuk permintaan maafnya. Rei tau, dia nggak seharusnya begitu. Namun dia perlu menata pikiran dan perasaannya sendiri sebelum menghadapi Tigra lagi. Untungnya, Tigra nggak memaksa. Dia nggak menelepon, apalagi sampai mendatangi kosan Rei.
Untuk saat ini, jarak adalah apa yang Rei butuhkan.
Rei menghela napas ketika melodi indah yang diciptakan permainan jemari Jenar mengalun memenuhi seantero hall. Cowok itu benar-benar tahu bagaimana cara memanfaatkan jarinya dengan sebaik-baiknya. Entah dalam bermain piano, maupun dalam permainan-permainannya yang lain.
https://youtu.be/PwMN8QtWCic
The night sky once ruled my imagination
Now I turn the dials with careful calculation
After a while, I thought I'd never find you
I convinced myself that I would never find you
When I suddenly saw you
"Tau lagu ini?" Jenar bertanya dengan senyum yang merambat sampai ke matanya, tangannya nggak berhenti memainkan piano.
Rei menggeleng. "Ini lagu apa?"
"Punyanya Sleeping At Last."
"Judulnya?"
"Venus."
At first, I thought you were a constellation
I made a map of your stars, then I had a revelation
You're as beautiful as endless
You're the universe I'm helpless in
An astronomer at my best
When I throw away the measurements
"Lagu lainnya yang ngingetin gue sama lo."
"Kayaknya banyak banget ya lagu yang ngingetin lo ke gue?"
"Katanya, kalau jatuh cinta emang gitu sih, Regina. Karena gue jatuh cinta sama lo, jadinya semua lagu cinta seakan-akan tentang lo."
"Kenapa gitu sama lagu ini?"
"Judulnya Venus."
"Iya, tadi lo udah bilang."
"Venus itu nama lain untuk Afrodit. Goddess of Love and Beauty."
"Cheesy." Rei meledek, tapi dia tergelak.
"Nggak, itu sesuai, karena lo cantik." Jenar masih nggak berhenti memenuhi ruangan dengan suara piano. "Venus juga nama lain untuk bintang kejora. Bintang indah yang cahayanya bisa dilihat saat fajar, atau saat matahari terbenam."
"Em-hm, terus?"
"Your name is Regina Arunika."
"Apa hubungannya?"
"Regina means 'queen' in Latin."
Like a telescope
I will pull you so close
'Til no space lies in between
And suddenly I see you
Suddenly I see you
"Dan Arunika... artinya... cahaya fajar."
"Sulit dipercaya."
"Apanya?"
"Lo lebih tau makna nama gue dibanding gue sendiri."
"Mau tau kenapa? Karena lo sangat jarang menghargai dan mengapresiasi diri lo sendiri."
Rei tertawa, meski tawanya nggak bertahan lama, sebab perhatiannya dan Jenar teralih oleh kemunculan seorang perempuan yang masuk lewat pintu depan hall. Perempuan itu masih muda, mungkin hanya beberapa tahun di bawah Hyena. Dia nggak datang sendiri, melainkan bersama seorang laki-laki yang membuat Rei membeku di tempatnya berdiri.
Jenar menoleh pada Rei, menyadari perubahan gesturnya. "Something wrong?"
Ada sesuatu yang mencekik di tenggorokan Rei, membuatnya mendadak merasa sukar bernapas.
"Rei?"
Tanpa dia sadari, kedua tangannya terkepal untuk menahan tremor. Kuat, hingga buku jarinya memutih.
"Regina?"
Apa yang dilakukan ayahnya di acara keluarganya Jenar?
to be continued.
***
a/n:
ngga, jenar ngga dijodohin.
wkwkwwkk.
tebak apah.
wkwkwk dah ah gamau kebanyakan spoiler wkwk
ciao.
***
January 31st 2021 | 1.37
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro