Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34 | winner

"Namanya Kalya."

Itu kalimat pertama yang Wirya ucapkan setelah kesunyian yang panjang diantara mereka. Sejujurnya, Rossa nggak butuh tahu siapa nama cewek itu. Malah, dia lebih suka kalau Wirya bilang cewek itu bukan siapa-siapa. Tapi tampaknya, cewek itu bukan cewek biasa, melihat dari bagaimana Wirya sempat membiarkan Rossa masuk ke ruangan dokter sendirian hanya untuk menjelaskan apa yang menurutnya mesti dijelasin pada cewek bernama Kalya tersebut.

Lantas setelahnya, Wirya nggak banyak bicara. Nggak di ruangan dokter. Nggak hingga mereka duduk bersebelahan di dalam mobil Wirya yang tetap terparkir selama sesaat di pelataran depan rumah sakit.

"Aku nggak tanya siapa namanya."

"Rossa,"

"Aku tanya, dia siapa?"

"Anaknya teman Mami aku."

"Aku yakin bukan cuma sebatas itu."

"Memang bukan cuma sebatas itu."

"Terus dia siapa?"

"Aku nggak tau harus jawab kamu dengan gimana, Rossa."

"Jawab jujur."

"Aku nggak mau."

"Kenapa?"

"Sebab kalau aku jujur, aku bakal bikin kamu nangis."

Ada gumpalan aneh yang serasa menyumbat tenggorokan Rossa, membuatnya sukar bernapas, membuat dadanya terasa sesak. Cewek itu melarikan tatapannya keluar kaca gelap mobil, memandang pada dunia luar yang kelihatannya baik-baik saja. Nggak seperti dia dan Wirya sekarang.

"Setelah kupikir lagi, pilihan yang ada cuma aku nangis sekarang atau aku nangis nanti. Aku prefer sekarang."

"Roseanne—"

"Wirya."

Wirya mengeratkan genggaman tangannya pada roda kemudi sebelum melepas napas berat. Dia tau, cepat atau lambat, dia bakal mesti memberi tahu Rossa. Tapi nggak secepat ini. Nggak sekarang. Dia punya rencananya sendiri, termasuk agenda untuk bicara dengan ibunya. Pertemuannya dengan Kalya di rumah sakit—lebih parahnya, di depan ruangan dokter kandungan—adalah sesuatu yang tidak terduga, faktor eksternal yang menghancurkan seluruh persiapannya. Tentu saja, dia bisa jujur pada Rossa. Namun melihat dari karakter Rossa, Wirya tahu, sangat mustahil mengharapkan cewek itu nggak akan overthinking. Di sisi lain, selalu ada kemungkinan gagal untuk setiap hal, Wirya merasa dia akan sangat jahat kalau dia menjanjikan sesuatu yang nggak bisa dia pastikan.

"Kalya itu anak temannya Mami aku."

Rossa tetap diam, menunggu sembari memandang Wirya dengan mata yang sarat kekhawatiran.

"Mami dan temannya bersahabat dekat. Mami suka sama Kalya. Katanya, Kalya baik."

"I can see that. Pretty, too." Rossa menambahkan.

"Rossa,"

"Apa lagi, Wirya?"

Wirya menarik napas dalam-dalam, melanjutkan dengan untaian kata bernada gamang. "Mami berharap aku sama dia bisa dekat."

"..."

"Tapi tenang aja, Mami bilang gitu karena aku belum ngomong soal kamu."

"Menurut kamu, itu bakal mengubah keadaan?"

"We can give it a chancebut..." Wirya meneguk saliva, balik menatap pada Rossa. "Apa itu yang penting sekarang? Menurutku nggak. Soalnya keadaan kita—"

"Mami kamu nggak akan mau nerima aku."

"Rossa,"

"Nggak akan, ketika sainganku cewek kayak dia!"

"Who knows—"

"You know!" Rossa memotong tajam, membuat Wirya terbungkam seketika. "Kamu tau, makanya kamu nggak bilang! Kamu tau, makanya kamu nggak mau ngomong! Kamu tau, makanya kamu bisa nebak ini semua bakal bikin aku nangis!"

Wirya membisu saat Rossa mulai terisak.

"You lied too."

"Aku nggak—"

"Kamu bilang kita bakal baik-baik aja. Faktanya? Nggak! Kamu tau itu dan kamu bohong ke aku!" Wirya benci melihat air mata yang berjatuhan di wajah Rossa. Dia mengulurkan tangan, bermaksud menghapus jejak basah di pipi cewek itu dengan jarinya, namun Rossa menepis lengannya.

"Aku mau pulang."

"Rossa, ini bukan akhir."

"Aku nggak peduli. Aku mau pulang."

Wirya melihat pada cewek di sebelahnya beberapa lama, lantas menarik napas panjang entah untuk yang keberapa kalinya. Dia tak suka melihat Rossa menangis, tetapi dia juga tau, dia nggak bisa dan nggak berhak memaksa cewek itu untuk tetap baik-baik saja. Maka, Wirya tancap gas, melajukan mobilnya keluar dari pelataran parkir untuk bergabung dengan kendaraan lainnya yang sudah menyesaki jalanan.

*

Johnny kaget ketika pintu apartemennya tau-tau diketuk dan waktu dibuka, yang terlihat adalah sosok Jenar, sedang nyengir sambil memeluk kardus konsol PS4 yang dia punya.

"Kalau lo mau gadai PS4 lo, mohon maap, gue nggak tertarik. Coba ke Tigra atau ke Milan sekalian." Johnny sudah mau menutup pintu ketika Jenar menyorongkan kakinya, menahan biar pintu nggak bisa tertutup tanpa bikin dia kejepit.

"Siapa juga yang mau gadai PS4?! Gue kagak kurang duit!"

"Terus mau ngapain?"

"Coba deh, kalau ada tamu tuh, sopan dikit. Ajak masuk dulu, suguhin minum sama kue, baru ditanyain ada kepentingan apa. Kita nih orang Indonesia, man. Jagalah kearifan dan keluhuran budaya lokal!"

Johnny memutar bola matanya, namun dia menurut dan membuka pintu unit apartemennya lebih lebar. Setelah dia, dia membalikkan badan, melangkah masuk begitu saja. Jenar mengikuti, menutup pintu dan menguncinya sebelum melangkah lebih jauh menuju bagian tengah unit apartemen Johnny.

"Ngapain lo bawa PS4?"

"Mau ngajak lo main."

"Gue juga punya PS4."

"Gue lebih sering menang kalau gue main pake PS gue sendiri." Jenar meletakkan kardus konsol gamenya di atas meja. "Sendirian aja nih?"

"Enough with your small talks. Mau ngapain lo kemari?"

Kalau dibilang musuh, sebenarnya Johnny dan Jenar bukan musuh. Walau mereka sering bersaing sejak masih sekolah dan Johnny punya sejarah buruk sama salah satu adik sepupunya Jenar—yang bikin Jenar sangat-sangat anti membiarkan siapapun cewek yang dia sayang (baik sebagai lawan jenis maupun sebagai teman) terlibat terlalu jauh sama Johnny—tapi hubungan diantara mereka nggak "seberdarah" itu. Johnny melakukan kesalahan di masa lalu, dia mengakuinya. Jenar nggak pernah memaafkan, tapi di saat yang sama, dia juga sadar jika bukan haknya memberi maaf. Selama Johnny nggak berdekatan dengan cewek-cewek yang Jenar pedulikan (terutama Rei), Jenar bisa menganggap Johnny sebagai teman bicara yang lumayan.

"Mau ngerusuh."

Jenar beranjak dari kursi, melangkah layaknya di rumah sendiri. Dia membuka kulkasnya Johnny, mengeluarkan soju botolan dari sana. "Tumben nyetok banyak. Lagi sering mabok lo?"

"Lo berantem sama Regina?" Johnny menerka dengan kerut muncul di kedua alis.

"Nggak."

"Gue denger dari Tigra, katanya lo jemput Rei dari tempatnya Dhaka dengan marah."

"Oh, itu salah paham. Ujung-ujungnya, gue justru asik-asik-an sama dia."

"I don't need to hear about your dirty moments with her."

"Ciaaaa, cemburu ya?" Jenar meledek, terus menenggak beberapa teguk soju dari botolnya. "Ibarat kata orang yang baru nikah, gue sama dia lagi ada di fase bulan madu sekarang."

"Air kencing juga kalau baru keluar masih anget."

Jenar menyipitkan matanya. "I'm curious, honestly."

"Soal apa?"

"Nggak lo, nggak Tigra, nggak Dhaka. Every single one of you is so eager to see me fail on loving her."

"Maybe because you played around too much before?"

"Indeed. But I quit my game long time ago, after she came in the frame."

"She?"

"Regina, you dumbass. Kita kan lagi ngomongin Regina, bukan yang lain." Jenar malah jadi sewot. "That rainy day. Di kafe. Kalau nggak salah, lo bahkan ada di sana. Gue lihat dia dari jauh dan damn... it felt like a big bang."

"Sounds like you're attracted to her just because she's pretty."

"Not gonna lie. But that wasn't the only reason."

"Terserah." Johnny menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Terus kalau lo nggak lagi ribut sama dia, ngapain lo kesini?"

"Kenapa juga lo mikirnya gitu sih?" Jenar balik nanya.

"Lo cuma cari gue kalau lagi ribut sama Regina." Jenar terbatuk, membuat Johnny mengomel tak lama setelahnya karena ada soju yang menetes ke lantai. "Kayak bocah aja sih! Bikin becek tempat orang!"

"Bahasa lo tuh barusan ya, kayak lo cemburu sama Regina."

"Oh, who says I am not?"

"Karena gue sama Rei."

"Karena Rei sama lo."

"Enjoy that shit." Jenar ngeledek. "Tapi serius, gue di sini mau nanya soal sesuatu."

"Apa?"

"About your feelings for her."

"Dan kenapa itu penting buat lo?"

"Karena gue rasa, lo suka sama dia."

"Emang."

"Oh, God, rasanya kayak rebutan mainan di daycare." Jenar menggerutu. "Tigra. Dhaka. Even lo. Why, though?"

"She's pretty. Not gonna lie."

"But you didn't do anything to get her." Jenar masih nggak mengerti. "Tigra left her. Dan Dhaka... geez, dia adalah definisi kebodohan terhakiki. Bayangin aja, dua belas tahun nggak ngapa-ngapain."

"Karena nggak kayak lo, kita semua punya akal sehat."

"Akal sehat, my ass. The three of you will die as virgins."

"I am not a virgin. I don't know about Dhaka but I'm sure Tigra is not a virgin either." Johnny menyeringai sedikit.

"Perumpamaan doang, Nyet. But seriously, tell me why."

"Kenapa tiba-tiba lo jadi mau tau soal itu?"

"Untuk ngertiin dia lebih baik."

"Maksudnya?"

"Di mata gue, Regina itu yang terbaik. Nggak ada yang kurang dari dia—well, mungkin dia rada kurang ajar sih yah sama hati gue, tapi itu jenis kurang ajar yang bisa gue terima. She's pretty, kind, honest, so lovable.Tapi dia nggak ngerasa dia seperti itu, malah justru kebalikannya. She thinks she is weird. So, I wanna hear your opinion, in order to understand her point of view better."

"Sebab lo sayang dia. Sesayang itu. Ketika kita sayang sama seseorang, semua tentangnya jadi spesial, bahkan yang sepele sekalipun. Pandangan lo jadi subjektif, makanya ada ungkapan yang bilang kalau cinta itu buta." Johnny menyahut, lantas menyambung. "Gue mau jujur, tapi gue harap lo nggak ngamuk."

"Tell me."

"She's hard to understand, and hard to love. Maybe it's because of her relationship with her parents that gives her emotional trauma. And if you're a complete person, and you try to love a broken person, it's mandatory for you to get frustrated that you aren't being loved in the way you want to be loved."

"Em-hm. Then?"

"Menurut lo, kenapa Tigra nggak pernah jalan sama siapa-siapa setelah dia kelar sama Regina?"

Jenar nggak menjawab.

"You will never return to how you were before them. It's a take it or leave it thing. Staying with someone like that requires all the love you could possibly have. It's a win or lose game. In the end, it's either winning the war or losing everything. Including yourself."

"..."

"Karena itu, gue ngerasa, ketika lo mencoba sayang sama orang yang kayak gitu—yang boro-boro percaya sama lo, dia aja kadang nggak percaya sama dirinya sendiri—lo harus bersabar sama dia. Langkah pertama lo nggak akan jadi satu-satunya langkah pertama lo. Dan yang terpenting, perasaan lo untuk dia harus nyata." Johnny mengangkat bahu. "Dalam usahanya untuk ngertiin Regina dan ngasih dia ruang, Tigra justru kehilangan dia. Sedangkan gue? Perasaan gue nggak sebesar itu."

"..."

"Ada beberapa perasaan yang lebih baik jadi sebatas angan yang dipendam, karena dengan begitu, dia bisa berakhir lebih baik daripada kalau perasaan itu direalisasikan."

"..."

"Me and Regina? That sounds like a super toxic relationship. I'm not ready for that. Hidup ini bukan film. You can love people, yes, but that love doesn't change them overnight."

"But do you like her?"

"Suka? Iya. Peduli? Jelas. Sayang hingga gue bersedia mengorbankan segalanya untuk dia? Nggak juga. Gue sempat mikir, lo nggak baik buat Regina. Tapi Tigra bilang, yang harusnya hati-hati tuh bukan Regina, tapi lo. Now I understand why. You're totally head over heels for her. Coba bayangin kalau besok-besok, dia tiba-tiba bangun dan sadar dia nggak butuh lo lagi—bahwa lo bukan apa yang dia cari. Bayangin, gimana bentuknya hati lo kalau itu sampai terjadi?"

"Ngapain dibayangin, orang nggak akan terjadi."

"Songong bener."

Jenar nyengir meski diam-diam, dia meresapi apa yang barusan Johnny bilang. Oke, Rei mungkin memang sulit dimengerti, tapi setelah Jenar tau gimana perlakuan yang Rei terima dari keluarga terdekatnya sendiri, dia ngerasa itu bukan salah Rei.

Ada sebuah dongeng yang pernah Jenar baca, tentang seorang bocah penggembala yang menangis karena serigala. Ceritanya, bocah penggembala ini ngerasa bosan, lalu berseru dan menangis memanggil penduduk desa karena domba-dombanya diserang serigala. Penduduk desa berkumpul, mengira itu benar. Turned out, si bocah bohong dan cuma mengerjai mereka. Kedua kali, penduduk desa masih datang. Ketiga kali, penduduk desa masih datang. Lalu setelahnya, penduduk desa kehilangan kepercayaan sama si bocah penggembala. Pada kali keempat, sewaktu si bocah penggembala betulan diserang serigala, nggak ada yang merespon teriakan minta tolongnya. Mereka ngira, bocah penggembala ini berbohong seperti yang sudah-sudah.

Terlalu sering ditinggalkan bikin seseorang sulit percaya sewaktu ada yang datang dan berniat menetap.

Obrolan Johnny dan Jenar terinterupsi ketika ponsel Jenar tau-tau berbunyi. Jenar mengeceknya, langsung tersenyum lebar saat tau siapa yang menelepon. Dia beranjak dari duduk dan pergi ke balkon Johnny buat nerima teleponnya.

"Miss me that much?"

"Cuma mastiin kalau lo masih hidup. Lo bilang lo mau telepon sore ini." Suara Rei menjawab dari seberang sana. "Now that I know you're alive, it's okay. Gue matiin deh ya—"

"Jangan gitu, dong!" Jenar buru-buru menahan. "Lo udah telepon. Tanggung kalau nggak pake ngobrol-ngobrol dikit."

"Ck."

Jenar terkekeh. "Lagi ngapain?"

"Bernapas sambil duduk."

"Serius, Regina."

"Nggak tau. Lagi bengong aja. Lagi sepi, jadi gue bingung mesti ngapain."

"Gue kasih kerjaan mau nggak? Kalau mau, nanti abis gue jemput di kafe, kita langsung ke tempat gue."

"Yaudah yuk, unboxing."

"Nggak usah mancing!"

"Lah, kan barusan lo yang nawarin."

"Bercanda. Gue tuh nggak selamanya sange, tau!"

Rei nggak tertawa, namun Jenar bisa menerka, cewek itu lagi tersenyum sekarang. "Lo lagi di mana dan lagi ngapain?"

"Di Bumi. Mikirin seseorang namanya Regina Arunika."

"NAJIIIIIIISS!!" Rei berseru spontan, namun kini tawanya betulan pecah.

"Tapi seneng, kan?"

"Gue nanya serius."

"Lagi di tempat Johnny. Main PS."

"Tumben mesra."

"Satu-satunya alasan gue dan dia nggak akur adalah karena kebrengsekannya di masa lalu dan fakta kalau lo pernah naksir dia."

"Sampai sekarang juga masih naksir, kok. Sayang aja, dianya nggak naksir gue."

Jenar mendelik. "Baik-baik tuh mulut. Kalau gue kalap, gue dorong Johnny dari balkon!"

"Mana bisa?"

"Nggak ada yang nggak bisa."

"Johnny kayaknya lebih strong dari lo. Coba aja, kapan-kapan lo berdua adu panco."

"Kalau gue menang, unboxing special edition ya?"

"Kalau Johnny yang menang, dia yang unboxing dong?"

"NGACO, ANJIR!"

"Kalau pede menang sih nggak mesti panik gitu." Rei ngeledek.

"Nggak. Bercanda. Mana ada gue jadiin cewek gue sendiri barang taruhan."

Rei tertawa lagi, tapi nggak dilanjut kata-kata apa pun. Senyap. Namun telepon masih tersambung. Bengong sejenak, akhirnya Jenar malah bernyanyi samar.

"Cause it's too cold... for you here and now..."

"..."

"So let me hold... both your hands in the holes of my sweater."

"... tiba-tiba banget nyanyi?"

"Nggak apa-apa. Lagi pengen nyanyiin lo aja."

"Jago banget. Udah sering ya?"

"Udah sering apa?"

"Nyanyiin cewek."

"Lo cewek pertama yang gue nyanyiin."

"Ow."

"... lewat telepon." Jenar menyambung dengan jahil.

"Memang jelmaan Lacoste."

"Bercanda." Jenar membantah geli. "Beneran, lo cewek pertama yang gue nyanyiin."

Rei terkekeh. "Ah ya, soal proposal lo... gimana? Sori, akhir-akhir ini gue banyak ngeribetin lo sama urusan gue, ketika lo sendiri punya banyak hal yang mesti dipikirin."

"It's all okay. Gue kan pinter. Paling nanti malem sih kayaknya mau ngerjain."

"Je."

Jenar langsung paham. "Just tell me anything in your mind, sweetheart."

"Kalau lo mau... gue bisa... gue bisa..." Rei bicara dengan susah-payah dan Jenar tau, cewek itu pasti tengah mengumpulkan keberanian untuk menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya. "... gue bisa nemenin lo. Gue tau, ada atau nggak adanya gue nggak akan ngaruh banyak. Tapi... well... you're always there for me. I want... I want to do... the same."

"Oke."

"Hng?"

"Gue jemput lo setelah shift lo selesai."

"Oke."

"See you!"

"Iya."

Jenar memandangi layar ponselnya sejenak, sebelum dikejutkan oleh chat baru. Bukan dari Rei, tapi dari papanya.

from: bokap
jenardi, km sibuk ngga sabtu ini?

papa mau ketemuan sama om ardhi.

klo km ngga sibuk, ikut juga yuk.

*

Jella pusing banget mikirin anak-anak kosan Sadewo akhir-akhir ini—padahal yah, itu tugasnya Yumna selaku mamak nggak resmi anak-anak kosan, tapi mau gimana lagi, habisnya perdramaan anak-anak kosan kayak nggak kelar-kelar.

Pertama, sekarang-sekarang ini, Jinny jadi suka ribut sama penghuni kosan Sadewo lantai satu. Penyebabnya tuh sepele banget. Kadang karena Seno, temennya Jinny main ke kosan dan markir motornya nutupin pagar. Atau sesederhana gas dapur lantai dua habis, terus Jinny numpang masak di dapur lantai satu, tapi bekas masaknya nggak diberesin. Friksi-friksi kayak gitu terus berlanju dan Jella khawatir nih, nantinya berkembang jadi masalah serius di kemudian hari.

Selanjutnya, Harsya yang sudah macam jadi istri orang semenjak pacaran sama Jackson. Daripada di kosan, tuh orang lebih sering cabut atau nginep di tempatnya Jackson. Jella tau sih, mereka memang pacaran. Tapi masalahnya, saking seringnya Harsya ngilang, mereka jadi khawatir. Mana Jackson ini bukan tipe yang bisa berbaur sama mereka. Terus-terang saja, rada ganjal ke perasaan Jella, namun dia belum berani mengkonfrontasi Harsya secara langsung.

Berikutnya, ada Sakura yang kayak hidup segan mati enggan semenjak Alfa resmi nikah sama Sierra. Padahal status mereka juga sudah mantanan. Jella tahu kok kalau Alfa sama Sierra dijodohin, tapi kalau dinalar secara logika ya, menurut Jella, sekiranya Alfa memang suka sama Sakura, dia akan memperjuangkan Sakura gitu loh. Bukannya malah nikah sama Sierra. Atau emang Alfa-nya saja yang ganjen—biar bisa dapet double, nggak cuma Sierra, tapi juga Sakura. Laki jaman sekarang memang kebanyakan brengsek.

Perkara Rossa... nggak usah ditanya deh ya. Jella dengar dari Yumna, katanya maminya Wirya punya calon sendiri buat Wirya. Ditambah lagi, ada kemungkinan besar, maminya Wirya nggak bisa nerima Rossa disebabkan kondisi Rossa sekarang. Bayangin saja deh jadi orang tua, dengar anak sendiri menghamili anak gadis orang saja bisa lemas banget atau nggak terima, apalagi ngedengar anak kebanggaan keluarga mau nikahin cewek yang sudah hamil duluan karena orang lain. Ribet banget, jujur saja, Jella nggak berani ikut campur kalau sudah bawa-bawa keluarga.

Kayaknya, dari semua anak lantai dua kosan Sadewo, cuma Rei yang nggak bikin puyeng, all thanks to Jenar. Anak-anak kosannya Tigra masih pada kontra sama Rei dan Jenar sih, terutama Dhaka. Katanya, Jenar tuh player. Tinggal nunggu waktu saja buatnya ninggalin Rei. Namun Jella punya pendapat lain. Jenar kayaknya nggak akan se-persistent itu mengejar Rei cuma buat ninggalin dengan alasan bosan.

"Ros, makan dulu deh. Lo tuh udah nggak makan apa-apa dari pagi." Jella berujar sambil mengetuk pintu kamar Rossa, yang dibalas dengan isak tangis. Rossa jadi cengeng banget akhir-akhir ini. Mungkin selain karena stress, juga karena hormon yang masih belum stabil kali ya. Namanya juga orang hamil.

Masih nggak dijawab juga, akhirnya Jella menyerah dan melangkah menjauhi kamarnya. Dia sudah menelepon Jaka, minta cowok itu datang. Rossa menolak ketemu sama Wirya, jadi harapan terakhir ya tinggal Jaka. Nggak mungkin juga sih Jella menelepon Milan, soalnya selain karena Milan nggak ada hubungan apa-apa sama Rossa, juga karena Jella masih belum siap ketemu cowok itu secara sengaja—meski dia mulai mikirin kata-kata yang Jenar bilang tempo hari.

Makanya, Jella kaget berat ketika dia baru balik badan dan disambut bukan cuma sama Jaka, tapi sama Milan.

"ANJIR—HEH, MASUK RUMAH ORANG NGGAK ADA ASSALAIMUALAIKUM ATAU APA KEK GITU?!" Jella protes sambil berusaha nggak ngelihat ke arah Milan.

"Udah, tadi di bawah." Jaka cuek. "Rossa di mana?"

"Di dalam."

"Dia lagi nggak megang pistol atau benda tajam sejenis kan?" Jaka merasa perlu memastikan.

"Nggak sih, tapi ya kalo ditusuk juga emangnya bakal kenapa gitu? Lo bukan balon, nggak bakal meledak atau kempes."

Jaka bersungut-sungut sebelum menghela napas, mempersiapkan dirinya dan masuk ke kamar Rossa tanpa mengetuk.

Jella dan Milan mempersiapkan diri untuk mendengar jerit penolakan atau lemparan bantal, namun ternyata yang ada justru senyap.

"Sangat nggak terduga." Milan bergumam.

Jella berpaling pada cowok di depannya, berdeham canggung. "Ngapain lo di sini? Setahu gue, gue neleponnya Jaka. Bukan lo."

"Sengaja dateng, kali ada aja yang kangen."

"Nggak usah ge-er."

"Gue nggak bilang kalau yang kangen itu lo."

"Oh." Jella malu banget, rasanya kepingin nungging dan ngumpetin wajahnya di kasur. Tapi dia mencoba menebalkan muka, bersikap seperti ucapan Milan nggak mempengaruhinya.

"Gue di-chat Jenar. Disuruh kesini."

"Hah, buat apa?!"

Jenar brengsek, Jella membatin dalam hati.

"Kata Jenar, mesin cuci kosan rusak."

"..."

"Lo minta tolong Jenar benerin, kan?"

"Iya. Tapi itu karena dia anak Mesin—damn it, kenapa juga gue harus ngerasa ngejelasin ke lo?"

Milan menarik senyum. "Gue bukan anak Mesin, tapi gue bisa coba cek mesin cuci lo."

"..."

"Mesin cuci di kosan pernah rusak gara-gara Tigra, dan gue pernah lihat Johnny ngecekin. Kayaknya sih nggak begitu sulit. Gue coba cek dulu."

"Ck, yaudah."

"Tapi gue butuh bantuan lo."

"Gue nggak paham Mesin."

"Nggak, kok. Bukan untuk ikut benerin, tapi buat nunjukkin gue mesin cucinya ada di mana dan..."

"Dan apa?!"

"Nemenin aja. Rasanya nggak enak ngutak-ngatik sesuatu kalau nggak ada tuan rumahnya."

Ingatkan Jella buat ngegampar Jenar begitu mereka ketemu nanti.

*

Yuta baru melangkah keluar dari perpustakaan departemennya—sengaja, lagi cek-cek hasil skripsi angkatan-angkatan sebelumnya, untuk mendapat pencerahan sekaligus sumber referensi. Gini-gini, Yuta sudah mesti memikirkan menyusun proposal supaya bisa lulus pada waktu yang tepat—ketika ponselnya bergetar karena chat dari Yumna.

from: raden roro
sayang, di mana?

Yuta tahu, maksudnya Yumna manggil dia 'sayang' tuh sebagai ledekan sekaligus candaan saja. Mungkin nggak lebih. Dan karenanya, Yuta jadi kesal sendiri. Bahkan sampai hari ini, Yumna nggak membahas mengenai kemungkinan mereka balikan. Yuta bete banget, deh. Memang, mereka sering ketemu. Mereka sering ngobrol. Terus ada kalanya juga mereka ciuman sampai make-out segala. Tapi sebatas itu. Nggak pernah ada obrolan lebih. Kalau ngomong berdua, mereka seringnya nggak ngomongin soal mereka, justru membicarakan orang lain.

Saking seringnya, Yuta sampai hapal, oh si Rei sering nginep di tempat Jenar di hari ini, hari ini dan hari ini atau Rossa lagi galau banget gara-gara Wirya, atau Jella yang bingung mesti gimana sama Milan.

Kalau Yuta bisa terus-terang, dia bakal teriak kencang-kencang di depan Yumna; nyeeeeeeeet, gue nggak peduli mau Rei telat dapet apa nggak, Jella jadinya balik sama Milan apa nggak dan Rossa bakal berakhir sama Jaka atau sama Wirya!! Gue mau kita ngomongin kita! KITA! Gue dan lo!

Tapi mana sempat, keburu jiper duluan.

Getar lainnya dari pesan baru yang masuk ke ponsel Yuta membuyarkan lamunan cowok gondrong itu.

from: raden roro
say, kok ngga dibales?

Yuta menghela napas, mulai mengetikkan balasan.

to: raden roro
di perpus. ngapa?

from: raden roro
oiya. lo kan udah mulai nyusun propo juga ya.

to: raden roro
ngapa?

from: raden roro
bisa ketemu ngga?
mau ngobrolin sesuatu.

to: raden roro
ngobrolin apa?

from: raden roro
penting.
ngga bisa lewat telepon atau chat.

Yuta benci karena balasan Yumna bikin harapannya naik.

to: raden roro
lo di mana? gue kesana.

from: raden roro
ngga usah. gue aja yang ke departemen lo.

Yuta mau bilang jangan, tapi sepertinya Yumna nggak akan mendengarkannya. Jadi dia mengiakan saja, lanjut melangkah ke pelataran depan departemennya. Sempat menunggu sejenak, Yumna muncul dari pintu gerbang. Cewek itu mengenakan kemeja longgar yang jadi luaran kaos putih. Yuta mengenali kemeja itu. Jelas, sebab kemeja tersebut adalah kemeja miliknya—yang sudah hilang dari lemari berbulan-bulan lampau, di awal dia pacaran sama Yumna.

Kayaknya, geng anak-anak Sadewo ini memang hobi merampok baju dari lemari pacar masing-masing—menilik bagaimana Yuta pernah lihat Rei diantar pulang Jenar dengan kaos kebesaran milik Jenar melekat di badannya.

"Oy!"

Rambut Yumna dikepang satu hari ini. Cantik. Yuta suka.

Tanpa sadar, Yuta balik melambai dan tersenyum lebar. Lebih hangat dan lebih cerah dari seharusnya. Mereka berboncengan naik motornya Yuta, lanjut ke tempat makan langganan yang berada paling dekat dengan kampus. Keduanya memesan, terus duduk berhadapan.

"Lo... mau ngomongin apa?" Yuta bertanya hati-hati sambil mereka menunggu pesanan mereka diantarkan. Yuta berharap banget sih untuk kali ini saja, Yumna bakal ngajak dia bicara tentang mereka, bukan tentang yang lain.

"Gue lagi pusing deh sama anak-anak kosan. Terutama Rossa. Tau kan, soal Rossa dan Wirya yang—"

Yuta menunduk sedikit, tersenyum miring, disusul gelak samar yang kedengaran seperti sedang mengejek dirinya sendiri.

Yumna nggak melanjutkan ucapannya. "Kenapa deh, kok respon lo gitu banget?"

"Harusnya gue nggak berharap banyak."

"Maksudnya?"

"Tiap ngajak gue ketemu dengan alasan mau ngomong, lo selalu ngomongin orang lain. Nggak pernah gue. Even, nggak pernah lo. Nggak pernah kita. Sekalipun."

"..."

"Sekali-sekali, nggak ngomongin orang lain nggak bisa ya, Na?"

Yumna mengerjap, terus membuang napas. "Kalau lo emang nggak mau jadi temen curhat gue, ngomong aja dari awal! Jangan malah marah-marah dadakan kayak gini! Kalau lo nggak terima, gue nggak akan maksa! Lagian kalau emang nggak suka, bilang kek!"

"Gimana gue bisa bilang?!"

"Punya mulut kan? Dipake!" Yumna ikutan nyolot.

"Gimana bisa gue bilang gue nggak suka, ketika ini tuh satu-satunya alasan gue bisa ketemu lo, ngelihat lo dan ngomong sama lo?!"

"Yuta—" Yumna makin nggak ngerti sama ledakan emosi Yuta yang menurutnya terlalu tiba-tiba.

"Bisa nggak, sekali aja, lo nggak mikirin orang lain?! Bisa nggak, mikirin gue?! Atau seenggaknya, mikirin diri lo sendiri? Is that too much for me to ask?! Lama-lama, gue muak beneran!"

"Buat apa juga ngomongin kita?"

"Karena gue nggak baik-baik aja dengan kita yang sekarang!!" Yuta berseru, suaranya menarik perhatian beberapa mahasiswa lain yang duduk di sekitar mereka.

"Emang kita yang sekarang kenapa?!"

"Nggak jelas!!"

"Apa juga yang harus diperjelas?! Kita putus—"

"DAN GUE NGGAK PERNAH BAIK-BAIK AJA DENGAN ITU!!" Yuta melepaskan semuanya, apa yang telah dia pendam. "Gue nggak mau putus dari lo! Gue mau lebih dari teman curhat lo! Dan lagi, teman nggak melakukan hal-hal yang kita lakuin, Yumna!"

"Kecilin suara lo, anjir. Malu!"

"Bodo."

"Kita putus, yaudah. Toh, kita jadian juga perkara UNO. Cuma main-main, Yuta."

"UNO-nya? Iya, main-main. Perasaan gue? Nggak sebercanda itu."

"You silly."

"Oh, jadi buat lo, perasaan gue konyol?!"

"Konyol, karena itu belum tentu perasaan lo yang sesungguhnya. Siapa tau aja, lo hanya terbawa suasana."

"Terbawa suasana gimana?"

"Karena lo terlalu terbawa perasaan dengan hubungan pacaran diantara kita."

"Gimana bisa, ketika gue sendiri udah naksir sama lo sebelum gue menangin permainan UNO keparat itu?!"

Oke, kini Yumna tak mampu menjawab, hanya bisa ternganga seraya berusaha memproses apa yang baru saja didengarnya.

*

to: milan
ke kosan sadewo deh. mesin cucinya rusak.
benerin atau kalo ngga bisa, pura-pura ngecek aja.

from: milan
biar apa?

to: milan
biar lo ada alesan nyamperin jella, nyet.

from: milan
oiya.

to: milan

aduh, gubluk.

from: milan
thanks, bro.

"Nge-chat siapa sih, kok kayaknya serius betul?"

Pertanyaan dari papanya Jenar membuat cowok itu mengangkat wajah, mengalihkan fokus dari layar ponselnya. Jenar hanya nyengir, sementara Om Ardhi, sahabat karib papanya, yang duduk di depannya ikutan mengangkat alis seraya memasang ekspresi menggoda. Iya, Jenar menyetujui ajakan papanya buat makan bareng Om Ardhi—katanya sih mau ngobrol-ngobrol saja, tapi Jenar yakin, sedikit-banyak mereka bakal bahas-bahas perkara bisnis juga. Jenar nggak begitu tertarik, sebab kalau dia memang berniat bergabung dengan perusahaan keluarganya setelah lulus, dia bakal masuk Bisnis atau Ekonomi, bukannya Teknik.

"Pacarnya kali ya."

"Bukan, Om."

"Tapi sudah punya pacar, kan?"

"Udah sih. Siapa tuh namanya?" papanya Jenar bertanya—namun belum sempat Jenar menjawab, mereka telah diinterupsi oleh seorang waitress yang mendekati meja mereka dengan buku menu di tangan.

"Selamat sore. Selamat datang di—"

Jenar menoleh pada waitress tersebut, bersamaan dengan gadis tersebut memandang padanya. Jelas, nggak butuh waktu panjang buat Jenar untuk mengenali gadis itu. Sejenak, diantara mereka nggak ada yang bicara. Papanya Jenar dan Om Ardhi menatap mereka bergantian.

"Something wrong, Jenardi?"

Rei memaksakan senyum, melanjutkan bicara dengan template kata-kata yang telah diucapkannya puluhan kali hari ini. Dia nggak merencanakan ini sama sekali. Hanya saja, Yua bilang, setiap weekend, family resto tempatnya berada sekarang kerap butuh tenaga ekstra—dan dipikir lagi, daripada berdiam diri di kosan, Rei pikir bakal lebih baik kalau dia mengisinya dengan pekerjaan part-time occasional. Dia sengaja nggak bilang Jenar karena kesempatan seperti ini jarang datang—dan dia nggak mengantisipasi sama sekali kalau dia bakal ketemu Jenar di sana.

Rei lega, soalnya Jenar nggak bilang apa-apa. Dia mencatat setiap pesanan dengan baik, menanyakan apa ada tambahan atau instruksi khusus dan setelahnya, berlalu membawa pesanan yang sudah dicatat ke konter pembatas antara tempat para juru masak mempersiapkan makanan dengan ruangan tempat para pelanggan duduk untuk makan atau menunggu pesanan mereka diantarkan. Papanya Jenar tentu saja nggak mengenalinya, karena mereka belum pernah ketemu.

Jenar sendiri nggak bisa bilang kalau dia nggak kaget—dia tau soal part-time yang Rei lakukan di kafe, tapi nggak di sini. Entah cewek itu memang sengaja nggak jujur padanya, atau dia punya alasan lain. Entahlah, namun kata-kata Johnny mau tidak mau terulang, terputar lagi dalam kepalanya.

And if you're a complete person, and you try to love a broken person, it's mandatory for you to get frustrated that you aren't being loved in the way you want to be loved.

He didn't expect anything.

He just wanted her to be honest with him.

Is that too much to ask?

Jenar menghela napas, melirik pada Rei yang kini berada di ujung lain ruangan. Cewek itu menghindari tatapannya. Jenar menelan saliva, berusaha memaksakan senyum ketika Om Ardhi dan papanya melontarkan candaan. Agak sulit memperhatikan apa yang mereka katakan, sebab pikirannya tertuju pada orang lain di ruangan itu.

Nggak sampai setengah jam kemudian, Rei kembali lagi bersama nampan berisi bergelas-gelas minuman, juga hidangan yang telah dipesan. Rei menyajikannya masih sambil tersenyum, tapi tatapan mata Jenar justru jatuh pada telapak tangan kanan cewek itu. Ada bekas melepuh kemerahan di sana, yang sebelumnya nggak ada saat Rei mencatat pesanan. Sejenak, Jenar hanya menatap pada bekas melepuh itu, hingga Rei tersadar dan berusaha menyembunyikan telapak tangannya dari pandangan Jenar.

"Oke, pesanannya sudah keluar semua ya, Pak? Jika ada tambahan atau perlu sesuatu, bisa panggil saya lagi."

"Oke. Terimakasih ya." Om Ardhi berkata, yang dibalas Rei dengan anggukan sebelum dia melangkah cepat meninggalkan meja mereka.

"Kamu mikirin sesuatu?" suara papanya Jenar menyentak.

"Mikirin pacarnya kali nih ya?" Om Ardhi menggoda.

Jenar menarik senyum tipis, melirik sekali lagi ke tempat Rei berdiri dan menyahut singkat. "Iya, Om. Hehe."

*

Rei agak lega karena setelah menghabiskan makanan bersama dua orang lelaki setengah baya yang menyertainya, Jenar meninggalkan restoran tanpa bilang apa-apa. Dia tahu, dia salah. Bisa jadi, Jenar merasa dibohongi. Dia akan menjelaskan semuanya nanti—bahwa kesempatan jadi waitress di sana tidak tetap dan dadakan, juga belum tentu Rei akan kembali mengisi akhir pekannya di tempat itu pada minggu berikutnya. Akan sangat wajar jika Jenar merasa kesal, namun di saat yang sama, ekspresinya selama berada di restoran sulit dibaca.

Pekerjaan Rei di sana baru selesai menjelang jam sembilan malam—sangat beralasan, karena restorannya tutup jam sepuluh. Disebabkan Rei hanya tenaga lepas, dia nggak perlu ikut-serta membersihkan restoran dan menutupnya. Maka, usai berganti pakaian dan menggerai rambutnya yang selama seharian ini dibiarkan tergelung, cewek itu berpamitan, lalu melangkah keluar dari restoran.

Dia nyaris jantungan ketika mendapati sebuah mobil yang familiar telah terparkir di depan restoran. Rei sudah sering melihat mobil tersebut, walau Jenar lebih suka pergi kemana-mana mengendarai sepeda motornya. Dia menghela napas, mempersiapkan diri sebelum melangkah menghampiri mobil tersebut. Jenar masih diam saja sewaktu Rei meraih kenop pintu mobil penumpang bagian depan yang nggak dikunci. Cewek itu masuk tanpa menyapa, berusaha membaca ekspresi wajah Jenar.

Nihil, dia tetap nggak bisa menerka suasana hati cowok di sampingnya.

"Je, soal yang hari ini—"

"Give me your hand."

"Hah?"

"Give me your hand."

Tanpa pikir panjang, Rei menyodorkan tangan kirinya pada Jenar.

"Bukan yang itu, yang satu lagi."

"Ah—ini—" Rei mengulurkan tangan kanannya. "—tadi nggak sengaja kesentuh hot plate. Bentar doang, sih. Nggak apa-apa."

"Udah gini, masih bilang nggak apa-apa?" Jenar mendelik, mengeluarkan sebuah tube salep dari dalam kantung plastik yang tergeletak di atas dashboard. Perlahan, dia mengoleskan sedikit isinya di atas bekas melepuh kemarahan yang kini sudah bertransformasi jadi luka bakar.

"Nggak sakit."

"Bohong banget."

"Soal yang tadi, gue nggak bermaksud ngerahasiain dari lo. Beneran. Itu tuh dadakan aja, bukan sesuatu yang tetap juga. Jadi kata Yua—"

"Gue nggak nanya."

Rei tertunduk sedikit. "Gue tau. Tapi... gue nggak mau lo ngerasa kalau gue sengaja... nggak mau jujur sama lo. Gue jadi ngerasa salah. Makanya... gue ngerasa perlu ngejelasin dan minta maaf..."

"Maaf untuk apa?"

"Nggak ngasih tau lo. Beneran, nggak maksud begitu. I mean, we promise to be each other's safe place and—"

Kata-kata Rei nggak terteruskan ketika dia merasakan telapak tangan Jenar menepuk kepalanya lembut beberapa kali.

Cewek itu mengangkat wajah, hanya untuk mendapati Jenar sedang tersenyum padanya, diikuti serangkaian kata-kata. "You did great today."

"Hah?"

"I said you did great today."

Rei mengerjap beberapa kali. "Lo... nggak marah?"

"Kenapa juga gue harus marah? Gue ngerti, kok. Walau gitu, gue berharap lo lebih hati-hati. Lo bikin gue khawatir."

"... maaf."

Jenar memandang Rei sejenak, kemudian berujar hati-hati. "You're wrong, you know."

"Soal apa?"

"Ketika lo bilang Johnny nggak naksir lo."

"Hah?"

"Johnny naksir lo. Dia sendiri yang bilang gitu ke gue."

"... kok bisa?!"

"Kok bisa apa?"

"Dia bilang gitu ke lo..."

Jenar mengedikkan bahu. "Waktu lo nelepon gue tempo hari, saat gue di tempat Johnny, gue datengin dia karena gue mau nanya sesuatu. Sekalian main PS bareng juga, sih."

"... nanya apa?"

"Soal lo."

Rei terbatuk. "Kenapa nanyanya ke Johnny?"

"Buat mandang lo dari sudut pandang yang lain. Buat ngertiin lo. Sebab di mata gue, nggak ada yang kurang dari lo. Tapi di saat yang sama, lo kayak nggak percaya dengan gimana gue memandang lo. Menurut gue, cara pandang seseorang kepada dirinya sendiri itu bisa dipengaruhi oleh kata-kata atau cara orang di sekitarnya mandang dia. Kayak misalnya nih, nggak ada seorang pun yang ngerasa dirinya jelek, sampai society, sampai lingkungan pergaulannya bilang dia jelek. Makanya, gue tanya Johnny soal lo."

"... terus"

"Kata Johnny, segala hal tentang lo jadi bagus di mata gue, karena gue sayang sama lo."

"I think it's true. Gue nggak istimewa. Perasaan lo untuk gue yang bikin gue jadi terkesan istimewa banget."

"Mau dengar nggak Johnny bilang apa?"

"Apa?"

"Dia naksir lo."

"... uh... oke."

"But he said, you're too hard to be with. Lo terlalu cautious, begitu hati-hati sama orang baru."

"Because I am emotionally damaged?"

"Kinda."

"Gue tau, kok."

"Dan kata Johnny, sayang sama orang yang nggak bisa mempercayai siapapun, termasuk dirinya sendiri, itu berat. If you're a complete person and you try to love a broken person, it's mandatory for you get frustrated that you aren't being loved in the way you want to be loved."

"..."

"With someone like you, it's either winning the war or losing himself. And he's not willing to take the risk."

"Sangat bisa dimengerti. Itu nunjukkin dia waras. Lo nih yang nggak waras. Makanya gue pernah nanya kan, dari semua orang, kenapa gue? Ada banyak orang di dunia ini yang baik-baik aja. I mean, in a world full of options and opportunities, in a world where most roads are smoothly paved, only few will ever choose the rigid path to a damaged person's heart."

"Because my soul recognize no soul but yours."

Rei ketawa. "Dangdut banget."

"Dih, beneran kok! Nyatanya begitu!" Jenar membantah. "Tapi dari obrolan gue sama Johnny, gue jadi ngerti sesuatu."

"Hm, apa?"

"Bukan lo yang salah, tapi merekanya aja yang terlalu pengecut."

"..."

"Hanya karena ada orang-orang yang mikir lo sulit disayang, bukan berarti lo nggak berhak disayang, kan? Mereka berhak punya pendapat sendiri, tapi gue bakal nunjukkin kalau mereka salah. You're not hard to love. You're deserve love. And you'll be loved."

"Tapi jujur, menurut lo, apa yang Johnny bilang itu benar nggak?"

"Yang mana?"

"Tentang rasa frustrasi karena lo nggak balik disayang seperti gimana lo pengen disayang."

"Tadinya gue mikir gitu."

"Sekarang?"

"Gue ngerti kalau setiap orang punya cara yang beda-beda dalam menyayangi. Cara gue beda. Cara lo beda. Tapi intinya tetap sama, lo sayang sama gue dengan cara lo sendiri. Dan gue cukup seneng dengan cara lo sayang sama gue."

"Pede banget."

"You said you love me. Dan lagi, ngapain coba lo repot-repot nemenin gue ngerjain proposal sampe bikin-bikin kopi dan snack segala di tengah malam kalau lo nggak sayang sama gue?"

Rei buang muka untuk menyembunyikan rona di wajahnya.

"If it's true that loving you is either winning or losing everything, well, I won't stop until I win."

"..."

"I'll win."

Rei mengangkat wajah, tersenyum dengan mata yang kini berkaca-kaca sebelum kemudian mencondongkan badannya, mencium pipi Jenar.

Jenar terperangah, tetapi tak lama setelah Rei menarik dirinya menjauh, dia yang nggak mau kalah balik mencondongkan badan, menjatuhkan kecupan balasan di kening Rei.

"Dih."

"Biar impas." Jenar tergelak. "Anyway, nanti keluarga gue mau adain acara keluarga. Kumpul-kumpul gitu. Di Jakarta kok. Mama nanya, lo bisa ikut apa nggak?"

"Hng... beneran... lo mau ajak gue?"

"Iya. Mau ya?"

Rei terdiam sejenak, teringat pada bagaimana nyokapnya Jenar memperlakukannya dengan begitu baik. Dia nggak punya alasan untuk menolak. "Oke."

Senyum Jenar kian lebar. "Eh ya, yang di pipi tadi... artinya apa?"

"Harus ada artinya?"

"Harus, dong! Kayaknya nggak mungkin banget lo tiba-tiba tergerak duluan nyium pipi gue."

"Artinya..."

"... ya?"

"You've won." 




to be continued. 

***

a/n: 

yak anggap saja ini tenang sebelom badai. 

btw kasian ye si wirya wkwkwkwkwkwk


***

January 24th 2021 | 20.55

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro