Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31 | honesty

warning: mature content, sexual content 




***

Bakal bohong besar kalau Jaka bilang dia nggak gugup.

Saat dia melintasi meja depan bersama Rossa, beberapa perawat memandangnya dan Rossa bergantian dengan tatapan yang agak terlalu teliti dan penuh spekulasi. Untungnya, mereka nggak perlu menunggu lama, sebab perawat lainnya yang berjaga di depan ruangan dokter langsung paham sewaktu melihat Rossa. Perawat tersebut sempat melirik Jaka sebelum mempersilakkannya untuk masuk.

Jaka sudah tau kalau dokter yang akan mereka temui itu tantenya Jenar, cuma dia nggak mengira fitur wajah perempuan setengah baya itu benar-benar mirip Jenar dan kakak perempuannya. Keluarga kayak keluarganya Jenar nih tipe keluarga yang bikin orang lain dihantui iri-dengki. Gimana nggak? Kayaknya semua anggota keluarganya menang lotere genetik yang bikin penampilan mereka kelihatan sangat oke meski dengan pakaian yang sederhana.

"Temannya Jenar?" perempuan itu bertanya dengan ramah.

Jaka mengangguk. "Kita berdua sama-sama temannya Jenar."

"Saya kira yang akan nganter kesini temannya Jenar yang satu lagi."

"Dia sibuk." Rossa tersenyum kaku.

"Oke, silakan duduk." Tantenya Jenar berujar, membuat Rossa dan Jaka ikut duduk di depannya. Lalu, perempuan itu membuka sebuah amplop kertas berwarna cokelat yang nggak Jaka ketahui apa maknanya. Dia kira, Rossa datang kemari hanya untuk pemeriksaan biasa. Tapi dari gestur yang ditunjukkan oleh tantenya Jenar, kelihatannya Rossa sudah pernah kesini seenggaknya sekali. "Jadi, berkaitan dengan tes darah yang sudah dilakukan—sori, sebelumnya, bisa saya bertanya soal sesuatu."

Sebagai pihak yang ditatap, Jaka langsung mengangguk. "Iya, Dok?"

"Who's the father, actually? You or Wirya?"

Jaka menoleh ke Rossa. "You didn't tell her?"

Rossa terdiam, nggak berani menjawab sebab pertanyaan Jaka terdengar sangat menohok. Jaka menahan napas, berusaha untuk nggak membiarkan rasa frustrasi menguasainya dan dia pun menjawab pertanyaan tantenya Jenar dengan senyum yang dipaksakan. "Saya, Dok."

"Kalau dari hasil tes darah yang sudah dilakukan—"

"Sori, Dok, tapi kenapa mesti dilakukan tes darah ya? Memangnya ada sesuatu yang nggak wajar?" Jaka memotong.

"I fainted." Rossa membalas cepat. "Waktu malam Natal. Wirya ke rumah gue. Gue pingsan. Untungnya nggak terlalu parah, jadi orang tua gue nggak mikir yang macam-macam. Tapi Wirya khawatir, jadi kita—"

"Dan lo nggak bilang apa-apa sama gue?"

"Jaka—"

"Kita harus bicara, setelah ini." Jaka menegaskan, kemudian beralih pada tantenya Jenar yang masih berada di depan mereka. "Maaf, Dok. Penjelasannya bisa diteruskan."

"Kelihatannya, golongan darah antara ibu dan anaknya nggak cocok."

"Maksudnya?"

"Kalau boleh saya tebak, kamu punya golongan darah dengan rhesus positif. Sedangkan golongan darah Rossa punya rhesus negatif. Ketika darah dengan rhesus negatif bertemu dengan darah yang punya rhesus positif, tubuh pemilik rhesus negatif akan memproduksi antibodi untuk melawan darah ber-rhesus positif yang dianggap asing. Berhubung kamu punya golongan darah dengan rhesus positif, ada kemungkinan—" tantenya Jenar berdeham. "—anak kalian punya rhesus positif. Maka, antibodi dari tubuh ibu bisa menyerang sel darah merah dari tubuh bayi. Ini bisa berujung pada komplikasi terhadap bayi, mulai dari anemia atau masalah lainnya yang berhubungan dengan darah. Ini juga berefek kepada ibunya."

Jaka pusing, tapi di saat yang sama, dia juga takut.

"Tapi bukan berarti kalian doomed. Jika Rossa bersedia, kita bisa sensitize dia dengan Rh Immunoglobulin dalam bentuk injeksi."

"Bagusnya adalah, kita tahu soal ini sebelum trimester pertama berakhir. Kalau ini baru diketahui pada fase kehamilan lebih lanjut, resiko keguguran akan jauh lebih tinggi. Pada beberapa kasus, ibu bahkan mengalami keguguran tanpa tahu apa penyebabnya."

"... oke, Dok."

"Nah, sekarang pertanyaannya, apa Rossa bersedia menerima injeksi Rh Immunoglobulin yang tadi saya sebutkan?"

"Saya... akan pikir-pikir dulu, Dok."

Jaka hampir tersedak. "Gue kira kita berdua udah sama-sama setuju—"

"Gue perlu ngomong sama Wirya."

"Rossa—" Jaka merasakan kedua tangannya terkepal kuat tanpa dia sadari. Tapi dia juga ingat jika di depan mereka masih ada tantenya Jenar, dan perempuan itu menyaksikan semuanya. Jadi dia menahan emosinya dengan helaan udara super panjang. "—kita akan ngomong soal ini nanti."

"Terserah."

"Oke, kalau itu maunya Rossa. Tapi saya harap, segera ada kabar secepatnya ya."

"Iya, Dok."

"Untuk sekarang ini, saya akan meresepkan vitamin dan suplemen yang bisa membantu Rossa biar lebih fit dalam beraktivitas. Is that okay?"

"Oke, Dok."

Tantenya Jenar tersenyum manis pada mereka, kemudian sibuk menulisi resep dan memberikanya beserta lembaran dokumen dalam amplop cokelat yang tadi dia baca pada Rossa. Jaka mengucapkan terimakasih, menjabat tangan perempuan itu, lalu melangkah keluar ruangan. Rossa mengikutinya. Mereka berjalan dalam diam di sepanjang koridor, hingga Jaka memutuskan berhenti di depan rumah sakit.

"Kita udah sepakat soal ini. You keep the baby. Gue rasa, bukannya Wirya juga menginginkan yang sama?"

"Itu sebelum Wirya tau soal ini."

"Rossa—"

"Dan even lo bapaknya anak ini, yang gue mau tetap Wirya."

"..."

"Is that too hard for you to understand? Gue mau Wirya."

Kalau sudah gini, Jaka betulan nggak tahu harus ngomong apa.

*

Yuta paham banget, kebanyakan teman-teman mereka tuh menganggap dia sama Yumna cuma sebatas bercandaan doang. Wajar sih, sebenarnya. Mereka kan jadiannya gara-gara Yumna kalah main UNO. Cewek itu memang langganan menang main UNO. Betul-betul nggak pernah kalah. Makanya dia bisa pede bilang dia bersedia jadi pacar untuk siapapun yang menang jika yang menang itu bukan dia—sebab ya nggak mungkin banget dong Yumna menikahi dirinya sendiri.

Yumna nggak tahu saja kalau Yuta sudah naksir sama Yumna dari jauh-jauh hari.

Mereka pertama kali ketemu waktu Yumna main ke kosannya Tigra bareng Rei dan Rossa. Biasalah, cewek-cewek kalau sudah main ke kosan di malam Minggu, ujung-ujungnya pasti molor di situ kan. Baru pada pulang di pagi hari.

Nah, menjelang tengah malam, Yumna ke dapur. Niatnya mau bikin mi kuah sepanci gede pakai sarden dua kaleng. Yuta belum kenalan nih sama cewek-cewek teman-temannya Tigra dan Dhaka yang suka main ke kosan. Bahkan waktu itu, Milan saja belum kenal sama Jella maupun Rossa.

Malam-malam, Yuta juga ke dapur. Niatnya mau bikin kopi, soalnya lagi nge-DOTA kan seru banget, biar nggak ngantuk gitu. Eh, malah ketemu Yumna yang lagi kesusahan membuka kaleng sarden. Yuta melongo sebetar di ambang pintu dapur, sampai dia melihat Yumna tampak seperti mau menggigit tepi kaleng sarden.

Refleks banget, Yuta, berseru. "ET, JANGAN DIGIGIT!!"

Yumna membeku di tempat, otomatis urung menggigit tepi kaleng sarden. Dia menoleh ke arah Yuta. Seketika, wajahnya dijalari rona.

"Jangan digigit, nanti gigi lo ambyar semua!" Yuta mendekat, lalu mengulurkan tangannya. "Lo belom pernah buka kaleng sarden ya?"

"Biasa sih kalau makan sarden ya di warteg."

"Di rumah nggak pernah masak?"

"Gue bangsawan. Nggak pernah masak di rumah."

"Anjay, bangsawan dari keraton mane luuuuuuuu?!" Yuta refleks meledek.

"Beneran! Di depan nama gue ada 2R-nya!"

"2R size foto?"

"Raden Roro!" Yumna nyolot, soalnya berasa diremehkan banget. Memangnya tampang dia nggak cocok jadi keturunan bangsawan? Orang cakep macam incess gini kok!

"Bangsawan apaan, lagak lo nggak ada anggun-anggunnya sama sekali. Mana kalau ketawa paling gede pula. Kedengaran sampai ke kamar gue."

"Ye maap."

"Nggak apa-apa sih. Untung suara ketawanya manis."

"Orangnya juga iya."

"Belum pernah ngejilat, jadi gue belum bisa bilang setuju."

"Yaudah, kapan mau coba ngejilat?"

Checkmate.

Yuta yang biasanya bisa bikin cewek memerah karena tersipu maupun karena tengsin kini kena batunya. Yumna kelihatan nggak terpengaruh sama kata-katanya. Dia jadi fokus membuka kaleng sarden dengan sangat effortless. Malu banget sih sama dua lengan kalau buka kaleng sarden saja nggak bisa. Pemandangan itu sendiri membuat Yumna melongo. Soalnya Yuta juga lagi pakai heavy tank top warna putih, jadi kedua lengannya termasuk lekuk otot di bagian lengan atasnya kelihatan jelas. Nggak too much kayak binaragawan, tapi sepertinya tetap ashoy kalau jadi tempat gelendotan.

"Nih."

Yumna berdeham. "Oh... jadi gitu caranya buka sarden. Oke, gue bisa!"

Yuta mengangkat alis ketika dilihatnya Yumna meraih kaleng sarden lainnya dari atas konter. "Lah, masih ada lagi?"

"Satu lagi. Kan yang makan banyak."

"Yaudah, sini gue bukain!"

"Nggak. Gue mau coba." Yumna enggan memberikan kaleng sarden di tangannya ke Yuta. Yuta terperangah, tapi akhirnya membiarkan. Dia sendiri nggak ngerti kenapa dia tetap berdiri di sana, seakan-akan menunggu Yumna membuka kaleng sardennya.

Ditonton seperti itu oleh Yuta Yumna jadi terdorong buat membuktikan diri. Dia berusaha menarik ujung pengait di atas kaleng sarden sekuat tenaga, seperti yang tadi Yuta lakukan. Tangannya sampai shaking secara lebay.

Dan... kalengnya terbuka, tapi secara dramatis, isinya muncrat ke muka Yuta.

Yuta kaget, refleks memejamkan mata.

"ANJIR! MAAP, ANJIR—EH, MAAP, BANG—EH, POKOKNYA MAAP!!" Yumna panik. "JANGAN BUKA MATA! MEREM AJA! NANTI SARDENNYA MASUK MATA!!"

"Anjing, perih—"

Yumna takut banget dia bakal bikin anak orang buta. Maka, dia makin kalut. Namanya orang ya, kadang kalau sudah panik tuh otaknya suka mendadak beku. Akhirnya dia bertindak impulsif. Yuta sendiri masih merem saat dia merasakan ada yang memegang tepi wajahnya. Tangannya Yumna. Lalu, Yumna memaksa Yuta melebarkan kakinya, biar tinggi mereka bisa sepantaran.

Tak lama, ada kain kering nan wangi menyeka muka Yuta. Untungnya, bekas sardennya nggak banyak yang berada di sekitaran mata. Habis itu, Yumna menarik Yuta mendekat ke wastafel cuci piring. Dia membersihkan sisa-sisa merah di hidung dan dekat mata Yuta menggunakan air yang mengalir, kayak emak-emak lagi bersihin muka anaknya yang masih bocah. Untung saja Yuta nggak ingusan kayak bocah-bocah.

"Coba buka mata."

Yuta membuka mata. Pertama, dia dibikin kehabisan kata-kata karena muka Yumna dekat banget sama mukanya. Kedua, dia sadar, bagian depan kaos Yumna sudah penuh bekas sarden. "Kaos lo kenap—JANGAN BILANG LO NGELAP MUKA GUE PAKAI KAOS LO?!"

"Kain bersih yang paling dekat ini doang. Kecuali muka lo mau gue elap pakai kain kotor bekas orang-orang lap tangan."

Yuta terbengong, membayangkan kain yang tadi pernah begitu dekat ke mukanya kini bersentuhan langsung dengan behanya Yumna.

Terus nggak tau kenapa, ketika sudah kembali ke kamar, Yuta masih saja kepikiran. Dia sempat termangu sebentar sebelum kembali lagi ke dapur bersama sehelai kaos. Yumna masih berada di sana, sedang sibuk masak mi.

"Oy!"

Seruan Yuta refleks membuat Yumna menoleh, bersamaan dengan sebuah kaos yang dilemparkan ke arahnya. Spontan saja, Yumna menangkap kaos tersebut.

"Ini apa maksudnya nih?"

"Ganti baju."

"Hah?"

"Baju lo kotor. Ganti baju. Pake baju gue aja dulu. Lo temannya Dhaka sama Tigra kan? Balikinnya gampang."

"Anjir, nanyanya rombongan amat kayak studytour Jogja."

"Lo ganti baju aja dulu."

"Di sini?"

Muka Yuta merona. "YA MASA DI SINI?!"

Yumna justru ngakak. "Santai dong! Gue cuma bercanda! Tapi btw, kenapa muka lo merah banget gitu?"

"Nggak apa-apa."

"Anyway, tadi lo ke dapur mau ngapain?"

"..."

"Nggak mungkin mau lihat gue, kan?"

"Bikin kopi." Yuta jujur.

"Kopi item, kopi susu, kopi tubruk atau kopinang kau dengan bismillah?"

"Kopi susu." Yuta menyahut, disusul membatin dalam hati, 'bener-bener nih cewek.'

"Kaku banget deh lo nggak bisa diajak bercanda!" Yumna berdecak. "Tapi makasih dan maaf soal kaleng sarden yang tadi."

"Yuta."

"Hah?"

"Nama gue Yuta."

"Oh, oke. Yuta."

"Nama lo siapa?"

"Kanjeng Ratu."

"Serius."

"Raden Roro."

"Serius, njir."

"Kan gue bilang, nama gue depannya ada Raden Roro-nya."

"Nama lo yang biasa, bukan nama incess lo."

"Yumna."

Terus dari sana, Yuta jadi lebih merhatiin Yumna. Mungkin karena mulut cablaknya Yumna yang jadi hiburan banget untuk Yuta. Atau kelakuannya yang nggak ada bangsawan-bangsawannya sama sekali. Yumna galak sih, tapi lucu. Yuta kan jadi suka.

Kenapa tiba-tiba Yuta keingat kejadian kaleng sarden itu?

Bisa jadi, karena dia lagi galau? Nggak tau kenapa ya, memang sih, hampir empat bulan yang lalu, setelah mereka putus, hubungan mereka kayaknya punya harapan buat membaik lagi. Ketika mati listrik, Yumna juga sempat menginap di tempat Yuta dan mereka juga ada main-main sedikit. Cuma setelah itu kayak... nihil saja?

Nggak ada kata balikan dan sejenisnya.

Yuta jadi resah, soalnya terus-terang saja, dia masih sayang kok sama Yumna. Dia menikmati situasi mereka yang sekarang sebab mereka putus pun bukan karena ribut atau apa. Tapi Yuta jadi cemas, soalnya kalau Yumna jalan sama cowok lain, dia nggak ada alasan untuk marah.

Lagi gamang sambil scrolling timeline Instagram, tahu-tahu nemu postingannya Yumna. Foto jarinya yang luka. Kayaknya kegores. Captionnya; hasil ngebuka kaleng sarden.

Kebetulan banget?!

Yuta pun dm Yumna, soalnya kalau langsung di kolom komentar, bisa habis dia jadi bahan ledekan Milan sama Tigra.

yutakoyaki: tangannya raden roro kenapa

ujuyuju: tumben kepo

yutakoyaki: namanya peduli

yutakoyaki: bukan kepo

ujuyuju: abis buka kaleng sarden

yutakoyaki: ngga bilang ke gue sih

yutakoyaki: jadinya luka kan

ujuyuju: ngga enak ngerepotin

yutakoyaki: najis, kaya sama siapa aja

ujuyuju: kalo udah gini, biasanya lo ada maunya

yutakoyaki: kangen kamu

ujuyuju: barusan ngetiknya pake akal sehat apa pake titit?

yutakoyaki: pake tangan

ujuyuju: hadeh

ujuyuju: yaudah kesini deh

ujuyuju: sekalian gue mau minta pendapat

yutakoyaki: pendapat?

ujuyuju: soal regina. soal rossa. soal sakura. soal harsya.

ujuyuju: pusing banget gue mikirin anak-anak, padahal emaknya aja bukan

yutakoyaki: otw

ujuyuju: bawa thai tea.

yutakoyaki: bawanya hati

ujuyuju: haha najis

Yuta terdiam sebentar. Sempat mengetik; sebenarnya, na, kita udah balikan apa belom sih? Tapi urung dikirim. Malah Yuta hapus.

Setelahnya, dia bersiap-siap untuk pergi ke kosan Sadewo.

*

"Terserah gue kan? Sekarang, lo diem."

Sumpah, galak banget. Rei langsung kicep dengar Jenar bilang begitu. Mana habis berkata begitu, muka Jenar masih saja beku. Dia memandang lurus ke depan. Tangannya lekat ke setir. Terus terang saja, Rei jadi takut dia akan digaplok. Tapi kalau diingat-ingat lagi kejadian diantara mereka 14 Februari lalu, kayaknya nggak mungkin banget nggak sih cowok kayak Jenar bakal gaplok Rei?

Keheningan merajai sepanjang jalan, hingga Rei sadar, Jenar membawanya ke tempat yang familiar. Cowok itu membelokkan mobil ke parkir basement gedung apartemennya. Tanpa banyak bicara, Rei turun dari mobil, mengunci mulutnya rapat-rapat. Mukanya Jenar masih saja horor, kayak mau bunuh orang. Sepanjang jalan dari basement, mereka berkawan dengan sunyi. Di dalam lift, Jenar masih tetap membisu seribu bahasa. Sewaktu sampai di unit apartemennya Jenar, mereka masuk dan Jenar langsung mengunci pintunya.

Rei jadi deg-deg-an, ini dia mau diapain...

Jenar melempar kunci mobilnya ke karpet. Setelahnya, dia duduk di sofa. Agak bersandar. Kedua kaki terpisah jarak. Mata memandang sadis. Rei berdiri, hanya berani melihat. Cemas kalau-kalau dia salah gerak, nantinya dia bakal diterkam.

"Ngapain lo berdiri aja di situ?"

"... nggak tau mau gimana."

"Tadi kayaknya berani banget ngedebat gue?" Jenar bertanya, nadanya sinis dan menusuk. Beneran, selama kenal Jenar, Rei nggak pernah mendengar Jenar semarah itu.

"..."

"Duduk."

"Jenar—"

"Gue bilang, duduk."

Benar kali ya, nggak ada yang lebih menyeramkan dari marahnya orang yang biasa ganjen haha-hihi dan jarang serius kayak Jenar.

Akhirnya, Rei menurut. Dia duduk, rada gentar tapi tak punya pilihan. Jenar tak langsung bicara, malah memperhatikannya sambil memandangnya lurus, seperti predator lagi mengintai mangsa. Rei jadi berasa kecil banget. Ini ya... kalau Jenar tiba-tiba menerjangnya terus mencekiknya, kayaknya Rei nggak akan bisa melawan.

"... apa?" Jenar nggak kunjung bicara, jadi Rei berinisiatif memecah kesenyapan, meski suaranya yang keluar tergolong kecil banget.

"Kenapa bohong?"

"... kan udah dibilang—"

"Ngomongin apa sih sama Dhaka sampai bohong gitu ke gue?"

Wah, Rei hampir panik. Tapi dia berupaya keras tetap tampak tenang. "Nggak apa-apa. Ngobrol biasa aja."

"Bohong lagi, kan?"

Rei tertunduk, meremas-remas jarinya sendiri. "... gue suruh lo jawab, bukan minta maaf."

"Je—"

"Jawab yang benar."

"Gue—"

Belum selesai bicara, hp-nya Rei berbunyi. Takut-takut, Rei melirik Jenar. Jenar menyuruhnya mengecek telepon itu, takutnya penting. Ternyata, itu dari Dhaka.

"Siapa?"

"Dhaka."

"Sini hp-nya. Gue yang ngomong."

Rei betulan nyaris gemetar waktu dia mengulurkan ponselnya ke Jenar. Setelah menerima ponsel Rei, Jenar beranjak dari kursi, bergerak menuju balkon untuk mendapat privasi. Rei nggak mengikuti, tetap diam di sana. Dan sejujurnya, Jenar bersyukur Rei melakukan itu. Dia lagi benar-benar kesal sekarang. Kalau Rei berusaha membela Dhaka di depannya ketika dia sedang bertelepon dengan cowok itu, Jenar hanya akan makin marah.

"Apa?" Jenar menjawab telepon Dhaka dengan nada rendah setelah dia tiba di balkon.

"Lo bawa Rei kemana?!" Kentara sekali, Dhaka begitu panik di seberang sana.

"Bukan urusan lo."

"Dia teman gue!"

"Dia—" Jenar mau bilang 'pacar', tapi ya gimana ya, pacar saja bukan? Jadinya makin kesal sama Rei. Bete banget, sebab nggak ada kejelasan diantara mereka berdua. Jadi kan dia nggak bisa balas nyolot ke Dhaka.

"Dia apa?!" suara Dhaka menyentak.

"Dia lagi sama gue. Dia urusan gue."

"Nggak usah marah-marah sama Rei! Gue sama dia nggak ngapa-ngapain!"

"Gue nggak butuh penjelasan lo."

"Kalau sampai Rei kenapa-napa, lo yang bakal gue—"

"Bakal apa?" Jenar menantang. "Ini urusan gue sama Regina. Nggak usah ikut campur."

Sehabis itu, teleponnya diputus dan Jenar mematikan ponsel Rei. Beruntung, nggak dilempar ke lantai bawah. Tapi nggak mungkin juga, sih. Jenar memang marah, namun dia masih punya akal sehat.

Dia diam sejenak di balkon. Menghela napas panjang, mengembuskannya pelan-pelan. Bukan apa-apa, namun Jenar merasa dirinya useless banget kalau Rei lagi kesulitan dan justru menyembunyikannya darinya, malah lebih nyaman bercerita ke orang lain.

Jenar kan sudah pernah bilang ke Rei, bahwa bagaimana pun keadaan dan situasinya, dia nggak akan pernah pergi.

Kenapa ya, kayaknya sukar banget untuk bikin cewek itu mengerti?

Ketika Jenar masuk lagi ke ruang tengah, Rei masih duduk di tempatnya ketika Jenar meninggalkannya. Bedanya, sekarang di atas meja telah tersaji secangkir kopi. Baunya memenuhi ruangan. Enak.

"What the—"

Rei tidak menjawab, justru tertunduk kian dalam.

"Kopi dari mana?"

"Gue bikin."

"Buat apa?!"

Bahu Rei tersentak sedikit dan Jenar sadar, nada dari pertanyaannya barusan terlalu tajam. Wah, apa dia semenyeramkan itu sampai-sampai seorang Regina Arunika bersikap segininya? Marahnya Jenar jadi berkurang dikit, soalnya dia justru merasa bersalah melihat Rei setakut itu.

"Buat lo—maaf—kalo—"

Jenar menghela napas panjang, diiringi desah lelah yang terdengar jelas. Rei jadi urung melanjutkan ucapannya. Dia diam saja, sampai Jenar bicara lagi.

"You're really something else."

"..."

"Nggak adil banget. Kalau kayak gini, jadi susah buat gue untuk marah."

"... maaf."

"Gue nggak butuh maaf lo. Gue tanya, kenapa lo bohong sama gue cuma untuk ketemu Dhaka?"

"Karena—"

"Gue nggak pernah menghalangi lo ketemu sama temen-temen lo. Nggak sekalipun. Gue nggak akan ngotot ngikutin, kalau emang lo terus-terang dari awal. Kalau gini caranya, ngelihat dari reaksi Dhaka, gue jadi makin yakin lo ngumpetin sesuatu dari gue."

"Gue nggak ada apa-apa sama Dhaka."

"Of course. I know. You're not the type that will cheat." Jenar menyentakkan kepalanya. "Even tho gue nggak tau sekalipun lo ngapa-ngapain sama cowok lain, apa gue punya hak untuk marah."

"... kenapa bilangnya gitu?"

"Masih nanya? Unbelievable." Jenar melepas tawa yang terkesan mengejek. "You never said you love me. Bahkan dengan cara yang nggak niat sekalipun."

"Jenar—"

"Setiap kali gue bilang kalau gue sayang sama lo, lo selalu menjawabnya dengan 'gue tau'. Of course, you know. Kebangetan banget kalau lo nggak tau."

"Gue nggak bermaksud begitu."

"Then say it. Say that you love me. You don't have to say it."

Rei mengangkat wajah, memandang Jenar dengan mata yang berkaca-kaca dan wajah yang memerah. Shit, Jenar tahu, cewek yang menunjukkan wajah seperti itu biasanya sudah hampir menangis. Sekarang, dia kembali ditikam rasa bersalah.

"I love you."

"..."

"And no, I will never cheat on you."

"Well, shit." Adalah satu-satunya yang Jenar katakan sebelum cowok itu mendekat, menempatkan telapak tangannya di salah satu sisi wajah Rei sebelum mencondongkan badan dan menciumnya.

Ciuman itu berbeda dengan ciuman Jenar pada malam hari ulang tahunnya. Kali ini, ciumannya lebih menekan, lebih menuntut. Rei membiarkannya, merasakan tangannya berpindah secara refleks ke leher Jenar. Jemarinya saling bertemu di belakang kepala cowok itu.

Mungkin ini bisa menjadi distraksi—jadi Rei nggak perlu menjawab semua pertanyaan Jenar sebelumnya.

"I love you, but you really piss me off sometimes."

Rei memekik tanpa bisa ditahan ketika salah satu tangan Jenar berpindah ke dadanya, menekan agak terlalu keras di sana bersamaan dengan kecupannya yang telah turun ke leher. Dalam waktu singkat, napa Rei telah terengah.

"Please..."

"Please, what?" Jenar berbisik dengan bibir yang berada tepat di dekat telinga Rei. Suaranya rendah dan dalam.

"Baju gue... hhh... jangan dirobek..."

Diam-diam, Jenar menarik senyum penuh arti. Dia tahu betul, Rei sengaja membiarkannya, berharap dia lupa pada apa yang ingin dia ketahui. Tapi tentu saja, Jenar nggak sebodoh.

Two can play this game well, Regina, Jenar bergumam dalam hati, seraya meneruskan pergerakan tangan dan bibirnya.

Napas Rei tersentak di tenggorokan ketika dia menyadari jemari Jenar telah berada dalam celananya. Menekan pada bagian yang tepat. Dia terlalu malas untuk mengenakan jeans hari ini, jadi—

"Truth be told, sometimes, I really hate you."

Rei refleks berpegangan erat pada bahu Jenar dan memejamkan matanya ketika dua jari cowok itu merambah lebih dalam.

"Kenapa lo bisa berterus-terang ke Dhaka, tapi nggak ke gue?"

Rei tidak bisa menjawab. Napasnya telah sarat deru. Dia menggigit bagian dalam pipinya kuat-kuat, berusaha menahan segala macam suara agar tidak terlontar keluar dari bibirnya. Tangan Jenar masih terus bergerak, kian lama kian cepat. Perasaan janggal itu datang lagi, seperti balon yang terus-menerus dipompa, diisi dengan udara hingga nyaris meledak...

... dan pada akhirnya, balon imajiner itu memang meledak.

Layaknya roller-coaster, ledakan itu membawa Rei ke tempat yang amat tinggi, membuat kepalanya terasa begitu ringan, mengaliri sekujur tubuhnya, membuatnya serasa melayang. Kemudian, dia dibawa turun dan ketika telah berada di bawah, seluruh tenaganya seperti sudah dikuras habis. Tambahan lainnya, dia kurang tidur semalam. Maka tidak heran, sejenak setelahnya, Rei membiarkan badannya yang serasa telah jadi selemas jelly jatuh bersandar pada dada Jenar.

Pipinya melekat ke bagian depan baju cowok itu, sementara dia berusaha mengatur napasnya. Jenar menarik jemarinya keluar, sementara tangannya yang lain mengusap punggung Rei.

"So messy."

Rei memejamkan mata sejenak, masih berusaha mengatur napasnya yang memburu. "... sori."

Jenar menunduk sedikit, membuat hidungnya terbenam diantara rambut di puncak kepala kepala Rei. Dia menarik napas dalam-dalam, menghirup wangi shampo cewek yang sekarang sedang bersandar padanya.

"Tired already?"

"Mm-hm."

Jenar tertawa, membuat Rei mengerutkan dahinya.

"Kenapa?"

"You think I am done with you, don't you?" Jenar menunduk lebih dalam, membuat bibirnya berada di dekat telinga Rei ketika dia menjawab dalam bisikan.

"What—"

"Surprise, I am not."

"Jenar—"

"Sit."

"I am."

"On me."

"What?!"

"Tsk, you talk too much." Jenar mendesis, menempatkan kedua telapak tangannya di pinggang Rei dan memaksa cewek itu duduk di pangkuannya, seperti yang dia inginkan.

"We can continue this next time—"

"You want to distract me, right? So you don't have to tell whatever it is that thing you hide from me? Well, I'm giving you a chance to do your job!"

Oke, sepertinya Rei baru saja memilih langkah yang salah.

Rei lelah dan satu-satunya yang dia inginkan adalah berbaring di atas kasur Jenar, memeluk cowok itu dan membiarkan wangi parfum Jenar memenuhi indra penciumannya sampai dia ketiduran, namun berkata pada Jenar kalau dia nggak tidur semalaman justru akan membuat cowok itu makin kesal.

Sepertinya, dia memang tidak punya pilihan.

Jadi dia membiarkan Jenar menanggalkan bawahan mereka—sumpah, dari cara Jenar melakukannya, tampak sekali cowok itu punya tangan yang terlatih. Lalu, kedua tangannya kembali berada di pinggang Rei. Dia mengangkat sedikit tubuh gadis di depannya, lantas menurunkannya secara perlahan sebelum mulai bergerak.

Ini sesuatu yang baru buat Rei, sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelum. Ada ketidak-nyamanan yang terasa, tapi itu tidak berlangsung lama. Napasnya kembali terengah dan jemarinya berpegangan erat-erat pada bahu Jenar.

Jenar membawa salah satu dari dua tangannya yang berada di pinggang Rei—genggamannya di sana amat kuat dan Rei yakin, jemarinya bakal meninggalkan bekas setelah semua ini selesai—untuk menyelipkan rambut Rei ke belakang telinga, sehingga dia bisa melihat wajah gadis di depannya lebih jelas.

"How is it?" Jenar bertanya dengan suara rendah.

Rei tak bisa menjawab. Tidak dengan bagaimana gerak naik-turun yang Jenar lakukan membuatnya nyaris kehilangan akal sehat.

"Answer. Me."

"Please..."

"What? I can't hear you."

"Please, let me—" Rei tidak bisa meneruskan ucapannya, malah memejamkan mata.

"Look at me." Jenar mendesis dengan nada tajam. Tangannya berpindah memegang dagu Rei. "Look at me when I'm fucking you like this."

Susah-payah, Rei membuka kedua matanya hanya untuk disambut oleh sepasang iris cokelat gelap yang sarat oleh gairah. Tangan Jenar bergeser lagi dari dagunya ke lehernya. Kelima jemari cowok itu melekat di sana seperti kalung. Rei terkesiap ketika dia merasakan jari telunjuk dan ibu jari Jenar menekan pada titik di mana denyut nadinya terasa. Tidak cukup kuat untuk membuatnya merasa tercekik betulan, tapi cukup untuk membuat suplai udaranya berkurang. Kepalanya terasa ringan.

"Is it so hard for you to be honest with me?"

"I—"

"Cum. Now."

Rei tak bisa menjawab, sebab ketika Jenar menarik tangan dari lehernya, dia kembali meledak dalam kepingan, serupa dinamit.

Entah sudah berapa lama waktu yang terlewati, namun ketika orientasi Rei akan lingkungan sekitarnya telah kembali, dia tersadar Jenar sedang menciumi lehernya, menanamkan gigitan kecil yang pasti akan menyisakan bekas—yang baru akan hilang setelah beberapa hari. Dia memang tipe orang yang seperti itu, hobi meninggalkan tanda, Hal kedua yang Rei sadari adalah bagian depan pakaiannya, tepat di bagian perut, telah ternoda oleh bekas sperma.

Rei menghela napas, memasrahkan seluruh bobot tubuhnya untuk ditopang oleh Jenar. Jenar balik memeluknya, mengusap punggungnya dengan gerakan lambat yang terkesan menangis.

"Tell me you're done with me." Rei berbisik dengan kantuk yang mulai menghinggapi matanya. Ini nggak adil. Kenapa dia selalu berakhir jadi orang yang paling kehabisan tenaga, sedangkan Jenar tampak baik-baik saja?

"Kalau gue bilang nggak?"

"Plis." Rei hampir memohon.

Jenar mengelus rambut di belakang kepala Rei. "I am done with you. For today."

"Thanks."

"Your fault. You're such a pain in the ass."

Rei tersenyum tipis, menarik napas dalam-dalam. Bau parfum Jenar telah bercampur dengan sisa-sisa wangi manis tembakau. Dia pasti sering menyimpan kotak rokoknya di saku jaket, sebab aromanya menempel kuat di sana.

"Maaf."

"So, before you doze off, tell me."

"..."

"It's something about your father again, isn't it?"

Rei mengangguk. Sekujur tubuhnya terasa lelah. Dia mungkin butuh mandi dan berganti pakaian—dengan pakaian Jenar, tentu saja. Tapi untuk saat ini, berada dalam dekapan Jenar adalah tempat paling nyaman sedunia. Panas tubuh cowok itu menguar, memberinya kehangatan sekaligus perlindungan.

"Kenapa?"

"He wants to marry that woman."

"And then?"

"Thus, he has to divorce my Mom first."

"... then?"

"My Mom doesn't want to. So he's cutting me off from financial support."

"... what the hell?!"

"It's so embarrassing." Rei menyurukkan wajahnya lebih dalam ke dada Jenar. "I am so embarrassing."

"... Regina,"

"Gue pasti terlihat sangat menyedihkan. Gue berusaha melakukan apa yang gue bisa. Tapi nggak juga bisa cukup."

"Kenapa nggak bilang?"

"Gue bukan pengemis."

"Gue nggak bilang lo seperti itu."

Rei menggeleng, lalu Jenar merasakan deru napas gadis itu di kulitnya, disusul lelehan sesuatu yang hangat. Jenar ingin menarik Rei menjauh darinya, jadi dia bisa melihat wajah gadis itu. Tapi Rei menolak, malah membenamkan wajahnya di dada Jenar kian kuat.

"Don't. Please. Gue jelek kalau lagi nangis."

Jenar berdecak, tapi menghargai keinginan Rei. "Silly you."

"Gue tau."

"Jadi... itu kenapa lo jadi susah banget ditemui akhir-akhir ini—wait." Jenar baru menyadari hubungan dari apa yang terjadi akhir-akhir ini. "—apa itu juga alasannya kenapa ketika gue ulang tahun—"

"... iya."

"Sori."

Rei menggeleng. "Gue yang salah. Tapi karena sekarang lo udah tau, plis, jangan kasihani gue. Atau berusaha membantu gue dengan cara-cara yang cuma akan bikin gue kelihatan jadi kayak pengemis..."

"I can't."

"Harga diri gue adalah satu-satunya yang gue punya, Jenar. Gue nggak punya yang lain lagi."

Jenar benci mendengar Rei mengatakan itu. "You have me, though."

"..."

"Lo punya gue. Gue bisa bantuin lo dengan cara yang nggak bikin lo kehilangan harga diri. Gue bisa dukung lo, ada buat lo. Mungkin nggak menyelesaikan masalah, tapi—"

"Gue tau, makanya... gue minta maaf."

"Barusan itu... did I hurt you?"

"No."

Jenar membuang napas lega.

"I didn't know that you're into choking, tho."

Jenar hampir tersedak. "Sori. Gue terbawa suasana dan—"

"I like it." Rei memotong. "I really like it."

"Oh, baby." Jenar berdecak lagi, kemudian menyambung. "Time to clean yourself."

"Too tired to do that."

"I'll help you."

Dan Jenar sungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia membantu Rei membersihkan diri, memberikan gadis itu baju miliknya untuk dipakai sebagai ganti, lalu membiarkannya merebahkan badan di atas kasurnya, dengan pendingin ruangan yang sengaja telah Jenar matikan. Hanya sejenak setelah kepalanya menyentuh bantal, mata Rei terpejam rapat dengan mudah.

"Secapek itu?"

"Gue nggak tidur semalam."

"Shit, I'm sorry."

"Nggak apa-apa." Rei berbisik dengan suara yag makin lirih, lalu dia menguap. Jenar tertawa kecil melihatnya.

"You're so cute."

Rei tidak menjawab.

"Lah, udah tidur?"

"Je."

"Iya?"

"Kalau kita ketemu secara nggak sengaja—you know, while I am working—dan lo lagi sama teman-teman lo yang nggak kenal gue... atau kalau lo lagi sama keluarga lo... gue akan sangat mengerti jika lo pura-pura nggak kenal sama gue."

"Ngaco. Ngapain juga gue kayak gitu?"

"Because it's embarrassing. Gue nggak mau bikin lo malu."

"Regina, dengerin ya—"

"Nggak, lo yang dengerin gue." Rei memotong masih dengan kelopak mata terkatup erat, dan tak lama, sebelum dia meneruskan kata-katanya, dia sempat menguap lagi. "Tadi lo bilang lo mau denger gue bilang kalau gue sayang sama lo, walau gue nggak sungguh-sungguh mengatakannya dari hati."

"Yes. You did. You said you love me, even you didn't mean it."

"I love you."

"Rei—"

"But I meant it."

Jenar membeku di tempat, tak mampu bergerak selama beberapa jenak. Ketika dia tersadar, Rei sudah sepenuhnya jatuh tertidur. Jenar merasakan debar jantungnya seperti dipercepat. Wajahnya memerah, merambat sampai ke telinga. Dia memandang Rei dengan tatapan tidak percaya, lalu mengeluarkan tawa kecil. Lantas, cowok itu menggeser badannya sedikit dan mencium dahi Rei yang telah larut di alam mimpi.

"Sleep tight, princess."

Ponselnya tiba-tiba bergetar, membuat perhatian Jenar teralih. Dia mengeceknya. Ada satu pesan dari ibunya.

mama:
jgn lupa, sekitar dua minggu lagi ada acara kumpoul keluarga.
btw, karena acaranya masih di jakarta, kalo bisa ajak regina juga ya.

Jenar menjawabnya hanya dengan satu kata singkat sejuta rasa; iya






to be continued.

***

a/n: 

dikarenakan pemenang vote nomor satu di ig adalah jenar wkwkwk maka dia dulu. noceurnya abis ini kayanya. 

karena pada mau yang asik-asik, kuberi yang asik-asik. 

yak apakah masalahnya selesai sampai di sini. tentu sajo tidak. 

masih ada kejutan lain wkwkwkwk 

btw kalian mau mas kun dan pacarnya dibahas ga sih di sini. 


dah itu aja kayanya ya. 

sori kemaleman. 

ciao. 



***

January 6th 2021 | 00.11

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro