30 | marah
Sebenarnya, Dhaka itu tergolong orang yang rada anti sama uwu-uwu-annya orang-orang yang lagi dimabuk cinta. Bukan karena dia iri. Malas saja gitu loh lihatnya. Kayak... kenapa harus saling nunjukkin kalau mereka peduli sama satu sama lain di depan orang banyak? Tapi pagi ini, melihat unggahan Instagramnya Jenar yang ditunjukkan oleh Tigra, Dhaka merasakan kedengkian yang luar biasa. Sumpah ya, seumur hidup, dia hanya pernah merasakannya dua kali—khusus untuk kasus yang berhubungan dengan Rei—dan Jenardi Genta Suralaya adalah orang kedua.
Terus, orang pertamanya siapa?
Tigra.
Jadi suatu ketika, Rei pernah sakit. Cewek itu tipe cewek yang jarang sakit dan kalaupun lagi sakit, nggak akan bersikap bermanja-manja. Kebetulan, dia sakit pada minggu tenang menjelang ujian. Minggu tenang tuh hari-hari libur tanpa ada kegiatan, biar para mahasiswa bisa fokus mempersiapkan ujian. Walau ujung-ujungnya sih dipakai buat main sama balik sejenak ke rumah untuk anak-anak rantau yang rumahnya dekat.
Anak-anak kosan Sadewo pada balik ke rumah, tapi Rei nggak. Disebabkan nggak ada Yumna yang bawelin, makan dan tidurnya Rei jadi nggak teratur. Betulan cari penyakit. Apesnya, beneran ketemu. Nggak tau gimana ceritanya, pokoknya bangun-bangun, Rei sudah berada di rumah sakit. Ada Tigra yang menunggu di sebelahnya, sambil memegangi tangannya, kayak adegan-adegan soswit di sinetron.
Dhaka nggak bisa mengambil posisi Tigra waktu itu dikarenakan pertama, Tigra kala itu adalah pacar Rei dan kedua, dia lagi pulang ke rumah.
Meski demikian, sebagai teman terdekat yang sangat peduli sama Rei, begitu dikabari sama Tigra, Dhaka langsung meluncur ke rumah sakit. Sayang sekali, dia tiba di saat yang kurang tepat. Dhaka baru saja sampai di depan pintu kamar ketika Rei membuka matanya dan mendengar suara Tigra.
"Kalau lo mau tanya lo di mana, lo di rumah sakit. Kalau lo mau tanya gue siapa, gue suami lo."
Sumpah deh, Dhaka hampir batuk-batuk saking kesalnya.
Suaranya Rei masih terdengar lemas saat dia menjawab. "Kapan nikahnya?"
"Tahun kemarin, pas hari Valentine."
"Bangsat, lo kira The Vow." Rei tertawa dan Dhaka rada lega sedikit. "Kok di sini?"
"Pacar gue sakit. Emangnya gue harusnya ada di mana?"
"Somewhere. Nugas. Kemarin-kemarin lo bilang lagi ada deadline proyekan sama dosen."
"Nggak bisa fokus. Masa mau dipaksain?"
"Nanti dosen lo—"
"Dosen gue tau kok." Tigra buru-buru memotong.
"Lo bilang apa emangnya?"
"Saya nemenin istri saya lahiran, Pak."
"Serius."
Ten tergelak sedikit. "Gue bilang, pacar saya masuk rumah sakit, Pak. Deadlinenya boleh mundur dua hari nggak ya?"
"Diizinin?"
"Nggak. Jadinya gue bayar Milan buat ngerjain sisanya biar bisa dikumpulin tepat waktu."
"Tigra—"
"Lo yang paling penting. Oke?"
Dhaka nggak tau mereka ngomongin apa lagi, soalnya mencuri dengar sebatas itu saja sudah cukup bisa bikin hatinya cenat-cenut, dengan cara yang nggak menyenangkan.
Dhaka benci dirinya sendiri karena nggak ngapa-ngapain. Padahal dari semua orang di circle mereka, dia yang paling lama kenal Rei. Masalahnya, bukan karena dia nggak mau, melainkan sebab dia nggak bisa.
Dhaka masih ingat, pada hari Natal yang sudah lalu, Rei nggak pulang ke rumah. Juga nggak merayakannya sama Jenar ataupun Tigra. Rei ke kosannya, nongkrong bareng dia sama Yuta, Jaka dan Eno yang sengaja main biar kosan nggak sepi-sepi amat. Milan pulang ke rumah, sedangkan Wirya natalan ke tempat Rossa.
Sore hari, menjelang malam Natal, Dhaka masuk ke kamar Tigra tempat Rei lagi asyik rebahan sembari nonton drama Korea.
"Uy!"
"Hoh?"
"Gereja, Nyet. Jadi pendosa juga ada waktunya sadar diri."
"Mager."
"Gue anterin."
"Nggak usah, mager."
"Kapan lagi lo ke gereja kalau nggak pas Natal sama Paskah?"
"Kapan-kapan, kalau lagi ingat." Rei berdecak. "Besides, we don't get along well, honestly."
"We?"
"Me and God."
"Gimana mau get along, Tuhannya lo musuhin melulu."
"Oh come on, Dhaka..." Rei mengerang.
"Yaudah, terus mau lo sekarang apa?"
"Lo."
Dhaka hampir tersedak, merasakan detak jantungnya seperti dipaksa dipercepat. "Regina, jangan main-main—"
"Cie, deg-deg-an ya" Rei yengir. "Malam ini makan piza aja bareng anak-anak yuk? Sekalian movie marathon. Ceweknya Eno jadi mau nginep di sini juga, kan?"
"Kirain berdua aja."
"Jangan, ntar ada yang baper."
"Gue?"
"Gue."
Dhaka terdiam, hingga Rei tergelak lepas. "Can I be honest? Mumpung lagi malam Natal."
"Jujur soal apa?"
"You're my first love."
Kalau waktu bisa diputar ulang, Dhaka akan lebih memilih dia nggak pernah mendengar itu dari Rei sama sekali.
Kenapa?
Sekalipun sehati, nggak akan berguna kalau cara dan kiblat berdoanya berbeda.
*
"Nyokap gue mau ketemu."
"HAH?!"
Rei kelihatan sekaget itu dan terus-terang, Jenar nggak mau bikin Rei merasa nggak nyaman. Tapi gimana ya, ibarat kata tikus, posisi mereka tuh sudah terjepit. Lagian, ini juga bukan kali pertama mamanya Jenar kepingin ketemu dan ngobrol sama Rei. Ketika lagi malam Natal, hampir tuh mereka video call-an.
Jadi berhubung papanya Jenar itu anak tunggal dan mamanya Jenar anak sulung di keluarganya, saat malam Natal, banyak anggota keluarga besar ngumpul di tempat Keluarga Suralaya. Ramai banget deh, soalnya ada keponakan-keponakan Jenar dari sepupu-sepupu asal keuarga mamanya yang ucrit-ucrit. Nah, kalau lagi ngumpul gitu, mamanya Jenar paling nggak suka lihat anak bungsunya sibuk mainan handphone. Makanannya sampai jadi dingin tanpa sempat tersentuh.
"Je, Mama kan udah bilang, nggak boleh main hp di meja makan." Mamanya Jenar protes.
"Bentar, Ma. Penting."
"Dari tadi nggak udah-udah ngecek hp-nya."
"Chat aku belom dibalas, Ma."
"Chatting sama siapa sih?" papanya Jenar ikutan kepo, soalnya dia tahu anak bungsunya nih cuek banget. Jadi tumben saja sampai segitunya hanya untuk menunggu balasan chat dari seseorang.
"Je kan lagi naksir orang, Pa." Hyena menyela.
"Aih, bertepuk sebelah tangan nggak tuh? Kok chatnya nggak dibalas-balas..." salah satu tantenya Jenar ikutan nimbrung.
"Siapa sih?" mamanya Jenar kepo.
"Aku pernah cerita sama Mama waktu itu."
"Si Merpati?"
"Iya."
"Video call dia deh. Mama mau lihat siapa sih yang udah bikin anak Mama ngecek hp melulu?"
Sementara itu, di kosan Dhaka, Rei lagi sparring main playstation sama Yuta sewaktu hp-nya berbunyi. Lagi fokus banget, akhirnya Rei bilang ke Dhaka. "Liatin hp gue donG! Kalau nyokap gue yang telpon, bilang gue lagi sibuk dan lagi main ke kosan lo."
Dhaka cek hp Rei. "Bukan nyokap lo."
"Siapa?"
"Jenar."
"Hah?"
"Jenar video call."
"Hadeh, mau ngapain lagi tuh bocah..."
"Ini gimana?"
"Gue lagi sibuk—YUTA, ANJIR!! SABAR DULU ELAH! GUE LAGI NGGAK FOKUS!!" Rei panik ketika Yuta menghajar karakter gamenya tanpa ampun. "Angkatin dulu, Dhaka!"
Dhaka angkat deh kan, mikirnya, "ah, apalah Jenar doang". Eh, ternyata pas dijawab, yang muncul muka mama-mama. Jelas mamanya Jenar, soalnya mirip banget sama Jenar dan Hyena, cuma bedanya mamanya nih nggak punya lesung pipi. Mereka sama-sama kaget, sempat saling menatap, lalu Dhaka mematikan panggilan.
"Anjir!"
"Kenapa?"
"Barusan bukan Jenar, tapi nyokapnya!"
Terus pokoknya ujung-ujungnya nggak jadi video call gara-gara Jenar tahu Rei nggak gereja, jadinya Rei diceramahi habis-habisan. Berasa kotor banget. Dari semua orang, yang ceramahin Rei tuh Jenar. Bayangin, sekotor apa Rei sampai-sampai orang kayak Jenar saja bisa jadi mendadak suci kalau dibandingkan sama dia?
"Regina?"
Suara Jenar berhasil menyentak Rei keluar dari lamunannya.
"Nyokap gue mau ketemu lo." Jenar mengulang ucapannya, lalu meneliti penampilan Rei sejenak. Selain bekas love-bite di lehernya Rei—yang bisa ditutupi dengan menggerai rambut—penampilan Rei cukup... beradab. "Sejujurnya, lo nggak berantakan-berantakan amat."
"Gue lagi pake baju lo loh ya ini?!" Rei mulai panik.
"Nggak apa-apa. Nyokap ngerti."
"WHAT?!"
"Nyokap tau."
"Tau ap—oh, tau soal gue dan lo yang—" Rei baru sadar Johnny masih berada di dekat mereka, menyaksikan dan mendengar semuanya. Mukanya terasa panas seketika.
"Iya."
Rei mau pingsan sih. Semalam itu pertama kali mereka tidur bareng. Niatnya Rei cuma mau bikin Jenar happy berhubung tuh cowok lagi ulang tahun, tapi kenapa jadi plot twist banget gini hingga nyokapnya Jenar sampai tau?
Johnny justru tertawa. "Santai aja. Nyokapnya Jenar baik kok. Orangnya terbuka dan santai."
"Kak, ini sinting. Gue nggak mungkin ketemu sama nyokapnya Jenar dalam keadaan kayak gini."
"Emang harusnya kayak gimana? Di altar, pakai gaun pernikahan dan bawa buket edelweiss? Soal itu gampang, nanti bisa diatur!" Jenar menyambar.
"Pikiran lo kalau nggak kawin ya nikah ya?!" Rei melotot ke Jenar. "Maksud gue, berpenampilan proper!"
"Itu udah proper."
"Gue belum mandi. Nggak dandan. Masih ada sisa maskara yang gue pakai kemarin dan—"
"Lo cantik."
"Je!!"
"Plis. Sebentar aja."
Dikarenakan Jenar sudah berada dalam tahapmemohon, maka Rei jadi merasa nggak enak hati. Ditambah lagi, mamanya Jenar sudah tau dia berada di gedung apartemen yang sama. Maka, jadi deh Rei nekat. Lagipula, kalau tiba-tiba mamanya Jenar bilang "jangan dekati anak saya lagi!" sambil menyodorkan duit satu koper, niscaya akan Rei terima.
Di lift, mereka berdua saja. Rei bersandar di salah satu sisi lift. Jenar juga bersandar di sisi lift yang berlawanan. Mereka saling memandang sengit, seperti anak SD lagi musuhan.
"Tadi gue lihat Johnny lagi mau nyuapin lo."
"Oh? Lihat? Iyalah. Kapan lagi kan disuapin sarapan sama Kak Johnny."
"Inget nggak lo sama siapa semalam?"
"Sama pemilik rawa."
"Sama gue." Jenar manyun. "Bisa-bisanya..."
"Kayak baru pertama kali aja. Waktu itu juga, malemnya gue jalan sama lo. Paginya gue ngafe sama Kak Johnny, kan?" Rei malah salty soal masa lalu, keingat bagaimana Jenar marah-marah ke dia gara-gara itu.
Jenar memiringkan wajah. "Berkah banget Johnny sarapan sama yang bentukannya kayak gini."
"Kayak apa?"
"Kayak lo."
"By the way, gue lupa, mau nanya." Rei keingat sesuatu.
"Apa?"
"Semalam pakai safety nggak?"
Jenar terdiam sebentar, bikin Rei kalut lagi.
"JANGAN BILANG KALAU NGGAK?!"
Jenar malah menarik punggungnya dari dinding lift, lalu mendekati Rei dan di luar dugaan, menempelkan telapak tangannya di atas perut Rei.
"... lo ngapain?"
"Semangat bertumbuh, Sayang." Jenar ngomong gitu sambil melihat ke perutnya Rei.
"JENAR!!"
Jenar memasang ekspresi wajah penuh penyesalan. "Lagian lo nggak ngingetin."
"Gimana mau ngingetin?! Nginget nama sendiri aja udah susah!!"
"... ya gimana ya."
"JENARDI!!"
Muka Rei yang memerah dan matanya yang menunjukkan sorot panik membuat Jenar tertawa sampai-sampai lesung pipinya tampak tegas. "Pake kok. Gue nggak setolol Jaka dan lo nggak akan jadi Rossa kedua. Gue nggak sejahat itu, meski gue kepingin lo kejebak sama gue selamanya. Tenang aja."
Rei lega, namun hanya sebentar, sebab sesaat kemudian, pintu lift telah berdenting, lalu bergeser terbuka. Tanpa sadar, cewek itu menahan napasnya sewaktu dia melangkah keluar lift. Deg-deg-an banget, kayak mau ketemu presiden.
Bukan apa-apa ya, masa iya Rei mau bilang "selamat pagi, Tante. Saya Regina. Kenapa saya datang pakai celana training dan hoodie anak Tante? Soalnya baju saya udah wassalam gara-gara kelakuan barbar anak Tante semalam. Oh ya, semalam kita bobo bareng".
Edan kali.
Sepertinya, Jenar bisa membaca kekhawatiran Rei. Cowok itu merangkul bahu Rei, terus mengusap-usap lengan atasnya. "Nyokap gue orangnya santai. Nggak usah panik."
"Santai-santai juga dia orang, njir. Kalau dia nanya, gue harus bilang apa—"
"Honestly, situasi kita sekarang lebih mending daripada situasi waktu nyokap gue nge-gap kakak gue bertahun-tahun lalu sih."
"Hah?"
"Kak Hyena pernah ketangkap basah sama nyokap bawa cowok ke rumah. Lo tau dong ngapain. Nyokap ngamuk. Bukan perkara aktivitasnya, tapi perkara Kak Hyena nggak sopan bawa cowok ke rumah."
"Keluarga lo bebas sekali ya..." Rei nggak bisa menahan komentarnya untuk terlontar.
"Cukup bebas. Nyokap gue kayaknya lebih takut gue suka cowok daripada gue buntingin anak orang. Mungkin karena gue cucu cowok satu-satunya dari dua keluarga."
Rei nggak menyahut, sebab mereka sudah sampai di depan pintu uni apartemennya Jenar. Jenar mengetuk, dan pintunya dibuka sesaat setelahnya. Seraut wajah wanita setengah baya yang mirip Jenar muncul. Sekarang Rei ngerti, kenapa Jenar bisa secakep itu.
"Morning, Tante. Saya Regi—"
Rei belum selesai ngomong ketika mamanya Jenar telah mencondongkan badan untuk cipika-cipiki, terus meraihnya dalam pelukan.
Jenar melihat dari belakang Rei, diam-diam menarik senyum. Nggak tau kenapa, dia senang melihat mamanya seperti fine-fine saja dengan keberadaan Rei. Sepertinya, Hyena sudah sedikit bercerita soal Rei ketika Jenar pergi ke tempat Johnny tadi.
Rei tergugu sejenak, merasa agak asing sebab sudah lama sekali sejak terakhir kali dia dipeluk oleh seseorang yang umurnya cukup untuk bisa jadi orang tuanya. Bahkan ibunya tak pernah lagi memeluknya beberapa tahun belakangan. Pelukan mamanya Jenar sehangat pelukannya Jenar. Sayang sekali, hanya berlangsung sebentar, sebab wanita itu melepasnya sejenak kemudian.
"Regina?"
Rei tertawa rikuh. "Iya, Tante."
"Udah sarapan?"
"... belum sempat, Tante."
"Great! Tante sama Hyena mau masak-masak. Kamu lebih suka aglio e olio atau carbonara?"
"Aglio e olio, Tante."
"Aku lebih suka carbonara, Ma." Jenar menukas cepat.
"Regina lebih suka aglio e olio, jadi, pagi ini kita akan masak itu."
"Bukannya Mama sama Hyena di sini buat rayain ulang tahun aku?!"
"Tadinya gitu."
"Tadinya?"
"Sekarang, Mama kesini spesial buat ketemu Regina."
"Ma?!"
"Come on, get in, you two!"
Rei melirik Jenar yang balik bergumam bete padanya. "See? Lo belum jadi bini gue aja, gue udah diperlakukan kayak anak tiri!"
*
Sehabis dengar petuah dari Eno perkara jangan menyerah, Jaka sempat berapi-api mau memperjuangkan Rossa. Tapi semangatnya Jaka langsung luntur ketika tahu Wirya merayakan Natal di kediaman keluarganya Rossa dan tampaknya, keluarga Rossa bisa menerima kehadiran Wirya dengan baik. Kata Eno, Jaka cupu. Maunya Jaka sih nggak kayak gini, namun... dia nggak punya pilihan. Rossa juga selalu menolak untuk ditemui. Kalau sudah gitu, Jaka nggak bisa memaksa.
Makanya, berhubung Yuta merasa kasihan sama Jaka, dia sengaja meminta tolong ke Jaka untuk mengambil jaketnya yang dipinjam Yumna di kosan Sadewo. Yuta berharapnya sih Jaka bisa nggak sengaja ketemu Rossa terus tergerak untuk bicara dari hati ke hati.
Jaka datang ke kosan Sadewo naik motor. Dia baru saja tiba di depan pagar sewaktu dia melihat Rossa tengah duduk di teras. Cewek itu sendirian saja, lagi bertelepon sama seseorang. Dari pembicaraan mereka, Jaka sadar kalau lawan bicara Rossa adalah Wirya.
Duh, hati Jaka perih.
"Nggak apa-apa. Nggak usah, Wirya. Aku minta temenin Yumna aja. Iya, ini tantenya Jenar ada urusan mendadak jadi mesti diundur jadwalnya. Iya, nggak apa-apa kok. Nanti aku kabarin. Salam ke Mama kamu ya. Iya, nanti aku kabarin lagi. Bye."
Sehabis bicara begitu, Rossa beranjak dari duduk dan berjalan ke arah pagar. Mereka berpapasan di halaman. Rossa memandang dingin, seperti berniat mengabaikan kehadiran Jaka di sana. Tetapi sudah pasti, Jaka nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Mau kemana?"
"Bukan urusan lo."
"Rossa."
"Gue kira lo udah setuju untuk bersikap adil sama gue."
"..." Rossa menghela napas. "Mau pergi."
"Kemana?"
"..."
"Oke, kalau lo nggak mau bilang, nggak apa-apa. Gue nggak akan maksa." Jaka bergumam sendu, terus merogoh saku jaketnya. Dia mengeluarkan kotak rokok, tapi tak lama setelahnya, langsung bengong. Terus kotak rokok itu kembali dijejalkannya ke dalam saku jaket.
Rossa memandang dengan wajah dimiringkan.
"Sori. Kebiasaan. Gue nggak maksud."
Jaka baru bermaksud melangkah masuk untuk mengambil jaket Yuta di Yumna ketika dia mendengar suara sendok beradu dengan mangkuk dari gerobak abang bakso yang lewat. Rossa kontan berbalik, menghadapnya. Wajahnya menyiratkan kalau dia sedang menahan mual. Jaka terperangah sejenak, namun kemudian paham. Bau bakso yang melayang di udara mungkin menggugah selera bagi banyak orang, tapi untuk Rossa, sepertinya bau itu membuat perutnya bergejolak.
Tanpa pikir panjang, Jaka mendekat, menyembunyikan wajah Rossa di dada.
"Nggak apa-apa. Gini aja. Sampai tukang baksonya selesai lewat."
Rossa nggak menyukai situasi yang terdengar sangat konyol seperti ini, tapi memang sih, bau kuat dari parfumnya Jaka berhasil menyamarkan bau bakso. Rossa membeku, membiarkan telapak tangan Jaka melekat di kedua lengan atasnya.
Sejak kejadian di malam ulang tahun Yumna, ini adalah momen terdekat mereka.
"Tukang baksonya udah jauh." Jaka memberitahu ketika gerobak abang tukang baksonya sudah benar-benar tak terlihat lagi.
Rossa mengigit bibir, menarik wajahnya dari dada Jaka. "... makasih."
"Nggak apa-apa."
"Gue... mau ke dokter."
"Tantenya Jenar?"
Rossa mengangguk.
"Wirya nggak bisa nganter?"
Rossa menggeleng.
"Tadi katanya mau minta anter Yumna..."
"Yumna lagi ada kerjaan sendiri. Nggak mungkin gue ngerepotin dia."
"... mau... gue anter?"
"..."
"Gue akan jaga jarak. Gue nggak akan melakukan apa yang nggak lo suka. Gue tau gue salah banget sama lo. Maaf, meski gue juga paham kalau kata 'maaf' nggak bisa bikin segalanya jadi baik-baik aja. Tapi seenggaknya, tolong kasih gue kesempatan untuk membuat segalanya jadi lebih ringan buat lo. Plis?"
Rossa memandang Jaka tepat di mata dan tersadar, dengan beragam emosi yang bergejolak di mata cowok itu, Jaka tidak berbohong.
"Oke."
"... gue tau gue nggak pantas buat meminta lebih ke lo, tapi—WHAT?!"
"Oke. Lo boleh ikut."
*
Rekor paling oke yang Rei catatkan sepanjang sejarahnya menjadi mahasiswa Teknik adalah dia pernah nggak tidur sama sekali selama dua hari berturut-turut dan hanya istirahat untuk ke toilet atau makan ketika mengejar deadline tugas besar di tingkat dua. Setelahnya, Rei langsung hibernasi, baru terbangun di hari berikutnya, menjelang siang. Nggak ada sesuatu yang spektakuler terjadi setelahnya. Dia baik-baik saja. Bisa lanjut beraktivitas seperti biasa. Nggak sakit kepala, apalagi sampai sakit betulan yang melibatkan demam dan kawan-kawan.
Tapi entah apa yang terjadi hari ini. Rei memang nggak tidur semalaman. Dia mesti begadang, mengejar deadline penyelesaian sejumlah artikel yang mesti dia selesaikan. Empat artikel dalam sehari. Part-time di sebuah kedai jus buah di pagi hari. Di sela-sela kegiatannya yang sudah cukup sibuk, dia masih membuka jasa jadi joki tugas autoCAD untuk adik tingkat maupun rekan seangkatan. Dia sempat tidur sejam di pagi hari, namun hanya sampai di sana.
Kedengarannya menyedihkan dan Rei adalah tipe orang yang enggan dikasihani, maka sangat wajar jika dia hanya bercerita pada Dhaka.
Menjelang siang, Rei sedang mampir di sebuah minimarket untuk beli onigiri dalam kemasan ketika dia merasakan sesuatu yang basah dan hangat menetes ke dagunya. Darah. Sudah lama banget sejak terakhir kali dia mimisan. Bukan sesuatu yang besar, sebetulnya. Mungkin dia hanya kecapekan. Jadi, Rei hanya menyumpal lubang hidungnya yang berdarah dengan tisu, menggigit sepotong besar onigirinya sebelum lanjut berjalan cepat menuju kosan Dhaka.
Ponselnya bergetar samar, tanda dm baru yang masuk. Dari Jenar. Rei memegang onigirinya pakai mulut sebab dia butuh kedua tangannya untuk mengetik balasan. Dari kemarin-kemarin, Jenar selalu mengeluh soal Rei yang katanya jadi lambat merespon chat dan makin sulit ditemui. Sejujurnya, Rei jadi merasa bersalah. Namun dia tak bisa memberitahu Jenar.
Dari pertemuan tak sengaja antara Rei dengan kakak dan ibunya Jenar tempo hari, mereka tampak seperti sebuah keluarga bahagia. Mamanya Jenar adalah orang yang sangat baik dan bisa bercanda dengan anak muda tanpa canggung. Bicara tentang masalah keluarga yang terlampau dramatis hanya akan membuat Jenar merasa kasihan pada Rei dan dia nggak butuh itu.
jenardigs: udah mau keluar kampus?
jenardigs: makan siang bareng yuk.
regina_ar: wah, sori. tapi gue udah janji mau nemenin yua.
jenardigs: abis kelar sama yua, gue jemput?
regina_ar: ngga usah.
Bohong sih, tapi kalau Rei bilang dia lagi on the way ke kosan Dhaka, Jenar bakal rese banget. Hubungan mereka memang sudah membaik akhir-akhir ini. Sudah jarang ribut dan Rei mulai bisa menerima perhatian Jenar. Tapi Jenar adalah Jenar. Dia paling nggak bisa mendengar Rei lebih memilih cerita atau meluapkan emosi ke cowok lain. Itu bikin dia bertanya-tanya, kenapa Rei memilih orang lain, bukannya dia.
Padahal maksudnya Rei tuh nggak seperti itu.
Sewaktu Rei tiba di kosan Dhaka, Milan sedang duduk bengong di depan laptop di ruang tengah kosan. Wajahnya kusut banget. Dia ditemani Yuta.
"Ngapain nih anak?" Rei jadi kepo.
"Tugas banyak. Tapi semalaman nggak bisa tidur, soalnya Rossa ngidam pengen dinyanyiin sama Milan lewat telepon."
Oh. Rei dengar sih semalam, suara Milan nyanyi lewat telepon dari kamar Rossa. Hiburan banget. Rossa memang hebat, perkara dia bunting saja bisa bikin dia memperbudak tiga laki-laki sekaligus—walau kayaknya, Jaka nggak betul-betul masuk hitungan sih, menilik dari bagaimana Rossa menghindari cowok itu seperti menghindari wabah penyakit.
Rei langsung naik ke kamarnya Dhaka. Dhaka lagi duduk di tepi kasur, sibuk gitaran. Posisinya membelakangi pintu. Dia lagi nyanyi lagunya Billi Eilish yang judulnya I Love You. Meresapi dan menjiwai banget, memicu Rei untuk diam sejenak di ambang pintu yang memang sengaja dibiarkan terbuka. Dia baru bicara setelah Dhaka selesai bernyanyi.
"Galauin siapa sih, serius amat?"
Dhaka kaget, sontak menoleh. "Pintu ada untuk diketok, perasaan."
"Udah kebuka." Rei masuk ke kamar Dhaka, lantas menutup pintu pelan-pelan di belakang punggungnya. "Sibuk nggak? Mau cerita."
"Tumben nyariin gue. Jenar kemana?"
"Kok Jenar sih?"
"Kalau lagi sama Jenar, lo kan lupa jalan ke kosan ini." Dhaka salty.
Kata-kata Dhaka membuat Rei merasa bersalah. "Sori."
"Rei—" Dhaka tercengang, nggak mengira Rei akan menanggapi ucapannya dengan permintaan maaf.
"Yaudah, kalau nggak mau dengar cerita gue..."
Dhaka buru-buru naro gitarnya, terus banget dan menempatkan dirinya di depan pintu, menghalangi Rei agar tidak bisa pegi. "No no no not so fast."
"Abis lo salty banget, Dhaka. Gue cari Tigra aja."
"Tigra lagi nggak di kosan." Dhaka menyambar cepat. "Lo mau cerita apa?"
"Ada." Rei batal pergi, justru meletakkan tasnya di atas karpet kamar Dhaka dan melangkah mendekati kasur, untuk selanjutnya duduk di tepiannya.
Rei bercerita tentang kelanjutan ayahnya yang berniat menikah lagi, namun sebelum bisa melakukan itu, beliau mesti menceraikan ibunya. Tentang ibunya yang masih menolak. Dan Rei yang jadi bingung, apa dia mesti melanjutkan hidup dengan situasi yang "begini" sampai dia lulus nanti. Setelah Rei mengakhiri ceritanya, Dhaka sempat diam. Butuh beberapa jenak baginya menemukan kata-kata buat diucapkan.
"Kalau mau nangis, nangis aja nggak apa-apa."
"Ngapain gue harus nangis?"
"Because your heart is hurting?" Dhaka berkata. "Karena orang yang harusnya ngelindungin lo malah bikin lo susah."
"Nangis nggak akan menyelesaikan apapun sekarang." Rei mengedikkan bahu. "Sekarang, lo udah tau. Berhubung dari semua teman gue, lo adalah yang paling realisti. Gue butuh saran lo."
"Saran buat apa—"
Dhaka belum lagi sempat menyelesaikan ucapannya sewaktu ponsel Rei berbunyi. Rei mengeceknya. Ada dm lagi dari Jenar.
jenardigs: yua udah pindah nge-kos di tempat dhaka ya?
Wah, alamat ngamuk nih orang.
"Edan, nih cowok udah kayak FBI aja!" Rei refleks berseru sebelum sibuk ketak-ketik balasan.
"Siapa?"
"Jelangkung."
"Oh, Jenar." Dhaka langsung paham. "Tapi jujur deh, kayaknya lo nggak akan bisa menyembunyikan segalanya dari Jenar selamanya."
"Gue nggak punya alasan bagus buat ngasih tau dia."
"Bukannya kalian dekat?"
"Kita nggak pacaran."
"Gue bilang lo berdua dekat, bukan pacaran." Dhaka menyentakkan kepalanya, lalu menyambung pahit. "Dan lo suka sama dia."
"Iya."
Dhaka batuk-batuk, walau sebetulnya, semestinya dia sudah bisa menduga. Namun tetap saja, mendengar Rei mengakuinya terdengar berbeda. Dhaka kira, dia siap. Tapi ternyata nggak. Hatinya tetap saja perih.
"Ngapa lo, mendadak bengek?"
"Nggak apa-apa." Dhaka berdecak. "Kalau nantinya waktu dia tau, Jenar ngamuk gimana?"
"Biarin aja. Selama nggak ngacak-ngacak comberan."
Rei meneruskan membalas pesan Jenar—dan iya, mereka masih lebih sering berkomunikasi lewat dm.
regina_ar: mau ngamuk ya lo?
jenardigs: ngga ada takut-takutnya ya?
jenardigs: lo boong sama gue
regina_ar: iya, abisnya kalau ngga boong, lo bakal ngintil.
jenardigs: tebakan yang bagus sekali, regina. aku sudah di jalan.
jenardigs: siap-siap, gue mau ngamuk.
regina_ar: masih lama ngga nyampenya?
jenardigs: lima menit lagi kayanya
regina_ar: yessssss
jenardigs: yes?
regina_ar: masih ada waktu kalo mau ciuman dulu sama dhaka.
Di seberang sana, Jenar makin kesal, soalnya Rei kelihatannya santai banget. Tapi dia mencoba menahan diri, meredakan emosinya sampai dia tiba di kosan Dhaka. Betulan, Rei berada di sana. Dhaka sempat mau menghalangi Rei untuk diajak pergi sama Jenar, soalnya dia ngeri saja melihat bagaimana tangan Jenar terkepal kuat hingga uratnya menonjol. Khawatir Rei bakal digebuk. Namun Rei justru melangkah keluar dari kosan tanpa beban, dengan sukarela.
Jenar turut membuang napas, mengikuti Rei ke depan kosan, sedangkan Dhaka harus rela jadi korban interogasi kekepoan Yuta dan Milan.
Jenar datang bawa mobil, jadi Rei melangkah mendekati mobilnya, menunggu Jenar membuka kunci. Setelah Jenar membuka kuncinya, baru deh dia masuk. Jenar mengikuti, masuk dan duduk di balik roda kemudi, lantas menyalakan mesin.
"Yak." Rei berdeham. "Waktu dan tempat marah-marah dipersilakkan."
"Gue nggak bercanda, Regina." Jenar berkata dengan nada penuh peringatan.
"Gue juga nggak bercanda."
"Kenapa lo bohong sama gue?"
"Kalau gue nggak bohong, lo pasti mau ngintil kesini. Dan ngotot, nggak bisa dilarang. Gue mau ngobrol sama Dhaka doang."
"Ngobrol sambil kissing?" Jenar menyindir.
"Bercanda doang, elah."
"Marahnya gue lo bikin candaan gitu?"
"Oke. Gue salah udah bohong. Sekarang terserah lo."
"Kok jadi lo yan balik marah ke gue?"
"Siapa yang balik marah?" Rei memijat batang hidungnya, mulai pening. "Maksud gue, ya terserah! Lo mau marah sama gue karena udah bohongin lo? Fine. Gue terima. Gue emang salah."
Jenar menyentakkan kepalanya, bukannya bicara, dia malah tancap gas. Mana ngebut banget nyetirnya. Tangannya lekat ke setir. Matanya menatap lurus ke depan.
"Mau ke mana?" Rei bertanya.
"Terserah gue, kan? Sekarang, lo diem."
to be continued.
***
a/n:
yak marrrraaaaaaah.
ok, berdasarkan hasil vote, teknik yang menang ya. next time nanti bikin-bikin vote lagi. wkwkwk yak akhirnya ribut.
((btw, ini alurnya maju-mundur gitu ya, jadi kalo ada bagian yang belom diceritain ya nanti diceritain))
karena udah malem, gitu aja deh.
sampai ketemu di chapter berikutnya!
ciao!
btw ini update pertama di 2021 wkwkwkwk
***
January 3rd 2021 | 22.25
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro