3 | j's night
Rei rasa, yang bodoh tuh memang dia. Sudah tau ogah ketemu Jenar apalagi Johnny, kok malah bisa-bisanya datang ke Mech-Fest yang teknisnya memang acara departemen mereka. Tapi ada andil teman-teman laknatnya juga sih di sana. Totally fucked up.
"Gra, Ka, plis lo berdua aja yang beli tiket ke Jenar ya? Asli lah!!" Rei mulai memohon.
"Lo ada masalah apa sih sama dia?" Tigra mengerutkan dahi.
"Nggak ada. Dianya aja yang rese."
"Yaudah! Tunggu sini!"
"Gue ikut!" Harsya menyela.
"LAH?!" Rei merasa dikhianati.
"Gitu-gitu juga Jenar ganteng anjir, mukanya kayak dipakein filter Snow! Lumayan, penyegaran untuk mata gue yang sepet ngeliat Tigra sama Dhaka melulu tiap hari!"
"MASA LO NINGGALIN GUE?!"
"Ikut, kalau nggak mau ditinggal!!"
Rei lebih memilih menunggu sendirian daripada face to face menghadapi Jenar lagi. Tidak sampai lima belas menit, Tigra kembali diikuti Dhaka dan Harsya.
"Dia cuma ngasih tiket tiga."
"Maksudnya?"
"Katanya kalau mau tiket masuk, lo samperin dia—"
"DIH, APA-APAAN?!" Rei tercengang shock. "Oke, kalau gitu gue pulang!"
Dia balik badan, hanya untuk dibuat nyaris tersedak karena malah menabrak dada seseorang.
"—atau dia yang nyamperin lo." Dhaka meneruskan ucapan Tigra yang menggantung. Jelas dia menikmati adegan dimana Rei sedang merasa tersiksa seperti sekarang.
Memang, terkutuklah Dhaka dan Tigra.
"Mau tiket?" Jenar tersenyum, memamerkan lesung pipinya yang bisa bikin anak gadis jejeritan itu. "Followback dulu."
"Nggak. Gue mau pulang."
"Udah jauh-jauh kesini, loh."
"Nggak apa-apa."
"Kenapa sih nggak mau? Tinggal followback doang!"
"Nggak mau mutualan ama lo."
"Kenapa anti banget sama gue? Takut naksir ya?"
Mau tahu apa bagian terkampret dari semua ini? Dhaka dan Tigra cuma menonton sambil berdecak, kelihatan sangat menikmati situasi yang sedang dihadapi sahabat mereka sekarang. Harsya? Gagal fokus, sudah sibuk curi-curi pandang dengan sesosok cowok di dekat pagar.
"Lo mau ngasih gue tiket apa nggak?"
"Kalau nggak gue kasih?"
"Gue cari anak Mesin lain yang megang tiket."
"Yang megang tiket OTS selain gue sama Lanang cuma Kun dan guess who? Johnny. Yakin berani?"
"Yaudah, gue pulang."
"Tinggal followback apa susahnya sih?"
"Dibilang ya, kita nggak saling kenal! Ngapain follow-follow-an?"
"Makanya kenalan. Nama gue Jenardi Genta Suralaya. Aquarius. Anak Mesin. Inisial J."
"LO NGELEDEK GUE YA???!!!!!"
"Iya, mau tau kenapa?"
"Nggak."
Jenar tetap ngotot menjawab. "Soalnya lo lucu kalau lagi marah-marah! Hehe, balas dong perkenalan gue."
Rei pening berat.
"Ada apa nih kok pada ngumpul di belakang?"
Ketika Rei mengenali suara siapa yang barusan bicara, punggungnya menegang tiba-tiba.
*
Jenar refleks menghela napas saat dia melihat siapa yang datang mendekat.
Itu Johnny.
What a pain in the ass.
"Loh, temennya Dhaka?"
Sumpah, Rei benci banget setiap kali mendengar Johnny memanggilnya begitu. Memang benar, dia temannya Dhaka. Tapi dia juga kan punya nama.
"Now it gets interesting." Tigra bergumam pada Dhaka. "Taruhan gocap, dia bakal beli tiket dari Johnny."
"Nah, mending dia mohon-mohon sampai sujud ke Jenar daripada beli tiket dari Johnny."
Itulah para pemirsa, contoh teman-teman akhlakless yang seharusnya tidak dipelihara.
Jenar berdecak. "Ini teritori gue. teritori lo kan di sayap barat."
"Nggak ngaruh. Tiket yang gue pegang udah abis."
"Gocap sini." Dhaka sempat-sempatnya berbisik ke Tigra.
"Ini kenapa?" Johnny bertanya.
"Nggak apa-apa, dia mau beli tiket dari gue."
"Kelihatannya serius banget." Johnny menyahut. "Jangan galak-galak gitu sama temannya Dhaka."
Temannya Dhaka. Lagi.
"John," Jenar memanggil, terkesan serius.
"Hah?"
"Stop calling her 'temennya Dhaka'. It's annoying."
"Terus gue kudu panggil apa? Gebetannya Jenar?" Johnny jelas bercanda doang.
Tapi Jenar meladeninya. "That's not her name but Gebetannya Jenar sounds good."
"Well, things escalated quickly." Dhaka berujar, suaranya kecil tapi cukup kedengaran. Daripada jadi teman, Tigra dan Dhaka lebih pantas jadi komentator bola.
"Yaudah, biar cepet deh, lo mau apa dari gue?" Rei akhirnya capek sendiri.
"Hati, boleh?"
"Mau gue tabok?"
Jenar tertawa lagi. "Bercanda. Followback aja."
Rei menyerah, akhirnya mengeluarkan hp dan membuka aplikasi Instagram. Dia mencari akun Jenar, lalu menekan opsi follow pada profilnya.
"Puas?"
"Ternyata gini rasanya dipuasin sama lo."
TERDENGAR SANGAT SALAH. Tapi Rei nggak tahu harus ngomong apa.
"Okay, here's your tix." Jenar memberi tiket. Otomatis, Rei balas mengulurkan tangan untuk menangkap tangan Rei dengan tangannya yang tidak memegang tiket.
"Ini namanya pelecehan ya—"
"Ngetes aja, badan lo panas apa nggak. Soalnya muka lo pucat banget. Tapi malah salah fokus sama yang lain."
"..." Rei terdiam, tidak mengerti maksud Jenar.
"Megang tangan lo nagih ya ternyata."
Meladeni Jenar nggak akan ada habisnya, jadi Rei memilih melenggang menjauh bersama Tigra, Dhaka dan Harsya.
Jadi, tinggal Jenar dan Johnny yang berdiri berhadapan.
"Not her, Je."
"What?"
"She's not another toy." Johnny berkata tegas. "Lo nggak beneran naksir dia."
"Apa sih?"
"Satu-satunya alasan kenapa lo gitu adalah karena lo tau dia naksir gue, kan?"
"Terserah."
Jenar mengabaikan Johnny, memilih melangkah pergi.
*
Habis dapat tiket, Rei baru ingat kalau dia belum bayar. Tapi malas banget, masa harus balik lagi nyamperin Jenar perkara memberinya uang tiga puluh ribu? Jadi nanti-nanti saja. Kebetulan juga, saat mereka baru masuk, band penampil berikutnya lagi check sound. Waktu lihat Lingga sedang menyapa-nyapa penonton sementara Alfa sibuk membetot bass, barulah Rei menyadari sesuatu...
"LOH, INDICA NGE-GUEST STAR DI SINI?!!"
"Kemana aja lo, Patrick?!" Dhaka meledek, dan itu bikin frekuensi detak jantung Rei melaju dua kali lebih cepat.
Kalau ada Indica... berarti di sana akan ada... Devan.
Devan ini senior Rei yang sudah lulus. Dia anak Geologi, sama seperti Dhaka. Bagaimana bisa kenal? Selain karena dia senior sedepartemen Dhaka, juga karena Devan suka nge-band dengan teman-teman seangkatannya dan pernah jadi pembimbing Dhaka saat ospek fakultas.
The band thing goes well, karena Indica sudah cukup well-known. Dulu, Rei pernah sesuka itu sama Devan. Tapi dia mundur teratur ketika tahu kalau pacarnya Devan itu selebgram super cantik nan badai.
Siapalah Regina Arunika jika dibandingkan dengan Krystal, pacarnya Devan itu.
Devan ada di atas panggung, rada di belakang karena posisinya sebagai drummer. Indica sempat membawakan sekitar tiga lagu sebelum turun. Rei masih berdiri diantara para pengunjung yang lain saat ada yang mencolek bahunya. Tentu saja, dia menoleh.
"Rei, apa kabar?"
Setelah Johnny dan Jenar, kini terbitlah Devan. Jujur, Rei capek sendiri.
Sejujurnya, Devan baik kok. Rei nggak punya masalah apa-apa sama dia. Tapi namanya juga Rei pernah naksir dan bertepuk sebelah tangan, tentu saja bakal ada kecanggungan walau cuma sejumput.
"Baik, Kak! Hehe, Kak Dev sendiri apa kabar?"
"Baik. Kesini sama siapa?"
"Dhaka. Tigra. Harsya."
"Loh, belum punya pacar juga sampai sekarang?"
Damage yang ditimbulkan dari pertanyaan itu? Nggak usah ditanya.
"Ntar deh, Kak, kalau lo sama Kak Krystal udah nikah, baru gue datang bawa pacar!" Rei nyengir.
"Kalau gitu, nggak bakal dong."
"Hah?"
"Gue sama dia udah putus, sekitar dua bulan lalu."
"HAH?!!!" Rei kaget maksimal.
"Kok kaget banget sih?"
"Nggak percaya aja, couple goals ternyata bisa putus. Lo berdua kan udah cocok banget, Kak!"
"Cocok di luar belum tentu cocok di dalam, kan?" Devan terkekeh. "Beli minum yuk? Haus nih."
"Hng... bentar... gue bilang Dhaka dulu, deh. Takut dicariin kalau tiba-tiba ngilang."
"Nggak usah. Gue aja yang chat dia, bilang temennya gue culik dulu."
Waduh, mati gue.
Rei lagi panik ketika ada yang berteriak memanggilnya dari kejauhan. "Oy! Temennya Dhaka!"
Itu Jenar dan Rei nggak tahu, dia harus senang atau justru kesal. Tapi dia tetap berbalik, mengangkat salah satu alis pada Jenar.
"Apa?"
"Lo dicariin Lanang."
"Hah?"
"Ayo! Dicariin Lanang."
Dari tatapan matanya, Rei tahu Jenar berbohong.
Namun, nggak ada orang lain yang bisa Rei harapkan untuk menyelamatkannya dari ajakan Devan. Tigra dan Dhaka nggak tampak dimana-mana, kayaknya sibuk bersilaturahmi sama Alfa. Waktu masih kuliah Alfa satu kos putra dengan Dhaka dan Tigra. Mungkin mereka melepas rindu setelah sekian lama. Harsya menghilang entah kemana. Sepertinya sama cowok yang tadi curi-curi pandang dengannya di dekat pagar.
"Akrab banget kayaknya sama anak departemen lain." Devan melirik Jenar yang hanya tersenyum sopan. "Bagus deh. Perluas pergaulan. Penting tuh! Jangan di kamar melulu."
Disindir lagi.
"Bentar ya, Kak."
"Gue nunggu di backstage aja, deh. Kali lo mau nyari gue nanti."
"Hng..."
"Nggak maksa kok, tapi jujur gue ngarep dicari. Udah lama juga kita nggak ngobrol, kan?"
"Sip, Kak! Lihat nanti, yaaa."
Rei dan Jenar berjalan menjauhi Devan. Rei sengaja menahan diri. Baru ketika Devan nggak lagi keliuhatan, dia memberondong Jenar dengan tanya sambil bertolak pinggang.
"Gue tahu lo bohong!!"
"Nggak sepenuhnya."
"Maksud lo?"
"Emang ada yang nyariin lo, tapi bukan Lanang."
"Siapa?"
"Gue."
"Gue lagi nggak ada mood buat bercanda, jadi tolong ya—"
"Siapa yang bercanda?"
"Nggak ada dasarnya lo nyariin gue!"
"Ada." Jenar mengulurkan telapak tangannya pada Rei. "Tiket yang tadi belum lo bayar."
to be continued.
***
dah segini dulu tar tetehnya masuk angin.
***
Devan
***
August 23rd 2020 | 17.55
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro