28 | like i'm gonna lose you
I found myself dreaming in silver and gold
Like a scene from a movie
That every broken heart knows
We were walking on moonlight
When you pulled me close
Split second and you disappeared
And I was all alone
Rei nggak tahu berapa lama dia ketiduran, tapi ketika dia terbangun dalam keadaan hangat karena berada di bawah hamparan bedcover yang masih berbau seperti Jenar, suasana ruangan yang tadinya temaram telah terang-benderang. Lampu besar sudah dinyalakan, menggantikan lampu tidur berpendar kekuningan yang berada di atas nakas. Ruangan tidak senyap. Samar, mengalun suara lagu yang Jenar setel di vinyl player yang berada di pojok kamarnya.
I woke up in tears
With you by my side
A breath of relief
And I realized
No, we're not promised tomorrow
Rei menghela napas, memandang pada langit-langit kamar. Apa ini mimpi? Tapi setahunya, mimpi nggak pernah terasa senyata ini. Namun kalau ini bukan mimpi, segalanya terasa terlampau surreal. Seperti terlalu bagus untuk jadi kenyataan. Sebab untuk sejenak, dia merasa benar-benar... aman. Karena selama sebentar, dia yakin dia diizinkan percaya.
Gadis itu meneguk saliva, lantas beranjak dari posisi berbaringnya. Sejuk dari pendingin ruangan menerpanya. Di bawah selimut, dia telah mengenakan pakaian. Bukan miliknya, tapi kaos punya Jenar yang jelas-jelas kebesaran. Wangi khas cowok itu lekat di sana. Pengharum pakaian juga parfumnya. Kali ini bersih, tanpa jejak manis tembakau yang lama disimpan dalam saku.
Dia benar-benar berada di kamar Jenar.
Jadi... mereka betul-betul melakukannya?
Percaya nggak percaya. Bukan karena Rei menyesal. Tapi karena apa yang dirasakannya setelah segalanya berlalu... sangat berbeda dengan pengalaman pertamanya bareng Tigra. Selama ini, dia selalu jadi yang paling lebih dulu mengganti topik pembicaraan setiap teman-teman satu kosnya ngobrol tentang pengalaman mereka bersama pacar-pacar mereka. Tidak karena Rei tak suka dengan gaya hidup teman-temannya yang jelas nggak konservatif sama sekali. Namun karena sulit buat Rei membayangkan... seks bisa jadi sesuatu yang menyenangkan.
"Kalau lo lagi mikir apa yang tadi itu mimpi, jawabannya adalah nggak. Itu bukan mimpi. Dan lo memang betulan ada di kamar gue, pakai kaos gue."
Rei dikejutkan oleh suara Jenar, yang refleks bikin Rei menoleh ke satu arah. Jenar berada di ambang pintu, menyandarkan salah satu bahunya di sana. Tangannya terlipat di dada.
So I am gonna love you
Like I am gonna lose you
I am gonna hold you
Like I am saying goodbye
Wherever we're standing
I won't take you for granted
Cause we'll never know when
When we'll run out of time
So I am gonna love you
"Well..."
"Jangan bilang lo nyesel."
Rei menggeleng cepat. "Nggak gitu. Gue cuma... wow."
"Wow?" Jenar mengangkat salah satu alis, kemudian berjalan menghampiri kasur dan duduk di tepinya, di dekat Rei.
"Jujur... nggak seperti yang gue bayangkan."
"Emangnya, yang lo bayangkan itu kayak apa?" Jenar mengulurkan tangan, menyelipkan sejumput rambut Rei ke belakang telinganya. Matanya memandang lembut, dengan sorot hangat yang bikin Rei meleleh, seolah-olah dia adalah sebongkah es yang dibiarkan di bawah sinar matahari.
"You know, my first time wasn't pleasant."
Jenar mengangguk. "Harusnya lo ketemu gue lebih dulu sebelum lo ketemu Tigra."
"Menurut lo, bakal beda?"
"I would make your first time memorable. In a good way." Jenar membalas, wajah songongnya yang biasa kembali muncul. "So, how was it?"
"Apanya?"
"Was it good?"
Rei mengangguk.
"Was I good?"
"More than just good." Rei akhirnya mengakui. "Gue tau ini bakal terdengar sangat cheesy, tapi—"
"Tapi?"
Rei menunduk, sengaja untuk menyembunyikan wajahnya yang sekarang memerah. "Lupain aja."
"Nah-ah." Jenar berdecak sambil menggeleng. "Lo tau, lo nggak perlu malu sama gue. Kapan gue pernah ngetawain lo ketika lo mengatakan atau melakukan sesuatu yang menurut lo memalukan?"
"Sering!"
"Kapan?!" Jenar menantang.
"Waktu gue kejebur got di dekat plotter malam itu... lo... ngakaknya paling kenceng."
"Kalau itu, jelas beda. Cuma orang yang kotak tertawanya udah rusak aja yang nggak ketawa ngelihat lo nyemplung."
"Johnny nggak ketawa!"
"Dia emang kurang humoris."
"Ngeles melulu." Rei cemberut.
In the blink of an eye
Just a whisper of smoke
You could lose everything
The truth is, you never know
So I'll kiss you longer, baby
Any chance that I get
I'll make the most of the minutes
And love with no regret
Use what we got before it's all gone
No, we're not promised tomorrow
Jenar tergelak, "Please, not that pouty face. Come on, just tell me."
"I feel loved."
Jenar terperangah, beberapa lama, dia hanya bisa memandang Rei dengan tatapan tidak percaya. Tapi akhirnya, dia menarik napas dan membalas kata-kata Rei. "Cause you are."
"What?"
"You feel loved, cause you're loved. By me."
Rei mengerutkan dahi, membuat kedua alisnya nyaris bertaut. Nggak tahu kenapa, ada yang mencelos dalam dada Jenar melihat Rei seperti butuh waktu memproses ucapannya. Seseorang selalu butuh waktu lebih lama untuk memahami sesuatu yang asing, sesuatu yang nggak familiar baginya. Dan kalau mendengar ada seseorang yang menyayanginya dengan dalam terkesan nggak familiar buat Rei... rasanya Jenar kepingin membenci dirinya sendiri sebab nggak segera ada untuk gadis itu sejak awal.
"... okay."
"Gue tau, lo nggak percaya."
"Gue percaya."
"Really?"
"Dikit." Rei menarik senyum yang terkesan kaku, lalu melanjutkan. "Lo... pakein gue baju?"
"Nggak tau sih, kayaknya Johnny tadi kesini."
"Hah, masa?!" Rei terbelalak.
"Kagak lah!" Jenar malah sewot. "Menurut looooo, gue bakal biarin Johnny ngelakuin itu?! Keenakan di dia, nanti matanya kenyang!"
"Kenyang kenapa?"
"Kenyang lihat badan lo lah!"
"Nggak ada yang bisa dilihat juga, sebenarnya."
"Gue nggak sependapat soal itu. You got sexy tits."
"Kenapa sama tete gue?" Rei refleks menyentuh dadanya dari luar kaos, bikin Jenar melotot.
"TANGAN LO NGGAK USAH ANEH-ANEH, ANAK WADON!"
"Masa gue nggak boleh megang badan gue sendiri?"
"NGGAK GITU JUGA!!!"
"Lo nggak tau aja, cewek-cewek tuh ada tau yang suka mainin dadanya sendiri. For non sexual purpose. Kayak... enak aja dipegang... kayak squishy?"
"REGINA!!"
"Apa?"
"Nggak usah diperagain!!"
"Sensi banget." Rei mencibir, kemudian menyambung. "Seksi kan menurut lo. Kalau Johnny?"
"Karena dia cowok, sama kayak gue, dia juga pasti akan setuju sama gue."
"Susah dipastikan." Rei mengusap dagunya. "Soalnya belum ada testimoni. Next time, suruh Johnny kesini."
"BUAT APE?!"
"Makein gue baju."
"Langkahi dulu mayat gue."
"Itu sih urusan gampang," Jenar melotot, bikin Rei nggak bisa menahan geli. Tawa gadis itu pecah. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Jenar. "Gue cuma bercanda."
"Gue tau. Tapi tetap sebel." Jenar berdecak. "So... how was your high?"
"Harus banget bahas itu?"
"Ibarat kata nih ya, Regina, orang belanja online aja ada reviewnya."
"Jadi gue harus review... titit lo?"
"ASTAGA..." Jenar melotot. Kuping dan pipinya memerah sebentar. "Mulut lo tuh bener-bener ya. Ini kalau lo cowok, udah gue betot kali."
"Kalau gue cowok, lo nggak akan tidur sama gue."
"Oh ya, bener juga. Yaudah, buruan jawab! Gimana reviewnya?"
"It was blinding... and warm..."
Jenar senyam-senyum mesum dan di saat yang sama, raut wajah sumringahnya terkesan sombong.
"Lo kelihatan sombong banget."
"Nggak apa-apa. Gue berhak untuk sombong."
"Iya, sih. Ternyata, lo jago."
Jenar tergelak lagi, lantas dia meraih salah satu tangan Rei yang masih tersembunyi di bawah selimut. Cowok itu merunduk, mencium pergelangan tangan Rei, tepat di atas titik di mana denyut nadinya terasa. "You okay? I didn't hurt you, did I?"
Rei menggeleng. "It hurts a little, but I am fine."
"Masih?"
Rei mengangguk, terus mengangkat tangannya yang lain, menunjukkan jari telunjuk dan ibu jarinya yang terpisah jarak amat sempit. "Sedikit."
Jenar menarik senyum hingga lesung pipinya tercetak dalam, tapi matanya menyiratkan simpati. Sambil masih duduk di tepi kasur, dia mendekat dan menarik Rei ke dalam dekap hangat. "My poor baby."
"I am not your baby."
"How about sweetheart, then?"
"Norak."
Jenar melepas pelukannya, mendelik pada Rei. "Lo ini benar-benar satu diantara sejuta."
"Kalau lagi nggak ada orang, nggak apa-apa, sih."
"Apanya yang nggak apa-apa?"
"You can call me that."
"Call you what?"
"That." Rei masih enggan menyebut 'sweetheart' yang tadi Jenar katakan.
So I am gonna love you
Like I am gonna lose you
I am gonna hold you
Like I am saying goodbye
Wherever we're standing
I won't take you for granted
Cause we'll never know when
When we'll run out of time
"What?"
"Sweetheart." Rei akhirnya menyerah.
Senyum Jenar kian melebar. "Yes, sweetheart?"
Pipi Rei memanas, dengan cepat terjalari oleh rona. Gadis itu buang muka, terus berniat bangun dari kasur.
Tapi Jenar cepat menahan pergelangan tangannya. "Mau ke mana?"
"Toilet."
"Bisa jalan? Tadi katanya sakit."
"Nggak selebay itu juga kali!"
"Loh, gue cuma nanya. Kali aja perlu digendong."
"Emangnya, ada yang pernah sampai nggak bisa jalan?"
"Ada."
"Dasar." Rei memutar bola matanya. "Jadi, gue cewek keberapa yang lo bawa ke kasur lo?"
"Bahasa lo drama banget, jir!"
"Nggak usah mengalihkan pembicaraan."
"Nggak ada. Lo yang pertama gue bawa masuk ke kamar gue."
"Really?"
Jenar mengangguk. "Iya."
Rei mengangkat bahu, lanjut turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi. Berhubung kaosnya Jenar sangat-sangat kebesaran, pada tubuhnya, kaos itu jadi terlihat seperti mini dress dengan tepi kaos berhenti tepat beberapa senti di atas kulitnya.
Habis Rei balik dari toilet, Jenar menembaknya dengan tanya. "Lapar nggak?"
"Nggak. Tapi capek."
"Okay. Come here."
Ujung-ujungnya, Jenar ngajakkin cuddling. Rei sempat memutar bola matanya, namun dia nggak menolak. Rasanya menyenangkan merebahkan kepalanya di dada Jenar, mendengarkan debar teratur jantung cowok itu di telinganya. Juga bagaimana dagu Jenar berada di puncak kepalanya. Tangannya melingkar di bahu Rei, mengusap kulitnya dengan gerakan yang menenangkan.
"I saw your tattoos."
"Gue nggak percaya, lo kepikiran soal tato gue sama Tigra sampai segitunya."
"Gue ini orangnya gampang cemburu. Dan lagi, tato itu kan sifatnya permanen."
"Mm-hm."
"I found another one."
"Apa?"
"Tato lo. Satu lainnya. Di belakang telinga."
Napas Rei tertahan sejenak di tenggorokan. Selama ini, nggak ada yang tau soal tato itu, kecuali dirinya sendiri. Posisinya cukup tersembunyi, sering ketutupan rambut dan yah, nggak ada yang pernah memperhatikan belakang telinga Rei sampai se-detail itu.
"Satu huruf. J."
"... iya."
"Gue tebak, itu nggak dibuat untuk gue."
"... iya."
"Terus, buat siapa?"
"Bukan buat Johnny." Rei membantah sebelum Jenar berspekulasi yang macam-macam. "My father's name starts with J."
"Oh?"
Rei mengangguk di dada Jenar. "Tentang bokap gue... gue nggak pernah cerita banyak kan?"
"Nggak."
"I used to be really close to him, like... so close. I think it's safe to say that he's my first love." Rei menarik napas dalam-dalam. Wangi parfum Jenar menyerang indra penciumannya lagi. "They often said, a father is a daughter's first true love. The one I look for to chase away the monsters under my bed, or to kiss the bruises on my knees from falling off of my bike."
"Sweetheart." Jari-jari Jenar terbenam dalam rambut Rei. "Nggak perlu memaksakan diri buat cerita kalau itu justru bikin lo mengingat sesuatu yang buruk."
Rei menggigit bibirnya. "Akan lebih gampang buat gue kalau dari awal, dia memang kayak gitu. Kalau dia nggak pernah ada buat gue. Kalau dia nggak pernah peduli sama gue. Tapi nyatanya nggak gitu. Dia pernah ada. Dia pernah peduli. Sangat peduli, malah. Dan gue terbiasa dengan itu. Lalu suatu hari, dia berubah. Lo tau, ketika lo terbiasa memiliki sesuatu, lalu sesuatu itu hilang tiba-tiba, dengan cara yang nggak lo duga, dengan cara yang sulit lo percaya, lo akan merasakan lebih dari kehilangan. Ngelihat seseorang yang lo kira sangat lo kenal, pelan-pelan berubah menjadi seseorang yang nggak lo kenal sama sekali... rasanya nggak tertahankan. Mungkin karena itu juga, banyak yang bilang kalau berduka untuk orang yang masih hidup itu jauh lebih sakit daripada berduka untuk orang yang memang udah nggak ada lagi di dunia ini."
"Regina,"
"Gue nggak bisa terbiasa dengan siapapun lagi, meski gue mau."
"..."
"Gue tau kok, gimana nggak enaknya nggak dipercaya, apalagi ketika lo merasa lo udah ngeluarin segala effort, udah memberikan semua yang terbaik dari diri lo."
"..."
"Tapi sepeduli apa pun kelihatannya lo sama gue... rasanya tetap sulit. I want to trust you. Really. With all of my heart. But I can't."
"Then, don't."
So I am gonna love you
Like I am gonna lose you
I am gonna hold you
Like I am saying goodbye
Wherever we're standing
I won't take you for granted
Cause we'll never know when
When we'll run out of time
Rei mengerjap, nggak menebak respon Jenar akan begitu. Namun, Jenar mengabaikan kekagetannya. Cowok itu meraih salah satu tangan Rei yang berada di atas dadanya, kembali menautkan jari-jari mereka.
"Jangan percaya sama gue."
"..."
"Cukup biarkan gue selalu ada di dekat lo."
"You're really unbelievable."
"No, I am just a man in love."
"Anyway, happy birthday."
"Thankyou."
"I hope you like the cake."
"The best cake ever." Rei merasakan Jenar menunduk sedikit untuk mencium puncak kepalanya.
"Padahal lo yang ulang tahun, tapi kenapa gue ngerasa justru gue yang dikasih hadiah ya?"
"Don't thank me. It was a privilege for me, to be able to worship you like the goddess you are."
"Gombal banget!" Rei mau meninju dada Jenar, tapi tangannya digenggam terlalu erat. "Tapi... setelah ini... apa?"
"Bukannya udah jelas?"
"Apanya yang udah jelas."
"I am staying by your side."
So I am gonna love you
"Jenar."
"Iya?"
Rei nggak menjawab, malah membenamkan wajahnya ke dada Jenar sambil mempererat pelukannya. Dia takut, dia akan mengatakan sesuatu yang terlalu gentar dia akui.
"Kenapa?"
"Can I... hug you for the rest of the night?"
"Of course, sweetheart. You can."
*
"Gue bingung banget soal urusan lo sama Rossa."
"Apalagi gue! Mana si Wirya ikut campur segala pula!"
"Bukan itunya." Eno membantah. "Ini yang gue nggak habis pikir, Rossa kayaknya memang se-nggak suka itu sama lo! Buktinya, walau lo udah nembak di dalam, lo tetap kalah juga. Kalau kalah sama Milan sih mending, Rossa emang naksir tuh bocah dari dulu! Tapi Wirya? Wirya ini pendatang baru, Ka!"
Jaka cemberut, bete banget dengar kata-kata Eno. Iya, karena dia rasa kenetralan anak-anak kosan Milan patut dipertanyakan, akhirnya dia curhat ke Eno. Eno ini temannya Jaka, sesama anak Arsitektur. Mukanya kalem, cakep dan adem kayak santri gitu. Tapi sebetulnya, Eno juga bejat dengan caranya sendiri. Yah, walau dia nggak masuk kategori cowok jablay sih. Soalnya dari maba sampai sekarang, Eno setia sama satu cewek. Dia sayaangggg banget sama ceweknya. Hubungan mereka juga sepertinya sudah teruji, soalnya tahun lalu, Eno sama ceweknya sempat kebobolan. Cuma karena dua-duanya belum siap jadi orang tua ya... mau nggak mau... begitu deh.
Hingga hari ini, Eno dan ceweknya masih going strong banget. Setahu Jaka, begitu lulus dan dapat kerja nanti, Eno niatnya mau langsung lamar ceweknya sih. Tapi nggak langsung punya anak, mereka mau berpetualang menaklukan dunia dulu berdua saja.
"Tapi serius deh, No, menurut lo, gue salah banget ya?"
"Melas banget lo. Aseli."
"Seakan-akan gue antagonis banget di sini." Jaka makin manyun, mulai mencoret-coret potongan kertas kalkir di depannya pakai pensil. Kertasnya sudah nggak kepakai, sisa ngerjain salah satu tugas, jadi bebas mau Jaka corat-coret kayak gimana juga.
"Jelas lo yang antagonis, kan yang keluar di dalam elo! Kalau nggak gara-gara lo, Rossa nggak akan hamil. Lagian bisa-bisanya lo begitu! Gue aja kalau mau crot di dalam minta izin dulu sama cewek gue! Nah ini, Rossa juga cewek lo bukan, main di-bazooka aja!"
"... kan gue lagi mabok."
"Tapi lo masih cukup sadar. Lo bisa bawa Rossa balik ke tempat lo, sedangkan tuh anak udah nggak ingat apa-apa lagi."
"..."
"Sorry to say ya, Jaka, tapi gue harus jujur. Lo salah banget di sini, bro. Terutama, karena lo juga tau gimana perasaan lo yang nggak dibalas sama Rossa. At the very least, kalau lo emang udah gelap mata banget dan nggak bisa menahan diri, lo mikirin safety lah! Apa susahnya ngegulung karet doang?"
Jaka membuang napas.
"Atau jangan-jangan... lo emang sengaja?"
"Sengaja gimana?!"
"Sengaja mau bikin Rossa terjebak sama lo. Bisa aja, kan. Karena lo ngerasa lo ada tanggung jawab ke Rossa dan Rossa juga nggak mungkin menghadapi semuanya sendirian, mau nggak mau kalian mesti bareng. Terus macam pepatah Jawa yang katanya witing tresno jalaran soko kulino, lama-lama Rossa naksir gara-gara sudah terbiasa sama lo!"
"Gue nggak sepicik itu, No..."
"Kirain." Eno berdecak. "Sori kalau kesannya nuduh. Tapi perkara safety dan mabok, gue bener kan?"
"Bener."
"Yaudah."
"Terus gue harus gimana?"
"Untuk saat ini, gue rasa, yang bisa lo lakuin adalah berusaha selalu ada buat dia, especially kalau lo mau nunjukkin ke dia lo benar-benar berniat bertanggung jawab. Gue kasih tau ya, cewek, dalam keadaan kayak Rossa sekarang tuh lagi rapuh-rapuhnya. Dia mikirin hidup dia. Dia juga mikirin apa semuanya bakal berjalan sesuatu harapan dia apa nggak ke depannya. Asli deh, bunting sama ngelahirin anak tuh nggak main-main, bro. Jujur, semenjak kejadian gue sama cewek gue, gue jadi ngerti kalau nyokap gue tuh udah berjuang banget menghadirkan gue ke dunia ini. Padahal kelakuan guenya juga busuk gini. Cewek gue juga, anjir man, gue kalau berdarah banyak kayak dia waktu itu kayaknya nggak bakal sanggup deh." Eno malah nyerocos panjang-lebar kayak knalpot bajaj.
"Sekalipun Rossa nolak gue?"
"Gue tanya, emang ini pertama kalinya lo ditolak sama Rossa?"
"... nggak."
"Yaudah, masa gitu aja pakai nanya! Lo laki! Tunjukkin kalau lo laki! Jangan cemen, masa gitu doang udah mau mundur!"
*
Terus-terang, Rossa terharu banget sama gimana teman-temannya (juga teman-teman Wirya) mau kompak menjaga rahasia sekaligus peduli padanya. Rossa sendiri masih nggak tau, dia akan memberitahu kedua orang tuanya (juga kedua orang tua Jaka dan kedua orang tua Wirya) dengan cara yang bagaimana, namun masih ada waktu beberapa bulan untuk berpikir—setidaknya, sampai perubahan bentuk fisiknya terlalu jelas dan nggak bisa lagi disembunyikan.
Sudah pasti, mereka mesti kembali ke kenyataan. Balik mengerjakan tugas, mengejar deadline, atau rehat sejenak semasa liburan semester, itu pun kalau nggak mengambil semester pendek. Liburan semester ini, selain beralasan mesti menghadiri pernikahan Alfa dan Sierra, Rossa bilang dia nggak akan pulang ke rumah karena berencana mau magang mandiri di perusahaan yang berada di dekat kampus untuk mencari pengalaman sekalian mengisi CV. Kedua orang tuanya percaya-percaya saja. Bagus, sebab Rossa masih belum siap jadi korban interogasi mereka.
Rei juga nggak meninggalkan kosan. Rossa nggak perlu nanya sih. Selain karena kondisi keluarga Rei yang memburuk, juga karena yah... Rei nggak punya alasan untuk pulang. Gadis itu juga cukup sibuk akhir-akhir ini dan tampak seperti kucing-kucingan sama Jenar—sekalipun Rossa tahu, semalam, Rei nggak pulang dan sudah pasti sedang berada di tempat Jenar. Rossa nggak berani bertanya, apa Jenar tau soal aktivitas yang akhir-akhir ini Rei lakukan. Selain takut bikin mereka ribut, Rossa juga merasa nggak berhak ikut campur persoalan pribadi Rei.
Jella juga, meski bedanya, Jella nggak balik karena memang mau kerja paruh waktu betulan. Katanya, dia nggak ada niatan jadi budak korporat begitu lulus nanti, jadi harapannya, sehabis wisuda, dia sudah punya cukup simpanan buat bikin online shop. Tumbenan banget seorang Jella bisa se-visioner itu. Berhubung Rei dan Jella sama-sama sibuk dengan kerjaan baru mereka, Yumna selaku mamah tidak resmi ciwi-ciwi kosan Sadewo lantai dua memilih buat stay, biar ada yang jagain Rossa.
Segalanya seperti membaik pelan-pelan, meski Rossa paham, belum tentu untuk yang seterusnya. Tapi nggak apa-apa. Kalaupun ini tenang sebelum badai, Rossa memutuskan buat lebih menikmati masa tenangnya daripada keburu memusingkan badai yang belum datang.
Pagi ini, Yumna masih tidur sewaktu Rossa meninggalkan kosan buat pergi ke minimarket. Niatnya sih belanja sabun cuci piring, susu kotak sama beberapa snack yang memang sudah habis. Ketika mau pulang, dia bertemu sama Milan di teras minimarket.
"Ros?"
Rossa mengerjap, bingung sejenak sewaktu melihat Milan berlari menghampirimya. Kalau ini terjadi berbulan-bulan lalu, Rossa pasti histeris. Namun sekarang, sudah nggak lagi. "Kenapa?"
"Mau pulang?"
"Iya."
"Kayaknya berat." Milan mengambil alih plastik berisi belanjaan dari tangan Rossa. "Sini, gue aja yang bawain."
"Milan—"
"Mau pulang kan ke kosan?" Milan seperti nggak mempedulikan ucapan Rossa.
"Iya."
"Sendirian?"
"Iya."
Milan memandang Rossa sebentar sebelum menghela napas dalam-dalam, lalu katanya. "Gue anter ya?"
Rossa kontan nge-freeze di tempat. Harap dicatat, Milan ini adalah cowok yang Rossa taksir selama bertahun-tahun, sejak mereka berdua sama-sama masih maba. Milan nggak pernah mempedulikan Rossa, apalagi membalas perasaannya. Sekarang tahu-tahu... Milan menawarkan diri mau mengantar Rossa pulang?
Ini jelas patut masuk rekor dunia.
Milan tahu kok, respon Rossa itu sangat beralasan. Tapi bagaimana ya, Milan khawatir Rossa kenapa-napa. Kan begitu-begitu juga, mereka masih berteman. Mereka berada di circle yang sama. Kebanyakan teman-teman Rossa ya teman-teman Milan juga. Milan merasa sangat brengsek kalau dia membiarkan Rossa balik sendirian.
"Gue bisa pulang sendiri, Lan."
"Kalau gue bisa temenin, kenapa nggak?"
"Nggak mau. Soalnya lo nge-treat gue seakan-akan gue lagi sakit berat."
"Ros—"
"Milan, gue nggak butuh rasa kasihan lo."
"Gue nggak maksud gitu kok." Milan menyergah cepat.
"Terus ngapain tiba-tiba sok peduli kayak gini?"
"Karena mau gimana pun, lo juga teman gue, Ros."
"..."
"Apalagi dalam keadaan kayak gini, susah untuk nggak peduli sama lo."
"..."
"Apa gue nggak boleh peduli sama lo?"
to be continued.
***
a/n:
ujung-ujungnya, end-game ada di mb rossa-mas milan wkwkwk
hahaha akankah woojae benar-benar terhadirkan ke dunia ini? mari kita saksikan nanti.
dah kayanya itu aja dulu ya. cerita yang lain ntar ya, liat setelah tanggal 25 desember mbikos akhir tahun nih ada beberapa hal yang kudu diberesin. sabar beb.
kayaknya gitu aja, sama btw, karena pada suka ada yang nanya visualisasi....
mingyu as milan
yugyeom as yugi
wong edyan as lanang
pemilik rawa
***
December 20th 2020 | 23.30
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro