27 | birthday boy
Seandainya jawaban Yuta itu jadi adegan sinetron, pasti sudah ada bagian zoom in-zoom out bergantian antara muka Tigra, muka Wirya dan muka Dhaka sampai memenuhi layar, ditambah backsound dramatis, kalau bisa pakai efek sambaran gledek sekalian.'
Tapi karena ini bukan sinetron, jadinya ketiga cowok tersebut malah memasang muka nge-blank, sama-sama berusaha memproses apa yang barusan mereka dengar.
Oke... Rossa bunting...
Pertanyaan sekarang adalah... bapaknya siapa, woy?!
"Bapaknya siapa?!"
"Jelas bukan Wiryanto!" Dhaka berseru.
"Nama gue Wirya, nggak pake Wiryanto!" Wirya sewot, tapi kentara sekali perasaannya sudah kayak nasi uduk yang karetnya putus alias bubrah, bubar kemana-mana, sudah nggak jelas mana nasi, mana bawang goreng mana orek tempe.
"Gue nggak tau pasti!" Yuta baru saja menyadari kesalahan besar yang telah dia buat. Sudah terbayang di benaknya, Yumna mencak-mencak dalam mode Kurama. "Kalau gue ngomong lebih banyak lagi, bisa-bisa umur gue nggak sampai besok pagi! Jadi udahlah, sekian dan terimakasih!"
Sebelum tiga cowok lainnya memaksa mengorek informasi dari Yuta dengan cara yang tak patut, cowok itu buru-buru melesat masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu.
Gantian Wirya yang terdiam seribu bahasa, sementara Dhaka dan Tigra saling pandang, sebelum kemudian Tigra berpaling pada Wirya yang masih bengong. "Wir?"
Wirya nggak menjawab, malah menarik napas super panjang, lantas bangun dari duduknya. Dia masuk ke kamarnya tanpa mengatakan apa-apa. Begitu keluar lagi, Wirya telah mengenakan jaket, baseball cap warna hitam yang menyembunyikan ekspresi wajahnya dan tangannya memegang kunci mobil.
"Mau kemana?" Dhaka langsung waspada.
"Nemuin Rossa. Menurut lo, kemana lagi?"
Dhaka dan Tigra berpandangan, lalu kompak menelan saliva.
***
Yumna paham banget, kalau orang lagi hamil memang suka mual-mual dan muntah, terus susah makan. Dia berusaha bawa segalanya santai, tapi ngelihat gimana Rossa nggak berhenti muntah-muntah dari sore, Yumna cukup panik juga. Cuma, dia dan anak-anak kosan Sadewo lantai dua berusaha kelihatan tenang, soalnya dia ngerti banget, kalau mereka panik, Rossa pasti bakal lebih panik lagi.
"Beneran nggak apa-apa?" Yumna bertanya seraya mengulurkan kotak tisu setelah Rossa nge-flush toilet.
"Nggak apa-apa." Padahal mukanya Rossa sudah pucat, orangnya juga sudah lemas banget. Ini kalau Rossa nggak kunjung membaik, Yumna sepertinya bakal nekat membawa cewek itu ke dokter.
"Ros—" Jella yang sejak tadi menunggu di ambang pintu ikut memanggil, namun Rossa tangkas memotong.
"Nggak apa-apa." Rossa menegaskan. "Udah, kalian balik ke kamar kalian aja."
Jella dan Yumna kompak bertukar tatap.
"Gue nggak apa-apa." Rossa berujar lagi, berupaya menenangkan teman-temannya. "Ini cuma temporary. Nanti abis ini gue makan biskuit kok. Udah, kalian balik ke kamar kalian!"
"... oke."
Mau nggak mau, pada balik ke kamar masing-masing. Mereka juga nggak bisa memaksa mau menemani Rossa, apalagi kalau orangnya bilang lagi mau sendirian saja. Setelah Jella dan Yumna meninggalkan kamarnya, Rossa beranjak, lalu rebahan di atas ranjangnya. Dia memandang langit-langit kamarnya sejenak, merasa bagaimana hari ini amat surreal. Sorot matanya gamang, bertanya-tanya apa yang akan mesti dia hadapi setelah ini.
Lalu mendadak, mual itu meninjunya di perut untuk kesekian kalinya, masih dengan cara yang tiba-tiba. Secepat kilat, Rossa bangun dari kasur. Dia bergerak tergesa ke kamar mandi, lagi-lagi muntah di toilet.
Sehabis menekan tombol flush, Rossa mendengar pintu kamarnya dikuak. Refleks, dia berseru kencang. "Gue nggak apa-apa!"
"Lo nggak kelihatan lagi baik-baik aja, dan jelas lo lagi kenapa-napa."
Rossa merasa jantungnya nyaris berhenti berdetak sewaktu dia menoleh ke asal suara hanya untuk mendapati Wirya berdiri di depan pintu kamar mandinya yang sengaja dibiarkan terbuka. Namun rasa mualnya nggak memberinya kesempatan bicara. Cewek itu lanjut muntah, meskipun sebetulnya, tidak ada lagi yang tersisa untuk dikeluarkan.
Wirya memandangnya sebentar, menghela udara dalam-dalam, terus masuk ke kamar mandi. Dia berlutut di dekat Rossa, mengumpulkan rambut panjangnya jadi satu biar nggak terkena muntahan dan memeganginya.
"Lo nggak seharusnya lihat ini..." Rossa mengerang sembari menekan tombol flush sekali lagi. Wirya nggak menjawab, masih diam seribu bahasa. Rossa ikut diam. Selama sesaat, nggak ada satu pun dari mereka yang bicara, sampai Rossa merasa canggung sendiri dan memutuskan memecah kesunyian.
"Lo... marah?"
"Jujur, gue nggak tau."
"Kenapa... nggak tau?"
"Gue harus paham situasinya dulu, baru gue bisa nentuin, apa gue berhak marah atau nggak."
Rossa tertunduk, memandangi jemarinya. Mukanya memerah. Wirya mengamatinya sejenak, lalu mengeluarkan ponsel dan mengetik cepat. Tak berapa lama, ponselnya Rossa bergetar. Rossa mengeluarkan benda itu dari saku, tersadar ada notifikasi chat baru. Siapa pengirimnya? Wirya.
wirya:
kalo ngga bisa lewat lisan, lewat tulisan juga gapapa.
Rossa menahan napas, beralih ke Wirya dan berusaha menerka emosinya. Wirya nggak kelihatan seperti sedang marah atau kesal. Cowok itu... seperti menunggunya untuk bicara. Sorot matanya tetap selembut biasanya, dan itu membuat Rossa ingin menangis.
Pada akhirnya, dia bercerita secara langsung, tanpa perantara. Wirya mendengarkan dengan seksama. Memberi Rossa seluruh waktu yang gadis itu butuhkan tanpa sekalipun menyela. Di akhir ceritanya, Rossa menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"I was drunk. Waktu ulang tahun Yumna. Gue nggak bermaksud. Beneran. Maafin gue."
Dari suaranya, Wirya tau Rossa hampir menangis. Maka, dia mengulurkan tangannya untuk memegang pergelangan tangan Rossa, menurunkan tangan gadis itu dari wajah biar Rossa bisa menatap matanya. "Siapa?"
"... Jaka."
"..."
"I didn't mean it to be this way. Gue juga nggak ada rasa apa-apa sama Jaka. Semuanya nggak sengaja. Gue nggak mau lo benci sama gue, walau gue nggak punya hak meminta itu—"
Mendadak, Wirya beranjak.
"Gue nggak benci sama lo."
"... beneran?"
"Mm-hm." Wirya mengangguk. "You didn't mean it. gue ngerti. Tapi yang sudah terjadi, nggak akan bisa kita ubah lagi, kan? Jujur, gue yang justru merasa bersalah. Harusnya ketika itu, gue nggak meninggalkan lo sendirian."
"Lo nggak salah." Rossa menggeleng. "—and don't worry about it. I am not keeping i."
"What?"
"..."
"Why?" Wirya tampak terkejut.
"Bukannya jawabannya udah jelas? I want to be with you."
"..."
"Wirya..." Rossa terdengar sangat ragu, namun dia memaksa dirinya buat mengatakan apa yang selama ini dia tahan. "I think... I think... I lik—no... I think I love you."
Wirya nggak langsung menyahut. Dia menatap Rossa lama sekali, seperti ingin menyelami emosi gadis itu. Kemudian, sesaat sebelum melangkah pergi, dia menyempatkan diri untuk bilang,
"Keep the baby."
*
Jaka sudah stress mikirin tugas, makin stress lagi setiap kali kepikiran Rossa.
Suntuk banget. Tadinya, dia mau curhat sama Eno. Siapa tau Eno bisa bantu karena setahu Jaka, Eno pernah main sama ceweknya sampai kebobolan. Tapi sayang seribu sayang, Eno lagi nggak di kosan. Katanya sih lagi sibuk quality time sama ceweknya. Namanya juga bucin kelas budak.
Kalau sudah begitu, Jaka nggak punya tempat lain untuk dituju selain kosannya Milan. Dia nge-chat Milan dan Milan bilang dia lagi di kosan. Jadilah, Jaka bertolak ke sana. Kosan mereka masih satu lingkungan, sehingga nggak butuh waktu lama bagi Jaka untuk tiba di sana. Sewaktu tiba, yang bukain pintu untuk Jaka tuh Yuta. Begitu melihat Jaka, wajah Yuta langsung pucat. Sepertinya karena dia sadar, dia sudah jadi ember bocor.
"Mau ngapain?"
"Tumben nanya-nanya." Jaka jadi heran.
"Nanya doang, masa nggak boleh?"
"Milan ada nggak?"
Yuta lega dikit, kirain Jaka datang ke kosan mau menghajar dia. "Oh, ada di dalam. Lagi main PS."
"Tumben lo banyak omong."
"Lah, emang biasanya gue gimana?"
"Jutek." Jaka mengangkat bahu. "Kelakuan lo seringnya kayak asshole sih, Yut."
Tabah banget Yuta, hari ini dua kali dibilang asshole. Namun dia diam saja, walau sebenarnya rada gatal kepingin salty. Jaka nyelonong masuk ke ruang tengah tempat Milan lagi main PS sama Dhaka. Dhaka yang melihat Jaka pertama kali langsung kaget, terus menyikut Milan yang matanya masih fokus ke layar kaca.
"Lan, ada Jaka."
"Oit, udah nyampe lo? Bentaran, gue lagi main—loh, Ka, kok berhenti sih mainnya? Cuma Jaka doang, kayak sama siapa aja. Presiden juga bukan!"
Bak penyempurna adegan, tahu-tahu Tigra muncul dari lantai dua dan sesaat setelah melihat ada Jaka di sana, tanyanya terlontar begitu saja. "Eh, Jaka, lo beneran ada main yang asik-asik sama Rossa ya?"
Pertanyaan Tigra yang nggak pakai bismillah bikin Yuta kepingin nyunat cowok itu sekali lagi. Namun ibarat kata peribahasa, nasi sudah menjadi bubur. Pertanyaan Tigra nggak bisa ditarik lagi, dan berhasil membuat Dhaka serta Yuta kompak menoleh ke arah Jaka. Jaka selaku target pertanyaan melongo mendengarnya.
Lalu, dia memahami apa yang telah terjadi.
"Hah, main apa?" Milan sebagai satu-satunya yang clueless meletakkan stik PS-nya di atas karpet. Rasanya Yuta kepingin membenturkan kepalanya ke tembok dua belas kali. Dhaka melotot padaTigra, yang kini malah terperangah seraya menggaruk lehernya yang nggak gatal.
"Kalian... tau?"
"Gue nggak maksud, sumpah!" Yuta langsung mengangkat dua jari ke udara, bikin Jaka menoleh padanya. Dari airmukanya Jaka, kentara sekali cowok itu lagi bingung, apakah dia mesti marah, kalap atau hajar Yuta sampai nggak bisa berdiri lagi. Tapi yang akhirnya keluar justru pertanyaan dalam suara yang sangaaaaaaaaaaaaat berat.
"Siapa aja yang tau?"
"AU APAAN, ANJIR?!" Milan mengerjap berkali-kali, nyaris histeris.
"Oh, berarti kalian bertiga udah tau?"
"GUE NGGAK TAU APA-APA!! KASIH TAU GUE, INI ADA APA!!" Milan makin heboh.
Sayangnya, Jaka nggak sempat memadamkan rasa penasaran Milan yang berkobar, sebab suara mobil yang masuk pagar sudah lebih dulu menginterupsi. Tidak berapa lama kemudian, Wirya masuk. Ekspresi wajahnya benar-benar menyeramkan, berhasil membuat para anak cowok kosan termangu, sebab mereka nggak pernah melihat Wirya memasang wajah marah seserius itu.
"Lah, ini kenapa lagi—"
Wirya nggak membiarkan Milan menyelesaikan ucapannya, sebab dia sudah terlanjur gelap mata dan begitu saja, Wirya menyerang Jaka dengan kepalan tinjunya.
*
"SEBEL BANGET, MASA GUE LAGI PACARAN DIGANGGU?!"
Rei cuma berdecak ketika dengar Jenar mengomel nyaris sepanjang jalan. Bahkan tanpa melihat mukanya pun, Rei tau Jenar lagi manyun. Mana bawa motornya ngebut pula. Dalam waktu singkat, mereka sudah tiba di kosannya Tigra. Masih ribut banget, sementara cowok-cowok satu kosan pada nggak beerdaya. Unungnya, Wirya sama Jaka kayaknya sama-sama jago nonjok, jadi bonyoknya masih seimbang. Nggak ada yang lebih cakep, dua-duanya sama-sama sudah jelek.
"Ini kenap—" Rei speechless banget, soalnya dia nggak pernah lihat cowok tonjok-tonjokkan sebelumnya—eh pernah deng, waktu Mech Fest bagian Jenar tonjok-tonjokkan sama komplotannya Daniel. Tapi kalau orang kayak Jenar sih sepertinya sudah nggak heran, nggak usah kelakuannya, mukanya saja sudah ngajak ribut. Ini berbeda, soalnya setahu Rei, Wirya tuh orangnya kalem banget dan setengil-tengilnya Jaka, dia nggak pernah punya sejarah berantem seru sama orang.
"LO DIEM AJA DI SINI! NGGAK USAH DEKET-DEKET!" Jenar membentak seraya menarik lengan Rei, memaksa cewek itu tetap berada di belakang punggungnya.
"Tapi—"
"Mereka lagi gelap mata! Kalau lo kena tonjok juga, bisa-bisa gue juga ikutan kalap. Ngerti nggak? Jangan bantah melulu." Setelan nada komdisnya Jenar keluar. Sumpah, Rei takut, akhirnya cuma bisa mengangguk dan jaga jarak.
"Ini lagi, lo pada ngapain diem aja?! Pisahin buruan!" Jenar berseru pada anak cowok sekosan yang setia jadi penonton.
"Takut, Bray! Nanti kena gebuk juga gue!" Milan membela diri.
"Cemen banget, kena gebuk aja takut! Mending potong tuh sosis lo sekalian, nggak usah jadi laki! Nggak guna!" Jenar melotot sembari menarik paksa Wirya dari Jaka. Sudah pasti, Wirya melawan, kepalan tangannya mendarat di dada dan bahu Jenar. Sakit, tapi Jenar hanya mengatupkan mulutnya dan meringis. Rei yang melihat dari jauh saja jadi nggak tega, menerka dada Jenar pasti akan memar setelah semua perdramaan ini selesai.
"Wir, Wir, jangan kayak gini!"
"Jaka, udah wey, Jaka!"
"Lo nggak akan ngomong kayak gitu kalau yang diginiin bukan cewek lo, jadi lo diem!" Wirya berseru marah pada Jenar, berhasil membuat semuanya terdiam, kecuali yang jadi sasaran seruan. Genggaman Jenar pada kedua tangan Wirya tetap kuat, dan dia pun memaksa Wirya mundur. Anak-anak cowok lain turut membantu memisahkan Wirya dan Jaka.
Nggak berapa lama, ketika situasi mulai kalem, anak-anak Mesin lainnya kayak Johnny, Kun, Lanang dan Yugi ikutan nongol. Ditambah Rossa yang muncul bareng anak-anak kosan Sadewo lantai dua lainnya. Melihat Rossa, Wirya dan Jaka sama-sama langsung terdiam. Mereka tertunduk, jangankan bicara, menatap saja nggak bernyali. Apalagi ketika Rossa mulai nangis.
Selama sebentar, semuanya senyap. Anak-anak cowok sebagai mayoritas lebih banyak diam, takut salah ngomong. Situasi itu berlangsung beberapa menit, hingga Yuta berinisiatif mengarahkan Wirya dan Rossa untuk punya 'waktu sendiri' ke kamarnya Milan.
Milan sempat protes. "KOK KAMAR GUE, YA ANJIR?!"
"Kamar lo paling dekat." Yuta beralasan.
"Nggak usah banyak cocot." Yumna menambahkan.
Maka, terdiamlah Milan karena terlalu gentar untuk melawan.
Di dalam kamar, Rossa dan Wirya duduk berjauhan. Mana kamarnya Milan rada berantakan ya, kertas kalkir berserakan di mana-mana. Belum lagi penggaris berukuran maha besar dan sampah bekas serutan pensil yang belum dibuang. Rossa duduk di tepi ranjangnya Milan, sedangkan Wirya di kursi belajar.
Tiga puluh detik... semenit... dua menit...
Wirya jadi yang pertama bicara. "Gue nggak marah sama lo. Kenapa lo masih aja nangis?"
"Karena lo udah jadi kayak gini gara-gara gue." Rossa tertunduk, hampir sesenggukan tapi masih berusaha keras menahannya.
"Jangan nangis. Gue paling nggak bisa lihat air mata perempuan."
"... nggak bisa."
Wirya bangun dari kursi, berjongkok di depan Rossa, lantas menghapus aliran basah di pipi gadis itu dengan jari-jarinya. Tangan Wirya kasar dan merah. Juga gemetar. "Look, don't cry. Things will be okay. We'll find a way."
"I chose my way, Wirya."
"... Ros—"
"I am not keeping it."
"Keep it."
"..."
"Gue nggak mau lo jadi pembunuh."
"..."
"Keep it. Gue janji gue akan ada buat lo. Gue janji gue nggak akan pergi."
*
"Lebih bagus kalau dia buka baju kayaknya, Rei."
Rei memutar bola mata pada saran Jella sementara dia menyingkap kaosnya Jenar untuk melihat separah apa bekas hantaman kepalan tangan Wirya di sana. Jenar diam saja, duduk di karpet sementara punggungnya bersandar ke tembok. Rei berada di dekatnya. Anak-anak cowok yang berada di ruangan itu pura-pura nggak melihat, meski jelas mereka punya penilaian sendiri-sendiri. Terutama Tigra, Dhaka dan... Johnny.
"Gue rasa sarannya Jella itu benar."
"Lo nih hobi banget pamer ya?" Rei mendelik.
"Di sini mayoritas batang semua. Paling cuma ada Yumna sama Jella. Sakura, Jinny sama Harsya di luar. Atau, lo nggak ikhlas kalau Yumna sama Jella lihat badan gue?"
"Buka aja, Rei. Badannya Jenar lezat buat mata, loh. Wortel aja kalah kayaknya."
"Daripada lo jahilin Jenar sama Rei, kenapa nggak cek dada gue aja nih?" Milan menukas, bikin Jella menoleh padanya. "Tadi kena tonjok Jaka juga."
"Najong, mending gue obatin memarnya Jaka!"
"Obatin, gih." Yumna menyentuh bahu Jella.
"Serius?"
"Kasian anaknya. Nggak mungkin juga Rossa bakal mau repot-repot nanyain keadaan dia."
Kata-kata Yumna membuat Jella merasa kasihan, apalagi saat dia melempar pandang ke Jaka dan yang bersangkutan justru tertunduk. Maka, Jella bangkit dari karpet. Niatnya mau ke dapur untuk mengambil kompres.
"Capek banget gue." Rei berdecak, terus akhirnya. "Yaudah, buka baju lo!"
"Siap, Ibu Negara!"
"Nggak usah pake istilah Ibu Negara. Cuma Yumna satu-satunya Ibu Negara di kosan ini!" Yuta menukas.
"Bodo." Jenar membalas nggak peduli, membuka kaonya dengan sekali gerakan cepat dan melemparnya ke sembarang arah. Rei menghela napas, menyentuh bilur-bilur merah yang kini pelan-pelan menggelap di atas kulit Jenar. Lalu tanpa bilang apa-apa, dia mengoleskan salep memar di atasnya.
"Am I missing something here?" Yugi menyela tiba-tiba.
"Hm?" Jenar mengangkat alis.
"Kalian pacaran?" Lanang mewakilkan.
"Nggak."
"Belom—argh, Regina, sakit!" Jenar protes dan seperti biasa, Rei mengabaikannya. Dia memasang ekspresi wajah sok cool, walau dalam hati, pertanyaan Lanang dan Yugi menyentak sesuatu dalam benaknya.
Dia dan Jenar nggak pacaran.
Apa... yang dia lakukan berlebihan?
Apa... dia sendiri sudah mulai menyeberang batas yang dia tetapkan?
Rei nggak punya terlalu banyak waktu untuk overthinking, sebab pintu kamar Milan tiba-tiba terbuka. Secara instan, perhatian semua orang sontak tertuju ke sana. Wirya keluar dari kamar. Sendirian saja, tanpa Rossa.
"Gimana?" Yuta memburu cepat, bikin Yumna refles memukul pahanya.
"Gercep banget ya anda!"
"Cuma nanya, Yang!" Yuta cemberut.
"Diem dulu!"
"Lan." Wirya memanggil Milan yang punggungnya langsung menegang.
"OIT, SIAP, KENAPA?!"
Kenapa nih Wirya tahu-tahu manggil Milan, apakah ada twist nggak terduga kalau ternyata bapak dari anak dalam perut Rossa itu malah Milan, bukannya Jaka?
Tapi ya masa iya, soalnya seingat Milan, dia belum pernah bikin-bikin sesuatu sama Rossa.
"Kamar lo berantakan banget, anjir. Nggak malu apa dilihat cewek, kamar lo kayak kapal meledak gitu?"
Wajah Milan merah padam. "Yeuuuu... suruh siapa ngungsinya ke kamar gue?!"
"Alah, cocot!" Jella melotot pada Milan yang kicep seketika. "Gimana Rossa?"
"I told her to keep it."
"Terus?"
"Gue nggak akan ninggalin dia."
Tigra tersedak. "Tunggu, lo sama Rossa... sejak kapan?!"
"Sejak hari ini. I'll take care of her. I promise her that."
"Nggak bisa gitu." Jaka membantah cepat, memicu setiap pasang mata berpindah padanya.
"Gue nggak nanya apa pendapat lo." Wirya membalas sengit.
"Emang, tapi lo harus ingat." Jaka justru menantang. "Itu anak gue. Bukan anak lo."
Jella membuang napas kesal dan berhenti mengompres memar Jaka. "Lo berdua, kalau mau tonjok-tonjokkan lagi, mending ke jalanan sana! Lebih gede. Syukur-syukur kalau ketabrak mobil sekalian."
Wirya dan Jaka langung terdiam.
"Bentar... ini jadi... ceritanya... lo berdua rebutan mau jadi bapak dari anaknya Rossa?" Milan terlihat takjub.
"Itu anak gue!"
"Pusing-pusing amat, Sat." Yuta menimpali. "Wirya ngotot, lo ngotot. Udahlah, ambil jalan tengahnya aja. Biar Milan yang jadi bapaknya!"
"Kok gue sih?! Bikin aja kagak!" Milan sewot.
"Jujur, gue nggak menebak aja sih, bisa-bisanya lo ngomong gitu." Wirya berujar datar, matanya memandang lurus pada Jaka. Bikin situasinya jadi mencekam lagi.
"Maksud lo apa?"
"Dia nggak mau sama lo. Dia benar-benar menyesali apa yang udah terjadi. Berarti, ketika lo ngapa-ngapain dia... it wasn't consentual, right?"
"She was drunk." Jaka beralasan. "Both of us were."
"Still, lo bisa bawa dia dari sana ke tempat lo. Means, lo lebih sober dari dia. And still, you raped her."
"Oke, kita nggak akan nemuin titik terangnya kalau terus-terusan salah-salahan." Kun berdeham, berusaha meredakan situasi yang mulai kembali membara.
Pada akhirnya, atas saran Kun dan Johnny, cowok-cowok dan ciwi-ciwi Sadewo menggelar emergency meeting di kosannya Tigra. Disepakati, untuk sementara mereka semua bakal tutup mulut. Rossa juga masih shock dan jelas perlu waktu untuk memberitahu pihak-pihak yang berkepentingan. Kayak orang tuanya Rossa, orang tua Wirya dan orang tua Jaka.
Yumna lega soalnya anak-anak cowok yang ada di kosan Tigra pada bisa diajak bekerja sama, walau di akhir, dia sempat nyaris emosi ketika Yuta bilang padanya kalau Yuta jahat, ceritanya Wirya-Rossa-Jaka mungkin akan dia jual ke produser sinetron misteri ilahi TV ikan lele terbang.
*
Rei agak lega sebab sepertinya, masalah Rossa telah punya penyelesaian sementara. Seenggaknya, untuk saat inni, Rossa bisa lebih tenang. Nggak lagi overthinking atau mumet mikirin gimana caranya biar Wirya jangan sampai tahu. Jujur, Rei kagum banget sih sama Wirya. Nggak mudah mencintai seseorang dalam situasi yang kayak gitu dan dengan jiwa besar... Wirya bilang dia nggak akan pernah ninggalin Rossa.
Rei penasaran, seperti apa rasanya disayangi seseorang dengan begitu dalam.
"Regina,"
Suara Jenar bikin Rei tersentak. "Hm?"
"Udah nyampe."
Anjir, Rei baru sadar kalau motor Jenar sudah berhenti dari tadi. "Udah lama?!"
"Sepuluh menit ada kali. Tapi lo nggak turun-turun. Gue kira lo ketiduran, tapi kok ya nggak nyender di punggung gue."
Pipi Rei merona, yang mati-matian berusaha dia sembunyikan. Cewek itu melompat turun dari boncengan sepeda motornya Jenar, lantas melepas helm. Kali ini, pengait di bawah dagunya nggak tersangkut. Dia memberikan helmnya pada Jenar, tapi mengernyit heran tatkala dilihatnya Jenar juga membuka helm.
"Kok buka helm?"
"Lo mau gue buru-buru pulang?"
"Lah, emang mau mampir?"
"Kalau iya?"
"Mau ngapain?"
Jenar nyengir, mencantolkan helmnya di kaca spion dan memandang Rei. "Something is still bothering your mind. Lo lagi mikirin sesuatu dan itu nggak ada hubungannya sama Rossa karena at the very least, untuk saat ini, ada penyelesaian sementara dari... err... masalahnya."
Rei menghela napas. "Sejak kapan lo pintar membaca orang kayak Tigra?"
"Kenapa harus selalu bandingin gue sama Tigra?"
"... nggak tau mau bandingin sama siapa."
"Well, not that I am offended. Gue anggap aja itu karena Tigra masa lalu lo, sedangkan gue... masa depan." Jenar terkekeh.
"... udah malam."
"Tunggu." Jenar refleks meraih lengan Rei. "Gue nggak akan memaksa lo untuk cerita. Tapi gue mau lo ingat, apa pun itu masalah yang lo punya, ada banyak orang yang peduli sama lo. Termasuk gue. Lo mungkin cukup kuat nyimpen semuanya sendirian, tetapi bukan berarti lo mesti sendirian. You know what I mean, right, Girlie?"
Rei terperangah sebentar, lalu akhirnya mengangguk. "Gue ngerti."
"Good then. So... I'll see you tomorrow?"
Rei mengangguk. "See you tomorrow."
"Rei."
"Iya?"
For a moment, he couldn't take his eyes off of her. The longer he stared, the more he saw her. An insecure goddess, among the harpies. Was this what Pygmalion felt as he laid his eyes on Galatea? Was this the way Hades saw Persephone on the day he first encountered the daughter of Demeter? He didn't know.
Only one thing he knew for sure...
I love you.
Kata-kata itu menggema dalam benak Jenar.
"Jenar?"
Jenar menggeleng, melebarkan senyum hingga dekik di pipinya tercetak dalam.
I love you.
"Nggak apa-apa. Jangan tidur malam-malam."
"Lo juga."
"Go inside."
"Okay."
I love you.
Jenar nggak menyuarakannya keras-keras, menyimpan tiga kata itu hanya untuk dirinya sendiri. Bukan karena tiga kata itu menakutinya. Melainkan karena dia khawatir, kalau dia mengatakannya sekarang, tiga kata itu akan menakuti Rei.
I love you.
Jenar mau, ketika pada akhirnya dia mengatakannya, tak ada reaksi lain yang akan Rei berikan kecuali rasa percaya.
*
Hari demi hari terlewati tanpa terasa, seperti waktu hanyalah anai-anai yang terbuyar, bubar jalan hanya dengan sekali tiupan angin. Keadaan sudah membaik. Atau setidaknya, begitulah yang Rei rasa terkait Rossa. Untuk dirinya sendiri... well... telepon dari ibunya malam itu masih mengganggunya, namun Rei memilih nggak memikirkannya. Apa pun yang terjadi nanti, dia akan menghadapinya. Mungkin dengan rasa takut, atau melibatkan banyak rasa sakit. Boleh jadi, itu akan bikin Rei terjerembab, jatuh. Tapi itu masih nanti. Rei nggak akan membuang waktu mengkhawatirkannya hari ini.
Apalagi, sebentar lagi Jenar ulang tahun.
Rei nggak mengerti, kenapa jadi semudah itu membiarkan Jenar masuk ke dalam hidupnya, mengambil salah satu porsi penting di sana. Mungkin karena Jenar kelihatan sangat tulus padanya, walau mulutnya masih suka kurang ajar. Atau karena Jenar adalah satu-satunya yang pernah memeluk Rei selama itu, nggak menanyakan alasan kenapa dia menangis, tapi meyakinkan kalau dia akan selalu ada, menemani Rei menghadapi apa yang mesti cewek itu hadapi.
Entahlah, tapi yang jelas, mereka sempat mengundang keheranan dan pembicaraan orang-orang saat mereka datang berdua ke acara pernikahan Sierra dan Alfa—Sakura, walau berada di daftar undangan, seperti yang sudah Rei duga, tetap nggak datang.
Bukan hanya Johnny yang memandangnya heran, tapi juga Tigra. Di tengah-tengah acaranya Alfa, cowok itu bahkan menghampirinya. Cuma untuk bertanya soal Jenar dan warna dasinya yang cocok dengan warna terusan Rei.
"So, you're with him, now?" begitu tanya Tigra kala itu.
"Apanya?"
"Lo dan Jenar."
"Come on." Rei memutar bola matanya. "Kita cuma kondangan berdua."
"Lo mengaitkan lengan lo ke lengannya."
"Tigra—"
"Nggak usah defensif." Tigra berujar. "Gue nggak akan menentang, sekalipun lo benar-benar sama dia. Meski gue masih mikir, dari semua orang, cowok kayak Jenar adalah jenis terakhir yang bakal lo percayai. Maksud gue, dia jelas punya reputasi."
"Well, terkadang reputasi nggak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Kayak, apa yang orang lain lihat dari kita belum tentu sesuai dengan siapa kita sebenarnya."
"Apa lo baru aja membela Jenar?"
"Apa gue kedengaran seperti itu?"
"Gue nggak akan bisa menang berdebat dengan lo." Tigra tersenyum sedikit. "Tapi in case lo masih denial dengan diri lo sendiri... dari apa yang gue lihat, lo mempercayai dia."
"Hm?"
"Lo percaya sama Jenar, sampai pada poin di mana—" Tigra menyesap minumnya, sadar bagaimana kini Jenar terlihat membelah kerumunan untuk menghampiri mereka. Pengantinnya adalah Alfa, tapi tak bisa dipungkiri, Jenar jadi salah satu bintang hari ini. Dia nggak mengenakan korsa atau jaket himpunannya yang biasa. Setelan jas dan styling rambutnya membikin dia kelihatan lebih dewasa. "—kalau dia menyuruh lo melompat dari ketinggian dan bilang dia akan menangkap lo, lo akan melompat."
"Really?"
"Lo nggak begitu ke semua orang. Even kepada gue, atau Dhaka."
"Is that a bad thing?"
"Bad thing, kalau lo terus denial dengan perasaan lo." Tigra menepuk bahu Rei. "Don't block your blessing. You know, Regina, being broken doesn't make you not deserve good thing. You can be broken and still deserve love."
Rei terdiam, sementara Tigra melangkah meninggalkannya, bertepatan dengan Jenar tiba di hadapannya.
Don't block your blessing.
Is Jenar... a blessing?
Itu pertanyaan yang Rei tidak yakin bisa dia jawab.
*
Rei tahu, dia sudah bilang pada Jenar jika di tanggal 14 Februari, dia akan mendedikasikan seharian penuh buat cowok itu.
Tetapi sayang, kenyataan nggak mendukungnya memenuhi janji itu. Telepon malam itu berujung pada sesuatu yang lebih serius. Masalah baru, yang mesti Rei bereskan kalau dia nggak mau kehilangan harga dirinya. Itu juga yang membuatnya seakan 'menghilang' selama sehari penuh. Dia baru bisa kembali ke kosannya menjelang petang.
Sudah pasti, Jenar berusaha menghubunginya sepanjang hari. Mulai dari menanyakan ucapan selamat ulang tahun dari Rei yang tak kunjung tiba, menagih kado, hingga sesingkat bertanya Rei ada di mana. Rei nggak menjawabnya, terlalu sibuk membasuh diri, berganti baju lalu... yah... Rei nggak pernah menduga dia akan melakukan sesuatu semacam ini untuk seseorang, apalagi orangnya Jenar, tapi Rei berdandan.
Dia harus berterimakasih pada Jella karena sudah membantu menata rambutnya, juga Lanang dan anak-anak Mesin yang mau jadi distraksi sejenak agar Jenar nggak nekat mencarinya ke kosan. Menjelang jam sembilan malam, barulah Rei bisa masuk ke unit apartemen Jenar atas bantuan Johnny. Tiga jam sebelum berakhirnya tanggal 14 Februari. Rei tahu, Jenar pasti akan kesal padanya. Namun, ini adalah yang terbaik yang bisa dia usahakan.
Rei masih bertanya-tanya, apa mengikuti saran Lanang adalah sesuatu yang tepat, soalnya sepanjang hidup, dia belum pernah merasa secanggung itu—berdiri di tengah kegelapan ruang tengah apartemen Jenar bersama sebuah kue dengan sebatang lilin tertancap di atasnya. Debar jantungnya serasa dipercepat seiring dengan detik demi detik yang melaju. Dia hampir lupa bagaimana caranya bernapas ketika pintu depan unit apartemen Jenar terkuak dan siluet cowok itu muncul.
Jenar hampir menjerit.
"Lo serem banget kayak setan!" Jenar mengomel seraya menekan saklar lampu, membuat ruangan jadi terang-benderang, rata tersirami cahaya. "Hari ini kemana aja?!"
"Ada urusan."
"Urusan apa?"
"Rossa."
"Bohong."
Memang, Rei meringis dalam hati.
"Nggak apa-apa kalau nggak percaya."
"Kenapa nggak balas chat gue."
"Sengaja. Biar lo kesal."
"Bagus, karena gue emang udah kesal beneran."
Jenar mendekat, mempersempit jarak diantara mereka. Rei menggigit bibir ketika Jenar menyentuh pipinya, mengamatinya sejenak sebelum bicara lagi. "Ngapain gelap-gelapan?"
"... kejutan... ulang tahun..."
"Ini kejutan paling jelek yang pernah gue dapet." Jenar berkata, bikin Rei terlalu takut menatapnya. "No décor. No present. Just this ugly cake. Belum lagi gimana lo ngilang seharian, bikin gue khawatir aja."
"... maaf." Rei tergugu.
"Lo bilang, hari ini lo bakal jadi punya gue seharian."
"Hari ini masih tersisa tiga jam."
"Apa yang bisa gue lakuin selama tiga jam?"
"Apa pun yang terpikirkan oleh lo sekarang."
Jenar memiringkan wajah. "Apa pun?"
"Apa pun."
"Beneran?"
Rei gugup. "Kalau nggak mau... nggak apa-apa."
"Baru sadar kalau lo dandan yang niat banget." Jenar menarik senyum lagi. "Ini beneran?"
"Sekali lagi lo nanya ini beneran apa nggak, fix gue pulang."
"Cuma mau memastikan."
"Bisa tiup dulu lilinnya? Keburu meleleh ntar."
"Hehe." Jenar maju lebih dekat, kemudian membungkuk di depan Rei dan meniup lilin di atas kue. "Udah."
"Happy birthday."
"Thanks."
Senyap sejenak, hingga Jenar menggaruk lehernya, tampak agak rikuh. "So now... what?"
Rei mengangkat bahu. "Nggak tau. Bukan gue yang ulang tahun."
"Ada saran?"
"Hm... get the cake?"
"Are we thinking about the same cake?"
".... Maybe?"
Jenar tertawa, menyentuh pipi Rei dengan kedua telapak tangannya, kemudian menunduk, menjemput bibir gadis itu dengan bibirnya. Semua yang pernah Rei dengar tentang Jenar, entah itu dari Jella, Tigra atau bahkan Dhaka terlupakan. Satu-satunya yang bisa Rei ingat adalah, cowok itu menciumnya dengan lambat. Ciuman yang mereka lakukan dalam keadaan sepenuhnya sadar, tanpa pandangan yang memburam dan kepala yang kelewat ringan.
Jenar tersenyum di bibir Rei. Menarik dirinya sedikit untuk tertawa kecil, kemudian mencium Rei lagi. Terus begitu, hingga Rei merasa dadanya begitu penuh dan perutnya geli, seperti ada ribuan kupu-kupu beterbangan di dalamnya.
"Sorry, but... was it bad?" Rei bertanya setelah ciuman mereka tersudahi, tergantikan oleh napas yang terengah dan bibir yang memerah.
"Are you joking? I can do this all night." Jenar tertawa sekali lagi. Dia merunduk, kembali mencium Rei masih dalam tempo yang sama sebelum menggeser bibirnya ke sudut bibir gadis itu. Terus ke pipinya. Lalu berhenti di dekat telinganya. "Jump."
Rei mengikuti apa yang Jenar katakan, dan cowok itu menangkapnya. Tangannya berada di bokong Rei, menahannya agar tidak jatuh sementara kedua kaki Rei terkait di pinggangnya. Dia mencium Rei lagi, kali ini di bibir seraya membawa langkahnya menuju kamar tidur.
Pelapis kasurnya masih berbau seperti Jenar. Campuran pewangi pakaian beraroma lembut dan sisa-sisa jejak parfumnya. Musky dan woody. Ketika Jenar merebahkannya dengan hati-hati di atas ranjang, dari bantalnya, Rei menghirup aroma shampo yang sudah pasti ditempatkan dalam botol berwarna hitam dan dijual dengan label manly.
Rei memejamkan matanya. Dalam kegelapan, dia tidak bisa merasakan apa pun selain Jenar. Bibir cowok itu di bibirnya. Jemarinya yang berpindah dari pipi Rei ke rambutnya. Bahunya menyentuh dada Rei. Dia melingkupi Rei, panas tubuhnya memeluk Rei seperti selimut. Dan perpaduan semua wangi itu... sisa aroma tembakau yang tertinggal di bajunya...
Jenar berbeda dengan Tigra.
Dia memulainya dengan kelembutan yang tidak pernah Rei bayangkan, yang perlahan namun pasti, bertransformasi ke dalam sesuatu yang lain. Cowok itu memiringkan kepalanya, memperdalam ciumannya. Dalam setiap gerak lidahnya, Jenar menarik Rei semakin jauh dari dunia nyata. Tanpa sadar, genggaman Rei pada baju Jenar menguat. Napasnya telah terengah ketika Jenar menggigit bibir bawahnya.
Jenar menumpukan berat badannya pada salah satu sikunya, mencegah agar bobotnya tidak membebani Rei. Dia ganti mengecup kelopak mata Rei yang tertutup, kemudian ujung hidungnya, lalu pipinya. Rei menghela napas, nyaris mengerang, hingga dia merasakan sesuatu yang keras menekan bagian dalam pahanya. Pipinya memanas seketika.
"You okay?" Jenar langsung menyadari tubuh Rei yang kaku tiba-tiba.
"Something... is hard already..."
"Yes. Mine." Jenar tertawa. "Are you afraid that I am going to hurt you?"
Rei mengerjap, menatap Jenar dan hatinya nyaris meledak. Jenar menunduk di atasnya, rambut melekat ke dahi karena keringat. Bibirnya merah saga, bengkak karena mereka telah saling memagut untuk waktu yang lama. Pipinya memerah. Telinganya memerah. Matanya sayu, dengan cara paling sultry yang pernah Rei lihat. Dia bertanya-tanya, bagaimana bisa seseorang tampak seindah itu.
"Are you going to hurt me?"
"No." Jenar menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Rei, memberikan ciuman-ciuman panas yang basah di sana. Rei mengerjap, mengerang tanpa suara ketika Jenar mengigit kulitnya. Responnya membuat Jenar mengangkat wajah. "We don't have to do this, if you don't want to."
"It's your birthday."
"Nggak mesti ini. Lo ada di sini pun sudah cukup jadi kado untuk gue."
"No." Rei memegang lengan Jenar. "I do want this."
"Mmmm..." Jenar menyingkirkan rambut yang menempel di tepi wajah Rei, memandangnya seakan-akan Rei adalah yang paling berharga yang pernah dia rengkuh. "Are you sure?"
"You said it before. On this day... to love... each other."
"Do you love me?"
"Do I have to answer that?"
"Are you too afraid to answer that?"
Rei nggak menjawab, justru mengangkat tubuhnya sedikit dan memeluk kedua bahu Jenar. Jenar jelas terkejut dengan tindakan itu. Tapi dia paham apa maksudnya. Lelaki itu menggeram, membiarkan kepalanya beristirahat sejenak di lekuk leher Rei, tetap begitu selama beberapa saat, hingga kemudian dia mengangkat wajahnya lagi. Berat badannya masih bertumpu pada kedua sikunya yang melekat ke kasur. Napasnya terasa hangat menerpa kulit Rei.
Dia menggeser dirinya sedikit, kembali mempertemukan bibir mereka. Gerakannya lebih hati-hati sekarang, seolah-olah dia takut dia akan melukai Rei. Terus begitu... bibirnya pun berpindah ke leher Rei. Dia mengambil waktu sebanyak yang dia butuhkan, mengecup tepat di atas nadi, di mana denyut kehidupan terasa, seakan dia tengah mencoba mengingat ritme dari debar jantung gadis dalam pelukannya.
"Lo pakai rok hari ini."
"Mm..." Rei membuka mata, dan kata-kata pertama yang terpikir olehnya adalah, "Lo nggak suka?"
"Sengaja?"
"Mungkin. Yumna bilang, rok lebih gampang dibuka daripada jeans."
"You naughty girl." Jenar melebarkan senyum, mencium cepat ujung hidung Rei.
"Bukannya lo yang—oh."
Rei hampir tersedak ketika dia merasakan ibu jari Jenar di bagian tubuhnya yang sangat pribadi. Cengkeramannya pada bahu Jenar mengerat. Napasnya memburu, seperti dia baru saja dipaksa lari lima putaran.
"Okay?" Jenar bertanya, dahinya menyentuh pelipis Rei. Matanya menatap wajah gadis itu dengan teliti. Dan ketika Rei mengangguk, dia menekankan kecupan lembut ke pipi Rei, bersamaan dengan jarinya menjelajah lebih jauh. Pada suatu titik, tangannya berhenti bergerak, ganti mencipta pola lingkaran yang membuat Rei nyaris melupakan namanya sendiri. Napasnya tersentak.
"Good?"
Rei mengangguk.
"Talk to me, sweetheart."
"Yah." Rei menarik napas dan meneruskan dengan susah payah. "Good."
"Can I take your clothes off?"
Rei mengangguk, mengangkat kedua tangannya dan membantu Jenar melepaskan pakaiannya. Kemudian, Rei merasakan tatapan mata lelaki itu sepenuhnya tertuju padanya, memandang pada tubuhnya yang kini hanya dibalut pakaian dalam. Tiba-tiba, Rei merasa canggung. Dia menahan napas, tidak sadar dia melakukannya, hingga telapak tangan Jenar menyentuh lembut salah satu pipinya.
"Breathe, Regina."
Rei terbatuk, menarik napas dengan cepat seperti orang yang baru saja tenggelam. "Kenapa... ngelihatinnya gitu?"
"I am searching for your couple tattoo."
Rei mengerjap. "Really?"
"Em-hm."
Tawa Rei pecah tanpa bisa ditahan. "Nggak ada."
"Hah?"
"Nggak jadi bikin. Nggak ada tato couple."
Jenar merasa seperti orang bodoh sekarang. "Jadi..."
"Yah." Rei nyengir. "Lo salah sangka."
"Dam it, lo nggak tau gimana gue bener-bener kepikiran soal itu?"
"Oh, shut up. Are you going to do it or nah?"
"Of course I am." Jenar mencium dahi Rei, menatapnya lagi tepat di mata. "God. I really want you. So much."
"You talk too much—darn it, Je—"
Sebelum Rei sempat menyelesaikan ucapannya, jari Jenar telah kembali bekerja. Rei tersentak, berusaha menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar tidak menimbulkan suara. Tapi Jenar tidak menyukai itu. Dia merunduk, berbisik dengan suara rendah yang lebih mirip geraman di telinga Rei.
"Let me hear you."
Maka, Rei membiarkan desahnya memecah kesunyian ruangan.
"Now, that's my girl." Jenar memuji, kali ini sambil menjatuhkan kecupan lainnya di pipi Rei.
Rei merasa dia nyaris kehilangan akal sehat ketika jari-jari Jenar lainnya yang semula lebih banyak diam ikut bergerak. Kepalanya serasa berputar. Pandangannya memburam. Sekujur tubuhnya seperti terbakar, dilingkupi oleh panas yang seakan terancam meledak sewaktu-waktu. Tangannya bergerak dari bahu ke punggung Jenar. Lalu dia tersadar, cowok itu masih mengenakan bajunya.
"Je—"
Jenar mengalihkan perhatiannya pada Rei. "Mm-hm?"
"Can you... take off your shirt? Please."
Jenar menurut dan selama sebentar, jemarinya meninggalkan Rei, menyebabkan kekosongan yang terasa hampa. Tapi itu tidak berlangsung lama. Usai membuang kaosnya ke lantai, Jenar kembali menempatkan dirinya begitu dekat dengan Rei. Jarinya kembali menginvasi lembah paling sarat misteri, terkubur dalam, membuat pandangan Rei memburam. Satu jari lainnya, dan Rei seperti diantarkan kepada sebuah tempat tak bernama. Tempat yang belum pernah dia kunjungi, yang terasa tinggi... tinggi... tinggi... membuat kepalanya begitu ringan. Sekujur tubuhnya serasa kehilangan bobot dan satu-satunya nama yang melekat di lidahnya hanya nama milik lelaki itu.
Cuma nama punya Jenar.
"That's it, love."
Butuh beberapa saat bagi Rei untuk bisa menenangkan diri dan ketika pandangannya yang sempat memutih pelan-pelan kembali, dia mendapati mata Jenar tengah tertuju padanya. Sorot matanya amat lembut, membuat Rei merasa seolah-olah dia adalah makhluk paling indah di dunia. Membuatnya merasa disayangi dengan begitu dalam.
"Welcome back."
"Mmm?"
"How was your high?"
"Well... that was..."
"First time?"
Rei mengangguk, terlalu bingung untuk menjawab dengan kata-kata.
"Damn, Tigra was really bad, huh?"
Rei tidak menyahut, justru menarik Jenar mendekat dan kembali memeluknya. Kulit dengan kulit. Degup jantung bertemu degup jantung. Rei memiringkan wajah, mencium sisi leher Jenar.
"Hm, kenapa tiba-tiba?" Jenar jadi heran.
"Can I get the main course already?"
"What main course?"
"Your dick."
Jenar terbatuk. "Kebiasaan deh mulutnya!"
"Apa masalahnya? Cuma ada kita berdua di sini."
"The question is... are you ready for it?"
Rei tahu, dia banyak mendengar cerita horor tentang seks yang dilakukan pertama kali. Ini bukan pengalaman pertamanya, tapi pengalaman pertamanya jelas seburuk yang dikatakan orang-orang. Namun apa yang barusan Jenar lakukan padanya... itu pertama. Dan bukankah Jenar sudah berjanji untuk tidak menyakitinya?
"It's my birthday gift for you."
"A sex?"
"No. Me."
"Alright, sweetheart."
Jenar merunduk untuk yang kesekian kalinya, mencium Rei sekaligus memberikan distraksi. Tidak banyak berguna. Napas Rei tertahan di tenggorokannya ketika dia merasakan Jenar di sana. Stretch... mild burning. Rei mengerjap beberapa kali dalam waktu singkat, membuat Jenar menatapnya dengan penuh kecemasan.
"Regina—"
"I can handle it. Keep going."
Rasanya tidak familiar. Agak aneh. Namun Rei menahannya, mengeratkan rengkuhannya pada bahu Jenar.
"You're doing so great." Jenar berbisik, menjatuhkan banyak ciuman singkat di dahi, pipi, pelipis, dagu hingga ujung hidung Rei.
"This feels so..."
"Mm-hm. So?"
"... full."
Tawa Jenar pecah. Dia mencium Rei lagi, tersenyum di bibir gadis itu. Rei merasakan lesung pipi Jenar menyentuh pipinya.
"Kenapa ketawa?"
"Dari semua kata... you chose... full?"
"Gue jujur."
"Sakit?"
"... dikit."
"Masih?"
Rei menggeleng, berujar lirih sehingga suaranya lebih mirip desah. "Well... can you... can you move now?"
Jenar menarik tangannya yang berada di rambut Rei, meraih salah satu tangan Rei yang berada di punggungnya dan menautkan jemari mereka, menggenggam tangan Rei dengan erat.
Lambat... sabar... penuh kehati-hatian...
Rei bertanya-tanya, apakah dia pantas mendapatkan ini?
Lalu Jenar bergerak dalam tempo yang slow.
Too soft. Too gentle. Too forgiving.
Dia mencium Rei untuk yang kesekian kalinya malam itu, seperti tidak pernah lelah. Seakan tidak pernah bosan. Seolah-olah dia bisa melakukannya selamanya. Suara-suara yang rei hasilkan terbenam oleh bibirnya, bertransformasi menjadi sebentuk rahasia yang ingin Jenar kumpulkan lalu simpan untuk dirinya sendiri.
Satu tangan Rei memegang erat-erat lengan Jenar. Kukunya tenggelam ke kulit cowok itu, pada ototnya yang liat, meninggalkan bekas-bekas lengkung serupa bulan sabit. Rei mengubur wajahnya ke leher Jenar, terisak tanpa bisa dia tahan. Air mata kebingungan. Air mata kerinduan. Dan air mata tentang sesuatu yang lain. Perasaan ganjil yang terlalu takut untuk Rei namai.
"Please..." Rei bergumam di sela napasnya yang terengah. "... faster."
"No." Jenar bergumam di pelipis Rei sebelum mencium pipinya lagi. "Gentle, sweetheart. I am gonna be gentle."
So gentle.
So loving.
Jenar mengantarkan Rei ke tempat iu lagi, kali ini dengan cara yang berbeda. Kehangatan meledak di bawah perutnya, melingkupinya, kemudian menjalar ke sekujur tubuhnya, hingga ke ujung kuku. Melingkupinya, memeluknya. Membuatnya merasa aman, merasa dicintai.
Di tengah kabut sarat ekstasi yang mengelilinginya dalam selubung yang amat pekat, Rei merasakan gigi Jenar di lehernya, mengigitnya tanpa membuatnya merasa kesakitan, namanya tertumpah dari bibir lelaki itu seperti sebait doa.
Sekujur tubuh Rei seperti telah berganti jadi jelly ketika jari-jari Jenar menyentuh tepi wajahnya. Bisiknya terdengar lembut dalam keremangan ruangan. Wanginya semakin kuat. Hangatnya begitu dekat. Ini adalah tempat ternyaman yang pernah Rei kunjungi, yang jika dia bisa, tidak pernah ingin dia tinggalkan.
Jenar mencium dahinya, kelopak matanya yang terasa berat, pipinya, dagunya, ujung hidungnya, kemudian bibirnya.
"You're so beautiful."
Rei terlalu lelah untuk menjawab.
"I didn't hurt you, did I?"
Rei menggeleng, matanya terasa berat, jadi dia membiarkannya mengatup, mengurungnya dalam gelap.
"Was it good?"
Rei mengangguk.
Jenar memandangnya, berusaha meneliti ekspresi wajah Rei. Dia baru merasa lega saat sadar, napas Rei pelan-pelan melambat. Hanya butuh hitungan detik bagi gadis itu untuk betulan tenggelam ke alam mimpi.
"I love you. With all my heart, I love you."
Rei tidak menjawab.
Jenar berdecak, bermaksud bangkit untuk membersihkan dirinya—juga membantu Rei membersihkan diri sebab tampaknya gadis itu terlalu lelah untuk melakukannya sendiri—tapi genggaman Rei pada jari-jari mereka yang bertaut justru menguat.
"Regina?"
"Don't go." Bisiknya, samar.
"Hm?"
"Stay... close."
Jenar terdiam, matanya lekat pada Rei yang kini telah tertidur betulan. Hela napasnya halus. Degup jantungnya terasa menenangkan di dada Jenar.
"With you. Always."
to be continued.
***
a/n:
mampus ngga lo stress gua.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro