Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26 | sweet chaos

Habis makan siang bareng di kantin departemennya Jenar, mereka sempat nongkrong bentar sebelum kemudian Jenar nganterin Rei pulang ke kosan Sadewo. Nggak ada pemaksaan. Rei sama Jenar kayak sudah sama-sama tau dan paham saja, seakan-akan itu sudah wajar. Otomatis, anak-anak Mesin yang lagi nongkrong di kantin—terutama yang tahu tipe relationshipnya Jenar sama Rei nih jenis yang macam apa langsung pada kaget.

"Mau balik sekarang?" Jenar yang duluan nanya habis dia bayar makanan yang tadi dia pesan ke ibu-ibu kantin.

"Boleh. Gue ngantuk, pengen tidur."

"Gue bawa motor hari ini."

"Yaudah. Helm bawa dua, kan?"

"Iye."

Lanang mangap, lupa kalau dalam mulutnya masih ada keripik kentang yang belum kelar dikunyah. Kun mengerjap nggak percaya. Yugi hampir tepuk tangan. Satu-satunya yang masih sanggup ngomong tuh Johnny.

"Kalian balik bareng?"

"Kenapa gitu?" Jenar kontan balik nanya.

"Nggak apa-apa."

"Cemburu? Mampus."

"Nggak."

Rei berdeham. "Karena nih anak keras kepala, nggak ada gunanya ngedebat dia, Kak. Dia pasti bakal maksa nganter gue balik, jadi—"

"Masih bagus gue paksa antar balik, daripada gue paksa berikrar di altar gereja."

"Aw, mau dong dipaksa, Kakakkkkkk..." Yugi ngeledek heboh dengan suara semi cempreng yang bikin tawa anak-anak sekantin lagi-lagi meledak.

Bahkan ibu-ibu kantin pun ikut kepo. "Ini pacarnya Mas Jenar ya?"

"Iya, Bu."

"Bukan, Bu."

"Oiya, bukan pacar. Calon bini, Bu." Jenar menyahut santai, menimpali ucapan Rei yang kontra dengan jawabannya.

"Aih, akhirnya ada gandengan juga nih Mas Jenar. Gitu dong, masa kalah sama si Yugi, kerjaannya ngoleksi awewe dari jaman mahasiswa baru sampai jaman mahasiswa bangkotan!"

"Deh, si Ibu mah kesempatan banget ngeledek saya!"

"Hehe." Jenar nyengir, tapi lalu tersadar bagaimana merahnya wajah Rei sekarang. "Yaudah, ayo balik."

Jenar beranjak duluan dari duduknya dan Rei mengikuti, berjalan di sebelahnya. Nggak gandengan. Namun siapapun yang melihat mereka bisa melihat kalau keduanya sama-sama punya gestur yang terkesan lebih dari akrab. Johnny meraih botol air mineral dinginnya, menelan beberapa teguk seraya tatapan matanya mengantarkan kepergian Rei dan Jenar hingga keduanya lenyap ditelan jarak.

"Ngelihatinnya serius banget, Pak." Kun menyentak Johnny.

"Nggak ngira aja mereka udah sedekat itu."

"Padahal kayaknya Kak Reggy tuh batu banget nggak sih orangnya?" Lanang menukas, kagetnya sudah habis dan sekarang dia mulai membuka kemasan cokelat Chacha. Lanang tuh anaknya hobi jajan banget. Cokelat, keripik, permen, gorengan, gitu-gitu. Cuma dia juga rajin nge-gym sih, jadi dagingnya pada jadi otot, bukan lemak.

"Jenarnya juga batu."

"Batu ketemu batu biasanya dua-duanya pecah."

"Belom tentu juga. Bisa aja, yang pecah satu doang, nggak dua-duanya."

"Hm."

"Kalau gue lihat-lihat sih yak," Yugi berujar. "Yang pecah bukan Jenar, tapi Regina."

Johnny nggak menjawab ucapan Yugi.

*

Nggak lama setelah motornya Jenar berhenti di depan pagar kosan Sadewo, Rei langsung turun. Dia mau copot helm, tapi nggak tahu kenapa, pengait di bawah dagunya susah banget dibuka. Cewek itu sempat struggling sebentar, hingga Jenar jadi membuka helmnya. Cowok itu mencantolkan helmnya di salah satu spion, terus meraih lengan Rei biar lebih dekat dengannya. Tangannya menepuk pelan tangan Rei agar berhenti berusaha membuka pengait.

"Sini, dibukain."

Rei menurut, membiarkan Jenar melepaskan pengait di bawah dagunya, lantas menarik helm lepas dari kepalanya. Rambutnya yang hari ini dibiarkan tergerai jadi agak berantakan. Jenar berdecak, mengulurkan tangan dan merapikan rambut di puncak kepala Rei.

"Kenapa senyam-senyum?" Rei bereaksi ketika lesung pipi bedebah milik Jenar muncul di wajahnya tanpa permisi.

"Kalau lihat lo, rasanya kayak lihat kado Natal."

"Hah?"

"Makanya, bawaannya pengen senyum melulu."

"Terserah deh."

"Regina,"

"Kalau ngomong tuh bisa langsung aja gitu nggak sih? Nggak usah dikasih jeda. Guenya jadi deg-deg-an."

Tawa Jenar pecah. "Makasih udah makan siang sama gue hari ini."

"Nggak mau dikasih makasih, maunya dikasih satu milyar."

"Gue punyanya hati, bukan duit satu milyar. Gue ganti pake hati gue aja, mau nggak?"

"Nggak."

"But I'm serious, though."

"Apanya yang serius?"

"Tentang 14 Februari. Gue beneran ulang tahun hari itu."

"Iya. Kan lo udah pernah bilang. Gue udah tau."

"Gue nggak mau membebani lo. Apalagi memaksa. Tapi gue harap, hari itu, gue... bisa sama-sama sama lo."

"Tidur sama-sama maksudnya?"

"Lo selalu protes, bilang gue turn everything into something sexual. Sekarang, lo yang malah begitu." Jenar cemberut.

"Nggak usah ngambek." Rei berdecak. "Oke. 14 Februari."

"Oke apanya?"

"Kalau gue masih hidup hari itu—"

"NGOMONGNYA JANGAN GITU DONG!!"

"Aduh bawel. Okelah. On that day, I am all yours."

"Really?"

"Iya."

"Hehehe."

Mereka belum sempat lanjut melempar kata lagi ketika tahu-tahu, sebuah sepeda motor berpenumpang dua orang menepi, berhenti tepat beberapa langkah dari titik di mana sepeda motor Jenar berada. Kepala Rei dan Jenar refleks tertoleh ke arah yang sama. Itu Rossa, yang sekarang lagi turun dari boncengan motornya Jaka.

Keduanya ternganga kaget, tahu kalau Rossa dan Jaka tuh nggak sedekat itu sampai bisa boncengan berdua tanpa mengundang pertanyaan. Apalagi, setelah turun, Rossa langsung berujar pada Jaka dengan nada menusuk nan penuh penekanan.

"I am not keeping it."

Jenar sama Rei tercengang, saling pandang dan jika bisa diterjemahkan ke dalam kata-kata, mungkin sorot mata Jenar akan berbunyi; hah keeping apaan nih?! Keeping your heart apa keeping you by my side nih ceritanya?!

"Ros—"

Ibarat kata adegan drama, Rei sama Jenar yang tadinya pemeran utama langsung tergusur jadi figuran gara-gara Rossa sama Jaka.

"I AM NOT KEEPING IT!" suara Rossa meninggi.

"Lo nggak bilang apa-apa soal itu di kafe tadi."

"Lo gila kali ya?! Kalau gue langsung bilang, lo akan bereaksi kayak gini dan ujung-ujungnya, kita bakal ribut! Mau berantem di tempat kayak gitu, nggak sekalian aja lo bikin pengumuman biar masyarakat satu kampus pada tau?!"

"Anjiran, ini kenapa?!" Jenar menyela.

Jaka menoleh pada Jenar. "Ini—"

"Ros, things are okay?" Rei bertanya dengan nada hati-hati.

"Gonna explain it to you later." Rossa membalas cepat sebelum bicara lagi pada Jaka. "Intinya, mau gue tetap itu. I am not keeping it. never."

"Terus mau lo apa?!"

"Lo masih nanya?!"

"So, you're going to kill it?!"

"My body, my choice. You better stay out of it. Gue ngasih tau, karena gue rasa lo perlu tau, bukan menentukan keputusan mana yang harus gue ambil!"

"Ros—" Jaka turun dari motornya, berusaha menghadang langkah Rossa agar cewek itu nggak langsung masuk melewati pagar kosan. "I know you're a good person. Why are you doing this?"

"ISN'T IT CLEAR?! GUE NGGAK SIAP!!"

"We can make it work. You and me. We can try—"

"Gue nggak punya rasa apa-apa sama lo, dan nggak akan pernah mau!"

"You can hate me all you want, but please," suaranya Jaka terdengar sangat memohon, begitu putus asa hingga kalau detik berikutnya Jaka berlutut di depan Rossa, Jenar nggak akan kaget sih. "Don't hate the baby."

Rei tersedak. "BABY APAAN?!"

Jenar sempat kaget, tapi namanya laki-laki ya, soal beginian tentu saja otaknya cepat connect, nggak kayak koneksi internet IndiHome.

"What—"

Rossa nggak merasa perlu menjelaskan, cewek itu buru-buru berjalan melewati Jaka yang hanya mampu berdiri dengan lunglai. Rei menoleh ke Jenar. "Je—"

"Udah jelas."

"Apanya yang udah jelas?" Rei melirik ragu-ragu pada Jaka yang kini menunjukkan wajah seperti dia sedang disiksa.

"I don't know how, but she's pregnant." Jenar berujar sambil mengalihkan tatapannya pada Jaka. "And this jerk is the father."

Rei lemas seketika, padahal bukan dia yang bunting.

Dia berjalan cepat melewati pagar untuk menyusul Rossa, mengabaikan Jenar dan Jaka. Waktu Rei naik ke lantai dua, Rossa sudah masuk ke kamarnya. Pintunya ditutup. Rei menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum dia mengetuk pelan pintu kamar Rossa.

"Ros, you okokay, it's a stupid question..." Rei menggerutu pada dirinya sendiri. "Just wanna let you know that if you need someone... I am right here..."

Senyap sejenak, lantas tiba-tiba, pintu kamar dibuka. Wajah Rossa yang bersimbah air mata muncul. Pipinya sembab. Kemudian tanpa mengatakan apa-apa, Rossa memeluk Rei, dilanjut tangis sesenggukannya yang memecah kesunyian lantai dua kosan.

Rei balik mendekap Rossa, erat.

Dia bertanya-tanya, apakah itu untuk menguatkan temannya, atau justru untuk menegarkan dirinya sendiri yang serasa telah remuk-redam di dalam.

*

Jenar tahu, harusnya dia fokus mengerjakan tugasnya. Tapi nggak tahu kenapa, baru juga klak-klik sedikit, pikirannya kembali melayang ke Rei. Iya, dia kepikiran. Padahal yah, bukan Rei yang hamil, kan. Walau gitu, Jenar tahu gimana dekatnya Rei sama anak-anak kosan Sadewo. Kalau dilihat dari bagaimana karakter Rei yang cenderung distant apalagi sama orang baru, ciwi-ciwi Sadewo pasti orang-orang yang penting buat dia. Teman-teman terdekatnya, yang bisa jadi tau lebih banyak tentang Rei daripada Jenar.

Masalah orang-orang yang kelihatan dingin banget seakan nggak punya hati adalah... ketika mereka sudah peduli sama seseorang, mereka akan sepeduli itu.

Jenar menarik napas, menyandarkan punggungnya ke sandaran gaming chair yang dia duduki, membiarkan matanya terarah ke langit-langit hingga tiba-tiba, ponselnya bergetar. Jenar buru-buru meraihnya. Telepon dari Rei. Jenar nyaris terloncat dari duduk.

"Suka KFC nggak?" Rei menembaknya pakai tanya tanpa sepotong 'halo' sebagai basa-basi.

"Sukanya lo."

"Yaudah, gue ke tempat Dhaka aja."

"IYA, SUKA, ANJIR! Kenapa?"

"Gue beli KFC kelebihan. Gue anter ke tempat lo ya?"

Jenar tahu itu cuma alasan yang Rei karang. Mana mungkin banget ada orang beli KFC kelebihan. Terus ya kayaknya keajaiban dunia banget Rei meneleponnya. Namun, berhubung Jenar sudah mulai paham Rei itu orang yang seperti apa, dia mengiakan saja. Mending Rei datang ke apartemennya daripada mendarat di kosan Dhaka. Bukan hanya ada Dhaka, di sana juga kan ada Tigra.

Tidak berapa lama, Rei pun tiba di tempat Jenar. Wajahnya kusut. Pipinya sembab dan matanya merah. Kentara sekali dia habis menangis. Jenar ingin memeluknya, tetapi dia tahu dia harus memberi Rei ruang untuk dirinya sendiri.

"Do I need to punch someone?"

Rei menggeleng, masuk ke apartemennya Jenar dan meletakkan bungkusan berisi dua kotak KFC di atas meja. Dia duduk di sofa. Setelah mengunci pintu depan, Jenar mendekatinya, turut duduk di sampingnya.

"Girl, something wrong?"

"Soal Rossa..." bibir Rei bergetar, seperti orang yang lagi menahan tangis. Jenar menghentikannya supaya nggak lanjut bicara. Cowok itu bangun dari sofa, mengisi sebuah gelas dengan air mineral, lalu membawanya pada Rei.

"Minum dulu."

Rei meraih gelas dari tangan Jenar, menelan beberapa teguk.

"Tarik napas. Tenangin diri."

Sesuai instruksi Jenar, Rei menarik napas panjang, membuangnya pelan. Jenar memandangnya, nggak memaksanya buru-buru bercerita. Telapak tangan lebar cowok itu melekat di punggung Rei, mengusapnya dengan gerakan yang menenangkan.

"Oke. Jangan dipaksa kalau belum bisa."

Rei meneguk saliva. "Rossa bilang... well... just like she said before... she's not keeping it. Gue... gue tau... gue ngerti kenapa dia maunya gitu. But... it feels so wrong... you know... to kill innocent life."

"I think it's for the best, Regina."

Rei mengerjap, merasakan pandangannya memburam oleh air mata yang mati-matian dia tahan. Dia nggak mau menangis di depan Jenar. "But... how?"

"Kalau Jaka dan Rossa saling suka, atau mereka pacaran, mungkin akan lebih mudah. Masalahnya, perasaan Jaka cuma sepihak dan setahu gue, akhir-akhir ini Rossa lagi dekat sama Wirya. Apa pun yang dipaksakan nggak akan berakhir baik. Dan lagi... bukannya akan lebih nggak adil nantinya? Nggak ada anak yang deserve merasa nggak diinginkan oleh orang tuanya."

Rei terdiam, lidahnya kelu kala dia tersadar apa yang dikatakan Jenar itu benar. Dia masih tetap diam, keningnya berkerut tanda dia sedang berpikir. Jenar memandangnya sejenak, lalu mengulurkan tangan, menyentuh pipi Rei dengan lekuk pada ruas jari telunjuknya.

"Regina?"

"... hm?"

"Malah melamun."

"Mikir aja."

"Mikirin apa?"

"Tadinya gue sedih. Banget. Sekarang masih sih, tapi campur kesal, karena Rossa dan Jaka sama-sama bego banget. Kalau udah kayak gini, yang nggak salah justru kena imbasnya!"

"Itu urusan mereka dan jelas-jelas ada di luar kendali lo. Di dunia ini, ada yang bisa lo kontrol, dan ada yang nggak. Stop feeling bad for things you can't control. Okay?"

Rei menghela napas lagi. "Okay."

"Sekarang, gue mau nanya sesuatu yang lain." Jenar menarik senyum tipis. "Lo kesini buat curhat sama gue?"

"Nggak!" Rei membantah cepat, terdengar agak panik. Pipinya merona. "Kan gue bilang, gue nggak sengaja beli ayam KFC dua—"

"Mana ada nggak sengaja beli?! Lo beli ini langung dari KFC-nya kan?!"

"... iya."

"Kalau delivery masih mungkin lo salah pencet. Kalau beli langsung, yakali!" Jenar berhasil membuat Rei mati kutu. "Tapi nggak apa-apa, kalau lo datang kesini buat curhat, gue seneng. Itu tandanya, lo percaya sama gue. Lagian, gue juga kepikiran."

"Kepikiran Rossa?"

"Kepikiran lo."

"Kenapa kepikiran gue?"

"Karena gue peduli sama orang-orang yang penting buat gue." Jenar menyambung ucapannya, tahu Rei tidak akan menanggapi kata-katanya yang barusan. "Udah ngerasa baikan?"

"Lebih baik dari sebelumnya."

Ponsel Rei mendadak berdering tanpa aba-aba, berhasil menginterupsi suasana. Rei meraih ponselnya, memandang layarnya dan sadar itu telepon dari ibunya. Dia beralih pada Jenar. "Nyokap gue—"

"Ke balkon aja." Jenar ngerti apa maksud Rei.

"Thanks."

Gadis itu beranjak menuju balkon, terus menutup pintunya untuk meredam suara. Sengaja, untuk menjaga privasi. Jenar nggak tahu Rei membicarakan apa sama ibunya, tapi yang jelas, mereka bicara cukup lama. Ada kali baru setengah jam kemudian, pintu balkon kembali tergeser. Rei melangkah melewatinya, masuk ke dalam dengan bahu lunglai. Wajahnya sepucat tembok, dan ada muram membayang di matanya. Dia kelihatan jauh lebih kacau daripada ketika dia datang tadi.

"Rei?"

Rei bergeming di tempatnya berdiri, membeku seperti patung batu.

"Baby, come here."

"Gue—"

"It's okay. Come here."

Rei melangkah gontai menghampiri Jenar, kembali duduk di sampingnya. Jenar mengamatinya sesaat, tersadar kalau jemari gadis di sebelahnya telah dirambati tremor. Oke, Jenar benci situasi ini.

"Kenapa?"

"..."

"You know you can trust me, right?"

"... kalau gue nangis... di sini... sekarang... boleh?"

Jenar mengerjap, agak terkejut. "Kenapa... nanyanya gitu?"

"Soalnya..." Rei tertunduk. "Gue jelek... kalau lagi nangis. No one wants to see something that is so ugly, right?"

Jenar nggak menyahut, malah menggeser duduknya biar lebih dekat pada Rei, lantas tanpa mengatakan apa-apa, dia menarik Rei ke dalam pelukannya. Gemetar di tubuhnya kian terasa nyata. Napasnya terengah, penuh deru. Jenar tetap memeluknya, hingga akhirnya tangis Rei betulan pecah. Jenar nggak pernah melihat Rei menangis sampai segitunya sebelumnya. Bahkan nggak ketika cewek itu lagi drunk.

Masih sunyi, hanya saja, lengan Jenar nggak pernah meninggalkan Rei, seperti meyakinkan tanpa kata, jika dia akan terus ada di sana.

*

Yuta kaget banget ketika Yumna menelepon dia, terdengar resah, sendu, juga panik. Yumna nggak akan begitu, kecuali dia sudah benar-benar kalut. Yuta menghabiskan seenggaknya sepuluh menit untuk bikin Yumna tenang. Setelah tenang, barulah gadis itu bercerita. Ada banyak yang bertebaran dalam benak Yuta, tetapi dia nggak nyangka kalau Yumna akan menyebut nama Rossa.

Usai telepon ditutup, Yuta jadi bengong, seperti masih berusaha memproses apa yang barusan dia dengar.

Rossa hamil. Kemungkinan besar, itu hasil karyanya Jaka. Tapi lah ya kok bisa? Itu yang bikin Yuta heran. Setahunya, selama ini Rossa bukannya naksir sama Milan—walau kayaknya akhir-akhir ini sih mulai bergeser ke Wirya. Kok tau-tau jadi Jaka?

Mengingat reputasi Rossa sebagai princess sempurna nan cantik kebanggaan keluarga serta definisi ideal dari pemudi harapan bangsa dan negara, kayaknya nggak mungkin Rossa gemar gonta-ganti teman tidur.

Lama berpikir, Yuta malah pusing, padahal bukan dia yang bikin, apalagi dia yang hamil. Terus kepikiran, bahkan sampai waktu makan malam. Gestur Yuta yang nggak kayak biasanya menarik rasa heran Dhaka. Yuta memang makan di kosan, bareng Dhaka dan Wirya.

"Lo kenapa deh?" Dhaka bertanya pada Yuta yang kontan menarik napas panjang. Wirya diam saja, sibuk gambar-gambar di iPad. Maklum, namanya juga juragan toko emas.

Yuta ragu sejenak. Dia tahu, Yumna bakal mencabik-cabiknya untuk ini, namun dia rasa, dia perlu bertannya. "Gue mau tanya, deh. Pas anak-anak Sadewo nginep di sini perkara mati listrik waktu iu—" Yuta melirik Wirya. "Lo pada ada ngapa-ngapain nggak?"

"Gue sih nggak. Nggak tau kalau lo." Dhaka menukas pedas, sekalian menyindir. Kedongkolannya beralasan, sebab nyaris saban malam, kupingnya jadi korban keributan Yumna dan Yuta.

"Ngapa-ngapain yang gue maksud tuh—"

"Ngapa-ngapain as in." Dhaka bikin lingkaran pakai telunjuk dan ibu jari tangan kiri, terus dia masukkin jari telunjuk tangan kanannya ke lingkaran itu. "—gini kan?"

"Ho-oh. Selain gue."

"What do you mean?" Wirya mengangkat alis.

"Lo ada ngapa-ngapain nggak sama Rossa?"

"Kenapa lo nanya gitu?"

"Nanya doang."

"Out of nowhere?"

"Kalau lo nggak mau jawab juga nggak apa-apa."

Pertanyaan Yuta belum terjawa saat Tigra turun tangga dan bergabung bersama mereka. Kelihatannya baru bangun tidur sore. Dia mengerjap, tersadar akan suasana yang lebih serius dari biasanya.

"Ngomongin apaan sih?"

"Yuta nanya, Wirya sama Rossa pernah asik-asik-an apa nggak waktu anak-anak Sadewo nginep di sini." Dhaka menjelaskan.

"Lah, sejak kapan lo suka ngurusin selangkangan orang?"

"Pengen tau aja."

Tigra mengerutkan dahi. "Pasti ada alasannya kenapa."

"We slept together—" Wirya tahu-tahu berujar.

"HAH—" Tigra, Yuta dan Dhaka sama-sama ternganga.

"—literally. Maksud gue, kita pernah tidur sekasur, tapi ya tidur aja. Emangnya kenapa?"

Yuta yang tadinya sudah setengah lega, langsung pusing lagi.

"Nggak apa-apa."

"Nggak mungkin sih nggak apa-apa. Soalnya asshole kayak lo sejak kapan peduli sama orang lain, apalagi urusan beginian?" Tigra masih nggak percaya.

Yuta melotot pada Tigra. "Ass—"

"Tigra bener." Dhaka mendukung Tigra. "Satu-satunya manusia yang lo peduliin walau cuma sedikiiiiiiiiiiit banget tuh mungkin Yumna. Lainnya mah boro-boro."

"Yuta." Sumpah, Yuta merinding sendiri dengar suara Wirya saat Wirya memanggil dia. Tegas-tegas menggentarkan. "Kenapa lo nanya gitu?"

"Gue..." oke, sepertinya betulan nggak ada kesempatan berkelit. Yuta serasa dikepung dari tiga penjuru. Pada akhirnya, dia menghela napas, terus katanya. "... mau mastiin aja."

"Mastiin apa?"

"Jangan bilang siapa-siapa ya?"

"SIAP!!" Tigra jadi yang paling gercep.

"Kenapa?" Dhaka memburu.

"Rossa..."

"Rossa kenapa?!" Wirya jadi gusar.

"She's... pregnant."

*

Rei nggak pernah secengeng ini di depan siapapun sebelumnya.

Nggak di depan Dhaka. Nggak di depan Tigra. Bahkan nggak di depan teman-temannya sesama penghuni kosan Sadewo lantai dua.

Rei bukan tipe orang yang gampang menangis di depan orang lain. Bukan karena dia berpikir air mata itu tanda kelemahan, tapi ya karena... buat apa juga menangis di depan orang lain? Nggak semua orang betul-betul peduli. Ada yang hanya sebatas ingin tau. Lagipula, seperti apa yang tadi Rei bilang ke Jenar, dia jelek ketika menangis.

Buat kebanyakan orang, mencintai seseorang ketika dia sedang berada pada masa terbaiknya jauh lebih gampang daripada menemani seseorang saat dia tengah ditempatkan pada masa terburuknya.

Butuh waktu yang cukup lama buat Rei menenangkan diri. Saat isaknya perlahan berganti ke dalam bunyi khas orang yang cegukan, lelah justru menelusup masuk merayapinya. Matanya terasa berat. Hening sejenak, hingga Jenar sadar kalau Rei telah menyandarkan wajah di lehernya, membuat dagu Jenar menyentuh puncak kepalanya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam di kulitnya. Tubuhnya yang tadinya tegang perlahan lunglai, masih dalam dekapan Jenar.

Jenar membiarkannya begitu selama setidaknya setengah jam, sebelum kemudian dia memanggil nama Rei dengan nada rendah.

"Regina?"

Rei mengernyit, perlahan membuka mata, tertarik keluar dari tidurnya yang hanya sejenak. "... ya?"

"Lo boleh tidur di sini malam ini kalau mau, tapi kayaknya, lebih bagus kalau lo makan dulu."

Rei tersadar, buru-buru menarik dirinya lepas dari pelukan Jenar. "Ma—maaf."

Jenar menarik senyum, memunculkan lesung pipi itu lagi. Rei hampir menahan napas. Oke, mungkin bohong jika dia bilang lesung pipi Jenar nggak memberikan pengaruh apa-apa padanya.

Pun dusta, kalau Rei berkata, dia nggak pernah tahu Jenar itu siapa sampai hari terik mempertemukan mereka di depan rektorat waktu itu.

Dia selalu tahu, tapi dia lebih memilih menghindar.

Rei selalu berpikir, Jenar itu seperti matahari. Panas dan silau. Sosoknya bagus untuk ada sementara, pada separuh hari. Menatapnya secara langsung hanya akan membutakan mata. Seperti Icarus, berada terlalu dekat dengannya hanya akan bikin sayap-sayap Rei rontok, kemudian dia jatuh, tenggelam lalu mati.

Tapi malam ini, dia melihat sesuatu yang berbeda dari Jenar.

Dia bukan matahari. Dia adalah langit pada momen-momen terakhir menjelang senja, saat matahari telah diantar menuju peraduannya di ujung horison. Biru yang tenang, berpadu dengan merah dan jingga yang menyala. Bintang-bintang bertaburan, jadi pelita sekaligus penunjuk jalan. Sebentuk kesunyian yang melelehkan segala kecemasan, membuatnya lebih tegar menyambut kegelapan.

Masalahnya tidak lantas terpecahkan, namun kehadiran Jenar membuat Rei merasa seperti... entahlah... dikuatkan?

"Lo pasti bingung kenapa gue tiba-tiba mewek."

"Em-hm. Gue tebak, bukan karena Rossa."

"Bukan."

"Terus?"

"Gue mesti cerita sekarang?"

"Kalau mau cerita ya cerita, tapi jujur, gue lebih suka kalau lo makan dulu."

Rei mengeringkan sisa lembab di bawah matanya pakai ujung baju, terus memutuskan beranjak. Namun, waktu dia bangun, dia kurang hati-hati. Gadis itu sempat oleng sejenak, nyaris jatuh lagi karena pijakannya belum betul-betul seimbang. Secara nggak sengaja, kakinya nyenggol selangkangannya Jenar. Mana keras pula.

"Oooppppsss—" Rei hampir keselek. "Sakit?"

Jenar meringis dengan wajah merah. "Menurut anda?!"

"Mau di—"

"TANGAN LO NGGAK USAH PEGANG-PEGANG!!" Jenar berseru separuh membentak. Rei mengerjap, tapi bete juga karena sebel dibentak Jenar. Jenar mendengus, buru-buru bangkit sebelum Rei betul-betul meletakkan tangannya di tempat yang salah. "NANTINYA MALAH BIKIN MASALAH BARU!!"

"Galak banget." Rei cemberut.

"Seluruh akal sehat cowok tuh ada di sini."

"Di titit."

"Bagus beneeeeeeeer omongan nih anak gadis!"

"Titit kan versi cutenya." Rei nyengir terus mengambil bungkusan isi kotak KFC. Dia memberikan satu ke Jenar, lalu mereka duduk di atas karpet, menghadapi meja rendah. Keduanya berhadapan, makan bareng.

"But speaking of Rossa, you know... she doesn't want to keep it... isn't it illegal to have abortion here? Maksud gue, kasusnya Rossa kan... gitu..."

"Correct."

"Dan yang ilegal... biasanya nggak aman."

"Em-hm."

"Gue jadi... overthinking."

"Mau dipeluk lagi?"

"GUE SERIUS NGOMONGNYA!!"

"Gue juga serius." Jenar berdecak. "Tapi soal Rossa, jangan khawatir. Gue bakal coba pikirin jalan keluarnya."

"Lo care juga ya sama Rossa."

"No, not her. But you." Jenar membalas. "Dia temen lo dan dia penting buat lo."

Rei berhenti mengunyah. "Soal telepon dari nyokap gue yang barusan... itu... tentang... bokap gue."

"Kalau nggak mau diomongin, nggak usah diomongin."

"Jenar."

"Iya?"

"I can hate him, right? Orang-orang suka bilang, namanya orang tua, sekalipun mereka melakukan kesalahan, lo harus coba menerima dan memakluminya. Sebab mereka orang tua, dan karena lo nggak boleh jadi anak durhaka. Tapi—"

"It's okay. You can." Jenar memotong.

"Hm?"

"You can hate your toxic parents, that doesn't make you a bad person."

"..."

"Senang. Sedih. Bahagia. Capek. Semangat. Kecewa. Sakit. Kesal. Marah. Sayang. Dongkol. Malu. Sinis." Jenar mulai mengabsen kata-kata tersebut. "Apa persamaan semua kata itu? Mereka ngegambarin perasaan. Sesuatu yang setiap manusia pasti pernah rasain. Sesuatu yang wajar, dengan alasan yang jelas. Sesuatu yang bikin manusia jadi manusiawi. Bukannya marah, sedih dan benci itu reaksi normal ketika lo ngerasa disakiti? Kenapa harus merasa jahat ketika yang lo lakuin cuma menjadi manusia?"

"Sebenernya kenapa dengan lo hari ini ya?"

"Apanya?"

"Biasanya lo bikin gue kesal."

"Terus?"

"Sekarang, bikin gue ngerasa... dingertiin."

"Nggak apa-apa. Gue suka kalau gitu. Lo sebel, tapi lo nyaman. Dengan begitu, gue bisa ada di mana-mana, mau itu di hati lo, di otak lo, atau—"

"Atau?"

"Di dalam celana lo."

"Brengsek!" Rei nimpuk Jenar pakai tisu yang sudah diremas-remas sampai membentuk bola. Tapi dia tertawa, begitu pun dengan Jenar.

Selesai makan, Rei beres-beres. Dia bersihin kotak bekas makannya, juga bekas makan Jenar. Setelahnya, cuci tangan. Jenar ikutan membasuh tangan, mengeringkannya menggunakan tisu, lantas mengikuti Rei yang sudah lebih dulu duduk di sofa. Cowok itu naik ke sofa, dilanjut merebahkan kepalanya ke paha Rei.

"Ngapain sih?!"

"Pengen tiduran."

"Di bantal, jangan di sini."

"Bantalnya di kamar."

"Ambil."

Jenar menolak. "Nggak mau. Mager."

"Yaudah, gue ambilin—" Rei mau beranjak, tapi Jenar menahan lengannya.

"Udah pewe. Eh, tangan lo dingin."

"Emang suka gitu."

"Mau bahas yang tadi nggak? Soal thermodynamic equilibrium."

"Hm?"

"Nih, tangan lo kan dingin ya. Tangan gue anget." Jenar menyelipkan jari-jarinya pada ruang kosong diantara jemari Rei. Terus, dia saling mengaitkan tangan mereka, menggenggam erat. Hangat dari kulitnya merambat ke kulit Rei. "Suhunya berbeda. Berlawanan. Ketika kita pegangan kayak gini... baam! Kita saling menyeimbangkan. Saling ngelengkapin."

Gerakan tangan Rei yang lainnya, yang lagi tenggelam dalam helai rambut Jenar tanpa dia sadari langsung terhenti.

"Terusin aja." Jenar berujar. "Tangan lo di rambut gue. Gue suka. Rasanya kayak disayang."

Rei berdecak. "Kayak kucing aja."

"Gue bisa jadi satu-satunya kucing yang nggak bikin lo alergi."

Rei memutar bola matanya, meski tangannya kembali memainkan rambut Jenar.

"This is nice." Jenar memandang Rei masih sambil tiduran. "Kita kayak orang pacaran."

"Oh."

"Kalau dijadiin beneran, mau nggak?"

Rei belum menjawab sewaktu ponsel Jenar berbunyi. Asli sih, dia bete banget. Tapi tetap dicek, takutnya penting. Ternyata, yang menelepon tuh Milan. Tumben banget. Jadilah, Jenar menjawab. Dia nggak expect kalau dia akan langsung disambut seruan panik Milan.

"LO DI MANA?!"

"Lagi pacaran. Kenapa?!"

"Wirya sama Jaka tonjok-tonjokkan di kosan gue!"

"Hah?!"

"Kesini deh, kita-kita nggak sanggup nih nanganin mereka berdua!"






to be continued. 

***

-teaser-

Tanggal 14 Februari.

Hari ulang tahunnya Jenar. Rei ingat, cuma dia pura-pura lupa saja. Tapi tetap, bukan Jenar namanya kalau nggak bawel. Seminggu sebelum tanggal 14, cowok itu sudah sibuk wanti-wanti sekedar mengingatkan. Nggak to the point, tapi tetap kerasa banget.

Seperti misalnya...

[pas lihat gaming headset di mall] "Hm... bagus nih buat kado ultah..."

[pas Rei lagi baca ramalan zodiak di instastorynya selebgram] "Regina, gue Aquarius loh."

[pas Rei lagi ngelihatin kalender HP] "Tanggal 14 Februari sebentar lagi nih."

[pas lihat iklan cokelat udah bertemakan Valentine] "Regina, ada yang spesial di tanggal 14 Februari, tapi bukan Valentine. Tebak apa?"

Rei pura-pura cuek, namun ya... bohong kalau dia bilang dia nggak kepikiran. Akhirnya, Rei nanya ke Jella sama Yumna. Nggak nanya ke Rossa, sebab Rossa sudah cukup pusing sama urusannya sendiri yang terakhir Rei update sih, berhubungan dengan tiga pria. Pusing banget, yang hamil satu, yang kena imbas tiga sekaligus.

"Anaknya udah ngode terus. Gue kasih apa ya?"

"Ciuman yang hangat dan lama." Jella mencetus.

"Nggak usah sinting!" Rei sewot.

"Gue pernah test-drive tuh bibirnya Jenar. Pas maba dulu." Jella pede saja berkata. "Meski kelakuannya basic kayak kebanyakan buaya pada umumnya, percayalah, Rei, dalam urusan cipok-mencipok, dia nggak basic sama sekali."

"Jago mana sama Yuta?"

"Lidahnya Jenar bisa jadi keriting."

"Edan."

"Gais," mukanya Rei merah padam, panas banget serasa baru ditempeli setrikaan. "Ini gue serius loh ya..."

"Lah, kita berdua juga serius kali!" Yumna berseru. "So, he's good with his tongue."

"Isunya sih Jenar emang jago. Kalau aja gue brengsek dan dia nggak lagi dekat sama lo ya, Rei, udah gue embat kali tuh anak."

"Buat dipacarin?"

"Buat bobo asik."

"Kampret!" Yumna tertawa. "Apa pun itu, safety first! Gue nggak mau ada lagi temen gue yang kasusnya berakhir kayak Rossa!"

Urusan Rossa yang melibatkan Wirya dan Jaka (+ Milan) memang cukup bikin mereka pusing kepala, namun sejauh ini, mereka bisa meng-handle segalanya dengan baik. Tinggal ketiga pihak utama yang terlibat saling diskusi soal bagaimana cara paling bagus memberi tahu orang tua masing-masing. Wirya dan Jaka sama-sama ngotot kalau aborsi bukan solusi.

"Juy, ih!"

"Tapi lo pusing-pusing amat mau ngasih kado ke Jenar. Emang udah resmi?"

"..."

"HTS kali ye." Jella menyambar. "Yaudah sih, kayak nggak tau Jenar aja."

"Gue beneran bingung mau ngasih apa, karena kayaknya dia udah punya semua yang dia mau, atau yang dia butuhin."

"Tapi dia belum punya lo, kannnnn?"


***

-teaser lagi-

Rei bilang, di tanggal 14 Februari, dia bakal ada seharian penuh untuk Jenar.

Kenyataannya nggak gitu. Walau kemungkinannya kecil, Jenar sempat berharap Rei bakal ngasih dia ucapan selamat ulang tahun tepat jam dua belas malam lewat satu menit. Namun ternyata nggak. Jenar coba chat, nggak dibalas. Telepon, nggak diangkat. Mungkin orangnya sibuk.

Sepanjang hari, Jenar uring-uringan. Soalnya sampai menjelang sore pun, chatnya masih nggak berbalas. Jangankan dibalas, dibuka saja nggak. Dia kesal, tapi khawatir juga. Dia coba menghubungi Jella, namun Jella bilangnya nggak tahu Rei ada di mana. Yumna juga sama. Ditambah lagi, sepanjang hari itu juga, Jenar cukup sibuk gara-gara dia menerima banyak kejutan dan selamat ulang tahun dari orang-orang terdekatnya. Dilanjut sehabis petang, anak-anak Mesin ngajakkin semuanya ngumpul untuk makan-makan.

Jenar mau nolak, soalnya masih kepikiran Rei kan. Dari yang tadinya kesal banget, sekarang sudah dominan cemas. Tapi Tigra bilang, Rei memang suka kayak gitu, jadi nggak mesti dicari. Jadilah, Jenar menyabarkan diri dan makan-makan bareng cowok-cowok.

Urusannya baru kelar menjelang jam sembilan malam, itu pun karena Jenar memaksa pulang, beralasan kalau dia sudah cukup capek hari ini. Tanggal 14 Februari tinggal 3 jam lagi dan Jenar belum melihat Rei sama sekali. Dia sudah berpikir buat ngedatengin kosan Sadewo setelah mandi dan ganti baju, tapi nggak lama usai membuka pintu unit apartemennya, Jenar dikejutkan oleh tamu nggak diundang yang berdiri dalam kegelapan, membawa sebuah kue dengan sebatang lilin tertancap di atasnya.

Hampir saja cowok itu ngejerit, karena Rei kelihatan kayak Suzanna pas lagi dalam mode Kuntilanak.

"Lo serem banget kayak setan!" Jenar ngomel sembari menekan saklar lampu. "Hari ini kemana aja?"

"Ada urusan."

"Urusan apa?"

"Rossa."

"Bohong."

Rei terbatuk gugup. "Nggak apa-apa kalau nggak percaya."

"Kenapa nggak balas chat gue?"

"Sengaja. Biar lo kesal."

"Bagus, karena gue emang udah kesel beneran."

Jenar mendekati Rei dengan wajah yang nggak ada happy-happynya sama sekali. Saat berada di dekat cewek itu, Jenar tersadar jika hari ini, Rei kelihatan berbeda dari biasanya. Rambutnya tergerai lurus, jatuh halus di punggung dan tampak lebih rapi. Jenar tau, Rei bukan orang yang mau repot-repot catokan, tapi dia jelas catokan hari ini. Riasan wajahnya terlihat agak lebih dewasa.

"Ngapain gelap-gelapan?"

"... kejutan... ulang tahun..." Rei menyesal sudah mendengarkan saran Lanang yang bikin dia terjebak dalam situasi awkward kayak sekarang.

"Ini kejutan paling jelek yang pernah gue dapet." Jenar membuang napas, tapi tatap matanya pada Rei melembut. Dia mengulurkan tangan, menyentuh pipi Rei dengan lekuk jari telunjuknya. "No décor. No present. Just this ugly cake. Belum lagi gimana lo ngilang seharian, bikin gue khawatir aja."

"... maaf."

"Lo bilang, hari ini lo bakal jadi punya gue seharian."

"Hari ini masih tersisa tiga jam."

"Apa yang bisa gue lakuin selama tiga jam?"

"Apa pun yang terpikirkan oleh lo sekarang."

Jenar memiringkan wajah. "Apa pun?"

"Apa pun." 

Jenar: 


***

a/n: 

KANGEN BANGET OMG ITS BEEN SOOOOOOOOOO LONG WWKWKWWK 

chapter ini cukup panjang yha. 

jadi setelah ini, selain kita akan membahas soal rossa-wirya-jaka + milan, kita juga bakal bahas pergonjang-ganjingan rei-jenar wkwkwk 

soal bagian yang sepertinya highly anticipated dan ditunggu-tunggu, mungkin di chapter berikutnya yha wkwkwk kalian mau santai-santai aja apa all out nih? 

dah kayanya itu aja! wkwkwwkwk 

biru-langit mungkin nanti sore dan untuk GoTG, kemungkinan besok ya!  aku ngga sabar mau nulis dery-sashi dating wkwkwkwkw 

selamat 12-12 

CIAOOOOOOOO 


***

December, 12th 2020 | 14.25

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro