25 | jreng-jreng
Gara-gara obrolannya sama Dhaka menjelang mereka wasted di malam perayaan ulang tahunnya Yumna, Tigra jadi keinget sama cincin yang nggak sempat dia beri ke Rei. Cincin yang sudah lama tersimpan di laci mejanya. Cincin yang kadang, Tigra harap Rei temukan secara nggak sengaja. Cowok itu menarik laci mejanya, menyingkirkan barang-barang nggak berguna yang menumpuk sampai dia menemukan kotak beludru yang dia cari.
Bisa dibilang, Tigra itu tipe cowok yang self-sufficient. Diantara cowok-cowok lainnya, Tigra yang paling sedikit nunjukkin interest ke cewek. Makanya, mau gimana pun dia rangkul-rangkulan sampai mepet banget sama Rei, nggak ada yanng curiga mereka ada apa-apa.
Tapi tentu saja, akan selalu ada apa-apa di hati Tigra buat cewek itu.
Sejujurnya, Tigra sama Dhaka itu beda-tipis. Cuma, Dhaka anaknya lebih sarkastik dan keras kepala, hobinya ngotot dan berdebat. Mana pernah dia mau kalah sama Rei. Berbeda dengan Tigra. Ada saatnya Tigra mengalah, karena kalah dalam perdebatan jauh lebih mudah daripada kehilangan orang yang dia sayang.
Satu dari banyak yang Tigra suka dari Rei, di dekatnya, mereka bisa diam saja, nggak ngapa-ngapain, tanpa merasa awkward. Biasanya, orang-orang kalau diam-diaman apalagi cuma berdua bakal ngerasa canggung, kemudian sibuk cari topik obrolan untuk mengisi kekosongan. Rei nggak gitu. Seringkali, saat Tigra sibuk nge-doodle atau lukis-lukis, dia hanya akan diam. Baru bicara kalau Tigra nanyain komentarnya tentang apa yang dia bikin.
"Harusnya lo masuk seni, Gra. Bukan masuk Teknik." Rei pernah bilang begitu.
"Bokap gue nggak setuju gue masuk seni." Tigra mengedikkan bahu. "Nggak apa-apa, sih. Win-win solution. Bokap gue senang gue kuliah sesuai kemauan dia. Gue senang karena dibiarin ngelakuin apa yang gue suka. Lagian..."
"Lagian?"
"Kalau nggak masuk Teknik, nanti nggak ketemu sama yang namanya Regina Arunika dong?"
Layaknya lirik lagu Bruno Mars,d unia Tigra jadi terhenti sejenak saat Rei menunduk sedikit, menanggapi ucapannya dengan senyum lebar.
"Oy, itu soju di kulkas punya siap—"
Suara Milan disusul pintu yang terbuka tanpa diketuk lebih dulu bikin Tigra buru-buru memasukkan kembali kotak cincinnya di laci.
"Emang nggak ada adabnya ya lo jadi manusia?"
Milan terkekeh. "Gue bukan manusia. Lo sendiri yang bilang, gue buaya rawa."
"Biawak lebih tepat sih buat lo." Tigra mendelik. "Kenapa?"
"Soju di kulkas punya siapa?"
"Emang kenapa?"
"Kalau bukan punya lo atau Dhaka, mau gue embat."
"Embat aja."
"Yaay—"
"Udah kadaluarsa soalnya."
Milan langsung cursing. "Brengsek."
Tigra memutar bola matanya. "Tutup lagi pintunya!"
"Eh, bentar deh, gue mau nanya."
"Nanya apa?"
"Kayaknya dari semua orang, lo sama Dhaka tuh yang paling less wasted ya semalam?"
"Eemang kenapa?"
"Seinget gue, gue lihat Jaka cabut sama Rossa."
"... terus?"
"Bukannya Rossa lagi dekat sama Wirya? Semalam juga tuh gue tau dari Yuta, katanya Wirya kalang-kabut nyariin Rossa. Cuma ya gue nggak bilang, takut aja salah lihat. Soalnya impossible banget nggak sih, masa Rossa cabut sama Jaka? Kalau sama gue, baru mungkin."
"Najong."
"Serius, Gra."
"Nggak tau. Udahlah, nggak usah ghibah."
"Tumben nggak napsu ghibah. Biasanya lo penadah perghibahan nomor satu."
"Gue doyan ghibah." Tigra menukas. "Tapi ghibah yang bermutu. Perkataan orang mabok mana bisa dijadiin testimoni."
"Tapi seru kali ya."
"Apanya?"
"Kalau semalam gue nggak salah lihat."
"Terus?"
"Kalau ternyata Rossa sama Jaka beneran cabut bareng."
"..."
"Soalnya kayaknya Wirya naksir Rossa."
*
Rei nggak tahu, apakah keadaan bisa dibilang membaik atau memburuk setelah perayaan ulang tahun Yumna yang diakhiri dengan drama masing-masing.
Hubungan Yuta dan Yumna masih belum jelas, walau kadang Rei lihat Yuta ngejemput Yumna di kampus, atau Yumna keluar kamar pake kaos kegedean yang jelas-jelas dia colong dari lemari Yuta. Rossa, well, sebagai langkah pencegahan, cewek itu melakukan apa pun yang bisa dia lakukan biar kejadian nggak sengajanya dengan Jaka nggak terbentuk jadi calon anak manusia. Bisa berabe kalau sampai betulan kejadian. Masalahnya, Rossa makin dekat sama Wirya dan posisi mereka yang masih kuliah jelas akan menciptakan gonjang-ganjing. Apalagi keluarganya Rossa cenderung strict. Apa kata mereka kalau tau anak perempuan kebanggaannya hamil tanpa menikah?
Sakura... nah soal Sakura ini, Rei nggak bisa ngepoin. Sebab betul apa kata Jella, Sakura berhak punya rahasia. Semuanya terserah Sakura. Toh, mereka juga nggak tau gimana hubungan Sakura sama Alfa, juga apa sebetulnya Alfa sayang sama Sierra atau nggak, mengingat mereka dijodohkan. Rei cuma bisa bilang kalau Alfa sudah menghitung hari jadi suami orang—tinggal nunggu sejumlah ujian dan deadlinenya Sierra beres, biar nggak ada beban pikiran waktu jadi pengantin.
Untungnya, urusan soal nikah-nikahan Alfa yang mesti Rei urus sudah selesai—jadi dia bisa meminimalisir pertemuan sama Johnny.
Rei tau sih, dia memang nge-crush Johnny, sempat kagum banget. Tapi makin lama, sejak dia nemuin ada Sona di apartemennya Johnny malam itu, pandangan Rei ke Johnny jadi rada berubah. Bisa jadi, karena Rei paling anti sama cowok yang main-main sama cewek—meski dia pun nggak tahu jelas hubungan Johnny sama Sona itu kayak gimana.
Tiap lihat Johnny, keingatnya Sona yang cuma pakai tank-top dengan rambut tergerai di apartemen Johnny lewat dari jam dua pagi.
Herannya, Rei justru jadi makin dekat sama... Jenar.
Nggak diniatkan, sumpah.
Rei sendiri nggak ngerti kenapa siang ini, dia mau-maunya jalan ke kantin Departemen Mesin buat makan siang sama Jenar. Berasa sudah nggak ada harga dirinya lagi. Tapi Jenar bilang, lontong bumbu di kantin departemennya enak. Jadi mau nggak mau, Rei agak tergoda juga.
Baru sampai di kantin, Rei disambut oleh pemandangan yang nggak terduga...
"Kak Jenar?! Ih, ini Kak Jenar yanng waktu itu ikutan THS kan?! Anak Xave?!" Jenar baru menenggak air mineral botolnya sewaktu dengar seseorang menyapanya. Refleks menoleh. Cewek. Tingginya sepantaran Rei, sebatas bahu Jenar. Anak-anak Mesin lainnya yang ada di kantin langsung ngelihatin.
Namanya juga para batang haus belaian, lihat cewek dikit langsung melotot.
"Iya?"
"Aku adik kelas Kak Jenar dulu!"
"Oiya?"
"Iya. Aku ikut THM juga loh, Kak."
THS itu seperti semacam organisasi Merpati Putih-nya sekolah Katolik dan versi ceweknya adalah THM.
"Oh. Kamu anak kampus ini juga?"
"Iya. Tapi beda fakultas. Aku kesini mau ketemu temenku sih, nggak nyangka ketemu Kak Je. Kak, boleh foto nggak? Buat update igstory..."
"Oh, oke-oke."
Tangkas, Jenar meraih ponsel si adik tingkat, terus selfie gitu deh. Posenya ala-ala cowok ganteng yang paham kalau dirinya ganteng. Ngerti lah ya gimana.
"Makasih, Kak Jeeee!!" Adik tingkatnya Jenar berkata riang sehabis mereka menjepret satu foto.
"Nggak mau empat kali sekalian? Biar bisa di-college."
Tidak diragukan lagi, memang pemilik rawa sejati.
"Ih, nggak apa-apa, Kak?"
"Nggak apa-apa."
"Takutnyaaaaaa ada yang marah."
"Sans, cewek gue orangnya nggak cemburuan."
"Hah, Kak Je udah punya cewek?!"
"Iye. Hahaha."
"Ohhhh, abisnya di sosmed keliatannya jomblo sih."
Gimana nggak kelihatan jomblo, Jenar mau upload foto Rei di feeds saja nggak diizinin sama orangnnya.
Terus setelah betul-betul kelar foto-foto, adik tingkatnya Jenar basa-basi dikit sebelum pamit, katanya temannya sudah menunggu di depan salah satu kelas.
"Kerjaan lo cari masalah melulu." Kun yang lagi makan soto tau-tau berujar.
"Hah?"
"Tuh." Kun melihat ke satu arah. Jenar mengekori tatapannya, kontan kaget saat melihat di dekat kantin, Rei lagi berdiri sambil melipat tangan di dada.
"ANJEEEENGGGGGGGG! Kenapa nggak bilang dari tadi?!"
"Lo-nya keasikan, Bang." Lanang membalas.
Panik sih, tapi Jenar tetap berlari menghampiri Rei. "Hei! Udah lama?"
"Lo kira lo ganteng kayak gitu ha?"
Jenar langsung manyun. "Marah yah?"
"Nggak. Kurang kerjaan amat. Cuma kayaknya di chat tadi, lo kepingin banget makan siang ditemenin gue. Katanya nggak ada temen. Tapi—"
"Dia adik kelas gue dulu. Beneran deh... kalau nggak percaya, tanya aja Johnny!"
"Foto sama adik kelas gitu gayanya?"
"Refleks." Jenar masih cemberut.
"Biasa aja jawabnya. Nggak usah monyong-monyong gitu bibirnya. Gue cuma nanya." Dengan cuek, Rei berjalan menuju kantin. Jenar mengikuti.
Kantin Mesin tuh isinnya mayoritas cowok sih, tapi ya berhubung Rei kenal cukup banyak anak Mesin (all thanks to Jenar) jadinya nggak merasa terintimidasi.
"Kak Johnny," Rei tau-tau memanggil, bikin Johnny yang baru nyuapin risoles ke mulut langsung nengok, tapi nggak bisa menjawab, karena kan mulutnya penuh.
"Hoh?"
"Kenal cewek yang tadi nggak?"
"Hoh?"
"Kunyah dulu, John." Kun memberitahu.
Johnny mengunyah makanannya, menelannya, baru kemudian menjawab. "Hah, emang yang tadi siapa?"
"Adik kelas kita waktu SMA, John!!!!" Jenar pannik.
"Masa iya?" Johnny memiringkan wajah.
Spontan, Rei menoleh ke Jenar, yang bikin Jenar sigap berseru. "BENERAN ADIK KELAS GUE! DEMI TUHAN YESUS, GUE NGGAK BOHONG!!"
"Kayaknya sih beneran adik kelasnya, Kak." Lanang menjadi penyelamat. "Tadi aja Bang Jenar bilang kalau dia udah punya pacar."
Rei malah heran. "Pacar? Siapa? Kok gue nggak tau?"
"..."
"Hadeh, sekali buaya memang buaya."
"LO, ANJIM!! YA TUHANNNNN, SIAPA LAGI EMANGNYA?!!"
Anak-anak sekantin pada speechless, kecuali Lanang sama Juned yang justru senyum-senyum.
"Dih."
Jenar terluka banget sama responnya Rei. "Dih?!"
"Ngaku-ngaku."
"ANJIIIIIIRRRRRR." Yugi ngakak. "APPLY COLD WATER TO THE BURNT AREA!!"
"Heh!" Kun memperingatkan Yugi sebelum Yugi kena terkam Jenar, tapi dia sendiri juga ngakak.
"Lah, kita udah sampe situ masa nggak pacaran?"
"Anjaaaaaaaaay, sampe mana, Bang Jago?"
"Kasih tau, Rei."
"Lo aja yang kasih tau," Rei melengos, lanjut beranjak dari duduk buat memesan makanan.
"Sampe mana, Bang?" Lanang kepo betulan.
"Sampe yang enak-enak."
Pecah tuh kantin. Cowok-cowok pada ngakak ribut. Suara mereka menggelegar, baru ke-pause ketika Rei balik badan lalu ngomong.
"Gimana mau enak, belom tiga menit udah kelar."
Nyesssssssss......
Semuanya diam, kompak menoleh ke Jenar, seperti mencari pembenaran.
Muka dan kupingnya Jenar sudah merah saga. "ANJIR, BOONG! YAKALI TIGA MENIT DOANG!!"
Rei hanya menahan senyum, tapi dalam hati sih ngakak.
"Lo jahat, tau nggak?" Jenar protes sewaktu Rei sudha duduk lagi, sibuk membuka wadah es krim. "Lo menghancurkan reputasi gue dengan sebuah dusta."
"Drama banget. Lagian, itu nggak sepenuhnya dusta."
"Maksudnya?"
"Nggak ada yang bisa memastikan kalau lo tahan lebih lama dari tiga menit, kan?"
"Oh, mau dicoba?"
"You wanna fuck me that bad, hm? I gave you a chance. Why didn't you grab it?"
"That not what I want."
"Terus maunya apa?"
"Make you my princess in public, my personal slut in private."
Rei batuk-batuk. "Sinting."
"Apa pun itu," Jenar berdecak. "Gue lebih dari tiga menit."
"Tiga menit sepuluh detik?"
"I can last for so long, you'll beg me to stop."
"Cocky."
"Can't help it. I have the cock."
Rei kehilangan kata-kata untuk sejenak, sedangkan Jenar menarik senyum. Senyum lebarnya terkesan cerah, berbanding terbalik dengan makna kata-kata yang barusan dia ucapkan.
"Empat belas Februari, gue ulang tahun."
"... hm, terus?"
"Itu hari Valentine."
"Terus?"
"On that day, let's love... literally."
*
Nggak tahu kenapa, Wirya ngerasa Rossa agak berbeda akhir-akhir ini.
Cewek itu jadi lebih canggung ketika berada di dekat Wirya. Saat ditanya, jawabnya sih dia nggak kenapa-napa. Cuma capek saja. Mungkin lagi banyak tugas? Entahlah. Wirya nggak mau terlalu memaksa Rossa. Bisa jadi, itu efek dari terlalu overthinking. Soalnya selain itu, semuanya masih berlangsung kayak biasa.
Sekitar sebulanan sudah lewat sejak kejadian di malam perayaan ulang tahun Yumna, dan mereka makin dekat. Sering teleponan. Sering chatting, bahas yang nggak penting tapi bisa bikin satu sama lain tersenyum. Wirya jadi sering jemput Rossa dari kampus, atau Rossa main ke tempat Wirya. Milan sempat ge-er, dikira Rossa main buat ngelihatin dia, padahal mah ujung-ujungnya belok ke kamarnya Wirya.
Kemarin, Rossa bicara soal cari kado untuk temannya pada Wirya.
"Wir, temen gue weekend besok ada yang ultah. Mau temenin gue nyari kado nggak?"
"Siapa?"
"Lisa."
"Lisa yang kosannya lo datengin pas wasted di malam ulang tahunnya Yumna itu?"
Ekspresi wajah Rossa berubah sedikit. "Iya."
"Oh, oke."
Wirya memang irit kalau ngomong, tapi soal perhatian sih nggak perlu ditanya. Jadilah, dia bersedia menemani Rossa. Rencananya, mereka mau cari kado di mall. Seperti biasa, Wirya jemput Rossa. Namun nggak lama setelah membuka pintu mobil, tahu-tahu Rossa mengerutkan hidung.
"Parfum mobil lo ganti?"
"Nggak. Kenapa?"
"Kok baunya nggak enak—"
Belum selesai bicara, Rossa yang bahkan belum sempat masuk ke mobil sudah membalikkan badan, lalu muntah.
*
"Lo udah nggak naksir Rossa?"
Jaka berhenti memetik gitarnya setelah mendengar pertanyaan Milan. Hari ini, mereka tuh lagi nugas bareng di tempatnya Jaka. Biasalah, kosannya Milan lagi berisik, berhubung Tigra sama Dhaka lagi rajin-rajinnya berdebat akhir-akhir ini. Berantem melulu, kayak Tom dan Jerry. Awalnya, dilihat-lihat sih lucu. Tapi lama-lama, justru jadi ganggu.
"Emang kenapa?"
"Udah mau sebulanan ini lo nggak pernah main ke tempat gue dan kalau gue lihat-lihat, lo sama Rossa tuh... kayak saling menghindari satu sama lain."
Jaka bohong dong pastinya. "Nggak apa-apa."
"Jadi... udah nggak naksir?"
"Kalau gue udah nggak naksir, kenapa? Lo mau pepet dia?"
"Nggak juga. Gue masih naksir Jella, tapi ya udah ditolak mentah-mentah, mau gimana." Milan mengangkat bahu, tampak memelas. "Cuma Rossa tuh... nggak tau deh, gue juga sangsi kalau dia masih naksir gue."
"Lah?"
"Anaknya demen sama Wirya deh kayaknya. Mereka lengket banget akhir-akhir ini."
"Oh."
"Jadi bener? Lo udah nggak naksir Rossa?"
"Nggak tau."
"Sulit dipercaya sih kalau memang lo udah nggak naksir. Lo kan sebelumnya ngotot banget ngejar dia. Tapi ya, sama kayak Rossa yang bosan ngejar gue, lo mungkin juga bosan ngejar Rossa."
"Mungkin."
Padahal... kenyataannya... nggak kayak gitu.
Jaka mau fokus ke layar laptopnya lagi, namun mendadak, ponselnya bergetar. Ada chat dari orang yang tidak terduga, bikin Jaka tersentak saking terkejutnya. Itu dari Rossa.
rossa:
kapan bisa ketemu?
gue mau ngomong sesuatu.penting.
Asli, saat membaca itu, jantung Jaka deg-deg-an nggak terkontrol. Tapi karena Rossa kelihatannya seserius itu, akhirnya Jaka membalas sesegera mungkin.
JK:
kapan?
rossa:
sekarang?
JK:
nanti sore aja gimana?
lagi nugas sama milan.
rossa:
ok.
Singkat banget.
Padahal sebelum kejadian waktu itu, Jaka lancar banget kalau perkara gombal-menggombali Rossa. Namun setelahnya, jujur saja ya, Jaka merasa bersalah. Diantara mereka berdua, yang paling nggak drunk itu dia. Bukannya jadi yang waras, Jaka malah terkesan seperti mengambil kesempatan dan tampaknya, Rossa sangat kecewa padanya.
Sore harinya, mereka betulan ketemuan di kafe yang berada di dekat kosan Sadewo, sesuai dengan lokasi yang Rossa share.
Ketika Jaka sampai, Rossa sudah berada di sana. Dia sendirian dan kelihatan gugup. Cewek itu memilih tempat yang berada di pojokan, rada sepi. Jaka menghampiri, menarik kursi dan duduk di depannya.
"... hai?" Jaka menyapa dengan canggung.
"Gue..." Rossa mengigit bibir, menatap Jaka dengan sepenuh rasa enggan. "Kayaknya... kita nggak perlu basa-basi. There's something I want to tell you."
"Iya. Apa?"
"Gue..."
"Iya?"
Rossa menghela napas panjang. "I am pregnant."
"WHAT?!" Jaka terperanjat, mengerjap beberapa kali sebelum menyambung. "Are you sure?!"
"Of course, it's yours!" Rossa berkata penuh penekanan, meski suaranya tergolong rendah agar nggak ada yang mendengar. "Lo kira gue cewek apaan?!"
"No, no, bukan itu maksud gue." Jaka buru-buru meralat, paham kalau Rossa salah mengerti dengan responnya. "I mean... are you sure... you're really... really... preg—" Jaka nggak bisa meneruskan ucapannya. Mereka saling tatap dalam hening.
Rossa sengaja membisu, menunggu reaksi lanjutan dari Jaka. Kentara sekali, kini Jaka pun sedang berpikir keras. Beberapa saat lewat, hingga cowok itu bicara lagi.
"Keep the baby."
to be continued.
***
a/n:
again, there it is. last chapter dari cerita ini yang di-posting di bulan november 2020.
seperti yang sudah gue tuliskan di author notes biru langit, sepertinya karena akhir-akhir ini cukup stressful, gue merasa harus break sejenak. so yah, im going under a mini hiatus. baru nge-post lagi di wattpad mulai tanggal 12 desember, mungkin.
terimakasih untuk semua yang suka mampir, vote, comment. bersabar menunggu. thankyou. you really made my day.
until then, take care.
ciao.
***
November 14th 2020 | 17.05
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro