Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23 | lupa diangkat

"Lo mau kemana?"

Dhaka baru bangun dari duduk waktu Tigra menembaknya dengan tanya. "Kenapa nanya-nanya?"

"Lagi pengen posesif."

"Najis."

"Serius." Tigra nyengir sambil menatap sebentar ke sekelilingnya.

Sebagian besar teman-teman mereka memang sudah pada ngilang. Nggak tau siapa pergi dengan siapa. Kalau Dhaka ngilang juga, apes buat Tigra. Ditambah lagi, perasaan Tigra lagi berbadai. Kedengarannya dangdut dan cengeng banget sih, tapi betulan, Tigra lagi nggak kepingin sendirian. Jangan salah ya, cowok juga bisa jadi korban perasaan.

"Rei lama banget nggak balik-balik."

"Paling udah cabut sama Jenar."

"Justru itu, dia cabut sama Jenar." Dhaka berdecak. "Rei nggak aman sama tuh orang."

"Kebalikannya, Jenar yang justru nggak aman sama Rei." Tigra menenggak minumannya lagi. Sudah mulai tipsy, kelihatan dari matanya yang sayu dan wajahnya yang memerah. "Rei udah gede, Ka. Lo juga bukan nyokapnya. Dia bisa jaga dirinya sendiri."

Dhaka memandang Tigra sebentar, terus waktu sadar kalau Tigra beneran serius dengan ucapannya, cowok itu mengalah. Dia duduk lagi. Tigra berdecak, mengisi gelas Dhaka yang sudah kosong.

"Gue lagi nggak mau mabok malam ini."

"Oh come on." Tigra memutar bola mata. "Everyone is having a good time. Kita cuma punya satu sama lain, at least buat malam ini—"

"Jijik banget, kampret."

Tigra terkekeh, tapi Dhaka lagi-lagi menurutinya, meraih gelas dan membawa tepi gelas untuk bertemu bibirnya.

"Apa maksud omongan lo tadi?"

"Yang mana?"

"Tentang gue yang kata lo juga jago pura-pura."

Dhaka mengangkat bahu. "Terus terang ya, lo nggak kelihatan baik-baik aja saat Jenar yang jalan ke toilet buat nyamperin Rei, walau lo berusaha mati-matian nutupin itu."

"Nggak salah."

"Kenapa lo ngebiarin Jenar begitu aja?"

"Sebab untuk saat ini, gue rasa memang Jenar yang Rei mau."

"Sotoy."

"Nggak kayak lo, gue pernah jadi pacarnya."

Wajah Dhaka memerah seketika. "Lo menang selangkah dari gue cuma karena lo punya keberanian untuk menyatakan perasaan lo. Itu aja. Kalau gue sesinting lo—"

"Pertanyaannya adalah, Dhaka, kenapa lo nggak sesinting gue?"

"Gue kenal Rei lama. Gue tau dia gimana."

"Gue juga kenal dia lama."

"Nggak, lo nggak akan pernah kenal dia seperti gimana gue kenal dia." Dhaka ngotot. "Rei yang dulu nggak kayak Rei yang sekarang—"

"Anjing, kayak lagunya si Tegar."

"Tegar apaan?"

"Ku yang dulu bukanlah yang sekarang, e-ey! Dulu ku ditendang sekarang ku disayang~." Tigra mulai bernyanyi dengan suara parau khas orang mabuk yang bikin Dhaka geleng-geleng kepala.

"Oke, gue ngerti. Sekarang berhenti nyanyi."

Tigra tertawa. "Emang Rei yang dulu kayak gimana?"

"Sama aja sih kalau urusan juteknya. Kayaknya emang udah bawaan lahir. Tapi dia yang dulu lebih apa ya... lebih bright? Lebih menyenangkan. Nggak melulu meragukan niat cowok yang berusaha dekat sama dia."

"Em-hm."

"Her father damaged her for life."

"Isn't it easier for you? Untuk 'masuk' lebih dalam ke hidupnya, I don't know, like trying to fix her? Kayak cerita-cerita film John Green. Love can change you to be better. Yah, walau tai kucing banget sih, mana ada cerita dunia nyata segampang dan se-wishful thinking itu."

"Gue nggak bisa memperbaiki siapa-siapa, karena gue bukan tukang reparasi."

"Lucu lo, nyet."

Akhirnya, Dhaka nyengir. "Tapi bener apa bener yang gue bilang? You can't fix people. You can't change people."

"Then what can we do?"

"Just to love them."

"That's a deep shit, Dhaka." Tigra memiringkan wajah. "Terus kenapa lo nggak pernah berusaha bikin dia seenggaknya tau kalau lo melihat dia lebih dari teman?"

"Because she hasn't love herself yet."

"Hm?" Tigra mengangkat alis.

"You have to love yourself before you can love others. Sometimes, when we receive love from others, we get this feeling of suspicion. First, you have to learn how to love yourself, so you can be thankful and deserving when you receive love from others."

Tigra terdiam.

"Sekarang gantian gue yang nanya, sebenarnya, kenapa lo putus sama Regina?"

Pandangan Tigra telah berkabut sebagai efek dari alkohol yang mengaliri darahnya, tapi pertanyaan Dhaka mampu menghadirkan kenangan itu lagi. Sangat jelas, seperti baru terjadi kemarin. Tigra menghela napas, menatap es batu dalam gelasnya.

Kapan mereka putus?

Nggak lama setelah mereka balik dari staycation yang terakhir. Rei mau ulang tahun, jadi Tigra terpikir buat ngasih kejutan. Tigra sangat tau kalau Rei nggak suka surprise, jadi niatnya, dia hanya mau bawain kue ulang tahun berukuran mini yang ditancapi sebatang lilin sama hadiah... kecil.

Saking kecilnya, bisa masuk ke dalam kotak beludru.

Iya, hadiahnya cincin.

Bukan ajakan pertunangan. Tigra juga tau diri kalau mereka masih kuliah. Lebih ke benda couple saja. Jadi pada hari jadi Rei, mereka ketemuan di mall.—karena Rei-nya sendiri yang bilang mendingan ketemuan, soalnya hari itu dia cukup sibuk di kampus. Tigra datang duluan, berinisiatif memesankan minum karena mereka janjian di Starbucks. Kotak kue ulang tahun di atas meja, kotak beludru dalam saku.

Tigra ingat banget, pas Rei datang, dia refleks tersenyum.

"Udah lama?" Rei bertanya.

"Nggak juga." Tigra menukas cepat. "Gue udah pesenin minum buat lo."

"Thanks, T." Rei duduk, mereka saling diam sejenak sebelum memanggil nama satu sama lain di saat yang sama.

"Rei."

"Gra."

Tigra tertawa. "Lo dulu."

Rei tampak ragu, meski ujung-ujungnya terus ngomong. "Gra... gue mau ngomong jujur, tapi gue harap... lo bisa menerima ini dengan baik ya? Terus terang, akhir-akhir ini gue ngerasa aneh. Kayaknya... menurut lo... kita lebih cocok temenan aja nggak sih?"

Pelan tapi pasti, senyum Tigra memudar. "Hm... gitu ya?"

"Iya. Lagian nggak ada bedanya juga kita temenan sama nggak, kan? Menurut lo sendiri gimana?"

"... iya, sih."

Hingga hari ini, cincin dalam kotak beludru itu masih tersimpan apik di laci meja belajar Tigra.

Dengar cerita Tigra, Dhaka jelas nggak percaya. "Seriusan?!"

"Ngapain juga gue bohong?"

"Lo goblok."

"Gue udah cukup sering dengar itu."

"Nggak, maksud gue, lo beneran goblok. Lo sayang dia nggak sih sebenarnya?"

"Dhaka, keputusan gue untuk nurutin apa maunya Regina itu adalah justru karena gue sayang sama dia."

"Menurut lo gitu?"

"Gue paham kenapa Regina adalah Regina. Iya, dia emang susah percaya sama orang, apalagi cowok. Iya, dia emang selalu berpikir kalau di dunia ini nggak akan ada laki-laki yang bisa nerima dia apa adanya, yang nggak akan pernah berubah, yang bakal selalu sayang sama dia selamanya. Dengan isi kepalanya yang begitu, jelas gue nggak bisa maksa dia." Suara Tigra kian mengecil. "Gue sayang sama dia. Cukup untuk bikin gue puas dengan apa pun, selama gue masih bisa berdekatan sama dia, selama dia masih bisa ngobrol nyaman sama gue."

"Sinting."

"Bukannya selama ini, itu juga yang lo lakukan? Lo nggak bisa bilang lo sayang sama dia sampai dia belajar gimana caranya untuk sayang sama dirinya sendiri. Gue nurutin apa yang dia mau untuk ngasih dia ruang dan jeda, biar dia bisa nemuin dirinya sendiri dan ngakuin apa yang sebenernya dia inginkan."

"Nggak menjamin kalau setelah dia nemuin dirinya sendiri, dia akan balik sama lo."

"Emang nggak, tapi bukannya kalau kita sayang sama orang, yang terpenting buat kita adalah dia bahagia, meski bukan kita alasannya?"

"..."

"Gue mau dia bahagia. Tanpa keraguan sama dirinya sendiri. Tanpa rasa takut kalau dia bakal ditinggalin, kayak gimana nyokapnya ditinggalin sama bokapnya."

"..."

"Regina bahagia... bahagia yang bener-bener bahagia... itu udah cukup buat gue."

*

Sewaktu bibir mereka berdansa dalam irama yang serasi tanpa mesti disepakati, yang terlibat bukan hanya dua degup jantung yang seperti dipercepat seiring dengan detik yang merangkak, tapi telapak tangan yang berkeringat dan hela-hela napas yang tercuri dari paru-paru.

Jenar mencium gadis dalam rengkuhannya dengan segenap ketulusan yang dia miliki, bergerak lambat seperti dia memiliki lebih dari selamanya untuk melakukan apa yang sedang dia lakukan sekarang. Jemarinya berpindah perlahan dari kedua pipi Rei menuju helai rambut gadis itu. Kepala Rei terasa ringan, nyaris kebas dan indra penciumannya dipenuhi oleh campuran wangi parfum yang Jenar pakai, sisa bau manis yang khas dari tembakau dan entah apa lagi, mungkin aroma shower gel yang Jenar gunakan.

Ciuman itu dimulai tanpa sesuatu yang menuntut, hingga Jenar memiringkan wajahnya, menghipnotis Rei dengan mantra yang dia selipkan melalui permainan lidahnya. Tangan Rei sudah terlepas dari kerah baju Jenar, berpindah ke bagian depan pakaiannya sendiri, meremas kuat seolah-olah tanpa berpegangan, dia akan lupa bagaimana caranya tetap menapak ke Bumi.

Jenar menarik dirinya, melingkarkan jarinya diantara pergelangan tangan Rei dan menempatkan lengan gadis itu untuk melingkar di lehernya.

"You can touch me, Girlie. It's okay."

Senyum berhias lesung pipinya muncul lagi.

Dan Rei tercengang, sebelum akhirnya mulai menangis.

"Hey, hey," Jenar jadi bingung, buru-buru menangkup dua sisi wajah Rei dengan telapak tangannya. "Kenapa nangis?"

"You're so wonderful. Are you even real?"

Keheranan Jenar terganti oleh senyum tipis dan sorot mata yang melembut. Tatapannya hangat, seperti seseorang baru saja meletakkan matahari di sana. "I am real. I'm here. For you."

"Lo sengaja ya begini?"

"Sengaja gimana?"

"Sengaja begini... biar gue sayang?"

"Nggak. Tapi jujur, gue sangat menunggu itu. Nunggu lo sayang sama gue."

"Gue nggak mau." Rei menggeleng, sebelum menghisap ingus yang mengumpul dalam hidungnya karena menangis.

"Kenapa?"

"Kalau gue sayang sama lo, sama aja... sama aja... gue ngasih lo kemampuan buat bikin gue sakit."

"... Regina,"

"Sama aja gue ngasih lo kemampuan untuk bikin gue sedih kalau nantinya lo pergi ninggalin gue."

"Gue nggak akan ninggalin lo."

"Semua selalu bilang gitu. Nggak ada satupun yang nepatin kata-kata mereka. Pada akhirnya, semua ninggalin gue."

"Gue nggak akan ninggalin lo."

"Lo bakal berubah pikiran, kalau lo udah bosen sama gue."

"Regina Arunika!"

Tangis Rei kian keras. Air matanya makin deras. "Kenapa... kenapa lo bentak gue?!"

"Karena lo konyol."

"Karena gue kontol?"

"KONYOL." Jenar nyolot.

"TUH GUE DIBENTAK LAGI!!" Rei berseru, diikuti bunyi hiks dan sroooot yang panjang.

"Oke, jangan nangis." Jenar menyerah, menarik Rei ke dalam pelukannya, mendekapnya erat. Gadis itu jelas mabuk berat. Tapi isakannya terdengar menyedihkan dan mendengar kata-katanya barusan...

Jenar rasa, sekarang dia agak sedikit mengerti kenapa.

Dia memeluk Rei sampai Rei berhenti menangis.

"Udah nangisnya?"

"Babak satu selesai."

"Jangan ada babak dua!!" Jenar berseru. "Jangan nangis. Gue nggak marah sama lo. Gue nggak akan ninggalin lo. Gue nggak akan bosen sama lo. Get it?"

"Itu baju lo depannya basah."

Jenar melongo. "Gue ngomong serius dan lo malah ngomongin baju?"

"Kena air mata sama ingus gue."

"... Rei,"

Rei mengulurkan tangannya ke tepi baju Jenar, berusaha mengangkatnya. "Buka! Ayo buka bajunya! Bajunya basah kena air mata sama ingus! Kan jijik!"

"Regina—"

Rei mulai merengek. "Ayo bukaa...."

"Fine." Jenar menuruti keinginan Rei, membuka kemejanya dan melemparnya ke lantai. Dia duduk di depan Rei, bertelanjang dada.

"Jenar..."

"Apa lagi?"

"Perutnya kotak-kotak kayak cokelat."

"... ini namanya abs."

"Kok gue nggak punya?"

"... Regina,"

Rei menunduk, memandangi perutnya sendiri. "Gue nggak punya."

"Nggak apa-apa. Jangan sedih." Jenar merasa geli, tapi dengan penuh pengertian, dia menepuk-nepuk kepala Rei. "Gue tetap sayang sama lo walaupun lo nggak punya abs."

"Perut gue nggak bagus."

"Nggak. Bagus kok."

"Lo kan belum pernah lihat! Tau dari mana kalau bagus?!" Rei mulai mengomel.

"Hng..."

"Nih—" Rei mulai mengangkat tepi baju yang dia kenakan, dan itu bikin Jenar panik maksimal. "—perut gue—"

"JANGAN!!" Jenar refleks memeluk Rei lagi, mencegahnya membuka bajunya sendiri.

Jenar tau, dia nggak akan bisa mengontrol diri kalau Rei sampai buka baju betulan. Sebagai yang paling 'sadar' sekarang, Jenar harus mengendalikan diri dan situasi. Nggak akan adil untuk Rei kalau terjadi sesuatu diantara mereka malam ini. Nggak peduli seingin apa Jenar untuk... melakukan itu sama Rei, dia mau semuanya dilakukan dengan kesadaran penuh.

"Jenar..."

"I-iya?" Jenar mengerjap, masih memeluk Rei dengan satu tangan tenggelam di rambut gadis itu.

"Lo anget."

"..."

"Gue suka dipeluk lo."

Sehabis itu, Rei memejamkan matanya. Tubuhnya melunglai dalam dekapan Jenar. Dengkur halusnya terdengar, menerpa kulit bahu Jenar yang telanjang. Cowok itu diam sejenak, dan setelah yakin Rei betulan sudah ketiduran, dia baru melepas pelukannya.

"Damn, Girlie. You're going to be the death of me." Jenar mengomel sembari merebahkan Rei di atas karpet, meski di saat yang sama, dia nggak bisa menahan senyum.

Selama sejam berikutnya, sambil tetap terlelap, Rei tidak melepaskan jari telunjuk Jenar dari genggamannya, menjaga cowok itu agar tetap dekat.

*

Rossa nggak ingat semalam dia minum berapa banyak.

Oh well, dia bahkan nggak ingat sepenuhnya apa yang terjadi semalam. Setahunya, semakin malam, teman-temannya pada sibuk sendiri lalu mulai menghilang satu-persatu. Mulai dari Yumna yang cabut sama Yuta, Jella yang ngakunya ke toilet tapi nggak balik-balik, Jinny dan Sakura... entah deh. Rossa nggak tau mereka pergi kemana. Alhasil, dia cuma bisa duduk bertemankan botol dan gelas minuman, sementara Milan, Tigra dan Dhaka duduk nggak jauh darinya.

Terus Wirya datang—yang mana nggak Rossa duga, soalnya setahu Rossa, Wirya itu terlalu kalem buat nongkrong di tempat kayak gituan.

Tigra bahkan pernah bilang, dari anak-anak yang satu kosan sama dia, Wirya adalah yang paling jarang tepar karena kebanyakan minum. Cowok itu minum sesekali, tapi jarang sampai betul-betul mabuk.

Dan lagi, gimana nggak Rossa makin ge-er karena ketika Rossa tanya, Wirya jawab, dia datang soalnya mau ketemu Rossa?

Tapi sekarang, nggak lama setelah Rossa terbangun dengan kepala berat, dia heran karena tempatnya berada sekarang... kok nggak terlihat seperti kamarnya Wirya?

Cewek itu mengernyit, mengumpulkan kesadarannya. Kepalanya pusing banget. Dia terbangun di kamar asing, yang entah kenapa, wanginya sangat familiar. Sewaktu Rossa beranjak dari posisi berbaring ke posisi duduk, selimut yang terhampar di atas badannya melorot.

Rossa tersedak ketika sadar kalau di bawah selimut, dia nggak mengenakan apa-apa lagi alias telanjang bulat.

Jauh lebih kaget saat Rossa menoleh berbarengan dengan cowok di sampingnya yang memutar arah berbaring.

Rossa kepingin pingsan begitu dia mengenali siapa cowok itu.

Jaka.

Tapi tentu saja, Rossa nggak pingsan, justru menjerit histeris. Sinetron banget, namun berhasil bikin Jaka gelagapan terbangun. Cowok itu sama terkejutnya, ikutan duduk. Untungnya, Jaka kaosan. Kalau dia nggak pakai baju juga, Rossa pasti sudah kena heart attack.

Secara defensif, Rossa membungkus badannya pakai selimut, menatap garang pada Jaka yang kini berupaya mengumpulkan nyawa.

"Ros—"

"KENAPA GUE ADA DI KAMAR LO?!!"

"Gue juga nggak tau—" Jaka menelan saliva sembari memandang ke sekeliling kamar. Di lantai, ada baju berceceran. Baju dan pakaian dalamnya Rossa.

"KITA NGAPAIN SEMALEM!!?"

Jaka mengingat-ingat dan ketika bayangan samar tentang semalam kembali menghantam benaknya, dia refleks cursing. "Damn it."

"WHAT DAMN IT?!" Rossa mulai murka. Dia bangkit dari kasur Jaka masih dengan badan dililit selimut. Rossa mencoba mengingat tentang semalam. Dia enggan percaya. Kesal, marah sama Jaka, marah sama dirinya sendiri, ingin menangis, pengen nelepon Wirya...

"LO BALIK BADAN!! NGADEP TEMBOK!!" Rossa membentak dan Jaka menurut. Sementara Jaka balik badan memunggunginya, Rossa memungut bajunya dan memakainya. Setelah tak lagi telanjang, yang selanjutnya terpikir olehnya hanya satu hal.

"Did you do it safely last night?!"

"Ros—"

"Jawab!"

"I think... I didn't."

"DID YOU PULL OUT?!"

"... no."

"NO GIMANA?!"

"... keluar... di dalem."

Rossa pusing banget dengar jawaban Jaka. 







to be continued. 

***

a/n:

ngga sadar ternyata udah lama juga work ini ngga di-update haha.

so  sorry. 

yang unboxing ternyata bukan jenar tapi jaka wkwk 

ok, sampe ketemu di  chapter berikutnya. 

ciaoooo. 

***

October 31st 2020 | 15.00

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro