20 | the jimmy's
"Rei minta dijemput."
Dhaka baru membuka teh botol dinginnya ketika Tigra tiba-tiba bilang begitu.
"Lah, urusannya apa sama gue?"
"Sana jemput."
"Kok gue? Kan dia ngehubunginnya lo."
"k0k guE,,,,,, kAn diA nGeHubUn9inNyA l0,,,,," Tigra malah meniru ucapan Dhaka dengan nada meledek. "Gue nggak tau lo berdua berantem karena apa ya, tapi intinya, selesain deh. Jangan kayak anak SD, yang mesti dipertemukan dulu di satu ruangan terus dipaksa salaman dan maafan."
"Gue nggak—"
"Gue pernah bilang kan Dhaka, lo sama Rei tuh bisa bohongin siapa pun di dunia ini, kecuali gue."
Dhaka menutup kemasan teh botolnya, memandang Tigra sebentar sampai kemudian dia menyerah. "Fine. Jemput di mana?"
Tigra menjawab pertanyaan Dhaka dengan mengirimkan share location sebuah kafe, yang Dhaka tau nggak jauh dari kosan Sadewo. Kenal Rei dua belas tahun, Dhaka paham berat kalau bukan Rei banget untuk gemar nongkrong di kafe. Cewek itu lebih suka sunyi. Jadi kalau dia ada di kafe sekarang, besar kemungkinan, lagi ngumpul sama Johnny dan Alfa buat ngomongin acara tukar cincin sekaligus lamaran Alfa-Sierra atau... lagi makan siang sama... Jenar.
Duh, Dhaka benci banget menyebut nama yang terakhir, sekalipun itu cuma dalam pikiran.
Apa karena dia cemburu?
Sebelumnya, selain Tigra, cuma Dhaka cowok yang bisa dibilang dekat sama Rei. Yah, Rei kenal sama Milan, Wirya dan Yuta juga sih, tapi nggak sedekat itu sampai-sampai Rei berbagi rahasia dengan mereka. Tigra adalah kasus khusus, tapi Dhaka... Dhaka sudah kenal Rei lebih lama dari siapapun. Dua belas tahun tentu bukan waktu yang sebentar.
Nggak terencana, murni cuma karena keluarga Rei dan keluarga Dhaka bertetangga. Mereka sama-sama introvert, membenci keberadaan manusia lain apalagi yang menurut mereka nggak relevan. Dua-duanya sama-sama jutek dari kecil dan mungkin gara-gara itu, Rei dan Dhaka bisa saling relate. Lalu nggak tau siapa yang pertama kali memulai, mereka bersahabat.
Dhaka tau kok, akan jadi sangat klise jika dia memandang Rei lebih dari teman. Tapi bukannya, cinta memang selalu begitu? Dia hadir tiba-tiba, diantara kata terbiasa. Dan justru, cinta yang datang tanpa diniatkan itu biasanya yang paling sukar dilupakan. Hadir tanpa kata, dalam diam, dan ketika tersadar, sudah terlalu terlambat untuk berbalik dan mencoba lupa.
Kelihatannya, dia memang cemburu.
Dhaka sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Rei memang betulan lagi hangout sama Jenar—nggak tau kenapa ya, cowok itu tampaknya akhir-akhir ini gabut banget dan makin rajin mengekori Rei kemana-mana—tapi ternyata nggak. Rei duduk sendiri di dalam kafe. Fokus pada layar ponselnya hingga dia mendengar suara pintu dibuka dan menoleh.
Mata mereka bertemu. Dhaka berdeham, berusaha buat terlihat biasa saja dan baru bicara ketika dia tiba di dekat meja Rei. "Come on."
"Come on what?"
"Ke tempat gue."
"Gue dijemput Tigra."
"I know. Tigra nyuruh gue jemput lo."
Rei terperangah sebentar, tapi setelahnya, terkesan paham. Dia beranjak, mengikuti Dhaka keluar. Saat kesini, Dhaka memang mengendarai mobil Tigra.
"Karena gue dan lo sama-sama keras kepala." Rei mengawali sewaktu mereka tiba di parkiran. "Dan ada kemungkinan kita berdua bisa aja berantem di jalan, akan sangat berbahaya kalau kita ngobrol sambil lo nyetir. So, how about we talk it out first?"
"Ngomongin apa—"
"Dhaka, lo bisa pura-pura goblok di depan orang lain, tapi nggak di depan gue. Get it?" Rei memotong.
Dhaka membuang napas lelah. "Lo sama Tigra sama aja. No wonder, kalian cocok."
"Apa?" Rei tetap mendesak.
"Soal yang waktu itu, ketika gue nyolot sama lo perkara lo ngebiarin Tigra pulang sendirian naik taksi dan lo malah ngurusin Jenar—" Dhaka menghela napas, berusaha menekan seluruh egonya. "—gue minta maaf."
"Maaf?"
"Bukan salah lo. Gue cuma kesal."
"Kesal kenapa?"
"Pertama, karena lo ngebiarin Tigra pulang sendirian naik taksi online saat lo sendiri tau, keadaannya dia udah wasted parah kayak gitu. Kalau drivernya jahat, dia bisa ngapa-ngapainin Tigra."
"Yang terbukti tidak terjadi dan Milan udah mastiin Tigra pulang dengan aman sebelum lo hubungin gue." Rei menyergah.
"I know. Kedua, gue kesal karena lo malah nongkrong sama Jenar."
"Gue nggak melakukannya dengan sukarela."
"Tapi lo punya pilihan untuk stay atau pergi dari sana, dan lo tetap stay."
"Gue nggak punya pilihan. Jenar tau gue punya sejarah sama Tigra."
"Terus apa masalahnya?" Dhaka menyambar. "Kenapa kalau mereka tau lo pernah pacaran sama Tigra? Toh udah masa lalu. Udah lewat. Mereka tau atau nggak, itu nggak akan mengubah apa pun."
"... Dhaka—"
"Lo nggak sepenuhnya ngerasa terpaksa stay sama Jenar. Malah, mungkin lo memang menginginkannya."
"Oh, please." Rei memutar bola matanya.
"Lo bisa bohongin siapapun, even Tigra, tapi nggak dengan gue, Regina."
"Argumen lo nggak bisa gue mengerti." Rei membantah. "Ngapain gue pengen stay sama Jenar?"
"Sebab lo suka dia."
Rei hampir tersedak. "I am not."
"You don't want to." Dhaka mengoreksi. "Tapi sejak kapan otak mau sinkron sama hati?"
"Silly. Gue nggak suka sama Jenar dan nggak ada niatan untuk suka sama dia."
"Beneran?"
"Beneran."
"Jangan jatuh cinta sama Jenar."
"... it's not your problem, honestly."
"Yes, it is. Lo teman gue. Mendingan gue lihat lo sama Tigra staycation entah di mana setiap long weekend, berdua aja, nggak tau ngapain, possibly having sex. Imagining things like that killed me countless time but it's okay, selama bukan sama Jenar."
"What's with you and Jenar, honestly?"
"Gue—"
"LO SUKA YA SAMA JENAR?!!"
"NGGA USAH NGADA-NGADA, NYET!!!"
Rei ngakak. "Abisnya..."
"Guenggakmaulohancurgara-garadia." Dhaka ngomong cepet banget, nggak pake spasi.
"Hah apaan?"
"Jenar nggak baik buat lo."
Rei terdiam, menarik napas panjang dan melangkah maju buat memeluk Dhaka. Tiba-tiba, dan mereka masih di parkiran. Dhaka salah tingkah dan sebelum dia sempat tergerak memeluk balik Rei, cewek itu sudah melepaskan rengkuhannya.
Dhaka membenci dirinya sendiri karena terlalu lama berpikir.
Padahal, apa susahnya sih balik memeluk Rei, meski cuma beberapa detik?
"Thankyou, Dhaka."
"Jangan bilang 'makasih' tapi tetap careless dan terlibat terlalu jauh sama Jenar."
"Gue sangat menghargai kepedulian lo, tapi gue udah janji sama Jenar kalau gue akan mencoba menilai dia berdasar gimana dia ke gue, bukan kata orang." Rei menyahut. "Tapi gue tetap akan mempertimbangkan peringatan lo."
Dhaka mengeluh. "Lo ini keras kepala banget."
"Dan gue belajar dari lo."
Dhaka manyun, sedangkan Rei justru tertawa.
*
Waktu dengar Johnny mau ajak Sona ke acara lamarannya Alfa-Sierra, bisa dibilang, ada bagian hati Rei yang potek. Tapi nggak berlama-lama sih, soalnya dia nggak secinta mati itu juga sama Johny. Jadi nggak terlalu diambil pusing. Seperti biasa, ada cowok yang lebih tepat dijadiin crush saja. Nggak semua rasa suka harus selalu diresmikan dalam hubungan.
Sekarang, Rei lebih pusing mau datang sama siapa. Ngenes banget kalau datang sendiri. Datang sama Tigra? Nggak tau deh. Datang sama Dhaka? Jelas cowok itu akan menemaninya dengan senang hati. Tapi dia pilihan terakhir. Datang sama...
"Dor!" Jenar berseru, bikin Rei berhenti melamun. "Mikirin apa sih?" cowok itu lanjut bertanya, kali ini seraya mengambil alih sendok dari tangan Rei dan dengan kurang ajarnya, makanin makanan cewek itu.
"Lo tau Sona nggak?"
Jenar keselek, lalu batuk-batuk. "Dari mana lo tau Sona?!"
"Johnny mau ajak dia ke acaranya Alfa."
"Oh." Jenar manggut-manggut sambil ngunyah. "Oh, tunggu. Jangan bilang kalau lo lagi bingung mau ngajak siapa?!"
"Nggak—"
"Don't worry, baby. I'm always ready 24/7."
"Dasar cowok murahan."
"Buat lo, gue banting harga."
"Udah ngomong kayak gitu ke berapa cewek?"
"Hei, lo janji lo akan menilai gue nggak berdasarkan image yang ditempelin orang-orang tapi dari kelakuan gue!?" Jenar protes, menunjuk Rei pakai garpu.
"Barusan itu kedengaran seperti suara buaya."
"Buaya nggak bersuara. Buaya langsung nyaplok." Jenar berkata santai, kemudian tertawa tatkala Rei merebut sendok dari tangannya.
"Bagus banget ya makanan gue dihabisin!"
"Regina, kamu tau nggak?"
"Tau."
"Jawab 'nggak' gitu ih!" Jenar melotot.
"Ck." Rei berdecak. "Nggak."
"Kamu lucu banget kalau lagi ngamuk, kayak boneka santet."
"Aw, makasih."
"Tapi benar, kan?" Jenar menyedot minumnya. "Lo bakal ajak gue?"
"Kemungkinan besar iya, soalnya diantara perkumpulan prianya Regina, lo yang paling gabut."
Jenar batuk lagi. "Perkumpulan prianya Regina itu siapa?!"
"Tigra. Dhaka. Yuta... kalau disogok takoyaki juga kayaknya mau, cuma gue takut dicakar Yumna."
"Bukannya udah putus?"
"Oh, mereka mah nggak jelas. Kemaren aja gue lihat Yuta udah nganter Yumna balik. Lucu sih nganternya. Yumna naik mobil, terus Yuta ngikutin di belakangnya pake motor." Rei bercerita. "Tapi sebenarnya rada malas juga ngajak lo. Hobi lo bikin gue naik pitam melulu."
"Kalau nggak ngajak gue, nanti siapa coba yang motoin lo di acaranya Alfa terus update pake caption 'cantikku hari ini cantik banget' gitu?"
"Terserah."
"Jadi gimana?"
"Gimana apanya?"
"Jadikan aku gantengmu di hari lamarannya Alfa sama Sierra?"
"Terserah."
"YIPPPIEEEEEEE!!!!!"
*
milan:
mau sampe kpn diemin gue?
kangen.
P
P
P
la, masa gue mau syg sama lo aja gaboleh sih?
P
P
P
Jella cuma buka chat dari Milan, habis itu nggak dibalas sama sekali. Gimana ya, Jella lagi pusing. Dia nggak nyangka, Milan yang hobi putus-nyambung sama Juwita itu bisa se-persistent ini menghubunginya setelah mereka jalan bareng waktu itu—which is sudah sangat lama ya, sebulan lebih ada kali. Soalnya mereka jalan kan sebelum kakinya Jenar bermasalah dan sekarang anaknya sudah mulai lari-lari lagi.
Hubungan Jella sama Rossa masih nggak enak banget. Mereka hampir nggak pernah ngomong. Kalau tau ada Jella, Rossa menghindar. Begitu pun sebaliknya. Anak-anak lantai dua Sadewo jadi nggak pernah bancakan atau ngumpul bareng formasi lengkap, gara-gara Jella sama Rossa. Sepertinya sih tinggal tunggu waktu saja Yumna betulan meledak.
Jella menyesal... menyesal banget dia sudah iseng reply updatenya Milan waktu itu, ditambah sampai jalan bareng dan bohong sama Rossa. Memang sih, Milan itu ganteng. Tinggi. Pundaknya enak dijadikan sandaran. Belum lagi senyumnya. Cuma ada berapa banyak cowok kayak gitu di kampus yang bisa Jella deketin tanpa ngerusak persahabatannya sama Rossa? Banyak banget. Bodohnya Jella.
Jella masih melamun di depan laptop ketika Rei mendorong pintu kamarnya sampai terbuka.
"Buset, udah nggak ada ya yang namanya kesopanan di rumah ini?!"
"Kosan, La. Bukan rumah." Rei mengoreksi.
"Kenape?!"
"Gue mau belanja bulanan."
"Terus kenapa ngasih tau gue?" Jella memutar bola matanya.
Rei terdiam awkward, lantas ujarnya. "... nggak apa-apa."
Jella berdecak. "Lo udah gede kan? Punya kontaknya Jenar kan? Kasih tau sendiri orangnya kalau mau ditemenin!! Jenar juga nih, kebiasaan nanyain kabar lo ke gue melulu. Dikira gue tukang pos pribadi lo berdua?!"
Rei manyun. "Gue nggak minta lo ngasih tau Jenar. Ngapain juga?"
"Karena lo pengen ditemenin sama dia."
Rei mangap, mau jawab, tapi sudah keburu diiterupsi hp Jella yang bergetar tiba-tiba. Ada telepon masuk. Jella angkat tanpa melihat layar ponsel dan langsung berteriak emosi. "DIBILANG GUE NGGAK MAU NGOMONG SAMA LO—eh anjir, sori. Gue kira Milan. Yaelah, kebetulan banget kayaknya lo berdua punya ikatan batin. Nih ya, sob, lo kalau kepo dia lagi ngapain, kontak dia. Ini juga, kalau pengen ditemenin belanja bulanan, ya langsung bilang ke orangnya. Capek deh gue! Mending kalau dapet gaji!"
"JELLA—"
"Iya, si Regina mau belanja bulanan. Kayaknya mau ditemenin sama lo, soalnya nggak ada angin nggak ada ujan ngabarin. Yoooo. Bhaaaaaaay."
Rei memandang Jella dengan tatapan khas orang yang baru terkhianati.
"Mulut lo ini memang penuh dosa."
"Nggak usah sok terzolimi ketika kenyataannya, lo seneng. Dah sana, mending siap-siap, daripada ntar Jenar nunggu lama!"
Betulan ya, Rei nggak ada niat minta ditemani Jenar. Tapi saat dia keluar dan melangkah menuju pagar, nggak berapa lama, terdengar suara sepeda motor mendekat. Motornya Jenar. Mana bawanya ngebut pula.
"Halo, Sayang." Jenar buka helm, terus endus-endus. "Wah, parfum favorit gue. Rambutnya dikuncir pula. Paripurna banget persiapannya buat ketemu gue."
"Nggak usah ge-er." Rei membantah. "Btw, lo bawa motor ngebut banget. Nanti jatuh lagi!"
"Khawatir?"
"Nanti gue yang disalahin."
"Don't worry, hon. Not gonna happen again." Jenar memberikan helm yang kemudian Rei pakai. Cewek itu naik ke boncengan, lalu bilang. "Lo udah bisa jalan."
"Belom dong."
"Hah?"
Jenar nyengir di balik helmnya, lantas menempatkan tangan Rei buat berpegangan di pinggangnya. "Nah, gini baru udah."
*
Begitu tiba di Superindo, Rei nungguin Jenar parkir motornya dulu, baru kemudian dia memimpin jalan masuk. Tadinya mau ambil keranjang beroda yang bisa ditarik, tapi ternyata Jenar lebih gercep ambil duluan.
"Lanjut jalan." Jenar berkata sembari menarik keranjang dan Rei pun mengambil benda-benda dari rak unuk dimasukkan kesana, mulai dari botol saos, kecap,mi instan, keripik, larutan penyegar, sabun, shampo... hingga mereka tiba di bagian kapas dan pembalut. Rei sempat mencari sejenak, sebelum dia tersadar kalau merek pembalut yang dia cari ada di deretan rak yang tinggi.
"Ambilin dong, yang itu, gue nggak nyampe."
Jenar mengangkat alis, dengan mudah bisa menjangkau pembalut yang dimaksud dan memasukkannya ke keranjang. "Ini unexpected. Bukannya cewek-cewek suka ngumpetin pembalut dari cowok like it's a top secret document?"
"Bukan gue." Rei mengangkat bahu. "Lagian ngapain juga ngumpetin pembalut dari lo? You've seen more pussy than I will ever do. Terus kalau jijik sama periods, kalian cowok-cowok yang mestinya mikir, kalian tuh datang dari ana."
"I'll take that as compliment." Jenar senyam-senyum.
"Lo ini bener-bener menikmati jadi buaya ya?"
"Bukannya kebanyakan cewek senengnya yang gitu? A bad boy that will only be good to her."
"Gue nggak butuh bad boy that will only be good to me. Be good to everyone. Be loyal, now that looks sexy to me." Rei menjawab sambil meraih sekotak Counterpain.
"Counterpain? What are you? A 60 years old?"
"Kalau nugas kelamaan, gue suka sakit punggung."
"Makanya nugasnya sambil senderan sama gue."
"Hadehhhhh." Rei lanjut berjalan dan Jenar masih mengikuti. Mereka berhenti di depan rak penuh Whiskas. Rei mengambil beberapa bungkus.
"Lo punya kucing?"
"Nggak. Buat disimpan di tas. Siapa tau ketemu kucing di kampus atau jalan."
Jenar terbengong sebentar, jadi teringat soal anak kucing, Rei dan payung di hari berhujan rintik-rintik.
"Suka kucing?"
"Lumayan."
"Kenapa nggak miara?"
"Alergi."
Satu lagi hal baru yang Jenar tau dari Rei.
Usai membayar belanjaan di kasir, ketika mereka berjalan ke parkiran, tiba-tiba Rei bilang. "Nanti mampir tempat makan aja."
"Lo mau makan?"
"Nggak. Tadi pas antre, gue dengar perut lo bunyi. Lo belum makan malam kan?"
Great, Jenar bahkan nggak sadar itu. Dia terperangah, memandang Rei beberapa lama. Caranya menatap bikin Rei tersadar.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa."
*
Jenar sudah bertanya beberapa kali, tapi jawaban Rei nggak pernah jauh-jauh dari, "terserah lo lah! Kan yang mau makan tuh lo. gue udah makan, paling nanti pesan minum doang!"
Jadi akhirnya, Jenar memilih tempat yang agak jauh sekalian dari kos Sadewo. Biar apa? Biar nanti pulangnya lama di jalan. Selain itu, tempat makan ini dapat dikatakan adalah tempat favorit Jenar.
Tempatnya cukup ramai, menjual American burger. Biasanya Jenar duduk di luar, biar kalau makannya sudah selesai, dia bisa lanjut merokok. Tapi kali ini, cowok itu memilih duduk di dalam. Soalnya lagi bawa cewek. Begitu duduk, mereka disamperin sama waitress tempat makannya.
"Welcome to The Jimmy's—lah, Jenar?"
Jenar menoleh, bersamaan dengan Rei. "Oh, hai! Part-time di sini?"
"Iya dan tidak. Cowok gue yang punya tempat ini."
"Lah, gue baru tau."
Cewek itu tertawa. "Tiffany bilang, lo biasanya duduk di luar kalau kesini."
"Nggak malam ini."
Cewek itu melirik ke Rei. "Gue rasa gue tau kenapa. Pacar nih?"
"Temen." Rei mengoreksi dengan cepat.
"Oh. Hai, nama gue Celia! Seangkatan sama Jenar. Tenang aja, untuk sekarang, kita teman doang, kok. In case lo kepo." Celia bercanda.
"Regina. Juniornya Jenar."
"Okay—so, may I take your orders?"
Jenar menyebutkan makanan apa saja yang dia pesan dan Rei, seperti yang dia bilang sebelumnya, hanya pesan minum.
"Namanya Celia." Jenar berujar setelah Celia melangkah pergi.
"Udah tau, dan jujur, gue nggak nanya."
"Muka lo kelihatan sepet banget." Jenar bergurau. "We dated briefly, waktu gue masih maba."
"Dia cantik."
"Lo cantik."
"Gue lagi ngomong tentang dia."
"Dan gue lagi ngomong tentang lo."
Rei memutar bola matanya dan Jenar, lagi-lagi melebarkan senyum. Memamerkan lesung pipinya yang menawan. Mereka sempat mengobrol, hingga pesanannya diantarkan. Untuk ukuran tempat yang lagi crowded, pelayanannya tergolong cepat.
"Ih, lupa bilang kalau minumnya nggak usah pakai sedotan!"
Jenar mencocol sepotong kentang goreng ke saus mayo. "Hm, kenapa?"
"Nggak boleh pake sedotan, kasian kura-kura di lautan."
Jenar ngakak. "Really? Nggak akan ada yang nyangka kalau cewek sejutek lo peduli sama kura-kura di lautan!"
Rei merendahkan suaranya. "Do I look that scary?"
"Baru nyadar?"
"Ternyata gue seseram itu."
"Buat gue pribadi, daripada seram, lo lebih ke... weirdly scary? Kayak rumah hantu pasar malam. Seram, tapi menantang." Jenar menusuk daging pakai garpu, terus menyodorkannya ke arah Rei. "Cobain. Enak, deh. Burger favorit gue yang paling dekat kampus."
Rei menerima suapan Jenar. "Enak."
Jenar senyum lebar, lanjut mengunyah sebelum bicara lagi. "Tapi nggak apa-apa. Kita berdua sama-sama sering salah dimengerti kan?"
"You have it better. Maksud gue, kayaknya kebanyakan orang suka sama lo."
"Lo nggak."
"Memang bukan gue. Tapi apa artinya satu orang kalau ada 99 orang lainnya yang suka sama lo."
"Nggak tau, mungkin karena lo lebih penting buat gue daripada 99 orang lainnya?"
Rei menyedot minumnya. "Kenapa ya, kalau ngomongin apa-apa sama lo, ujungnya tuh mesti jadi gombal."
"Itu pujian. Bukan gombal. Jujur, lo emang penting buat gue. Saat gue bilang lo cantik, ya menurut gue lo emang cantik. Gue nggak berbohong waktu gue memuji lo. Sedangkan lo..."
"Gue nggak bohong ketika gue mengejek lo."
"Em-hm. Gue sudah cukup kenyang dengar ejekan lo." Jenar terkekeh. "Now, compliment me."
"Dih."
"Come on, Regina. Menurut lo, secara jujur, sejauh ini gue orangnya gimana?"
"Hm... ganteng... senyum lo bagus... tapi kata-kata lo bisa sangat sampah... jago gombal... manja... rese... ngotot... goblok kalau lagi mabok—"
"Itu bukan pujian!"
"—bisa sangat tolol... randomly suka lucu dan nggak tau kenapa... gue rasa lo baik atau at least, nggak sebrengsek yang dibilang orang-orang."
"Lucu?"
"Like a comedian. Terkadang."
"That's new. Jarang ada yang bilang gue lucu."
"Seringnya bilang lo ganteng ya?"
"Iya."
"Nggak salah sih. Tapi yah, terlalu ganteng juga nggak bagus." Ucapan Rei bikin Jenar berhenti mengunyah. "Like... isn't it upsetting? That people are more focused and obsssessed with the way you look, but not with who you are inside?"
Jenar kehabisan kata-kata sebentar.
"Je?"
"Aduh, rasanya seperti mau menangis terharu."
"Kirain seperti menjadi Iron Man."
Jenar tergelak. "Thanks. I mean it."
Rei akhirnya menarik senyum.
"Jangan sering-sering senyum di depan orang." Jenar berujar. "Cantik. Nanti banyak yang naksir."
"Gombal."
"Pujian."
Rei tertawa kecil. "Tadi katanya lo sering kesini dan suka duduk di depan. Kenapa sekarang nggak?"
"Biasanya, biar bisa langsung nyebat."
"Terus?"
"Sekarang ngerokoknya libur dulu."
"Lah?"
"Soalnya lagi sama lo."
*
Dua hari kemudian, kos Sadewo gonjang-ganjing di pagi hari karena mati lampu. Mana kagak nyala-nyala sampai menjelang siang. Seisi kosan pusing, karena kamar mandi anak-anak tuh modelannya ada shower dan bathtub, jadi otomatis begitu listrik mati, ya nggak ada simpanan air sama sekali. Untungnya, buat urusan buang air masih lancar. Tapi namanya juga cewek ya, ngerasa kotor banget kan kalau nggak mandi.
Yumna ngomel-ngomel, sibuk nge-spam Twitternya PLN dari subuh. Rei sendiri malah keingat kalau Jenar mesti kontrol ke dokter. Nggak ngapa-ngapain sih, cuma untuk mengecek perkembangan kakinya. Terus kalau sudah nggak ada masalah, berarti clear, nggak mesti ke dokter lagi. Akhirnya, Rei dm Jenar—iya, mereka masih berkomunikasi via dm.
regina_ar: lo ada jadwal ke dokter minggu-minggu ini.
jenardigs: oit?
jenardigs: udah atur janji kok buat hari ini
regina_ar: ingetin aja. takut lo lupa.
jenardigs: thanks!
Rei sempat ragu sejenak walau akhirnya dia tetap mengirim balasan.
regina_ar: mau ditemenin?
jenardigs: ngga usah
jenardigs: gue bisa sendiri kok
regina_ar: oh ok.
Later that day, menjelang petang, Rei dapat kabar kalau Jenar dan Celia kelihatan di rumah sakit berdua.
Orang yang pertama ngasih tau tuh Yumna. Itu juga karena dia mutualan sama Celia di akun Twitternya Celia yang dikunci dan followersnya sedikit. Yumna heboh banget, buru-buru nyamperin Rei di kamarnya. Berhubung gerah karena mati listrik, keinginan Yumna untuk julid jadi menggebu-gebu. Jella yang kamarnya sebelahan sama Rei tangkas laporan ke Jenar. Namanya juga intel setia.
"Heh, lo ngapain sama Celia!?" sengaja, Jella ngabur di balkon sebelum nelepon, biar rahasia terjamin.
"KOK TAU?!"
"Wah, sori sob, tapi mau lo ini apa sih sebenarnya?! Kan gue bilang, kalau mau brengsek jangan sama temen gue!"
"Nggak. Ini salah paham.
"Tau deh, urusan lo ya bukan urusan gue."
"Rei gimana?"
"Diem aja. Tapi gue yakin dalam kepalanya sih kebakaran."
"... gue samperin aja kali ya?"
"Jangan berani-beraninya. Rei itu stoic, lempeng banget anaknya. Tapi kalau udah marah, wah lo mau jadi bahan campuran pakan bebek?"
Gara-gara Jella bilang gitu, Jenar nggak nyamperin, tapi tetap coba menghubungi lewat telepon. Nihil. Teleponnya nggak diangkat. Jadi deh dia kirim dm.
jenardigs: gue sama celia ga ada apa-apa.
regina_ar: ga nanya
regina_ar: itu hak lo, mau dianter siapa jg ke dokter
jenardigs: kalo gt kok telpon gue ga diangkat?
regina_ar: hak gue, mau angkat atau ngga
jenardigs: lo marah?
regina_ar: ngga, ngapain jg?
regina_ar: oh ya, soal acaranya kak alfa, sante aja
regina_ar: lo ga mesti nemenin gue.
*
yumna:
kosan masih mati lampu.
wifi mati. air mati.
ngga usah balik.
puas-puasin nugas, mandi ama boker di luar.
#HematAir
Rossa baru keluar dari kampus menjelang sore. Niatnya tuh mau langsung balik, terus mandi, baru lanjut nugas lagi. Tapi dapat informasi kayak gitu lewat grup anak-anak Sadewo, Rossa langsung lemas. Duh, gimana ya. Tadi pagi, dia sudah cuma cuci muka sama sikat gigi saja pakai air galon. Masa sekarang dia nggak mandi lagi? Lagian gila banget PLN, mati lampu dari subuh sampai mau maghrib nggak kelar-kelar.
Apa dia mesti numpang mandi di kosannya Lisa? Tapi kosan Lisa jauh banget di Ujung Kulon. Nih ya, kalau Rossa numpang mandi di sana, sepanjang perjalanan ke Sadewo dari kosan Lisa, dia pasti sudah keringetan lagi.
Sedang bingung, et ada yang nelepon. Tadinya cuek. Namun sewaktu sadar yang menelepon Wirya, nggak bisa cuek lagi. Rossa tersekat, berdeham biar suaranya terdengar smooth, terus baru deh dia angkat.
"Halo?"
"La vi en Rossa!" Wirya berseru, bikin Rossa refleks tersenyum.
"Hai! Kenapa?"
"Kalau nggak salah, katanya kemarin lo lagi nyari bukunya Doxiadis ya? Gue ada nih. Ternyata dulu pernah beli buat salah satu paper."
Tajir, bebas.
"Oh ya?!" Rossa sudah nyari buku itu kemana-mana, tapi nggak nemu. Di perpustakaan sih seharusnya ada ya, tapi statusnya masih dipinjam sedangkan deadline pengumpulan tugas makin dekat. Mau beli? Sayang banget, mending Rossa beli liptint selusin. "Boleh pinjem?!"
"Boleh dong. Makanya kan sekarang gue kasih tau lo."
"Lo di mana sekarang?"
"Di kosan."
"Gue kesana ya?"
"Sip. Gue tunggu!"
"Wokaaaaaay!"
Belakangan ini, Rossa memang jadi dekat sama Wirya. Nggak sengaja. Setelah scrunchienya ketinggalan dan dibalikin sama Wirya tempo hari, mereka beberapa kali ketemu. Ternyata, gitu-gitu Wirya tuh suka jajan thai tea dan dia sering beli di tempat Rossa biasa beli. Kerap berjumpa di kedai thai tea, mereka jadi sering mengobrol.
Kelihatannya, Wirya memang pendiam. Sebenarnya, Wirya tuh pintar dan sangat baik. Apalagi kalau sudah mengobrol, dia tau banyak topik. Rossa senang saja ngobrol sama Wirya. Terus, Wirya orangnya sabaaaaaaarrrr banget. Nggak banyak kata, namun peka luar biasa.
Tunggu, kenapa sekarang Rossa jadi memuji-muji Wirya?
Wirya itu cuma temen! Rossa berkata dalam hati. Meski terus-terang, pertemanannya dengan Wirya bikin Rossa lupa pada obsesinya mengejar hati Milan. Nggak apa-apa sih. Capek juga kan bucin sama cowok yang nggak balik melirik sama sekali.
Rossa ke kosan Wirya naik ojek dan ternyata orangnya sudah nungguin di teras.
"Kenapa nggak bilang? Daripada naik ojek, mending gue jemput."
"Nggak apa-apa. Nggak mau ngerepotin."
"Lah, kalau guenya suka direpotin gimana?" Wirya mengangkat alis.
Rossa menunduk untuk menyembunyikan senyum juga rona di pipinya. Wirya tertawa, memimpin jalan masuk ke kosan dan Rossa mengikuti. Milan sama Jaka lagi tiduran di karpet sambil main hp. Begitu lihat Rossa, Jaka langsung bangun.
"Astaga, queen gue ngapain di sini?!"
"Diam." Rossa mendelik pada Jaka. "Nggak usah kwan-kwin-kwan-kwin, gue bukan kwin lo!"
"Lo queen di hati gue."
"Gombal jamet." Rossa memutar bola mata, lanjut berjalan menuju kamar Wirya, tapi tangan Jaka menahan kakinya. Sambil masih tiduran, cowok itu memandang Rossa yang berdiri.
"MAU KEMANA?!"
"Kamar Wirya."
"MAU NGAPAIN?!!!"
"Enak-enak." Rossa menjawab asal, membuat Wirya refleks terbatuk.
"DIH KOK CURANG?!!"
"Apanya yang curang?" Rossa mengangkat alis.
"Kalau mau udahan naksir sama Milan, pindahnya ke gue dong, jangan ke Wirya!!"
"Coba lo jadi anak juragan toko emas dulu, Ka, baru ngomong gitu." Yuta yang baru keluar dari dapur sambil menggigit plastik tahu gejrot di mulutnya berkata. "Cewek mana pun jelas bakal milih Wirya daripada lo!"
"Alah, belom aja di-test drive, udah mastiin gitu." Jaka berpaling pada Rossa. "Ros, gue memang bukan anak juragan toko emas dan berlian yang bisa memberi lo segalanya, tapi gue punya hati yang setia, tulus padamu apa adanya!"
"Najong anjing!" Milan ngakak, melempar Jaka pakai bantal sofa. Wirya geleng-geleng kepala, sedangkan Yuta ikut tertawa.
Rossa memutar bola matanya, bermaksud menyentakkan kakinya agar lepas dari genggaman tangan Jaka sewaktu hp-nya bergetar lagi. Ada pesan baru di grup Sadewo. Masih dari Yumna.
yumna:
ada gardu yang meledak.
gue telp PLN, katanya perbaikannya 3-4 hari.
sakura:
APA MAKSUD KAK
yumna:
listrik gabakal nyala sampe 3-4 hari ke depan.
jinny:
ANJIM GUA MANDI GIMANA
sakura:
*astagfirullah
anak pesantren kok ngomong anjim.
jinny:
udah bukan anak pesantren.
jella:
PLN BANGQEEEEE
rei:
terus gimana?
yumna:
gaada jalan lain.
selamat mengungsi ke kosan teman-teman yg tidak mati listrik.
goodluck.
jella:
lo ngungsi kemana, blay?
yumna:
tempat mantan. soalnya deket dari kampus.
jinny:
bang atuy????
yumna:
yoi.
harsya:
alhamdulillah punya jackson.
jella:
LO MAH PROGRAM BIKIN ANAK BERKEDOK NGUNGSI
yumna:
kalo gamau ngungsi ya siap-siap aje ga mandi 4 hari.
sakura:
kalo gapunya pacar gimana, kak?
yumna:
yak inilah saatnya kalian para angels sadewo membuktikan pesona kalian.
gunakan kelebihan kalian sebage perempuan untuk mendapat tempat ngungsi.
rei:
ros, lo gimana ros? @Rossa
yumna:
dia mah tingal milih antara tempat jaka atau wirya.
rossa:
kok wirya?!!
yumna:
GAUSAH BOONG, GUE TAU LO LAGI DEKET SAMA WIRYA
lagian masih aman lo sama wirya drpd jaka.
Saking pusingnya, Rossa nggak tau harus balas apa.
to be continued.
***
a/n:
so sorry it took so long for this new chapter hahaha
untuk yang suka mantengin igstory mungkin kalian sudah bisa menerka kemana arah wirya-jaka-rossa (+milan) yha haha tapi kita akan liat nanti.
soal yuta sama yumna, belom balikan wkwkw tapi ya gitu deh.
mungkin nanti rada malem kalo sempet gue akan coba posting finding mommy juga, tapi kalo ga sempet mungkin digeser jadi besok. untuk cerita lain kayak noceur atau GoTG menyusul ya di minggu ini. mungkin dream catcher juga karena gatau kenapa gue tiba-tiba ingin menulis tentang chenle dan jisung wkwk
dah kayanya itu aja.
makasih buat semua yang sudah vote, comment dan menunggu di chapter sebelumnya.
and also, congrats for nct's new achievements! so happy that the fandom is growing. semoga tetap kondusif dan humble ya.
aku pribadi suka banget sama faded in my last song dan make a wish dan light bulb dan misfit (semua lagunya enak sebenernya huhu) kalian gimana?
dah sekian dan terimakasih.
ciao.
***
October 13th 2020 | 18.50
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro