Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17 | birthmark

SEKITAR SATU SETENGAH BULAN KEMUDIAN.

Pagi baru dimulai lagi. Rei mengernyit, merasakan sesuatu yang empuk di bawah kulitnya, juga selimut dengan wangi parfum dan pelembut yang tidak familiar buat hidungnya. Masih dengan mata yang terpejam, dia mengernyit. Terdengar suara seseorang menggeser gorden sampai terbuka. Matahari sudah naik di luar. Garis cahayanya menyorot ke wajah Rei seperti lampu halogen, bikin dia merasa silau walau matanya tertutup rapat. Rei mengeluh samar, suaranya keluar seperti bisikan.

"Oy, bangun." Tiba-tiba ada yang mencolek sisi badan Rei pakai jempol kaki. Rei refleks membuka mata saat sadar itu suara Jenar. Dia kontan bangun dari posisi berbaring ke posisi duduk. Gelap sejenak, butuh beberapa saat buat Rei bisa melihat sekelilingnya dan dia sadar, dia tadi terbaring di atas karpet tebal, dengan bantal dan selimut.

Tunggu...

Ini kok tempatnya...

Kayak kenal...

"Jenar?!'

"That's me, babe." Jenar bertolak pinggang di depan Rei, berdecak. Dia kelihatan happy tapi tengil.

"Hah—"

"Kalau lo mau nanya ketika tidur lo ngiler apa nggak, jawabannya adalah... nggak."

"Bentar..." Rei mengerjap berkali-kali. "Jadi yang semalem itu..." Kata-kata Rei tertahan di tenggorokan. "KOK GINI SIH?!!"

"Lo inget?"

"NGGAK!!!"

"Jangan bohong." Jenar terkekeh, dari yang tadinya berdiri, kini dia duduk. Dia menumpukan tubuh pada kedua telapak tangannya yang melekat ke karpet, lalu mencondongkan badannya ke arah Rei. Tentu saja, Rei langsung menarik punggungnya ke belakang untuk mempertahankan jarak diantara mereka.

"J—Je—"

Jenar tersenyum simpul. "Lo inget."

Rei tercengang, terlihat sangat lost hingga Jenar bicara lagi. "Udah ingat beneran apa belom nih?"

"... DIAM!!!"

"Kalau belom inget, gue ingetin sini."

"NGGAK PERLU!!" Rei menggeser duduknya mundur, memicu tawa Jenar buat pecah.

"Oh, udah inget." Gitu katanya.

"NGGAK INGET!!!"

Gelak jenar mengeras. Ngakaknya betulan terkesan meledek. Mana puas banget, sampai suaranya menggema di ruangan. Berat suaranya bikin Rei teringat pada tawa bapak-bapak yang suka nongkrong bareng di tempat pemancingan sambil minum kopi hitam. Lantas, dia menggeser lagi posisi duduknya untuk mengeliminasi rentang tambahan yang tadi Rei ciptakan.

"Kayaknya lo butuh bantuan buat mengingat, deh." Jenar membungkukkan badan, jadi wajahnya tiba-tiba saja terasa begitu dekat seperti gambar yang sedang di-zoom. "... sini."

Rei makin panik ketika Jenar membasahi bibir bawahnya, bikin cewek itu buru-buru menutup bibirnya sendiri pakai telapak tangan. "NGGAK USAH!!!"

"Jadi... udah inget apa belum?"

"UDAH!!"

Jenar ternganga sebentar, tawanya lenyap tanpa bekas. Kemudian perlahan, senyumnya merekah lagi. Lebar, mengangkat kedua pipinya, mendorong kedua matanya untuk bertransformasi ke dalam sepasang bulan sabit. "It was mindblowing, right?"

"Apanya?"

"Our first kiss."

*

SATU SETENGAH BULAN SEBELUMNYA.

Waktu Rossa cerita soal Jella dan Milan ke Yumna, ternyata respon Yumna nggak jauh beda dengan Rei. Rossa sama Jella harus duduk berdua dan ngomong baik-baik. Yumna yang biasanya bar-bar dan tukang julid, nggak tahu kenapa bisa tiba-tiba sebijak soal masalah Jella dan Rossa. Mungkin karena dua-duanya temannya kali ya? Di mana-mana, ghibah itu hanya akan enak selama orang yang dighibahin bukan kita sendiri, atau dalam kasus ini, teman-teman terdekat kita.

"Jella nggak salah, karena Milan sama lo nggak ada hubungan apa-apa. Salahnya dia adalah nggak jujur sama lo dari awal, tapi itu bisa dimengerti. Maksud gue, jujur itu butuh keberanian. Dia bisa aja takut nyakitin hati lo."

Rossa diam, mendengarkan Yumna dengan sebaik-baiknya sementara Jinny dan Sakura duduk di dekat mereka. Jinny lagi sibuk mengupas pepaya. Katanya mau bikin smoothie untuk hidup yang lebih sehat. Akhir-akhir ini, cewek itu juga rajin zumba sih. Mungkin sudah capek jadi cewek alim, sekarang Jinny pengen putar haluan jadi cewek bohay.

"Lo juga nggak salah, wajar kalau lo merasa rada gimana gitu, soalnya lo udah lama suka sama Milan dan Jella jelas tahu itu."

"Terus kalau nggak ada yang salah, kenapa bisa jadi masalah, Kak?" Sakura iseng bertanya.

"Kata siapa nggak ada yang salah, Kur?" cara Yumna menyingkat nama Sakura berhasil bikin Sakura manyun. Padahal ya kenapa nggak 'Ra' atau 'Sa' sih? Kenapa harus 'Kur'?

"Lah, tadi Kayum bilang sendiri."

"Maksud gue, diantara Jella sama Rossa, nggak ada yang salah. Yang salah siapa? Milan dong. Dari semua cewek yang bisa dia pepet, ngapain mepet ke Jella? Udah tau, Jella sohib kental sama Rossa yang sudah naksir dia dari lama!!" aura julid Yumna yang tadinya samar kini menegas kembali.

"Kan soal perasaan tuh nggak bisa dipaksain, Teh." Jinny ikut ngomong.

"Itu berlaku buat cewek doang. Kaum kita tuh kalau sayang pake hati, Jin!" sekarang gantian Jinny yang cemberut pada cara Yumna menyingkat namanya. Tapi namanya Yumna, sudah jadi rahasia umum kalau dia suka memanggil orang seenak udelnya—dia sendiri pun masa bodoh saja ketika orang lain memanggilnya Yuju atau Ujuy.

"Kalau cowok sayangnya pake apa, Kak?"

"Pake mata sama pake konti lah!" Jinny langsung keselek karena ke-blak-blak-an Yumna yang nggak tanggung-tanggung. Walau begitu, keterkejutan Jinny nggak membuat Yumna berhenti nyerocos. "Milan selama ini lengket sama Juwita, sering putus-nyambung. Baru-baru ini beneran bubaran setelah perdramaan bersemester-semester. Menurut lo, tau-tau dia jatuh cinta sama Jella terus mau insyaf gitu? Kagak! Cerita kayak gituan mah cuma ada di Pesantren Rock & Roll, mana ada di dunia nyata! Kalau ada beneran, si Jinny udah jadi istri orang kali sekarang!"

Jinny bersungut-sungut. "Giliran yang jelek-jelek aja, gue yang dijadiin contoh."

"Di sini kan cuma lo yang pernah mondok di pesantrennya Wak Iji." Yumna menukas, berpaling lagi pada Rossa yang kelihatan berpikir keras. "Intinya gitu deh, Ros. Ini masalah lo sama Jella. Selesain baik-baik. Gue nggak bisa taking sides di sini. Tapi ya pada dasarnya, setiap masalah memang kudu diselesaikan baik-baik."

"Lo sama Bang Yuta nyelesein masalah nggak baik-baik."

"Beda kasus. Dia buaya."

"Kayaknya di mata lo semua laki-laki tuh buaya, Teh."

"Emang. Gue kasih tau ya, semua cowok berpotensi jadi buaya!"

"Bahkan yang alim sekali pun kayak Kak Kun, Teh?"

"Kun cowok bukan?"

"Nggak tahu sih, Teh, dari luarnya mah iya. Terus pacaran sama cewek juga."

"Berarti dia ada potensi jadi buaya juga, cuma levelnya aja yang berbeda."

"Kalau Kak Kun di level mana, Teh?"

"Masih telor. Tunggu kebanting aja, nanti juga netas."

"Kalau si Lanang?"

"Level belajar jalan lah dia."

"Kalau Bang Yuta?"

"Level berenang sambil merem tapi kalau nerkam, bisa tepat sasaran."

"Kalau Kak Jenar?"

"Dia yang punya satu rawa."

Tawa Jinny dan Sakura meledak, tapi nggak dengan Rossa yang tampak masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Sori banget, Ros." Yumna tahu-tahu kembali bicara, menyentak Rossa keluar dari lamunannya dan berhasil membuat cewek itu menoleh lagi untuk memandang Yumna. "Wajar kok kalau lo merasa nggak adil. Tapi dalam cinta, akan selalu ada bagian bangsat yang mau nggak mau harus kita terima dengan lapang dada. Kayak.. ya kalau nggak ada bangsatnya, namanya bukan cinta. Gue rasa, marah berlebihan juga nggak akan menyelesaikan masalah—"

"Ya ampun!" seruan Sakura memutus khotbah yang sedang Yumna sabdakan.

"Apaan sih?!" Yumna bete, karena sesi golden waysnya terpotong secara tidak beradab.

"Bang Yuta lagi makan gelato sama Clara. Si Clara update."

"Clara teman sedepartemen lo itu, Sa?" Jinny memastikan.

"Yoi, yang jadi brand ambassador produk KARD Slimming Capsule itu."

"Mana coba lihat?!!" Yumna hampir naik darah, tapi berusaha kalem. Dia ingin hidup sesuai dengan petuah yang barusan dia suarakan buat Rossa, namun ketika melihat update-an Status WhatsApp Clara yang dimaksud Sakura dan menyaksikan bagaimana kafe tempat mereka makan gelato kelihatan sangat familiar, Yumna pun meledak.

Dia mengeluarkan hp-nya, langsung nge-chat Yuta.

"HEI BANGSAT BERANI-BERANINYA KAMU MENGAJAK PEREMPUAN JALANG ITU KE—"

Yumna berhenti mengetik. Oke, itu sinetron banget. Yuta bukan Dude Herlino dan dia bukan Naysila Mirdad. Yumna buru-buru hapus apa yang sudah dia ketik dan ganti mengirimkan pesan yang lebih... halus.

Ngga ada referensi tempat date lain yang bagus?
Sampe kudu bawa dia ke tempat yang selalu kita datengin dulu?

"Kayum, lo ngapain?"

"Nge-chat si buaya buntung."

"Siapa?"

"YUTA LAH, MASA TEKNISI INDIHOM?!"

"Buset, nge-gas banget, Teh..."

"Gue nggak terima ya! Dia ngajak si Coro itu ke angkringan yang gue rekomendasiin ke dia! Sekarang tempat gelato! Nggak kreatif banget!"

"Inget, Kak. Sabar. Dalam cinta, akan selalu ada bagian bangsat—"

"Sakura, lo bisa diem nggak?"

"Ampun, Kak."

*

Kosannya Tigra tuh kayak basecamp sekumpulan vampir. Kalau siang, sepi banget karena sebagian kuliah, sedangkan yang lagi nggak ada kelas atau kelasnya sudah kelar lebih suka membuang waktu buat kelonan sama kasur. Di malam hari, baru deh hidup, gegap-gempita. Soalnya pada ngerjain tugas, atau ya kalau lagi nggak ada tugas, main kartu remi sambil minum congyang—ini sih kalau misalnya Tigra lagi libur jadi sponsor ya. Tigra sendiri anti banget mimik-mimik pake congyang. Katanya, cuma jamet yang mengejar kemabokan yang hakiki pake congyang.

Hari ini, kelasnya Tigra di-cancel sepihak sama dosennya di jam-jam terakhir. Teman-temannya Tigra pada menggerutu, tapi Tigra santai saja soalnya dia belum berangkat. Kosan sepi, jadi sengaja dia mengungsi ke kamar Dhaka buat mengerjakan tugas sekalian meminjam kursi dan meja belajarnya Dhaka. Musik mengalun memenuhi ruangan. Lagunya Cigarettes After Sex. Judulnya Apocalypse.

Dhaka membiarkan, masih santai rebahan di atas kasurnya sendiri seraya memandang langit-langit hingga mendadak, sebuah tanya terlontar darinya.

"Lo sadar nggak sih kalau akhir-akhir ini tuh Rei jadi jauh dari kita?"

"Harsya juga."

"Harsya kan lagi sibuk sama Jackson. Wajar aja."

"Terus Rei nggak wajar gitu?" Tigra sibuk menulis, menarikan pulpennya di atas kertas. "Dia kan lagi sibuk sama Jenar."

"Gue ngerasa Jenar nggak baik deh buat Rei."

"Rei juga nggak baik buat Jenar."

"Terus kenapa lo tenang-tenang aja?"

"Dua-duanya sama aja. Bagus, bisa saling menyeimbangkan." Tigra tertawa kecil. "Malah gue rasa, Rei yang lebih nggak baik buat Jenar. Kalau disuruh kasian, orang mana pun juga kasiannya bakal sama Jenar, bukan Rei."

"..."

"Regina Arunika is one of a kind. A sweetheart, of course, but she's... a nightmare dressed like a daydream." Tigra masih fokus pada pekerjaannya, sementara kini Dhaka sudah nggak lagi rebahan di kasur, telah menukar posisi berbaringnya dengan posisi duduk. "Heartbreak is somethin inevitable when it comes to her. Tapi ya, buat orang yang selalu dipuji-puja cewek-cewek di mana-mana, Rei bisa jadi ngasih Jenar sedikit pelajaran."

"Tapi kan—"

Tigra meletakkan pulpennya di atas meja, mengubah sedikit duduknya, jadi dia bisa menatap Dhaka. "I was with her. Berapa tahun sih kita kenal Regina? Lo kenal dia paling lama. Yet, she still doesn't let us get thru her wall. Lo kira, Jenar bisa? Memangnya dia siapa?"

"Ck."

Tigra memiringkan wajah. "Or, just admit it. And say it."

"Say what?"

"Lo jealous kan?"

"..."

"Semuanya terserah lo sih ya." Tigra kemballi menghadapi meja dan meraih pulpennya. "Cuma mindset gue begini; kalau lo coba ketuk sebuah pintu, akan ada dua kemungkinan. Dibuka atau nggak. Tapi kalau lo nggak pernah coba ketuk, selamanya pintu itu akan terus tertutup."

*

Rossa paham maksud Yumna sama Rei yang nggak bisa taking sides tuh gimana, cuma tetap saja, dia nggak bisa merasa kalau dia sendirian. Dia sama Jella juga sudah seminggu lebih nggak pernah bicara sama sekali. Jella kelihatannya menghindari Rossa dan Rossa juga, kalau bisa nggak menempatkan dirinya dalam situasi yang memaksanya mesti bicara sama Jella. Untungnya, mereka berbeda departemen. Jadi selain di Sadewo, ya mereka nggak akan ketemu di luar. Bisa jadi ketemu di tempat makan atau minimarket sih, tapi kesempatannya kan kecil banget.

Sore ini, habis kelar kelas di kampus, Rossa sengaja mampir dulu ke ATM buat narik uang. Dia lebih sering cashless sih, tapi bagaimana pun juga harus selalu ada uang cash kan. ATM lagi cukup rame dan sialnya, Rossa kebagian antrean paling belakang. Dia berdiri, menyibukkan diri dengan main hp hingga terdengar sebuah suara menegurnya.

"Lavienrossa?"

Rossa menoleh, mendapati Wirya sedang berdiri di belakangnya. Seperti biasa, Wirya selalu kelihatan rapi. Dari semua anak kosannya Tigra, kayaknya Wirya ini yang paling bonafit buat dibawa ketemu orang tua. Penampilannya nggak nyentrik kayak Tigra yang rada gondrong, bertato dan pakai anting, pembawaannya nggak terkesan tertutup dan kurang ramah kayak Dhaka, nggak juga hobi cengengesan kayak Milan atau slengean banget kayak Yuta. Dia selalu pakai baju yang warnanya kalem, kebanyakan monokrom. Rambutnya dipotong dengan pas, nggak kepanjangan atau kependekan. Jam tangan mahal melingkari pergelangan tangan. Baunya khas bau cowok yang banyak duit, tapi belum jadi bapak-bapak.

"Oh, hai!" Rossa balik menyapa.

"Mau ngap—oh, oke. Pertanyaan itu bodoh. Lo ada di ATM, ya jelas lo mau ambil duit dong ya."

Rossa nyengir. "Lo juga mau ambil duit?"

"Iya. Nih gue ngantre di belakang lo."

"ATM bank sebelah kosong tuh, Ya. ATM lo lebih dari satu kan? Milan pernah bilang. Mending ambil dari sana aja, soalnya kayaknya bakal lama nih yang ini." Rossa mengarahkan tatapan pada ibu-ibu setengah baya yang berdiri di depan mesin ATM. Kayaknya dia mau menyetorkan uang ke ATM dan jumlahnya cukup banyak—sampai dikaretin segala—makanya lama. Heran deh ya, kenapa nggak langsung ke teller saja.

"Nggak apa-apa, gue mau ngambil duit dari ATM yang ini." Wirya tersenyum sedikit, lalu tahu-tahu dia mencondongkan badan ke depan. Bibirnya berbisik di dekat telinga Rossa. "Sori, ini mungkin kedengaran sudden banget, tapi dari tadi, ada bapak-bapak yang ngelihatin bagian belakang badan lo dari belakang. Intens banget. Gue jadi ngerasa rada nggak nyaman dan—well, let me try to help you? Gue berani sumpah, ini bukan modus."

Rossa terperangah, refleks menatap ke satu arah dengan gerakan yang nggak kentara dan dia sadar, apa yang dibilang Wirya itu benar. Memang ada bapak-bapak berkemeja cokelat yang memandangnya seperti orang lapar baru melihat makanan.

Rossa mendesah pelan, balik berbisik pada Wirya. "Sori, harusnya gue nggak pake rok hari ini."

"Kenapa minta maaf?" Wirya memandang Rossa dengan satu alis yang terangkat. "Apa yang lo pake nggak lantas membenarkan tindakan nggak patut kayak gitu, kan?"

Rossa terdiam, nggak tahu harus bicara apa sebab, jujur saja itu kali pertama dia mendengar kata-kata semacam itu dari mulut seorang cowok.

"Kalau gitu, gue minta maaf karena udah bikin lo repot."

"Kita kan saling kenal. Dan gue juga lagi nggak terburu-buru. Santai aja. Lagian, lebih seru nunggu antrean kalau ada temannya kan?"

*

Selama setidaknya dua minggu berikutnya, Rei dibuat lelah mengurusi Jenar yang mendadak jadi banyak mau. Urusan disuapin karena tangan sakit hanya permulaan. Pernah, cowok itu meneleponnya hanya untuk bertanya gimana cara membedakan garam atau gula. Pernah juga, memanggil Rei ke apartemennya cuma buat membukakan tutup selai kacang. Rei kepingin marah, namun rasa bersalahnya jauh lebih besar.

Seandainya saja hari itu Jenar nggak datang ke kampus buat menjemputnya, cowok itu tidak akan mengalami kecelakaan yang bikin tangannya harus dijahit dan mengharuskannya berjalan dengan bantuan kruk setidaknya untuk sebulan lagi. Tulang kakinya mengalami retak pendek yang tergolong minor, tapi dokter tetap menganjurkannya memasang gips untuk meminimalisir resiko.

Saat Rei bisa sedikit bernapas, Johnny meneleponnya, mengatakan mereka perlu mendata alamat anak-anak kampus yang akan dikirimi hampers beserta undangan pernikahan Alfa dan Sierra. Belum lagi memeriksa ulang mana teman-teman terdekat yang akan datang khusus untuk acara lamaran dan tukar cincin bersama dua keluarga. Ini karena Sierra punya kesibukan sendiri dan Alfa juga sudah sangat jarang ke kampus. Walau begitu, ada cukup banyak teman Alfa yang masih berada di kampus, jadi khusus untuk undangan anak-anak kampus, akan di-handle Johnny dan Rei.

Tadinya, Johnny mau datang ke tempat Rei, namun berhubung dia sendiri lagi dikejar deadline tugas dan Rei sedang lebih senggang, dia mengalah dan datang ke apartemen Johnny.

By the way, ternyata Johnny tuh tinggal satu tower sama Jenar, hanya berbeda lantai saja.

"Sori banget ya, Rei." Johnny berkata begitu saat Rei sampai. Dia menawari Rei banyak pilihan minuman dan snack, tapi Rei hanya tersenyum sopan dan bilang dia sudah makan.

"Nggak apa-apa, Kak. Lo selesein aja dulu tugas lo." Rei menjawab begitu, berusaha terdengar santai walau sebenarnya dalam hati mah sudah konser akbar.

Rei duduk lesehan di depan meja berkaki rendah. Johnny duduk bersila di atas sofa sambil memangku laptop. Mereka sama-sama fokus dengan pekerjaan masing-masing hingga dua jam berikutnya. Sunyi, Johnny dan Rei hanya bicara sesekali. Tapi nggak tahu kenapa, itu bukan jenis keheningan yang terasa nggak nyaman. Sehabis Johnny menyelesaikan tugasnya, baru dia bergabung membantu Rei mendata alamat. Waktu semua alamat selesai di data dan dibuat ke dalam sebuah file Excel yang rapi, ternyata jarum pendek jam dinding telah merambat menuju angka satu malam.

"Mau pulang?" Johnny bertanya setelah merapikan sisa pekerjaan mereka. "Tapi di luar hujan gede banget. Mobil gue masih di tempatnya Kun. Dan jujur aja, ngebiarin lo balik naik taksi online kedengeran agak meragukan buat gue. Udah jam segini soalnya." Johnny meneruskan kata-katanya sambil berjalan menuju pintu balkon dan menggesernya, membuat bunyi dan aroma hujan menelusup masuk ke dalam ruangan.

Hujan tengah malam... sepi... dan menenangkan.

Rei menyukainya.

"Hng... kalau gue nunggu reda, lo keberatan nggak, Kak?"

Johnny justru tertawa. "Lo nginep aja gue nggak keberatan kok."

Jantung Rei kayaknya sempat berhenti, meski cuma sepersekian detik.

"Wah, guenya yang nggak enak, Kak. Ganggu lo banget. Ini kan waktu istirahat."

"Dienakin aja."

"Hng..."

"Gue bercanda." Johnny menukas cepat, khawatir Rei berpikir yang nggak-nggak karena sahutan refleksnya. "Sori."

Terus-terang, Rei agak kaget ternyata Johnny bisa ngomong seperti itu. Kayak apa ya... kata-kata yang merujuk pada candaan aneh-aneh itu kan spesialisasinya seorang Jenar. Soalnya ibarat kata mulut Jenar itu Bantargebang, maka mulut Johnny adalah Pondok Indah Mall. Tapi ya ngapain juga Rei kepikiran Jenar sekarang?

"Oke, Kak. Gue tunggu hujannya reda aja."

"Tapi hujan kayak gini bakal lama sih, Rei. Btw, lo mau pintunya gue tutup apa nggak? Soalnya gue suka nyium bau hujan gini."

"Buka aja, nggak apa-apa, Kak."

"Oke." Johnny tersenyum lagi. "Oh ya, mau ngopi nggak? Gue sekalian bikin buat berdua kalau mau."

Buat berdua...

Oke, cuma perkara minum kopi berdua. Nggak sama dengan ajakan mengarungi kehidupan berdua. Rei mengingatkan dirinya sendiri.

"Hng... gue jarang minum kopi, sih."

"Ah ya, lupa. Tigra pernah bilang, katanya lo lebih tepat dibilang anak teh banget. Tapi gue nggak punya teh. Kalau cokelat panas mau?"

"Mau sih, tapi nggak usah repot-repot, Kak."

"Nggak apa-apa. Gue suka direpotin sama lo."

Ya Tuhan... rasanya Rei kepingin ge-er betulan.

Tapi ya mana sempat, keburu ada yang nge-chat lewat dm.

jenardigs: ngga bisa tidur
jenardigs: tangannya sakit :(
regina_ar: ngga usah manja ya, perban lo udah dilepas kemaren.
jenardigs: kan masih sakit :(
regina_ar: terus mau lo apa?
jenardigs: temenin ngobrol
jenardigs: gue telpon.
regina_ar: ngga
jenardigs: jahat banget.
regina_ar: lagi ngga bisa, lagi ga di kosan.
jenardigs: JAM SEGINI NGGA DI KOSAN?!!
jenardigs: DI MANA?!!

Sialan, Rei keceplosan.

Nyesal banget dia sudah balas begitu ke Jenar. Salahnya juga sih. Sudah tahu kalau Jenar bisa sangat rese. Rei sempat bingung, walau akhirnya dia memilih mengabaikan chat Jenar. Johnny balik lagi ke ruang tengah sesaat kemudian, bawa dua cangkir di tangan. Ketika Johnny mengulurkan cangkir isi cokelat panas ke Rei, tangan mereka nggak sengaja bersentuhan.

Lantas dua-duanya terdiam...

Hingga hp Rei bergetar tanpa henti gara-gara ada telepon masuk dari Jenar. Rei melirik sekilas layar hp-nya. Tadinya nggak mau ngangkat, tapi Johnny malah nyeletuk.

"Siapa tuh? Kayaknya persistent banget buat nelepon. Dicek aja, Rei, siapa tau penting."

Rei memaksakan senyum, menjawab telepon dari Jenar dengan setengah hati.

"DI MANA?!!"

"Lo mau bikin gue budeg ya?!!"

"Lo mau bikin gue jantungan ya?!!" Jenar tidak mau kalah, walau tak lama, suaranya melunak. "... di luar ujan..."

"Becyek... nggak ada ojyek..." Rei sengaja meledek.

"Lo di mana?!!"

"Di suatu tempat."

"Di mana?!!"

"Itu Jenar?" didorong rasa penasaran, Johnny bertanya—dan tentu saja, suaranya terdengar oleh Jenar.

"HEH!!!!!!!! LO DI TEMPAT JOHNNY?!!!!"

Ada sesuatu dalam seruan Jenar yang bikin Rei merasa takut sendiri. Impulsif, dia mematikan teleponnya secara sepihak. Johnny mengernyit, memandangnya heran.

"Kenapa sih? Itu beneran Jenar?"

"Kak, ini gue nanya serius ya. Jenar tahu nggak kalau lo tinggal di sii juga?" Rei mulai kalut, rasanya kayak Timun Mas yang mau dijemput Buto Ijo.

"Tau. Kita aja dulu pindahan kesini bareng."

"HAH?!!"

"Kenapa sih kok kayaknya panik banget?"

"Menurut lo, Jenar tuh gila pemula apa gila sempurna?"

"... cukup gila sih."

"Kak, tolong umpetin gue di mana pun—gue—"

Rei panik beneran saat ada suara ketukan di pintu unitnya Johnny, mana ketukannya nggak nyantai gitu, seakan dia siap mendobrak pintu kalau nggak segera dibuka.

"ITU PASTI JENAR!!! DIA TAHU GUE DI SINI!!"

"Kalau tau, emangnya kenapa?" Johnny menelaah ekspresi di wajah Rei, lantas menghela napas, "Nggak usah takut. Ada gue. Dia nggak bakal bisa ngapa-ngapain. Ya, emangnya dia ada hak apa ngapa-ngapain lo?" Johnny berdecak, berjalan menuju pintu dan secara instingtif, Rei menganggap cowok jangkung itu adalah satu-satunya pelindung yang dia punya. Jadi dia mengekori Johnny, berlindung di balik punggungnya yang lebar.

Waktu pintu dibuka, ternyata sesuai dugaan Rei, itu memang Jenar. Terdorong refleks, Rei meraih lengan Johnny, makin menyembunyikan dirinya di belakang cowok itu.

"LO NGAPAIN JAM SEGINI DI SINI?!" Jenar bertanya dramatis, kayak suami yang barusan menggrebek perselingkuhan istrinya.

"Lo yang ngapain jam segini di sini?" Johnny menukas.

"Tolong ya, gue ngomongnya ke Regina, bukan ke Johnny!" Jenar nyolot, berusaha terlihat sangar yang jatuhnya justru lucu, karena tangannya masih diplester dan dia jalan dengan bantuan kruk.

Kalau Johnny sejahat mamak tiri di film-film, dengan sekali tendang saja itu kruk, Jenar pasti sudah tersungkur dengan malangnya ke lantai.

Namun Jenar nggak sendirian. Rei juga bersikap sangat dramatis, tetap bercokol pada lengan Johnny. Johnny jadi bertanya-tanya, kenapa dua orang ini bertindak seakan-akan mereka baru saja melompat keluar dari adegan drama kolosal saluran TV Lele Terbang.

"Lo berdua kenapa sih?!"

Pertanyaan Johnny membuat Rei terperangah, lantas berpikir pada dirinya sendiri.

Iya juga... ngapain gue kaya gini, anjir?

Lalu dengan segenap penyesalan, dia melepaskan tangannya dari lengan Johnny.

"Oke, Je, ini nggak seperti yang lo pikir—"

"Tunggu," Jenar mengangkat salah satu tangannya ke udara, memejamkan mata dan menarik napas seperti sedang menahan luka di dalam dada. "Bisa biarin gue masuk dan duduk dulu nggak? Kaki gue nih belum sembuh sempurna. Pegel kalau dipake berdiri lama-lama."

"Yaudah, masuk aja—"

"GUE NGOMONG KE REI!!" Jenar nge-gas lagi.

"Tapi kan... ini tempatnya Johnny..." Rei membalas.

"Hm, betul juga." Jenar tersadar. Tapi memang dasarnya nggak tahu malu, dia nyelonong masuk. "Masa bodo."

"Gue di tempat Johnny buat ngedata alamat untuk kirim hampersnya Alfa sama Sierra. Itu buktinya, baru kelar setengah jam yang lalu."

"Terus?" Jenar duduk di sofa, memasang wajah bengis selayaknya HRD yang sedang meng-interview calon pekerja.

"Ujan. Gue nggak bisa pulang."

"Mobil gue di tempat Tigra." Johnny menambahkan. "Tapi emangnya kalian ada hubungan apa sampai Rei kudu menjelaskan."

"Ada nggak ada, itu bukan urusan lo." Jenar menukas sewot, terus tahu-tahu matanya terarah pada dua cangkir yang masih terisi di atas meja. "John,"

"Apa?"

"Itu kopi?"

"Menurut lo?" Johnny bertanya sarkastik.

"Mau juga."

Rei mendengus keras. "Nggak usah ngerepotin Kak Johnny!"

"Ih apa sih—"

"Yaudah, ayo!"

"Ayo mulai saling mencintai?" Jenar mengangkat salah satu alisnya.

"AYOK KE TEMPAT LO!!" Rei berseru keras. "Canta-cinta, kaki lo aja belom bener sok bicara cinta."

"Mencintai kan pake hati, Regina. Bukan pake kaki."

"Terserah." Rei berdecak sebelum akhirnya menoleh pada Johnny. "Kak, sumpah gue sori banget udah bikin ribut-ribut di tempat lo—makasih juga udah bikinin gue cokelat panas—gue bawa deh ya—" Rei meraih cangkirnya dari atas meja. "—nanti gue cuci. Gue balikin langsung ke tempat lo atau kalau nanti lo udah tidur, gue taro di tempat Jenar. Sekali lagi, sori."

"Nggak apa-apa kok, Rei."

"Maaf, Kak. Guenya jadi nggak enak."

"Sini gue enakin." Jenar menyela.

"LO DIEM!!!"

Terus jadinya apa? Rei nggak jadi menginap di tempat Johnny. Jenar beranjak usai mendengar kata-kata Rei. Dia masih cemberut, tapi mencoba sebisa mungkin melangkah dengan cool. Sayang, upayanya gagal ketika secara tidak sengaja, kakinya yang masih dibalut gips membentur ujung pintu yang baru dia buka.

Sakitnya nggak usah ditanya.

Namun Jenar berusaha menahannya, malah bikin Rei yang cemas.

"ANJRIT, KERAS BANGET KEPENTOKNYA!! Lo nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa."

"Beneran?"

"Beneran! Udah ayo buruan!"

Jalannya masih penuh wibawa, kayak Jaka Tingkir baru mengalahkan sekoloni buaya, tapi waktu mereka di lift, mendadak Jenar menyandarkan badannya pada Rei sambil merengek.

"Rei... tadi itu... kaki gue sakit..."

"SIAPA YANG SURUH?!! TADI KATANYA NGGAK APA-APA?!!"

*

Johnny menghela napas panjang setelah Rei dan Jenar berlalu, meninggalkannya terjebak dalam keheningan. Well, nggak bisa sepenuhnya dikatakan keheningan, karena ada suara hujan dari luar, terdengar keras gara-gara pintu balkon yang dibiarkan terbuka.

Johnny diam sebentar, lalu berjalan menuju pintu tersebut dan menggesernya sampai tertutup.

"Lo ngelihatin apa?" Johnny ingat, suatu waktu, ketika dia sedang duduk di kafe untuk menunggu teman-teman mereka berkumpul sebelum memberi kejutan ulang tahun buat Kun, dia bertanya gara-gara Tigra pernah seserius itu memperhatikan hujan.

Tigra nggak menatapnya, hanya tersenyum simpul. "Hujan."

"Lo nggak terdengar seperti lo."

"Regina suka ngelihatin hujan."

"Pacar lo?"

"No one knows except me, her, Dhaka, Harsya... and you. Better keep it that way." Tigra berhenti memandang ke luar jendela, ganti menyeruput lattenya. "Cuma mau ngelihatin doang. Habis dia sesuka itu bengong mandangin hujan. Gue jadi kepengen tau, apa yang segitu menariknya dari hujan."

"Dan lo tau?"

"Nggak."

Johnny berdecak. "Lagian, pake ngelihatin hujan. Harusnya lo tanya ke dia, kenapa dia suka hujan."

"Gue nggak bisa."

"Loh, kenapa?"

"Karena gue nggak mau dia berpikir dia aneh dan nggak seperti orang pada umumnya. Bukankah sesuatu yang mengundang pertanyaan lo biasanya adalah sesuatu yang nggak bisa lo mengerti karena nggak familiar buat lo?"

"Sekarang lo yang kedengaran aneh."

Tigra mengangkat bahu, terus tersenyum. "Atau mungkin dia cuma suka hujan aja."

Johnny bohong waktu dia bilang dia suka nyium bau hujan. Dia sengaja membuka pintu balkonnya, dan membiarkannya tetap terbuka, sebab dia tahu dari Tigra, kalau Rei suka melihat hujan. Kenapa Johnny melakukannya? Nggak tahu, Johnny juga nggak mengerti.

Lamunan Johnny buyar saat pintu unitnya diketuk.

Dia beranjak, membuka pintu dan disambut oleh seraut wajah milik Sona.

"Why this late?" Johnny mengernyit heran, meski dia tetap membuka pintu dan membiarkan Sona masuk.

"Baru balik dan membesuk adik gue. Keberatan?"

"Penasaran." Johnny mengoreksi.

Sona melepaskan kardigannya yang sudah lembab terkena rinai hujan, menyampirkannya begitu saja di sandaran sofa, lalu mendekati Johnny hanya dalam balutan tank top yang jadi inner kardigannya.

"How was it?"

"Bad. Gue harus menenangkan diri gue sendiri sebelum menyetir kesini."

"Di tengah hujan?"

"Iya."

"Lo bisa minta gue jemput."

"Kita nggak punya cukup hubungan buat gue merasa sah-sah aja merepotkan lo." Sona menghela napas. "But I need you. Right now."

"Okay, let me change first."

"Kedatangan tamu?" Sona tahu, Johnny lebih suka pakai heayy tank top kalau nggak lagi kemana-mana. Tumben sekali dia pakai kaos lengan panjang.

"Regina."

"That Regina?"

"Yap." Johnny kembali lagi dengan pakaian yang sudah berganti. Dia tersenyum pada Sona sebelum merentangkan kedua tangannya. "Come here."

Sona membalas kata-kata itu dengan memeluk Johnny. Johnny mendekapnya sambil tertawa kecil, kemudian mereka berjalan tanpa melepaskan pelukan, hanya butuh beberapa langkah kecil sebelum keduanya ambruk ke sofa.

Tidak ada apa-apa. Hanya pelukan. Hanya rangkulan. Terkadang kecup di puncak kepala. Atau tangan yang bertautan. Tapi tidak pernah lebih dari itu. Sebagian besar orang mungkin meragukannya. Namun, hubungan antara Johnny dan Sona... terlalu abu-abu untuk bisa dianggap 'sesuatu'.

"Di mana Regina sekarang?" Sona bertanya seraya mengetukkan telunjuknya di dada Johnny.

"Di tempat Jenar."

"Kok bisa?"

"Jenar ngejemput dia kesini."

"Ah." Sona berdecak, terdengar agak geli. "Gue rasa, lo berdua harus berhenti saling membenci dan mulai memaafkan satu sama lain."

"Kita nggak saling membenci."

"Oh benar. Tapi ada kalau lo diberi kesempatan menyakiti Jenar, lo bakal ambil kesempatan itu. Begitu pun Jenar. Kalau dia dikasih kesempatan menyakiti lo, dia akan mengiakan tanpa berpikir."

"Mungkin kayak gitu."

"Stop being so petty to each other and move on. What's the past is in the past."

"Nggak juga." Johnny menyergah. "Masa lalu itu.. kayak tanda lahir yang nggak lo inginkan, yang ada di tempat tersembunyi. Lo nggak mau dia ada, tapi lo nggak akan pernah bisa menghapusnya. Masa sekarang, itu seperti baju yang lo gunakan menutupinya. Bisa membuatnya tersamar, nggak terlihat oleh orang-orang kecuali mereka yang lo izinkan melihat lo telanjang. Tapi dia nggak hilang. Dia akan selalu ada."

"Johnny—"

"Mulai hari itu, sampai seterusnya, apa yang ada diantara gue dan Jenar nggak akan pernah bisa sama lagi, Sona." 





to be continued. 

***

a/n: 

part ini panjang untuk merayakan hancur leburnya hati saya akibat vlive NCT 2020 

GUE GANGERTI ANJIR CAPE BANGET NGE-STAN NCT KENAPA BISA ADA MANUSIA KAYA GITU GUE SENDIRI RAGU MEREKA TUH MANUSIA APA BUKAN. 

oke. 

intinya gitu ngerti gasih pusing banget mau marah liat styling rambut jaehyun kenapa sih jadi orang tuh kalo gabisa dimiliki jangan ganteng-ganteng amat kek

oke. 

udah. 

wkwkwkwkwk jadi gimana, sebelum unboxing, tentu harus ada testernya dulu. siapkah kalian melihat detail silaturahmi bibir antara jung jenar dengan regina????????????

hehe. 

sekian. 


bonus. 

***

September 23rd 2020 | 22.40

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro