15 | perfume
Jenar bete banget, niatnya dia yang pamer dan songong, kok malah Johnny yang justru terkesan lagi menyombongkan diri.
"Jalan berdua?!" Jenar bertanya, berusaha menyembunyikan nada tidak suka dalam suaranya, tapi tetap saja dia kedengaran dongkol luar biasa.
"Yoi." Johnny nyengir, terus menepuk bahu Jenar sebelum berjalan menjauh. "Duluan ya."
"Kemana?"
Johnny nggak menjawab, cuma bersiul santai. Jenar kesal, tapi nggak mungkin juga kan dia menahan kepergian Johnny dan memaksa cowok itu menjawab pertanyaannya. Lagipula, kalau ekspresi wajahnya Johnny sudah kayak gitu, berarti dia sedang betul-betul menikmati mengejek Jenar. Kekesalan Jenar yang ditunjukkan terlalu terang-terangan hanya akan membuat Johnny makin puas.
Jenar terdiam di tengah-tengah koridor, sedang menimbang. Apa sebaiknya dia tanya Rei saja langsung? Cowok itu masih terjebak dalam kebimbangan waktu hp-nya bergetar. Ada dm baru yang masuk dan ternyata itu dari Rei.
DARI REI—sengaja pakai huruf kapital semua, soalnya bisa dibilang, Rei yang menghubungi Jenar duluan sama langkanya dengan tahun kabisat.
regina_ar: gue sama johnny mau pergi berdua hari ini.
regina_ar: ngurusin seragam bridesmaid-nya sierra.
regina_ar: in case lo mau marah-marah lagi.
regina_ar: ngga sanggup gue kalau ada yg ngotot mau jd mermed lagi.
Lho, kok kayak prajurit lagi laporan ke ketua resimen gini sih? Kira-kira Jenar boleh ge-er nggak kalau sudah macam ini? Tetap, boleh saja Jenar senyam-senyum saat mengetikkan balasannya, tapi kata-katanya terkesan sangat jual mahal.
jenardigs: ngga nanya.
regina_ar: emang.
regina_ar: gue ngga mau aja saat gue pulang, ada yg nungguin
regina_ar: trs marah-marah, bilang gue cewe ga bener.
jenardigs: sori.
regina_ar: udah dimaafin.
jenardigs: rei
regina_ar: apa?
jenardigs: perginya lama apa sebentar?
regina_ar: emang kenapa?
jenardigs: malem ini, gue mau ke dignity.
jenardigs: mau ikut ngga?
regina_ar: ngga.
regina_ar: mending gue tidur.
Jenar manyun, lalu membuang napas perlahan dari hidung. Kecewa sih, tapi namanya juga iseng-iseng berhadiah. Siapa tau Rei mau. Tapi ternyata nggak.
Jenar meneguk saliva, merasakan ada sesuatu yang mengganjal perasaannya. Dari semua orang, kenapa sih Alfa harus minta tolong sama Johnny? Kenapa nggak sama Jenar saja? Sial. Kalau tahu bakal begini, pasti sejak dulu Jenar bakal membina hubungan yang baik dengan Alfa.
Be patient, hatinya Jenar berbisik lagi.
Kalau dipikir-pikir, harusnya ini sudah jadi sebuah kemajuan kan? Selama lebih dari dua tahun, Jenar hanya bisa melihat Rei dari jauh. Berkali-kali coba duduk di dekatnya, atau nyamperin dia saat dia sendirian, tapi Rei nggak pernah nyadar. Jenar nggak bisa memikirkan cara lain buat ngobrol sama cewek itu tanpa bikin dia kelihatan seperti cowok jamet yang lagi nyari teman bobo sesaat.
Hingga hari itu tiba, saat Rei duduk di bawah pohon bareng temennya dan membicarakan tentang zodiak.
Dari awal, Jenar sudah tahu kok kalau bukan dia J yang Rei maksud.
Tapi ya balik lagi... nggak ada salahnya usaha kan?
*
Jadi ini yang namanya Sierra.
Itu yang pertama kali terlintas dalam otak Rei waktu dia dan Johnny ketemuan sama Sierra di sebuah tempat makan. Sierra cantik banget, bikin Rei serasa kacang polong di depan sepotong steak wagyu. Dia cuma aksesoris, pelengkap, Sierra yang jadi bintang utamanya. Rei jadi bingung, kenapa ya Jenar mantanan sama Sierra. Emang sih, Jenar bilang mereka cuma mantan teman bobo, tapi tetap saja... kalau Rei cowok, cewek kayak Sierra ini nggak akan dia lepaskan sampai kapan pun.
Mujur banget Alfa, dijodohin sama yang bentukannya kayak Sierra.
"Hai, sebelumnya sori banget ya udah ngerepotin."
"Nope, it's okay." Johnny senyum. "Masih perlu kenalan? Walau kita udah kenal sih."
"Of course, you're Jenar's closest friend." Sierra tertawa. "Tapi buat formalitas aja, nggak apa-apa. Gue Sierra."
"Johnny."
Rei tergugu. "Regina."
"Regina?" Sierra memiringkan wajah. "Regina temannya Tigra?"
Kalau nggak dikaitkan sama Dhaka, biasanya Rei memang dikaitkan sama Tigra. Alasannya jelas, dua cowok itu cukup populer di fakultas mereka. Dhaka aktif di organisasi tingkat fakultas, sedangkan Tigra... tahu sendirilah. Gayanya yang nyentrik dan mulutnya yang ceplas-ceplos bikin dia jadi sosok yang nggak mudah terlupakan oleh siapapun.
"Iya."
"Gue nggak tahu kalau ternyata Alfa dekat juga sama lo."
"Kak Alfa seniornya Dhaka. Tigra dan Dhaka satu kos."
"Nggak, bukan itu." Sierra tertawa, manis dan terkontrol kayak pemenang ajang Miss Universe. "Maksud gue, gue nggak mengira kalau ternyata lo sedekat itu sama Alfa, sampai-sampai dia bisa ngerepotin lo buat ngurusin kayak ginian."
Rei nggak tahu harus bereaksi apa selain senyum doang.
"Gue penasaran, gimana reaksi Jenar."
"Reaksi apa?" Rei menanggapi, nggak memahami makna ucapan Sierra.
Tatapan mata Sierra berpindah pada Johnny yang masih duduk kalem, tampaknya nggak terpengaruh sama sekali. "Soal Johnny dan lo yang dimintain tolong sama Alfa buat ngurusin printilan kawinan."
"Apa hubungannya sama Jenar?"
Sierra beralih pada Johnny yang mengedikkan bahu. "Sometimes, ignorance can be a blessing in disguise, you know. Personally, I wouldn't like anyone to involve too far with Jenardi Genta Suralaya."
"Man, you're cruel."
Sumpah, Rei berasa bodoh banget karena diantara mereka bertiga, sepertinya hanya dia yang nggak ngerti apa yang lagi Johnny dan Sierra omongin.
"Ini ngomongin apaan sih? Kok gue nggak ngerti..."
"Nothing." Johnny buru-buru menukas, bertepatan dengan makanan dan minuman mereka yang diantarkan ke meja oleh pramusaji restoran.
Mereka membicarakan soal seragam bridesmaid acaranya Sierra dan Alfa sambil makan. Tadinya, Rei kira dia yang bakal perlu banyak menjelaskan, soalnya Johnny itu cowok dan cowok umumnya nggak terlalu bisa mengurusi sesuatu yang detail macam seragam bridesmaid. Namun ternyata nggak. Johnny bahkan bilang kalau dia sudah ngobrol sama semua cewek yang Sierra tunjuk untuk jadi bridesmaidnya, warna apa yang kira-kira bagus dan referensi model busana seperti apa yang mereka inginkan.
"Mereka nggak ada masalah dengan warna busananya, it's your day after all." Johnny berujar. "Cuma lebih ke modelnya aja, tapi gue udah menghimpun semua referensinya dan setelah gue konfirmasi dengan tukang jahitnya, mereka cukup capable buat bikin model-model baju yang sesuai referensi so—" Johnny menyempatkan diri buat minum dulu, sementara Rei terdiam, merasa useless banget. Ini pasti gara-gara akhir-akhir ini, dia lebih sering sibuk sama Jenar, jadi lupa kewajibannya buat bantuin Johnny ngurusin nikahannya Alfa. "—datanya tinggal dikasih ke orang WO lo aja. Biar mereka yang koordinir dan nentuin kapan temen-temen lo yang bakal jadi bridesmaid dateng buat diambil ukurannya."
"As expected dari mantan Kahim, selalu komprehensif tapi men-detail."
"All thanks to Regina Dia juga banyak bantuin gue."
"Jangan gitu, Kak." Rei menyanggah. "Gue jadi tersindir karena nggak kontribusi banyak."
"Nggak kok. You've done a lot, too. Lagian, kemarin-kemarin kan sempat sakit."
"Oh ya? Sakit apa?"
"Kata Lanang sih masuk angin, kayaknya gara-gara Jenar."
Rei yang lagi minum keselek.
"Masuk angin apa anginnya yang masuk?" Sierra bergurau, tapi cukup untuk bikin pipi Rei memerah.
"Masuk angin." Johnny tertawa. "Ya ampun, Regina, muka lo merah banget. Lo nggak apa-apa, kan?"
"Sori, kita cuma bercanda." Sierra berkata, merasa bersalah. "But again, so unexpected of you. Gue nggak menebak kalau lo juga sedekat itu sama Jenar."
"Nggak sedekat itu."
"I can confirm that." Johnny tersenyum lebar.
Rei tertunduk, menatap makanan di piringnya. Untung saja, Johnny kayaknya sadar kalau Rei nggak nyaman membicarakan dirinya sendiri, apalagi sampai menghubung-hubungkannya dengan Jenar. Mereka ngomongin sesuatu yang lain. Lalu nggak lama, ketiganya berpisah. Sierra bilang dia sudah dijemput, sedangkan Rei tentu saja, pulang bareng Johnny.
Johnny nggak langsung beranjak, jadi Rei pun tetap duduk.
"Rei, sori banget kalau gue bikin lo ngerasa nggak nyaman."
"Hah?" Rei mengangkat wajah. "Nggak kok, Kak. Gue emang awkward aja sama orang baru dan gue belum pernah ketemu Sierra."
Johnny diam seentar, tampak ragu tapi akhirnya dia tetap bicara. "Gue mau nanya sesuatu, tapi kalau lo nggak mau jawab, nggak apa-apa banget kok."
"Mau nanya apa, Kak?"
"Semalem... lo jalan sama... Jenar?"
Rei terperangah, dan nggak tahu kenapa di saat yang sama, dia kepingin membalikkan pertanyaan Johnny. Dia mau tahu tentang siapa cewek yang dia lihat ada di McDonald's sama Johnny. Tapi Rei menahan diri. Dia sadar, itu bakal membuatnya terdengar sangat freak. Memangnya dia siapa mau menanyakan soal itu ke Johnny?
"Nggak jalan dalam artian jalan seperti yang lo pikir, Kak."
"Emang artian jalan yang gue pikir kayak gimana?"
"Apa pun yang Jenar bilang, belom tentu bener."
"Nggak, Jenar nggak bilang. Gue lihat lo sama Jenar jalan berdua ninggalin McDonald's."
Gue juga lihat lo gandengan sama cewek di parkiran Mekdi, benak Rei bersuara tapi dia nggak mengatakannya.
"Yep, that was me."
"If I were you, I'd stay away from Jenar."
"..."
"Gue tau gue nggak ada hak ngomong gini, tapi lo terlalu baik buat dia, Rei." Johnny menghela napas. "I don't want you to get hurt."
Rei merasa lucu, soalnya tanpa Johnny tahu, semalam, yang bikin Rei merasa hatinya patah sedikit itu Johnny, bukan Jenar.
Namun balik lagi, Rei nggak punya hak buat ngomong gitu—dan patah hatinya adalah urusannya sendiri, bukan tanggung jawab Johnny.
"Thankyou, Kak—tapi gue bukan anak kecil yang perlu lo lindungi."
"..." gantian Johnny yang terdiam.
"Apa pun itu yang ada diantara gue dan Jenar adalah urusan gue dan dia, bukan urusan lo."
Sesaat setelah mengatakannya, Rei masih nggak mengerti bagaimana bisa dia mengeluarkan ucapan yang terkesan tajam seperti itu pada Johnny.
Johnny terperangah, walau tak lama, dia mengangguk. "Gue ngerti."
"Gue nggak bermaksud kasar, Kak. Sori."
"It's okay. Just know... kalau ada apa-apa, lo selalu bisa dateng ke gue. Oke?"
Rei nggak menjawab.
"Regina?"
"I'll remember that."
*
Kalau di kos Sadewo ada teteh Yumna yang jago dugem, maka anak malam di kosannya skuad cowok adalah Tigra. Tigra itu sejenis anak malam yang gaul, temannya ada di mana-mana. Cuma untuk sosmednya saja, dia sangat private. Habis gimana ya, kita kan nggak pernah tahu orang kalau lagi drunk tuh bakal update apa di sosmed. Namanya otak lagi nggak berfungsi maksimal. Daripada jadi korban spill sana-sini karena unggahan sosmed disebarkan oleh followers, mending Tigra selektif sekalian dari awal. Emangnya Jenar, yang hobinya ngumpulin followers dan kontak cewek.
Saat mereka masih pacaran, Tigra suka ngajakin Rei ikut ke bar tempat nongkrongnya—namanya Dignity. Sesekali ikut, tapi lebih seringnya, Rei menolak. Dia nggak cemen-cemen amat kalau urusan minum, namun keramaian Dignity bukan tempat yang dia rasa cocok buatnya. Tigra nggak memaksa, sering pergi sendiri. Pure buat minum dan nongkrong doang. Walau kelihatannya bakat banget jadi bad boy, Tigra tergolong setia kalau dia lagi in a relationship dengan seseorang.
Ketika masih sama Rei dan ke Dignity sendirian, Tigra rajin laporan.
thetigrainside: malem ini gue ke dignity.
regina_ar: oke, hp gue ga gue silent.
thetigrainside: ngga, cuma ngasih tau doang.
thetigrainside: silent aja, ada dhaka.
regina_ar: ngasih tau?
thetigrainside: laporan ke mba pacar
regina_ar: ok, mas pacar
thetigrainside: tidurnya jangan malem-malem
regina_ar: ok, mas pacar
regina_ar: minumnya jangan banyak-banyak
thetigrainside: ok, mba pacar
Kenapa nggak di-silent? Biar kalau Tigra beneran jackpot alias drunk parah dan nggak bisa ngomong atau nggak bisa jalan sendiri, orang Dignity bisa nelepon Rei pake hp-nya Tigra. Nanti Rei yang nyusulin dia ke Dignity naik taksi.
Sehabis petang ini, Rei baru kelar mandi dan niatnya mau bikin telur dadar pakai bawang, irisan cabe rawit dan kecap saat tau-tau ada chat masuk dari Dhaka.
Rei.
Ya?
Akhir-akhir ini lo kayanya sibuk banget.
Dhaka, to the point, please.
Dhaka typing lama banget, tapi yang kekirim ke Rei hanya sebaris pesan singkat.
Tigra ke Dignity.
Gue ada urusan malam ini.
Harsya?
Gabakal diizinin Jackson nyusulin Tigra.
Ok.
Rasanya ada yang ganjil. Rei mau penasaran, apa yang mau Dhaka tanyakan—tapi nggak jadi. Namun di saat yang sama, entah kenapa dia merasa nggak siap kalau Dhaka menjawabnya. Jadi Rei diam saja dan lanjut mengeringkan rambut sebelum bersiap memasak makan malamnya sendiri.
*
Jenar agak surprised saat dia ketemu Tigra hanya sesaat setelah dia masuk ke Dignity. Mereka sama-sama nggak sewa table. Keduanya duduk bersebelahan di stool yang menghadap ke meja bartender. Malam ini, Dignity nggak begitu ramai, soalnya bukan malam Minggu.
Tigra adalah tipikal orang yang akan jadi bahan omongan emak-emak di conservatife society mana pun di penjuru Indonesia sebagai contoh buruk yang nggak seharusnya ditiru. Rambutnya dibiarkan agak gondrong, kadang dikuncir separuh. Dia pakai anting banyak dan punya tato di bahunya, juga lengan. Tatonya menyembul saat dia pakai baju lengan pendek. Untung bapaknya kaya-raya, jadi dosen-dosen di departemennya nggak banyak berkomentar.
Malam ini, melihat tato yang mencuat melewati garis bajunya Tigra, Jenar jadi teringat pada Rei. Sial. Apa mereka benar-benar jadi bikin tato bersama? Apa tatonya tato couple? Jenar tahu mereka sudah bubaran, namun tato jelas bukan sesuatu yang bisa dihapus semudah mengucapkan kata putus. Kalau betul itu tato couple... berarti ada jejak Tigra yang tertinggal pada Rei, mungkin sampai sekarang.
Pikiran itu bikin Jenar membara oleh rasa cemburu.
Tapi ya, nggak mungkin juga dia menyudutkan Tigra ke tembok dan menginterogasinya perkara tato.
Malam terus merambat menuju larut. Ternyata Tigra duluan yang jackpot. Kalau urusan alcohol tolerance, memang Jenar nggak perlu ditanya lagi. He can handle his alcohol well. Waktu anak-anak cowok pada tepar di kos-nya Tigra tempo hari saja, cuma Jenar yang masih cukup sadar buat jalan tanpa dipapah menuju toilet.
Tigra sudah sepenuhnya merebahkan kepala di meja ketika Anto, bartender yang melayani mereka malam itu menarik keluar ponsel Tigra dari saku jaketnya.
"Siapa, Mas Tigra?"
Tigra meracau random. "Regina."
Jenar mengernyit, lanjut mengangkat gelasnya, berniat menyesap sisa liquor yang ada di dalam sana saat dia mendengar Anto bicara di telepon.
"Halo, Mbak Regina? Iya, ini Mas Tigra kayaknya perlu dijemput, deh."
Jenar langsung freezing di tempat, batal minum.
What the freaking freak?!
Seluruh garam di lautan rasanya nggak bisa mewakili se-salty apa perasaan Jenar sekarang. Dia mengajak Rei tadi siang, dan Rei langsung menolaknya tanpa berpikir dua kali. Ini disuruh jemput Tigra, Rei mau-mau saja, malah kesannya sigap siaga. Mau kesal sama Tigra, tapi ya gimana? Mau kesal sama Rei, tapi ya dia siapa?
Jenar masih terdiam, menahan segenap rasa kesal yang padu dengan dongkol ketika Rei tiba sekitar setengah jam kemudian. Cewek itu mengenakan turtleneck yang dipadu dengan celana kain. Dia terlihat lebih rapi daripada hanya sekedar pakai baju tidur. Rambut panjangnya dikuncir ekor kuda, menampilkan leher dan helai rambut halus di tengkuknya.
Jenar buang muka, berusaha mengendalikan imajinasinya yang langsung bergerak ke arah tidak terduga, seperti membayangkan tangannya menarik rambut itu sebelum dia membungkuk buat menjatuhkan banyak kecupan di leher dan garis rahang Rei.
Rei kelihatan sama kagetnya, tapi cuma sebentar.
"Katanya mau tidur?" Jenar menyindir.
"Nggak bisa tidur." Rei membalas santai.
"Oh."
"Iya, habis jalan sama crush soalnya."
Paham nggak, ibarat kata bom, Jenar nyaris meledak.
"Oh."
"Seru juga, dua hari berturut-turut jalan sama dua cowok yang berbeda."
Jenar tidak membalas, hanya menelan minumannya dengan sepenuh emosi. Rei tertawa dalam hati seraya berjalan mendekati Tigra. Tigra masih bisa mengenalinya, tapi memang kalau buat jalan, dia perlu dibantu.
"Rei... wow you look amazing tonight!" Tigra meracau.
"Best thing tonight is that you're wearing my favorite t-shirt." Rei berujar sambil memutar bola mata.
"It's my favorite." Tigra membalas, wajahnya flushed. "Kan dikasih sama man—ooppssss—maksudnya, dikasih sama lo. hehehe."
"Let's go home."
"WAIT—lo mau ngapain?!" Jenar tahu-tahu memotong, shock melihat bagaimana dengan gampangnya, Rei merangkul Tigra.
"Bantuin Tigra jalan. Menurut lo, dia bisa jalan sendiri?"
Jenar betulan nggak suka banget melihat lengan Tigra berada di leher dan pinggang Rei. Mana cowok itu ndusel-ndusel ke leher Rei dan bergumam samar—tapi masih cukup keras untuk bisa Jenar dengar.
"Mmm... wangi..."
"..."
"Are tou wearing that perfume?"
Pertanyaan Tigra bbikin Jenar membara.
"Gra, don't touch me there. Geli."
That was it, that was the last straw. Jenar meletakkan gelasnya ke atas meja secara barbar, bikin Anto langsung kaget soalnya suara benturan pantat gelas dengan meja kedengaran keras betul. Tapi Jenar nggak peduli. Dia beranjak dari stool dan mengejar Rei.
"Stop it."
Rei menoleh, agak kesulitan soalnya sekarang Tigra sempurna bersandar padanya. Niatnya mau membawa Tigra ke taksi yang sudah menunggu di depan. "What?"
"Can you stop that?"
"Stop what?" Rei beneran nggak ngeri maksud seruan Jenar, tapi dia juga bete karena Jenar terkesan nyolot. Di saat yang sama, Rei paham kalau Jenar juga sudah drunk. Wajahnya merah sampai ke telinga. Kayaknya, dia selalu begitu setiap kali drunk.
"I don't know, maybe stop being that touchy-touchy with your ex?"
"Emang kenap—WAIT, HOW DO YOU KNOW?!"
Oke, Jenar salah ngomong. Cowok itu merutuki dirinya sendiri dalam hati. Clearly, there wasn't going back for this one.
"Gue..."
Rei menyipitkan mata, memandang Jenar dengan tatapan menusuk, terus katanya. "Lo tunggu di sini! Jangan kemana-mana! Gue naro Tigra dulu di taksi!"
Jenar langsung nervous dibuatnya. Dia masih memutar otak buat cari alasan ketika Rei kembali lagi, tentu saja sendirian.
"Bilang Milan, siap-siap ambil Tigra dari taksi. Gue nggak bisa anter sampe kosan karena ada urusan."
"Urusan apa?"
"Masih nanya?! ELO."
Jenar menelan saliva, akhirnya nge-chat Milan yang ternyata masih bangun. Tapi Milan nih nggak bisa diajak kerjasama.
milanzuzuzu: kalo gue ambil tigra dari taksi, lo mau ksh apa?
jenardigs: YAILAH KIMING
milanzuzuzu: ngga ada yg gratis di dunia ini, bos.
jenardigs: lo mau apa?
milanzuzuzu: kaset ps
jenardigs: deal.
Kelar urusan sama Milan, Jenar harus menghadapi ular beludak betina.
"Dari mana lo tau soal gue sama Tigra?"
"Dari—"
"Orang yang tau soal itu cuma Tigra, gue, Dhaka dan Harsya. Jelas nggak mungin diantara mereka ada yang cerita ke lo."
"..."
"Jenardi, gue ngomong sama lo."
"..."
Diamnya Jenar membuat Rei gusar. Secara tidak terduga, dia meraih kedua tangan Jenar, menggenggamnya erat-erat disusur ujaran memelas yang sarat nada permohonan. "Jenar, please, jangan kasih tahu siapa-siapa..."
Dari yang tadinya "takut bgt :( takut dicakar", Jenaar jadi "AHA!!"
Soalnya gara-gara Jenar nggak kunjung menjawab, Rei jadi berpikir yang nggak-nggak. Intinya, dia nggak mau orang lain tau kalau dia pernah sama Tigra. Bukan apa-apa. Pacarannya sudah lama, tapi berhubung dulu mereka suka staycation dan Rei kerap update igstory saat lagi staycation tanpa menyorot Tigra, teman-temannya tuh suka penasaran, nih anak masa iya staycation sendirian. Putusnya sudah dari tahun kapan, kalau kemudian baru ribut sekarang kan bisa berabe. Mana Tigra ini temannya kesebar di mana-mana. Rei nggak siap jadi bahan omongan (lagi) setelah skandal gay Johnny.
"Hm..."
"Je..."
"Ini sulit." Jenar berlagak mikir.
"Jenar, please, jangan kasih tau siapapun. Apa yang lo mau, gue—"
"Apa yang gue mau?"
Rei langsung masuk ke galak mode. "JANGAN MINTA YANG ANEH-ANEH."
"Hm, oke."
"Oke apaan?"
"Jangan pulang dulu."
"... hah?!!!"
"Temenin gue."
"Tapi kan—"
"You said you'll do everything."
Rei merengut. "Jangan lama-lama ya? Gue ngantuk."
"Katanya tadi nggak bisa tidur karena abis jalan sama crush." Jenar menyindir.
"Je... please...."
"Gemes deh kalau lo udah manja-manja kayak gini." Jenar teertawa, kembali ke stool yang tadi dia duduki. Rei membuang napas pelan, akhirnya mengekori Jenar dan duduk di sampingnya.
"Mau minum?"
"Nggak."
"Come on, don't be shy."
"Nggak." Rei masih menolak. "Nggak lo, nggak Tigra, kerjaannya mimik melulu. Mati muda baru tau rasa lo berdua."
"Ah, nggak juga. kebetulan aja lo ketemu gue pas gue lagi minum. Gue minum kalau lagi stress aja."
"Berarti sering stress?"
"Emangnya ada anak Teknik yang nggak stress?"
Sebagai mahasiswa yang dibikin nangis oleh tugas seenggaknya satu kali tiap semester, jawabannya valid dan sukar didebat.
"Tapi masih mending ginian daripada amer. Walau ngabisin duit Papa."
"Ah, yang punya duitnya aja santai."
Rei nggak menjawab dan Jenar ikutan diam. Rei jadi merasa aneh. Dia dan Jenar selalu berdebat tiap kali mereka ditempatkan berdekatan. Rasanya janggal jika tiba-tiba saja, Jenar membiarkan Rei berada dalam damai.
"Kok diem?"
"Lagi malas ngomong."
"Teurs kenapa minta ditemenin."
"Lagi malas ngomong tapi mata gue pengen ngelihat lo."
"Mana ada?"
"Adain lah." Jenar memandang Rei dengan mata yang berkabut oleh sesuatu yang nggak bisa Rei definisikan. Was it... longing... or desire... or pure lust? "I like looking at you, especially tonight. Pretty. Gue suka saat lo dikuncir."
"..."
"So pleasing, like you're the apple of my eye."
"Nggak usah gombal. Nggak mempan."
"Bukan gombal. Itu judul film." Jenar ngeles, namun dia menunduk untuk mnyembunyikan senyum.
*
Sebetulnya, Jenar berniat berlama-lama di sana, soalnya suntuk banget, dari siang sampai sore dia sudah lumutan di kamarnya untuk mengerjakan tugas. Kalau kata pepatah, work hard play hard, man. Sebelum merusak badan, tugas harus sudah tuntas siap dikumpulkan. Beruntung, Jenar tergolong mahasiswa berotak encer walau lagaknya benar-benar "semau gue". Waktu Ujian Nasional dulu, dia dan Johnny sama-sama masuk dalam sepuluh besar peraih nilai tertinggi se-provinsi. Jenar bisa saja masuk ke sekolah kedokteran kalau dia mau, tapi sepertinya dia nggak tertarik jadi dokter.
Namun waktu melihat pada wajah Rei yang jelas sudah menahan kantuk, Jenar jadi nggak tega. Akhirnya dia beranjak dari stool.
"Abis ini baik, tapi gue ke toilet dulu."
Rei menguap. "Mau dianter?"
"NGGAK USAH!!" Jenar sewot dan tawa Rei pun pecah.
Sehabis dari toilet, Jenar mendapati Rei sudah menjatuhkan kepalanya ke atas meja dan memejamkan mata. Cowok itu mendekat, menyentuh bahu Rei pelan.
"Tidurnya jangan di sini. Mau pulang nggak?"
Rei membuka matanya yang sudah sayu. "Ayo pulang."
"Yuk." Jenar mengulurkan tangan.
"Daripada tangan, sekarang gue lebih butuh bantal." Rei bangun sendiri, mengabaikan uluran tangan Jenar. Jenar terkekeh, mengikuti Rei ke depan.
Sebetulnya, Jenar bawa motor. Tapi ya nggak mungkin banget dia membiarkan Rei pulang naik motor, jadi tentu saja mereka naik taksi online. Di jalan, beberapa kali Rei ketiduran lagi. Kepalanya melekat ke jendela, selalu kejedot setiap taksi yang mereka tumpangi melewati jalanan yang nggak rata atau melewati polisi tidur.
"Sini." Jenar menarik Rei mendekat. "Sandaran di bahu gue aja."
"Hm." Rei bergumam lirih, terlalu mengantuk buat berdebat.
Jenar nggak tahu perfume apa yang dimaksud Tigra, tapi apa pun itu yang lagi Rei pakai sekarang, wanginya baru bagi Jenar.
"Oy."
"Hmmm?" Rei menjawab alakadarnya, masih memejamkan mata dan suaranya mengirim getaran ke permukaan kulit leher Jenar. Wah, Jenar nggak suka efek yang ditimbulkan suara itu padanya.
"Pake perfume apa sih?"
"Kenapa?" suaranya lirih, hampir seperti bisik, rendah dan berat.
Imagine how sexy her morning voice would sound, Jenar berpikir.
And blood rushed to certain part of his body.
"Jemput Tigra doang pake perfume."
"Biar wangi."
"Tapi lo nggak pernah pake ini sebelumya."
"Lagi pengen. Emangnya semua harus banget punya alasan?"
Harus. Gue mau tau kenapa dari semua momen, lo memilih pake itu ketika lo jemput Tigra.
"Harus banget waktu jemput mantan?"
"Nggak banyak orang yang tahu gue pernah sama dia."
Jenar berusaha santai. "Is it him? Your first time, I mean."
"Em-hm."
"That son of a bitch."
"Jenar, mulutnya kasar banget." Rei berdecak. "Kenapa marah-marah?"
"He hurt you."
"That wasn't his intention. Udahlah."
"Kenapa putus sama Tigra?"
"Soalnya gue ngerasa kita lebih cocok temenan."
"Kalau kita?"
"What?"
"Lo dan gue, kita, cocoknya jadi apa?"
to be continued.
***
-bonus-
Waktu Rei dan Tigra baru putus...
Tigra lagi sibuk melarikan jari-jarinya di atas keyboard Macbooknya waktu tahu-tahu Dhaka menghampirinya dan duduk di sampingnya.
"Besok long weekend tuh. Nggak ada rencana kemana-mana?"
"Nggak."
"Loh, tumben."
"Dhaka,"
"Iya?"
Tigra berhenti mengetik, memandang pada Dhaka. "We broke up."
Dhaka terbatuk. "Why?!"
"Dia ngerasa lebih cocok jadi temen aja, katanya berasa aneh banget. Padahal nggak juga sih, cuma mungkin itu maunya dia. Gue sama Rei juga mau pacaran atau temenan sama aja, nggak ada bedanya."
"But you love her, right?" Dhaka seperti masih belum percaya.
"Of course."
"Tigra—"
"—and I love Harsya too. Love Yuta too. Love Yumna too. Love Milan too. Love you too. Kalian semua kan teman gue."
"But... how about your couple tattoos? Gila aja udah nato bareng terus putus."
"Oh, we cancelled it. Nggak jadi."
"Tigra—"
"Man, no need to cheer me up. Gue baik-baik aja. Lagipula, ini saatnya lo seneng kan?"
"..."
"You love her, right? Atau gue salah terka?"
Dhaka:
***
a/n:
eak, semakin ribet saja kisah anak-anak muda yang penuh misteri dan drama ini.
tenang, beb.
kita akan membongkar skandal satu persatu.
wkwwkwk.
dah lah kayanya itu aja.
wkwk apakah di sini semuanya tim jenar?
nih dikasih jenar
dah ciao.
***
September 12nd 2020 | 19.30
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro