Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 | deep talk

warning: some... deep talk hahaha deep talk ya bukan deep thrust. (also, i made a playlist for this story) 


***

【teknik's playlist】

niki - lose
jp saxe - hey stupid, I love you
daniel caesar - get you
kina granis - dream a little dream of me
cigarettes after sex - apocalypse
epik high - sleeping beauty
the neighbourhood - daddy issues 
lana del rey - queen of disaster
billie eilish - my future
yerin baek - square
suran - wine

***

"Kok lo diem aja, La?"

Tanya Rossa bikin Jella menghela napas sebelum dia melepas tawa yang terkesan nervous. "Sori, lo bilang apa tadi, Ros?"

"Nggak mungkin banget kan ya lo ada apa-apa sama Milan. Lo sendiri tau kan gimana perasaan gue ke dia."

Jella berusaha memaksakan senyum. "Nggak lah, Ros. Emangnya gue setega itu sama temen gue sendiri?"

Padahal mah iya.

Rossa manggut-manggut. "Terus kalau bukan sama Wirya, lo jalan sama siapa semalem?"

Ekspresi wajah Jella berubah tegas. "I think I have the right to keep my love life personal, don't I?"

Kali ini, gantian Rossa yang terdiam. Dia memandang Jella sejenak, berusaha membaca emosi yang melintas di matanya, tapi hasilnya nihil. Diantara mereka, Jella bisa sama pandainya dengan Rei kalau soal menyimpan rahasia. Akhirnya, Rossa ikutan tertawa. Tawa manis—terlalu manis, hingga kesannya jadi seperti menyindir.

"Ah ya, lo bener."

"So?"

"Nothing, I just want to make sure."

Jella nyengir, diiringi keringat dingin yang menetes mengaliri punggungnya, tepat di bagian tulang belakang.

"Anyway, La, kalau nggak suka sama Wirya, better lo bilang aja ke dia."

"..."

"Setahu gue, Wirya orangnya baik dan kalem banget. Dia nggak akan marah sama lo kalau lo jujur. Besides..." Rossa tersenyum lagi. "He deserves better, right?"

"Right."

Jella bisa saja bilang begitu di depan Rossa, namun saat dia kembali ke kamarnya, tangannya tangkas meraih ponsel. Dia langsung mengetik pesan. Buat siapa? Tentu saja buat Wirya, memangnya buat siapa lagi?

jellajelly: lo bilang apa sama rossa?!!!

*

Kalau dibilang ada kakak-adik zone dalam tanda kutip diantara Rei sama Mark, jawabannya adalah nggak. Mereka kenal karena dulu satu SMA. Rei pernah cukup sibuk di OSIS. Rei kenal Mark sejak Mark baru masuk dan jadi perbincangan para senior karena tampangnya yang cute tapi ganteng, belum lagi pembawaannya yang ceria dan bisa bikin orang ketawa. Walau begitu, Mark yang kelihatannya nggak punya masalah bergaul sama siapapun tiba-tiba saja tampak sangat awkward setiap kali dia berada seruangan dengan Rei.

Rei jadi penasaran, akhirnya mengajak Mark ngobrol pada suatu kesempatan dan dengan malu-malu, Mark bilang...

"Muka lo galak, Kak. Gue jadi takut."

"Maksud lo, muka gue jahat?"

"Nggak, nggak jahat. Cuma lo anaknya jarang senyum, gue jadi takut melakukan kesalahan setiap kali dilihatin sama lo."

Refleks, Rei tertawa dan responnya sempat bikin Mark terperangah.

"Kenapa sih ngelihatin guenya begitu banget?"

"Lo bagusan kalau lagi ketawa, Kak. Seriusan. Atau senyum kek gitu. Cantik." Mark ngomongnya buru-buru banget, kayak bingung dan sempat menyesali apa yang sudah dia ucapkan tapi di saat yang sama, dia juga nggak bisa menahan dirinya buat nggak mengutarakan kata-kata itu.

"Gimana ya, gue nggak punya banyak alasan buat senyum atau ketawa." Rei menyahut kalem. "Makanya, lo sering-sering bikin gue ketawa dong!"

Terus dari sana, mereka jadi berteman baik. Keduanya makin dekat ketika akhirnya Mark ikut bergabung dengan OSIS. Mark bukan hanya supportive, tapi juga penyegar suasana yang baik. Dengan keadaan rumah yang nggak lagi baik-baik saja, kadang Rei merasa kalau Mark itu sweet escape terbaik yang pernah dia punya.

Anaknya juga sopan, nggak berbakat jadi playboy, jago banget main gitar dan rajin ke gereja. Betulan paket komplet. Berhubung Rei nggak punya saudara kandung, Mark serasa jadi adik laki-laki yang nggak pernah cewek itu miliki.

Jadi, kalau Mark sudah ngajak seperti itu, masa iya Rei menolak? Makanya, dia bela-belain mendatangi lapangan basket yang dimaksud. Sengaja jalan kaki, karena sebetulnya jaraknya terlalu dekat kalau dicapai dengan kendaraan, bahkan sepeda motor sekalipun. Jalan kaki rada pegal sih, tapi anggap saja penebusan dosa karena Rei sudah makan sekotak roti bakar sendirian. Lapangan berada di tepi jalan besar.

"Kak Reggyyyyyyy!!" Mark langsung beranjak dari duduk dan berseru kencang ketika dia melihat Rei muncul di kejauhan, pakai celana piyama, kaos dan di-double dengan cardigan rajut. Cowok itu berlari menghampiri Rei, bikin Rei melongo meski cuma sesaat. Mark sudah jauh lebih tinggi dari ketika terakhir kali Rei melihatnya.

"TINGGI BANGET LO BUSEEEEETTTTT!!!!" Rei berseru sambil menepuk-nepuk pundak Mark setelah cowok itu menubruk dan memeluknya. "GUE NGGAK TERIMA YAH!!!"

"Kan dibilang dari dulu, gue bakal lebih tinggi dari lo!" Mark tergelak sembari melepas pelukannya pada Rei. "Eh tapi gila ya, sekarang lo cakep banget!! This is a true glow up everyone shall aspire to be!!"

"Dulu jelek banget ya?" Jenar menyela.

Sial, Rei baru ingat Jenar juga ada di sana.

"Dulu Kak Reggy tomboy banget, Kak!" Mark menjawab dengan antusias, saking semangatnya, dia lebih mirip kayak lagi nge-rap daripada lagi ngomong. "Dia pernah bikin satu sekolah heboh soalnya randomly potong rambut kayak cowok, cepak gitu, kayak siapa tuh di film jaman dulu, di film Ghost-nya Patrick Swayze bukan? Itu lah pokoknya! Rambutnya Kak Reggy nggak pernah panjang, makanya sekarang bisa panjang kayak gini, mana dikuncir kayak cewek... lo cakepan gini deh, Kak. Serius!" lalu Mark berpaling ke Jenar. "Gue nggak nyangka Kak Reggy bisa manjangin rambut, tapi dipikir lagi, wajar juga kali ya? Kak Jenar, lo emang suka cewek rambut panjang, kan?"

Rei keselek, sedangkan Jenar senyam-senyum sok asik, tapi telinganya merah seperti habis keguyur saos.

"Yoi."

"Lah, apa hubungannya gue sama dia?!" Rei malah nggak terima.

"Bukannya lo sama Kak Jenar pacaran?"

Tanya polos Mark bikin Rei menoleh dengan tatapan mematikan di matanya pada Jenar. Refleks, Jenar melangkah mundur dengan kedua tangan terangkat ke udara. Persis buronan yang mau diserbu intel.

"Lo bilang apa sama Mark?!"

"I didn't say anything, I swear to God!" Jenar menyambar cepat, berseru membela diri.

Mark mengerjap, terus merasa canggung sendiri. "Ohh... kalian nggak pacaran?!"

"Nggak lah!!!"

"Sori, Kak." Mark nyengir. "Abisnya, dari dulu lo tuh galak banget sama cowok. Mukanya juga angker. Makanya susah banget kalau mau ada yang deketin, pada minta disalamin lewat gue, tapi lo cuekin. Gue nggak nyangka aja sekarang lo bisa akrab sama Kak Jenar yang bukan tipe lo banget..."

"Emang tipenya dia kayak apa?" Jenar menyela tanpa membuang waktu.

"Low profile, kalem, yang jelas mah nggak kayak lo, Kak. Lo kan idola cewek sejuta umat."

"Ck." Rei memotong dengan decak. "Mark, lo bisa kenal siamang ini di mana, sih?!"

"Mana ada siamang secakep gue?!" Jenar protes seraya merengut tapi Rei mengabaikannya.

"Gue sama Kak Jenar satu gereja, terus pernah retret bareng."

LHA, JENAR BISA KE GEREJA?!!

Rei kira, belum lewat halaman dia sudah musnah, hangus duluan.

Tau-tau, Mark beranjak, meninggalkan Jenar duduk bersebelahan dengan Rei di pinggir lapangan. Cowok itu dribbling bola, berlari beberapa putaran untuk show-off, kemudian katanya. "Kak Reggy, this is for you!!" sambil melempar bola ke ring.

Tapi bolanya nggak masuk.

Rei dan Jenar refleks sama-sama melepas tawa, yang lantas memicu keduanya untuk saling tatap. Mata mereka beradu dan walau sejenak, ada kesunyian yang menyelinap. Rei heran dengan dirinya sendiri. Kayak... apa banget dia tertawa bareng seorang Jenar? Namun tampaknya, cowok itu tidak merasa ada yang aneh. Jenar justru tersenyum simpul, memandangnya dengan sorot yang terkesan... apa adanya? Lesung pipi yang dalam itu kembali tercetak di wajahnya.

"Mark's right."

"Apanya?"

"Smile more, it looks good on you."

"I—"

"—don't have any reason to smile?" Jenar menukas sambil melebarkan senyum. "I can be that reason, the one who makes you smile."

Rei mengerjap beberapa kali, merasa terjebak dalam situasi aneh yang sangat canggung. Cewek itu pura-pura batuk, beranjak tanpa bilang apa-apa dan bergabung dengan Mark yang masih main basket sendirian. Jenar mendesah pelan, seperti mengeluh pada dirinya sendiri sebelum kemudian dia ikut bangun dari duduk. Mereka lanjut main basket bertiga—atau lebih tepatnya, Rei hanya banyakan ikut lari-lari mengejar bola doang, karena dia kalah tinggi dari dua cowok lainnya. Setelah lebih sedikit dari setengah jam, mereka terlalu capek buat lanjut bermain dan duduk lesehan begitu saja di atas permukaan lapangan yang berdebu.

"Tempat nyantai paling deket di sini apa sih?" Mark bertanya.

"Mekdi, paling."

"Yaudah, kesana aja yuk? Bisa jalan kaki nggak?"

"Bisa, tapi lumayan jauh."

"Nggak apa-apa." Mark berdiri, diikuti Jenar dan Rei. Cowok itu nyengir, lalu meraih lengan Jenar pakai tangan kanan dan lengan Rei pakai tangan kiri. Dia menautkan lengan-lengannya dengan lengan Rei dan Jenar sebelum lanjut bicara. "Mekdi, letz ged itttttt!!!"

Rasanya seperti nggak tahu diri bikin satu lajur trotoar yang cukup lebar penuh oleh mereka bertiga, namun untungnya jarang ada pejalan kaki jam-jam segitu.

"Btw, kalian berdua bisa saling kenal tuh gimana?" rupanya, Mark masih menyimpan rasa penasaran

"Kepo?" Jenar terkekeh.

"Dia senior gue di kampus. Satu fakultas." Rei memberitahu secukupnya.

"Kok bisa kenal?"

"Emang kenapa gitu?" Jenar balik bertanya.

"Nggak apa-apa, masih kaget aja wow ternyata kalian berdua bisa saling kenal, like the possibility of it become possible is nearly impossible—oh wait, gue ngomong apa?" tawa Mark meledak lagi.

"Mark, don't over-react." Rei memperingatkan, maksudnya sudah pasti bergurau.

"No, he's not over-reacting, though." Jenar menyergah. "Lo tuh emang sesusah itu dideketin."

"Like you even tried," Rei menyahut, agak defensif.

"I did, you just didn't notice."

Rei ternganga, otomatis menoleh pada Jenar bertepatan dengan Jenar yang juga berpaling padanya. Mark yang berada diantara mereka panik seketika saat kesunyian berlanjut lebih lama dari yang seharusnya. Dia paling enggan terjebak dalam suasana awkward berlama-lama.

"Wokeeeeee, I get it, I get it!!!" Mark memekik separuh gusar, terus berusaha mengalihkan pembicaraan. Mereka mengobrolkan sesuatu yang lain. Kecerobohan Rei waktu sekolah, pengalamana memalukan Jenar yang suatu kali mengaku dosa usai secara tidak sengaja membiarkan anjing peliharaannya kencing di dalam sepatu ayahnya tanpa bilang-bilang. Banyak topik yang dibicarakan sampai tanpa terasa, mereka tiba di McDonald's yang dimaksud.

Jujur, Rei senang bertemu Mark lagi. Mark masih mood-maker seperti dulu. Dia memang agak pendiam kalau baru kenal sama orang, tapi kalau sudah dekat, nyerocosnya bisa ngalah-ngalahin radio rusak. Kadang Rei pengen menyarankan Mark untuk mulai meniti karir jadi rapper saja, mengingat bagaimana cepatnya dia ngomong jika dia sedang excited.

McDonald's cukup crowded, walau masih ada cukup banyak kursi yang kosong. Mark memilih tempat duduk. Rei mengikuti.

"Oke, gue aja yang pesen. Lo mau apa?" Jenar bertanya pada Rei lebih dulu.

"French fries and McFlurry will be fine."

"Me too!!"

"Nggak happy meal?" Rei meledek Mark.

"Nggak! Ah ya, tapi gue mau ice cream yang di cone!!"

"Okay."

Jenar pergi, sedangkan Mark dan Rei lanjut mengobrol, sekalian bertukar nomor hp, terus saling follow juga di Instagram. Dulu, waktu masih SMA, Rei nggak pernah tertarik bikin Instagram karena menurutnya nggak guna-guna amat. Baru bikin Instagram gara-gara dipaksa Yumna, katanya biar followersnya genap 500 biji.

Lagi asyik-asyik ngobrol sama Mark, nggak sengaja tatapan Rei tertuju ke luar, ke parkiran dan melalui kaca bening, dia melihat sesuatu yang berhasil membuatnya tercengang...

Sebuah mobil hitam berhenti, disusul pintu yang terbuka dan seseorang yang Rei kenal turun dari sana. itu Johnny. Dia nggak sendirian, melainkan bersama sesosok cewek yang nggak pernah Rei lihat, yang jelas cewek itu tinggi, cakep, semlehoy, bohay, badai, pokoknya segala yang bagus-bagus berkaitan dengan fisik berhak disematkan padanya.

Rei tahu, Johnny itu cuma crush gemes, kayak gimana adik tingkat kagum sama kakak tingkatnya saja, nggak lebih dari itu... tapi melihat Johnny meraih tangan cewek itu sebelum mereka berjalan menyeberangi area parkir McDonald's menuju pintu depan restoran cepat saji tersebut...

... hati Rei retak... sedikit.

"Kak Reggy?"

Rei tersentak gara-gara suara Mark. Dia menarik napas, menatap pada Mark yang kini memandangnya dengan wajah khawatir. Rei buru-buru menarik senyum yang terkesan terpaksa, berupaya meyakinkan Mark kalau dia baik-baik saja. Tidak berapa lama, Jenar muncul lagi bersama tray penuh makanan. Rei berusaha biasa saja, meladeni pembicaraan antara dirinya dengan cowok di dekatnya meski bayangan akan Johnny masih nggak mau pergi dari otaknya.

Sekitar sejam kemudian, Mark pamit pulang duluan karena ditelepon temannya. Katanya urgent. Sewaktu Rei tanya temannya itu cewek atau cowok, Mark hanya nyengir.

"Kan lo dengar tadi gue nyapa dia gimana, Kak."

"Namanya Mina?"

"Iya."

"Cewek, berarti?"

"Yoi."

"Temen apa temen?"

"Temen." Mark tertawa. "Duluan, Kak Reggy. Kak Jenar, ini makanan gue—"

"Nggak apa-apa, udah gue bayarin."

"Wuih, makasih!" Mark high-five sama Jenar. "See you later, Kak! Dan Kak Reggy, nanti kalau gue nge-spam dm, jangan dicuekin loh ya!"

"Siap."

Rei dan Jenar ditinggal berdua. Cewek itu tertunduk, sedang mencomot sisa-sisa kentang gorengnya ketika tiba-tiba, Jenar beranjak dari duduk. Rei kaget, kontan memegang ujung hoodie Jenar pakai dua jari.

"Mau kemana?"

"Keluar. Nyebat."

"Ikut..."

Masa iya Rei ditinggal sendirian di sana ketika ada Johnny yang lagi berduaan sama cewek lain di sisi ruangan yang berlawanan—Rei takut saja, dia harus ngomong apa kalau Johnny menyadari keberadaannya? Dia bakal kelihatan sangat menyedihkan duduk sendirian di McDonald's sambil pakai kostum tidur.

"Gue nggak ngerokok dekat cewek—"

"It's okay. Tigra sama Dhaka juga suka ngerokok dekat gue, kok."

"They're no gentlemen."

Rei jadi salty. "And you think you are?"

Jenar justru balik mengejeknya. "In yi thing yi ir????"

Rei merengut sebal, sedangkan Jenar tertawa. Walau yah, pada akhirnya, Jenar membiarkan saja Rei mengikutinya keluar. Mereka duduk di kursi kosong yang ada di teras. Jenar mengeluarkan kotak rokok, menyelipkan sebatang diantara bibirnya dan menyalakannya dengan korek.

"Kenapa?" tanyanya setelah mengembuskan asap ke udara. Dia sengaja duduk di ujung arah angin, menempatkan Rei di sisi yang lain, jadi asapnya nggak mengganggu cewek itu.

"Nggak apa-apa."

"Fine, kalau lo nggak mau cerita, gue aja yang nanya." Jenar mengedikkan bahu. "Is it true? Ceritanya Mark. Tentang lo yang tiba-tiba potong rambut sampe cepak dan nggak pernah manjangin rambut saat SMA?"

Rei tertawa kecil. "Nggak suka?"

"No, just curious. Jarang ada cewek yang babat habis rambut sampai segitunya, kalau bukan karena patah hati."

Rei terbungkam. Terus terang, selama ini nggak ada yang pernah menanyakan itu padanya. Paling mereka hanya berkomentar kalau Rei lebih cantik dengan rambut panjang daripada potongan rambut cepak yang bikin dia kelihatan seperti anak laki-laki dari belakang.

"Dari gue kecil, bokap gue lebih suka anaknya punya rambut panjang. Dia pernah marah banget ketika nyokap gue nggak sengaja biarin gue potong rambut sampai sebahu waktu gue masih TK."

"Nggak sengaja?"

"Nyokap gue keasyikan ngobrol sama salah satu orang salon, sementara yang bertugas motong rambut gue ngiranya gue mau ramut gue dipendekin."

"Terus?" Jenar bertanya sambil mematikan rokoknya. Matanya sudah sepenuhnya terfokus pada Rei.

"Long story short, waktu gue SMA... dia... begitu. He cheated on my Mom with someone younger. That woman is only... I don't know, four or five years older than me? He left home. He left me. I hate him. I cut my hair, just to show him that's dead to me."

"..."

"What a petty way to hate someone. I know." Rei tersenyum, tapi buat Jenar, senyum itu terkesan sedih. "Gue nggak bisa manjangin rambut, karena itu bikin gue keinget sama dia. Sometimes, it's unbelievable, you know. He's supposed to be the one who protects me from the world, but he broke my heart before anyone else could."

Jenar masih saja tidak mengatakan apa-apa dan itu bikin Rei diserang rasa awkward.

"Jenar?" Rei memanggil.

Jenar tetap bergeming, memicu Rei mengulurkan tangan, berniat mengguncang salah satu bahunya, namun Jenar lebih cepat menangkap tangan Rei yang terulur dan secara tidak terduga, dia menarik Rei ke dalam dekapannya.

"JE—THE FUCK ARE YOU DOING?!!" Rei melotot setelah dia berhasil melepasan diri dari pelukan Jenar yang begitu tiba-tiba.

"Sori, refleks."

"Refleks apaan?!!"

"Nggak tahu kenapa, gue ngerasa lo lagi butuh pelukan, meskipun lo nggak minta."

Rei tahu, harusnya dia kesal karena siapa tahu, ini masih akal bulus seorang Jenardi. Tapi sepertinya, Jenar memang membahasakan kepeduliannya dengan sentuhan. Oke, itu terdengar agak... ambigu. Maksudnya, Jenar memang agak touchy-touchy, suka menggandeng, memeluk atau merangkul tanpa ada niatan buruk.

Rei menarik senyum tipis. "Jenar, thank you."

Jenar terperanjat. "Kirain gue bakal ditabok."

"No." Rei tertawa geli. "Mungkin karena lo orang pertama yang kepikiran buat nanya kenapa. Kebanyakan orang hanya menyayangkan, bilang kalau sayang banget motong rambut segitu banyak, atau tentang gimana rambut panjang lebih cocok untuk gue."

"Short or long or even bald, you'll always look good."

"Kata siapa?"

"Gue. Barusan."

Rei menyengir, nggak bisa menahannya. Mereka duduk di sana beberapa lama, sampai Jenar mengajak pulang. Mereka jalan kaki lagi, soalnya Jenar juga disamper Mark naik taksi. Dia nggak bawa endaraan. Rei lega waktu mereka telah jauh dari McDonald's, karena dia nggak perlu berhadapan sama Johnny.

"Tapi ini yakin kita jalan kaki? Nggak kejauhan?" Rei bertanya.

"Nggak akan kerasa, kan kita mau ngobrol."

"Kita nggak sedekat itu. Mau ngobrolin apa?"

"Justru biar kita deket." Jenar tertawa. "Saling nanya aja, mau nggak? Tapi harus jawab jujur."

"Oke."

"Gue dulu ya?"

"Iya."

"Do you have any tattoo?"

Lagi-lagi, pertanyaan yang nggak Rei tebak sama sekali. Kayak... dari segala topik, kenapa tiba-tiba Jenar menyerempet ke tato?

"I have two." Rei akhirnya jawab jujur.

"Apa aja?"

"Hey, that's cheating!" Rei protes. "giliran gue."

"Oke, oke. Mau nanya apa?"

"Are you... a virgin?"

Bukan berarti Rei ada rencana ngapa-ngapain sama Jenar, tapi dia lebih ke penasaran saja. Sejak dia masih maba, Jenar sudah sangat terkenal sebagai lelaki idola para mahasiswi, bahkan sampai luar fakultas. Tipikal penakluk wanita gitu deh. Rei pengen tahu, apa kehidupan pencinta wanita blasteran buaya darat kayak Jenar sama nyelenehnya seperti yang digambarkan di film-film?

"Bukannya udah jelas?"

"Oh, okay, wrong question. Gue ralat. Was your first time great?"

"Kenapa bahasanya jadi gini sih? Kayak... personal banget?"

"Lo bahas tato. Itu juga personal."

Jenar terkekeh. "Of course it wasn't great. I didn't have any idea about what was going on. Masih cupu. Nggak ngerti dan masih clueless harus ngapain."

"Sekarang udah nggak cupu?"

"Mau dicoba?" Jenar menantang.

Wah, Rei salah bertanya. "Nggak usah, makasih."

Jenar malah kian semangat meledek. "I can make your first time memorable, you know."

"Bold of you to assume that I am still virgin."

"HAH?!!!!" Jenar terkejut. "SAMA SIAPA?!!!"

"Nggak mau jawab. Hehe." Rei mencibir. "Tuh kan, bahas yang normal-normal aja kenapa sih?"

"Bahas yang normal kayak gimana?"

"Warna favorit. Makanan favorit. Rekomendasi lagu. Serial Netflix yang disuka. Obrolan normal."

"Gue nggak suka obrolan normal." Jenar menggeleng. "Gue mau tau apa yang orang-orang nggak tahu tentang lo."

"Buat apa juga?" Rei jadi heran.

"Pengen tahu aja." Jenar mengangkat bahu. "Was it... great? Your first time."

"Totally awful." Rei nggak mengerti, kenapa dia bisa gampang banget ngomongin itu sama Jenar. "Kind of traumatic."

"Kenapa?"

"Mmm... maybe because it hurt?"

Jenar kehilangan kata-kata selama beberapa detik, hingga dia menelan ludah dan katanya, "Sori."

"Bukan lo yang salah, kenapa lo yang minta maaf?"

"I feel bad."

"Like yours was great." Rei mengejek. "Tapi gue nggak percaya sama diri gue sendiri. Kenapa ya gue bisa ngomongin kayak ginian sama lo?"

"Kenapa nggak?"

"Soalnya ini tabu, dan lo cowok. Kayak apa ya... it's not that unusual for boys to talk about their first time, tapi berbeda sama cewek. Apa yang dianggap 'pencapaian' di circle cowok, dianggap aib di circle cewek. Cowok yang tidur sama banyak perempuan dianggap Arjuna, penakluk perempuan, jantan. Cewek yang tidur sama banyak laki-laki dianggap piala bergilir, pelacur, murahan."

"..."

"Do you I think I am cheap? For not being a virgin."

"I don't know, but you're someone easy to fall in love with."

"Gimana lo bisa tahu?"

Because I am... currently... in love...

Jenar hanya menggelengkan kepalanya, kemudian berujar. "I just know."

Rei langsug buang muka sehabis mendengar jawaban Jenar, tapi Jenar tahu, cewek itu lagi menyembunyikan senyumnya. Mereka lanjut jalan kaki. Tadinya, Jenar mau lanjut ngepoin soal tato... walau akhirnya dia mengurungkan niatnya.

Be patient, bisiknya pada dirinya sendiri.

Jenar baru sadar, ternyata benar apa kata orang yang bilang kalau tempatdan waktu itu bukan yang terpenting, melainkan orang yang bersama lo sekarang. Jenar bukan Kahlil Gibran, bukan juga orang yang punya bakat jadi pujangga, tapi kenapa ya, kalau dia lagi sama Rei, waktu serasa berlalu secepat itu?

Jenar mengantar Rei sampai ke depan pagar kosan Sadewo dan sebelum Rei masuk, dia sempat bicara lagi.

"Regina."

"Hm?"

"Dream a little dream of me."

"GOMBAL AJA TEROS, BUAYA!!"

"Nggak, itu judul lagu Doris Day."

"Oh... terus?"

"Nggak apa-apa." Jenar nyengir. "Ngasih tahu aja."

*

Keesokan harinya, Jenar lagi berjalan menyusuri koridor kampusnya saat dia berpapasan sama Johnny. Tumben sekali, Johnny jaketan. Berarti, cowok itu bawa motor hari ini. Johnny is more like a car person, jadi dia hanya bawa motor kalau lagi kepingin, atau kalau lagi buru-buru saja. Dua-duanya jalan bareng ke kantin. Santai saja melangkah bersebelahan, hingga Johnny jadi yang bersuara duluan.

"Kemarin lo ke Mekdi?"

Jenar mengangkat alis. "Iya. Kenapa?"

"Nggak sengaja lihat lo pas gue mau ke parkiran. Dari belakang sih. Jalan kaki sama cewek. Mau gue panggil, takut salah."

"Bagus lo nggak panggil."

"Emang kenapa?"

"Lagi pacaran."

Johnny memutar bola mata. "Siapa?"

"Lah, masa nggak bisa ngenalin?" Jenar malah balik bertanya sembari menyeringai.

"Nggak kelihatan, gelap."

"Regina."

Johnny belum sempat menjawab sewaktu hp-nya bergetar karena ada chat. Dia mengeceknya, bikin Jenar bete karena berasa dicuekin, padahal baru mau songong.

"Siapa sih?"

Johnny mennoleh, terus tersenyum manis. "Regina."

Jenar kontan nggak terima. "Ngapain dia chat lo?!!"

"Kita mau jalan berdua sepanjang sisa hari ini." Johnny berujar, ganti dia yang menyeringai.




to be continued.

***

-bonus-

Saat Tigra dan Rei pacaran, yang tahu memang cuma Harsya dan Dhaka. Dipikir lagi, nggak ada yang curiga juga sih. Tigra dan Rei sudah berteman dekat cukup lama dan berhubung dua-duanya memang bermulut lemes, sudah biasa banget dengar mereka saling 'babe-babe'-an atau 'anjing-anjing'-an. Mereka berdua sangat lowkey dan cuek.

Tapi ya berhubung di tempat Tigra ada Yuta, Milan dan Wirya, jelas nggak mungkin mereka mau pacaran di sana. Di kos Sadewo apalagi, soalnya yang tahu hanya Harsya. Terus kalau mereka mau pacaran kemana?

Staycation ke luar kota.

Kadang ngapa-ngapain.

Tapi lebih seringnya nggak ngapa-ngapain, cuma quality time bareng saja.

Lalu suatu ketika... waktu mereka staycation...

"Kayaknya cuacanya bakal bagus deh hari ini. Wanna go swimming together?" Tigra bertanya sehabis dia membuka gorden yang menutupi kaca besar kamar mereka. Kamar pun langsung terang benderang.

"Rada siangan ya? Dingin. Nggak kuat gue."

"Kay." Tigra meraih hp, terus buka Instagram. Mau randomly nge-live saja sih, biar nggak kelihatan no lyfe banget. Habis mulai live, Tigra naro hp-nya di depan jendela. Masih pagi, jadi belum ada yang join. Apalagi hari libur begini. Instagramnya Tigra juga di-private sih, soalnya dia bukan yang murahan kayak Jenar.

"Are you gonna make your usual lemon honey green tea?"

"Yap."

"Make it two."

"Okaaaay—wait, lo ngapain?!"

"Nge-live—"

"Tigra—" Rei menatap Tigra penuh perinatan.

"Chill, no one will know it's you, besides—" Tigra ngecek live. "Baru ada satu orang. I bet it's Dhaka. He has no life."

"Ck."

"Oh ya, how about our plan?"

"Which one?"

"About we... getting a tattoo together?"

"Janjinya besok sore."

"Oke—ooppss—"

"Kenapa?"

"Yang join bukan Dhaka ternyata."

"Hah?! Siapa?!"

"Sierra."

"Sierra siapa?"

"Ada. Anak FEB. Nggak bakal kenal lo."

"Oke."

Oknum di balik akun Sierra:

***

Tiap malam Minggu, sudah jadi kebiasaan Yuta buat main futsal atau main basket. Kadang sama Lanang, kadang sama Milan atau sama Jaka. Mereka berbeda departemen, tapi namanya juga anak cowok, gampang-gampang saja get along, apalagi kalau punya hobi sama. Namun setelah dapat hadiah menang UNO berupa pacar, jadi selang-seling. Malam Minggu pertama, main basket. Malam Minggu kedua, jalan sama Yumna. Gitu terus.

Hingga di suatu malam Minggu, Jenar ngajakin anak-anak futsalan. Banyakan sih, bukan Cuma anak Mesin sama anak Arsitektur doang, anak Sipil sama Geologi juga ada yang ikutan. Berhubung malam Minggu itu jatahnya Yumna, Yuta akhirnya nge-chat.

Uyyyy

Apa ni, Sob?

Malem ini gue mau selingkuh.
Boleh ngga?

Boleh asal sama yg lebih cakep dari gue
Jangan downgrade
Lo yg malu-maluin, gue yang malu.

Sama anak-anak mau futsalan.

Ok, kalo gt gue juga selingkuh.
Mau nyalon aja sama Jella.

Kalo mau dateng gpp kok
Ceweknya Kun aja dateng.

Hmm

Mau ngga?

Ngga ah, nanti temen-temen lo naksir gue.

Boleh saja Yumna bilang begitu, tapi pada akhirnya, dia tetap nongol. Bareng sama Rossa, yang seperti biasa, alasannya "mau lihat Milan". Untungnya ketika itu, Juwita, pacarnya Milan nggak hadir.

Lalu malam ini... Yumna nggak tahu kenapa, tapi rasanya ada yang salto dalam hatinya ketika dia buka Instagram dan lihat update-an baru Yuta. Nggak, Yuta nggak unggah foto bareng Clara. Yuta malah unggah fotonya. Foto itu foto lama. Yuta lagi pakai baju yang biasa dia pakai futsal, rambut gondrongnya dikuncir. Itu foto waktu Yumna datang buat nontonin dia futsalan.

Yuta ganteng.

Tapi yang bikin Yumna bergetar adalah caption yang dia tuliskan di foto itu.

"boleh kangen ngga?"

Gitu bunyi captionnya. 


***

a/n: 

bisa dibilang, cerita ini tuh cerita nakal yha wkwkwk 

bukan cuma cowo-cowonya yang nakal, cewenya juga nakal haha 

tapi gapapa, aku bosen kalo cewenya polos-polos menye alias two can play this game, bishhhhh

btw di ig tuh banyak yang request scene aneh-aneh, jadi ntar eksekusinya di wp aja yah. 

tenang, akan ada scene yang iya-iya, tapi nanti, kalo memang udah waktunya sampai disana wkwkwk 

dahlah kalo gitu, sekian dan terimakasi. 

ciao. 

***

September 9th 2020

17.40 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro