11 | jealousy
Saat mereka berdua tiba di parkiran, ternyata sudah sepi banget. Kayaknya, orang-orang yang tadi nonton midnight satu studio sama mereka juga sudah pada pulang. Melihat itu, Rei jadi terdorong buat bertanya.
"Gue ketiduran berapa lama sih?"
"Cukup lama."
"Kenapa nggak bangunin?" Rei bertanya dengan muka merah, terbayang sememalukan apa ketiduran di pundak orang. Mana muka ketika tidur tuh biasanya adalah level terdahsyat dari segala bentuk muka aib.
"Seru liatin lo tidur."
"Ck."
"Mau langsung pulang nih?"
"Mau kemana lagi?"
"Main dulu kek ke tempat gue. Mau nggak?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Takut diapa-apain."
Jenar tertawa kecil, tapi dia menuruti keinginan Rei dan mengantarcewek itu pulang ke kosannya.
Kalau menjelang tengah malam gini, jalanan jadi cukup sepi. Kesannya berasa jalan punya nenek-moyang sendiri.
"Je," Rei memanggil habis menyerahkan helmnya pada Jenar setelah mereka berdua berada di depan pagar kosan.
"Hm?"
"Hati-hati ya."
Jenar mengerjap tidak percaya, memandang kaget selama sepersekian detik sebelum tawanya meledak lagi. "Pengen balik bilang bobo yang nyenyak terus mimpiin gue ya, tapi udah tau bakal ditolak."
"Kalau mimpiin lo, jadinya malah mimpi buruk." Rei berujar, setengah bercanda. "Tapi serius, makasih dan maaf banget karena gue malah ketiduran."
"No problem. Btw, janji kita tadi jangan lupa."
"Janji apa?"
"Nonton Hannibal bareng." Jenar berkata seraya menyangkutkan helm yang tadi Rei pakai ke bagian depan motor.
Rei nggak mengiakan, nggak juga menolak. Tanpa menjawab ucapan Jenar, dia langsung bergerak menuju pagar. Tapi hanya dalam hitungan detik, cewek itu berhenti melangkah dan berbalik karena merasa aneh sebab tak kunjung mendengar suara mesin motor Jenar dihidupkan.
"Kenapa?" Jenar bertanya, masih duduk santai di atas motornya.
"Kok belum jalan?"
"Ngusir?"
"Gue nanya serius."
"Nggak apa-apa, nungguin lo beneran masuk dulu."
Rei mengedikkan bahu, berusaha nggak terlalu memikirkan apa makna di balik tindakan Jenar dan langsung masuk. Lantai satu sudah sepi. Dia naik ke lantai dua, langsung disambut suara Yumna dari balkon. Lantai dua juga punya balkon, walau nggak sebesar lantai tiga. Balkonnya menghadap ke sebuah waduk besar, tampak mirip danau. Bagian dindingnya didominasi oleh kaca. Tempat itu punya pemandangan yang bagus saat senja.
Yumna lagi duduk sendirian, sibuk nge-vape.
"Astaga, udah malam gini nggak takut masuk angin?"
"Nggak."
"Nggak takut dijahilin sama yang nunggu danau?"
"Yang nunggu danau yang takut sama gue." Yumna menukas songong, namun ya Rei juga nggak bisa bilang kata-kata Yumna itu salah sih.
Konon, nenek-moyangnya Yumna ini adalah orang sakti mandraguna masa lalu. Kata Jinny, semacam Raden Kian Santang atau Jaka Tingkir gitu kali ya? Tapi kalau menurut Rei, Yumna lebih cocok jadi turunan jauhnya Wiro Sableng.
Soalnya otaknya rada gendheng.
"Gimana sama Jenar? Asik nge-datenya?"
"Nggak gimana-gimana."
"Kasiannya."
"Siapa yang kasian?"
"Jenar."
"Hah?"
"Entah lo ini pura-pura bego atau bego beneran." Yumna berdecak. "Jenar udah effort banget tapi dibilang nggak gimana-gimana."
"..."
"Btw, lo dicariin mantan monyetnya Sakura."
"Siapa?"
"Alfa, personilnya Indica."
"Hah, kenapa?"
"Katanya dese mau nikah."
"Terus ngapain nyariin gue!? Emangnya gue petugas KUA?"
"Nggak tahu. Kata Jella, Alfa udah coba nelepon lo tadi, tapi hp lo mati." Yumna menghisap vapenya, kemudian mengembuskan asap ke udara. "Tanya aja langsung ke orangnya."
*
Mohon maaf banget nih, bukannya bermaksud menumbangkan Yumna dari tahtanya sebagai ratu julid se-kosan Sadewo, tapi Rei suuzon banget dengar Yumna bilang Alfa mau nikah. Ini kayaknya lupa narik deh, alias hamidun duluan. Mana mungkin seorang Alfa yang lebih ganas daripada Jenar dalam perkara hunting cewek bisa tiba-tiba nikah? Mantannya saja boleh dibilang setengah kampus. Belum yang dari kampus lain.
Kalau Devan yang mau nikah, Rei percaya karena dari dulu, Devan orangnya family man banget dan berpikir jauh ke depan—walau ya, sudah putus dari Krystal.
Karena sudah malam, Rei memilih langsung tidur. Yumna terus saja nge-vape sendirian. Tadinya Rei kepingin ikutan, tapi nggak jadi berhubung sudah kepalang ngantuk. Dia masuk ke kamar, menyambungkan hp-nya dengan charger dilanjut menghidupkannya. Ada chat masuk. Dari Jenar.
Gue barusan sampe.
Lagi jalan dari basement.
Ok. goodnight.
Jenar nggak membalas lagi. Rei lanjut cuci muka, memakai skincarenya dan tidur. Bangun-bangun, secara mengejutkan, jam delapan pagi. Karena lagi tanggal merah, dia nggak perlu buru-buru bangun untuk bersiap pergi ngampus atau sejenisnya.
Seperti mayoritas anak muda lainnya, bangun tidur kuterus? Cari hp dong, masa mandi tidak lupa menggosok gigi.
Ada chat dari Alfa.
Reeiiiiiiiiii
Iya, Kak?
Kemane aje lo sibuk bgt
Semalem ada acara, Kak.
Cie, nge-date ya?
Devsky patah hati dong.
Hah??????
Hehe gpp.
Rei, hari ini ada waktu ngga?
Jam makan siang.
Knp, Kak?
Ada yg mau gue omongin.
Penting. Nanti kita ketemu di tempat yang deket-deket kos lo aja.
Gmn?
Oh, ok, Kak.
Sip, ntar gue sendloc ya.
Sejujurnya, Rei mager banget. Tapi ini Alfa. Nggak mungkin dia cuekin. Meski rada tengil, Alfa ini senior yang baik. Bukan sekali-dua kali dia bantuin Rei perkara tugas ataupun ospek fakultas saat dia belum lulus. Bahkan ketika sudah lulus, Alfa masih suka membantunya. Walau kadang dia nggak waras juga sih.
Akhirnya Rei mendatangi tempat janjian, berupa sebuah kafe yang berada nggak jauh dari kosanny tepat menjelang makan siang. Saat sampai, Rei sibuk melihat kesana-kemari, mencari-cari hingga dia menemukan Alfa melambai dari salah satu meja. Jantung Rei serasa melorot ke perut seketika.
Alfa nggak sendiri. Dia sama Johnny.
Dia sama Johnny.
DIA SAMA JOHHNY.
Ini nggak mungkin beliau mau nikah sama Johnny kan? Bisa nangis darah Rei nantinya.
"Uyy!! Sini!!" Alfa memanggil, menyuruh Rei mendekat. Rei nyengir salah tingkah. Waduh, mana hari ini Johnny ganteng banget. Rambutnya nggak dibiarin jatuh ke dahi kayak biasanya dan cowok ganteng kalau sudah mamerin jidat tuh... bukan main, rasanya pengen buru-buru diajak tanda tangan buku nikah bersama.
"Mau pesen apa? Sana pesen aja. gue yang bayar."
"Ah, gampang, Kak."
"Nggak usah gampang-gampang."
Rei menuruti maunya Alfa, memesan minuman. Basic saja, kopi susu pakai brown sugar. "Ini kenapa ya, Kak?"
"Gue mau nikah."
"Sama Kak Johnny?"
Johnny tertawa kecil (dan ganteng). "perasaan gue udah pernah bilang deh kalau gue suka cewek."
Alfa ikut tergelak. "Ini berhubung lo berdua tuh sama-sama temen gua yang paling waras dan paling bisa diandalkan, gue jujur aja, gue kayaknya mau ngerepotin nih. Kalian kira-kira bersedia nggak bantuin gue nyiap-nyiapin urusan nikahan?"
"Kayak wedding organizer gitu, Kak?"
"Nggak, untuk WO udah ada sendiri kok. Cuma gue ngerasa gue butuh dibantu untuk perkara-perkara yang lebih apa ya, yang kira-kira bakal lebih berhubungan sama anak-anak kampus gitu loh. Kalian kan anak kampus juga, otomatis bakal lebih luwes dari orang WO yang itungannya asing buat anak-anak."
Hadeh, suruh siapa Alfa sekampus dijadiin teman (dan gebetan) semua.
"Gue oke-oke aja, Kak. Tapi mau tau nih, calonnya siapa sih?" Terus-terang, Rei penasaran to the max.
"Jawab dulu, mau nggak? Johnny udah mau."
"Iya." Rei nggak merasa dia punya pilihan.
"Sierra."
Dahi Rei berkerut. "Sierra mantannya Jenar?"
Dan dia langsung menyesali ucapannya. Edan. Gimana bisa dia keceplosan? Gini nih, kalau mulut jalannya lebih cepat daripada otak.
Johnny dan Alfa kontan saling pandang. Habis itu, Johnny menyedot iced Americanonya. Basic, tapi laki. Ini kalau dia minumnya di warkop, pasti pakai gelas belimbing sambil satu kaki diangkat. Terus diskusi nomor togel bareng sesama pria berumur.
"Udah sedekat apa lo sama Jenar sampai lo tau mantannya? Gue aja nggak tau loh."
"Bukan mantan dalam artian sebenarnya." Johnny menukas. "Like a hook-up."
"Oh. Mantap juga Jenar." Alfa berkomentar. "Regina, lo belom jawab gue. Sedekat apa lo sama Jenar?"
"Biasa aja."
"Jangan gitu, kasian."
"Siapa yang kasian?"
"Jenardi lah. Siapa lagi?"
Hah? Maksudnya Alfa ngomong gitu tuh apa ya? Rei nggak mengerti sama sekali. Mungkin bisa dikasih subtitle?
"Udah ah, kok jadi ngomongin gue!" Rei melengos. "Tapi jujur, gue nggak nyangka lo beneran mau nikah, Kak."
"Sama, gue juga."
"Lah?" Rei jadi heran. "Apa jangan-jangan—"
"Nggak, nggak hamil duluan." Alfa terkekeh. "Dari jaman kuliah, nyokap gue sama nyokapnya Sierra sahabatan. Udah ngotot mau jodohin kita dari lama. Cuma gue dan Sierra sama-sama kompak nolak."
"Terus sekarang berubah pikiran?"
"Nyokapnya Sierra sakit. Jadi kita mengalah."
"Oh..."
"Yaudah, kalau udah clear, karena gue ada urusan lain, gue tinggal ya? Gue udah pesenin makan siang buat lo sama Johnny. Makan aja dulu. John, antar Regina pulang ya?"
Wah, nggak sekalian saja dorong Rei ke dalam sumur penuh buaya?
*
Makan siang sama Johnny? Numero uno.
Nggak deng, makan siang sama Johnny nggak ada seru-serunya, yang ada malah bikin Rei kepingin lenyap dari sana detik itu juga. Dia mati kutu dan jadi sangat-sangat self-concious, takut gerak, takut berekspresi, takut nggak sengaja masang muka jelek. Mana dari semua yang ada di menu, Alfa pesan carbonara buat dia. Kenapa nggak aglio e olio saja sih?
Makan spaghetti carbonara tuh nggak ada bagus-bagusnya terutama buat Rei yang saat makan, sering belepotan di sekitar bibir. Tapi ya sudahlah. Cewek itu berusaha stay cool.
"Gue nggak tahu kalau ternyata lo cukup dekat juga sama Alfa." Johnny memulai sambil makan.
"Dia temennya Kak Devan, jadi gue kenal. Terus ya, berapa kali dia bantuin gue, gue juga pernah bantuin dia jadi volunteer di sejumlah prokernya. Gue bukan tipikal anak yang bisa bener-bener commit sama organisasi." Duh, kenapa Rei jadi ngalor-ngidul begini ngomongnya? Memangnya Johnny mau tahu dia anak organisasi atau bukan?
"Oh." Johnny manggut-manggut. "Bisa gitu ya? Tau gitu, pas gue jadi Kahim, gue minta lo volunteer juga di proker gue."
Hng?
Tiba-tiba, hp Rei bergetar karena notifikasi chat baru yang masuk. Rei mengeceknya. Pesan itu datang dari Jenar.
Laper bgt gw. Makan yuk.
Lg di kafe.
Kafe mana? Gue susul.
Gue sm Johnny.
What the fuck?!!!
The hell??
Did you just curse at me???
Ngapain lo sama Johnny?
Kalo mau nanya gt, coba pikir dulu.
Lo siapa?
Bokap gw? Bukan. Just shut up.
Jago jg ya lo.
Apanya????
Semalem nonton sm gue.
Besoknya udh ngafe sama yang lain.
Cuma tulisan, tapi Rei bisa membayangkan dengan jelas gimana ekspresi Jenar waktu dia mengetik chat itu.
Pasti ngeselin.
Apaan sih kok jd marah-marah?!!
Lo dmn?
Kafe.
Jawab yg bener. Kafe mana?
Gue gamau disusul.
Lo knp sih nyolot banget?!
Lo dmn?
Gausah bales kalo ga jawab yg bener.
Fine. Rei meladeni tantangan Jenar, nggak membalas chat itu dan malah mematikan paket datanya. Biarin saja.
"Kenapa?" Johnny bertanya begitu menyadari perubahan ekspresi wajah Rei yang sangat jelas.
"Nggak apa-apa." Rei berusaha bersikap biasa saja, tapi moodnya sudah kepalang jelek. Johnny lanjut mengajaknya mengobrol, tapi Rei yang sudah terlanjur sebal gara-gara Jenar hanya menanggapi alakadarnya. Mungkin jawaban Rei terlampau flat, jadi saat Johnny menurunkan Rei di depan pagar kos putri Sadewo, Johnny nggak langsung pergi begitu saja.
"Rei, kalau gue nyinggung lo secara nggak sengaja tadi, gue minta maaf."
"Nggak kok, Kak. Kenapa mesti minta maaf?
"Mood lo kelihatannya jelek banget."
"Bukan salah Kak Johnny." Rei buru-buru menukas.
"Baguslah kalau gitu." Johnny terlihat lega. "Soalnya, kita juga bakal sering ketemu buat bantuin persiapan nikahnya Alfa sama Sierra. Kan nggak enak aja kalau ada yang ngeganjel."
"Iya, Kak. Santai aja."
Johnny tersenyum lagi, lantas memasang helmnya dan melenggang pergi. Rei sengaja menunggu sampai dia dan motornya hilang di tikungan, baru bermaksud masuk melewati pagar ketika tahu-tahu, ada suara motor lain yang berhenti di belakangnya. Refleks, Rei menoleh dan mendapati Jenar telah membuka helm. Rambutnya agak berantakan karena helm yang dia buka secara tergesa-gesa.
"Abis dari mana?" Jenar langsung bertanya, kedengaran menohok.
"Lo jauh-jauh kesini cuma buat marah-marah?"
"Nggak usah balik nanya! Jawab gue dulu!"
"Abis dari kafe. Sama siapa? Sama Johnny. Puas?"
"Kalau ditanya tuh jawab, jangan balik nanya."
"Pertanyaan lo nggak make sense dan nggak pada tempatnya."
"Make sense. Wajar gue nanya. Menurut lo, ada gitu cewek bener yang jalan sama dua cowok berbeda hanya dalam waktu kurang dari 48 jam? Semalem lo sama gue, siang ini udah sama yang lain lagi."
Suara Jenar tidak sejahil biasanya. Suara baritonnya dalam dan berat. Dia terdengar kayak betul-betul marah. Kata-kata yang dia gunakan otomatis bikin Rei batal meraih pintu pagar. Jenar sudah nggak lagi duduk di jok motornya. Cowok itu telah beranjak, menghampiri Rei. Mereka berdiri berhadapan. Perbedaan tinggi mereka bikin Rei harus menengadah, tapi cewek itu tetap tak gentar.
"Jadi maksud lo, gue cewek nggak bener?"
"Bukan gue yang ngomong."
"Tapi maksud lo ngarah kesitu kan?"
"Menurut lo?" Jenar balik menantang, memicu Rei naik pitam. Dia murka, juga sakit hati karena berani-beraninya Jenar menilainya seburuk itu. Tahu apa Jenar tentang dia?
"Lo nggak berhak ngomong kayak gitu! Lo nggak kenal gue! Lo bukan siapa-siapa gue!"
"Tapi semalem—"
"Terus kenapa? Cuma nonton. Titik. It was NOTHING!"
"Nothing?" Jenar terperangah, tapi habis itu dia raih salah satu tangan Rei, memegangnya dengan kencang sampai Rei meringis kesakitan. Di balik amarah di mata cokelat terangnya, ada sesuatu yang... terlihat seperti... kesedihan? Rei nggak bisa dan nggak mau menerka. "You said it was nothing?!!"
"Yes!!"
"What are you really? Why are you being this cheap? Are you a hoe?"
Itu yang terakhir. Jenar betulan melewati batas. Rei langsung menamparnya keras-keras, jauh lebih keras daripada tamparannya di departemen Jenar tempo hari.
Rei memandang Jenar dengan mata yang berkaca-kaca. Harga dirinya serasa terinjak. Napasnya terengah, memburu seperti dia baru saja melewati satu sesi marathon. Pipi Jenar seakan terbakar. Rei enggan menatapnya lebih lama, langsung menarik lepas tangannya yang tadi dipegang Jenar dan berlari ke pagar. Dia harus buru-buru kabur, karena dia nggak mau memberi Jenar kepuasan lebih sebab dirinya melakukan tindakan bodoh seperti menangis.
Di dalam, cewek itu bertemu dengan Yumna dan Jinny yang lagi ngerujak di depan tv. Rei masuk kamar tanpa menyapa mereka. Air mata mengalir tanpa bisa ditahan di pipinya. Jinny kontan menoleh pada Yumna.
"Kak, itu Kak Rei kenapa? Kayaknya nangis deh."
"Biarin aja. Dia kalau lagi kayak gitu kudu dibiarin nenangin dirinya sendiri dulu." Yumna menjawab. "Tadi dia pergi kemana sih?"
"Nggak tahu, tapi kata Teh Jella, dia mau ketemu Kak Alfa mantannya Sakura tea."
"Nggak mungkin sih itu monyet yang bikin Rei nangis. Tapi gampang lah ntar gue wadul ke Jella."
Terus beneran, Yumna mengadu ke Jella, makanya nggak heran ketika menjelang sore harinya, diam-diam Jella chat Jenar.
Rei balik-balik nangis. Gara-gara lo bukan?
.... Iya.
Bajingan.
Temen lo lebih brengsek.
Ada apa sih?
Jenar akhirnya bercerita, hanya untuk dimaki-maki Jella setelahnya.
He goblok, dia abis meetup sama Alfa sama Johnny krn si Alfa mau nikah, minta tolong Rei bantu dikit acaranya!!! Soalnya Rei sama Johnny tuh bisa diandelin menurut Alfa.
Tp gila ya ajg, mulut lo sampah bgt.
Jenar kepingin tabok dirinya sendiri. Tapi kata-katanya sudah terlanjur keluar, nggak akan bisa ditarik lagi. Cowok itu sempat berpikir keras sebelum akhirnya dia chat Rei.
Regina.
Sorry.
*
Saat dia buka chatnya Jenar, Rei bingung dia mau maki-maki atau cuma read doang. Tapi ujung-ujungnya, malah chat Jella. Heran, padahal kamar juga sebelahan.
Lo bilang apa ke Jenar?!!
Langsung nyerang gw gini sih.
Ngga mungkin dia ngga ada angin ngga ada ujan minta maap.
Kalo ngga ada angin ngga ada ujan bisa marah-marah, masa minta maaf aja gbs.
La.
Gw jg tau dari Ujuy sama Jinny.
Ya terserah lo mau maapin apa ngga.
Rei pusing.
Dia baru read chatnya Jenar, belum kepikiran mau balas apa, tapi seperti biasa, bukan Jenar namanya kalau nggak rewel.
Beneran gue minta maaf.
Yaudah.
Yaudah apa?
Yaudah ga kenapa-napa.
Dimaafin apa ngga?
Ngga.
Regina.
Rei sudah kepalang kesal, akhirnya jarinya menarik lagi di atas layar.
Block Jenar?
Yes.
Blocked.
*
Rasanya Yumna kepingin lempar hp-nya ke tembok waktu lihat Yuta lagi update makan sama Clara. Makannya di angkringan, tapi kesel banget dia waktu tahu itu angkringan langganannya. Dia yang pertama kali ngajak Yuta kesitu. Sekarang berani-beraninya Yuta menodai tempat itu bareng cewek pedekate-annya yang baru.
Semua lelaki memang brengsek.
Yumna gregetan, mana lapar. Tapi dia sudah berikrar bakal istiqomah dengan Herbalife sampai seenggaknya bulan depan. Saatnya dia menjadi bohay demi membuat Yuta kepanasan. Tapi mendadak, kekesalannya teralihkan oleh suara ketukan di pintu kamarnya.
"Oit, apa?"
Jella masuk. Biasanya dia kurang berbudi, jarang banget ngetok dan seringnya langsung nyelonong saja. Tapi terakhir kali dia nyelonong, Yumna tuh baru selesai mandi. Belum pakai baju. Matanya Jella ternodai dan sejak saat itu, dia selalu ngetok dulu sebelum masuk ke kamar anak kosan.
"Milan ngajak gue jalan."
Yumna hampir terloncat dari kasur. "TERUS LO TERIMA?!!!"
"Bingung gue. Rossa kan naksir berat sama dia."
"Emang Milan udahan sama Juwita?"
"Nggak tau."
"Terus?"
"Selain Milan, ada lagi yang ngajakin gue jalan."
"ANJRIIIIIIITTT!!!" Yumna heboh banget. "Pake susuk apa lo?! Laris amat!!!"
"Jangan gede-gede, nyet, kedengeran Rossa nanti!" Jella memperingatkan.
"Siapa lagi yang ngajak?"
"Wirya."
"...."
"Menurut lo, gue kudu jalan sama yang mana, Juy?"
"Wirya, no debat."
"Kenapa?"
"Anak juragan toko emas. Duitnya banyak."
"Idih!"
"Realistis aja lah!" Yumna mengibaskan tangan. "Lagian kalau lo jalan sama Milan, emangnya lo siap tempur sama Rossa? Ingat, dia udah naksir Milan sejak maba."
Jella terdiam seketika.
***
Udah kelar kelas blm?
Makan yuk. Laper.
Rei baru keluar dari kelas ketika ada chat masuk dari Harsya. Dia membalas singkat, setuju buat ketemuan. Departemennya Harsya sama departemennya Rei memang nggak jauh, karena kembali lagi, gedung setiap departemen di FT itu saling berdekatan dan berada dalam satu komplek gedung yang sama. Karena itu juga, gampang kalau mereka mau sekalian janjian makan siang atau ketemuan sama Dhaka atau Tigra—tapi nggak tahu sih, akhir-akhir ini Rei cukup jarang ketemu sama tuh dua anak. Sepertinya, mereka juga sibuk mengurus projects kuliah yang makin mendekati deadline.
Yuk.
Tunggu tempat lo.
Gue lg pengen makan lontong bumbu.
Rei berjalan menuju kantin departemennya, menunggu hingga Harsya muncul. Nggak biasanya, cewek itu sendirian. Padahal umumnya kemana-mana, kalau nggak ditemani Dhaka ya ditemani Tigra.
"Tumben ngajak gue makan siang."
"Jackson full banget kelasnya hari ini, FH juga kan lumayan jauh dari FT."
"Pantesan!!"
Harsya nyengir, lalu lanjut bicara. "Yaudah, mesen dulu. Laper gue." dia bergerak menuju tempat pedagang lontong bumbu yang dia maksud lantas nggak berapa lama kembali dan duduk di depan Rei. "Eh, lo sama Johnny dan Jenar tuh ada apa sih? Gue dengar sekilas doang dari Jinny sama Uuy, katanya kemaren lo nangis."
"Nggak ada apa-apa. Jenar-nya aja yang rese."
"Terus?"
Rei cerita ke Harsya soal Jenar dan kemarahannya yang nggak beralasan di depan kos putri Sadewo sehari sebelumnya, termasuk kata-kata yang dilontarkan cowok itu dalam keadaan super emosi.
"Gila ya, Jenar! Kalau gue ada di sana udah gue krauk tuh mukanya biar jadi nggak cakep-cakep amat!!"
"Masih aja dipuji!!" Rei protes.
"Gimana, abisnya dia emang cakep." Harsya terkekeh. "Tapi dia udah minta maap apa belom?"
"Udah. Minta maap alakadarnya." Rei mengibaskan tangan dengan gestur tak peduli. "Formalitas doang, gue rasa. Nggak mungkin orang kayak dia bisa minta maap."
"Gue bisa, kok."
Rei hampir ngejengkang dari kursi saat tiba-tiba saja, dia dikejutkan oleh suara Jenar. Refleks, cewek itu melotot pada Harsya, protes karena posisinya Rei sekarang sedang memunggungi arah datangnya Jenar. Jadi seharusnya, Harsya bisa lihat kemunculan Jenar duluan dan cewek itu memutuskan diam saja.
"Gue bisa minta maaf tulus kok." suara Jenar terdengar lagi, memicu Rei untuk menoleh ke belakang.
Jenar berdiri di sana, bikin Rei kehilangan kata-kata sejenak. Ini pertama kalinya Rei lihat Jenar pakai korsa departemennya dan... jujur itu bikin Rei salah fokus. Korsa itu kemeja seragam khusus suatu departemen. Buat anak-anak Mesin, mereka punya korsa berupa kemeja lengan panjang warna hitam dengan sejumlah badge dan bordiran departemen berserta slogan di bagian punggung.
Harsya menendang pelan kaki Rei di bawah meja, menatap dengan pandangan yang jika diterjemahkan kira-kira akan berbunyi; amboy, ganteng banget, Mak!
Otomatis, Rei memutar bola matanya.
"Regina, gue bisa minta maaf dengan tulus." Jenar mengulangi, suaranya lebih keras dan dari ekspresi wajahnya, jelas sekali Jenar merasa bersalah.
"Siapa ya? Nggak kenal." Rei menyahut sadis.
"Anak Mesin. Senior lo. Aquarius. Inisialnya J. Ganteng."
"Mantan Kahim bukan?"
Jenar membuang napas pelan. "Regina Arunika—"
Wow, Rei kaget, ternyata Jenar cukup perhatian untuk tahu nama lengkapnya.
"Gue nggak ngomong sama orang yang nggak gue kenal."
"Oh, come on," Jenar menggeram, bermaksud menarik kursi kosong di meja Rei, langsung memicu Rei berseru galak.
"Lo duduk, gue pergi!"
"OKE, GUE NGGAK DUDUK!!" Jenar jadi emosi lagi, meski kali ini, di saat yang sama dia juga tampak geli. "Gue harus gimana biar lo mau maafin gue?"
"Kenapa sih penting banget buat dimaafin sama gue?"
"Gue nggak mau kehilangan lo."
Terdengar sangat dramatis, tapi nggak tahu kenapa, ucapan Jenar bikin tenggorokan Rei jadi kering mendadak. Cewek itu berdeham. "Kita bukan apa-apa. Lo baik-baik aja sebelum lo kenal sama gue. Gue baik-baik aja sebelum gue kenal sama lo."
"Seriusan, lo nanya beneran apa sarkas doang?"
"Nanya beneran. Gue bukan lo yang suka nyindir orang lewat pertanyaan."
"You really pissed me off sometimes!" Jenar mendengus frustrasi, berpaling pada Harsya. "Temen lo goblok banget. Sumpah."
"Bawaan bayi." Harsya menukas enteng.
"Sya!!"
"Nggak apa-apa, lanjut ribut aja kalian berdua. Gue sangat menikmati, berasa lihat percekcok-an rumah tangga."
Jenar berdecak. "God, I don't know you can be this stupid and blind, Regina."
"Oh, udah ganti sebutan? Kirain gue cewek nggak bener dan a hoe?"
"You know I didn't mean it."
"Doesn't matter anymore."
"Just tell me," nada suara Jenar sekarang sudah lebih seperti memohon. "Gue harus gimana supaya lo mau maafin gue?"
"Jadi mermaid dulu." Rei menjawab ngasal.
Tawa Harsya meledak, Jenar cemberut.
Sepanjang makan siang, Rei mengabaikan Jenar, menganggapnya dia nggak ada di sana. Jenar bertahan, nggak duduk, juga nggak pergi. Sehabis makan, Rei langsung pulang bareng Harsya, meninggalkan Jenar begitu saja di parkiran departemennya.
Rei kira, gangguan dari Jenar hari itu hanya akan berhenti sampai di sana, namun ternyata dia salah. Malam harinya, menjelang pukul sebelas, Tigra menelepon. Tumben sekali. Mana saat diangkat, Tigra langsung menembaknya dengan pertanyaan yang terkesan menghakimi, nggak pakai salam pembuka sama sekali.
"Anak orang lo apain, Rei?!!"
"Apanya?"
"Kun nelepon gue barusan, katanya Jenar mabok."
"Mabok melulu kerjanya."
"Ini serius."
"Bukan urusan gue juga?! Kenapa mesti lo kabar-kabari ke gue?"
"Dia nyemplung kolam renang apartemennya."
"Hah?!" Ini absurd banget.
"Nggak mau keluar. Udah diangkat sama anak-anak Mesin, dia nyebur lagi."
"..."
"Katanya mau jadi mermaid biar dimaafin sama lo."
Sumpah, Rei capek banget.
to be continued.
***
-bonus-
Sakura nggak tahu harus kesal atau merasa apes karena bisa-bisanya dia nggak sengaja ketemu Alfa di swalayan. Niatnya mau beli lemon doang, karena teh hijau pakai lemon setiap pagi is a must untuk melenyapkan lemak-lemak yang tak diinginkan di perut. Sengaja sendirian, karena anak-anak kosan yang lain lagi pada ngampus atau sibuk ngejar deadline.
Sakura mau kubur diri saja rasanya.
"Sa, sini aja. Sekalian bayar sama gue biar cepet." Gitu kata Alfa. Memang sih, usulnya beralasan soalnya antrean di meja kasir lumayan mengular. Cuma tinggal satu orang di depan Alfa. Sedangkan Sakura ada di ujung paling belakang antrean.
"..."
"Nggak apa-apa, Sa."
Persetan dengan rasa malu, Sakura lebih ogah mengantre lama-lama. Akhirnya dia menerima saran Alfa dan maju ke depan, mengabaikan mata julid seorang cewek yang mengantre nggak jauh darinya.
"Apa kabar?" Alfa senyum lebar.
"Baik."
"Masih suka makan popmie tengah malem?"
"Nggak juga." Sakura nyengir, walau rada tertohok. Dulu tuh waktu mereka pacaran, Alfa suka protes karena kerjaannya Sakura makan popmie melulu, apalagi kalau sedang ngerjain tugas. Biasanya Sakura bakal santai saja, dan Alfa yang sibuk ngomel akhirnya mengalah, lalu masakkin Sakura nasi goreng. Iya, walau kedengarannya impossible, Alfa cukup bisa masak.
Setelah mereka putus, Sakura balik lagi pada kebiasaannya makan popmie tengah malam.
"Sa,"
"Iya, Kak?"
"Gue mau nikah."
Deg.
***
a/n:
JAEHYUN ANAK TEKNIK.
ya Tuhan, mau nanges aja.
dah sih, aku post cuma untuk meluapkan kemeledakan dalam hati ini angzaiiiiii awas ya jae kalo kamu brengski kaya jenar nanti aku sentil.
dah lah.
gitu ajah.
mksh.
target samain aja kaya kemaren aku udh gabisa mikir.
mksh lg.
***
Alfa
Sierra
Sakura
***
September 3rd 2020 | 13.25
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro