10 | body hair
Dari semua anak kos putri Sadewo, bisa dibilang Rei, Harsya, Jella, Rossa sama Yumna tuh tergolong kelompok para tetua. Bukan karena mereka suka ngatur, tapi karena memang hitungannya, mereka penghuni pertama kosan, terus penghuni kosan lainnya terhitung lebih muda dari mereka—jadi ya pasti ada rasa segan antara senior-junior walau Yumna yang paling bawel pun nggak ngurusin yang kayak gituan.
Kos putri Sadewo itu bangunan baru dan rumahnya gede banget, ukurannya bisa setengah satu ruas gang yang biasanya diisi beberapa rumah sekaligus. Halamannya bisa memuat empat sampai lima mobil. Rumahnya punya tiga lantai, dan anak-anak di tiap lantai seperti memiliki circle masing-masing. Rei, Harsya, Jella, Rossa, Yumna, Jinny sama Sakura tinggal di lantai dua. Lantai tiga kosong, khusus buat balkon tempat anak-anak biasa duduk-duduk sama tempat ngejemur baju.
Konon katanya, kos putri ini cukup angker gara-gara depan-depanan sama makam tua, tapi anehnya anak-anak lantai dua nggak pernah merasa diganggu sama sekali. Even Yumna yang hobi balik subuh habis ajep-ajep. Padahal anak lantai satu lumayan sering dijahilin sampai-sampai ada yang nekat menginap sementara di kosan temannya.
"Kok kita nggak diganggu ya?" Jella pernah iseng nanya begitu waktu anak-anak lantai dua lagi ngumpul bancakan.
"Takut kali, Kak." Sakura nyeletuk.
"Nggak usah bahas yang ginian sih, gue takut ntar setannya malah merasa tertantang terus kita diganggu—heh Ujuy, itu wortel ngapain dihibahin ke piring gue?!!" Harsya protes pada Yumna yang barusan memindahkan sayuran dari piringnya.
"Nggak apa-apalah. Biar mata lo rada bener dikit dan move on dari si Chiko-Chiko nggak jelas itu."
Harsya cemberut dengar sindiran Yumna.
"Lagian lo tuh ya, cari cowok yang rada bener dikit kek, yang namanya ganteng atau alim gitu. Ini lo manggil Chiko-Chiko, bukannya berasa manggil pacar tapi malah manggil anjing." Yumna nyerocos saja sambil kepedasan karena makan sambal. "Tapi ya kelakuannya emang kayak anjing sih. Contoh tuh Sakura. Jarang pacaran, sekalinya ngegaet Alfa."
"Alah, kelakuannya si Alfa juga kayak monyet, Kak." Sakura jawab cepat.
"Nggak usah ngomongin mantan deh." Rei menukas.
"Cie, yang nggak punya mantan tersinggung." Jella meledek.
"Punya kali, lo aja yang nggak tau." Harsya menimpali.
"HAH, SIAPA?!!!!!!!!" Bukan hanya Jella, tapi Yumna dan Sakura ikut bereaksi.
"Privasi!!" Rei memotong seraya melayangkan death glare ke Harsya yang cengar-cengir tanpa dosa. "Tapi btw bener juga, kenapa kita nggak pernah diganggu ya?"
"Lah, pengen?" Yumna berkata.
"Nggak, kepo aja."
"Setannya takut sama Kak Yumna sih kayaknya." Jinny yang dari tadi cuma diam tahu-tahu nimbrung. "Di lantai dua malah banyak, cuma dia nggak ganggu. Walau suka rada risih kalau Kak Yumna balik-balik jackpot."
Anak-anak lantai dua langsung pasang muka serius soalnya Jinny ini keluaran pesantrennya Wak Iji. Wak Iji tuh siapa? Semacam ulama terkenal di tingkat nasional gitu deh. Banyak yang suka, tapi lebih banyak yang nggak suka. Pernah ada gosip, karena Wak Iji istrinya banyak banget terus punya saham gede di kelab malam. Nggak pernah terbukti, walau kalau kata lambe turah sih, gosip adalah fakta yang tertunda.
"Lo bisa lihat, Jin?"
"Bisa, Kak, gue kan punya mata."
"NGGAK GITU MAKSUD GUE!!" Jella nyolot. "Maksudnya... lihat yang gituan."
"Dikit-dikit, Kak."
"Tuh, Juy!" Harsya menepuk bahu Yumna. "Tandanya lo harus kurang-kurangin dugem."
"Ah bodo amat, setannya aja takut sama gue." Yumna malah santai. "Tapi kenapa bisa takut, Jin?"
"Kak Yumna masih ada turunan ningrat ya?" Jinny tahu-tahu nanya, tapi tanpa sadar membongkar fakta yang nggak pernah diketahui anak-anak kos Sadewo.
Ternyata beneran, si Yumna memang masih ada turunan ningrat. Nggak ngerti deh mereka, gimana bisa dia jadi liar banget.
Obrolan soal makhluk ghaib kosan Sadewo nggak berlanjut tapi sialnya, kenapa Jella harus keinget soal itu sekarang... waktu dia lagi sendirian di kosan?
Iya, sendirian. Yumna lagi keluar sama Sakura buat fotocopy modul. Kelupaan, baru ingatnya sekarang, gitu Yumna beralasan. Rossa sama Jinny belum pulang. Rei cabut makan, kayaknya sih bareng Jenar. Harsya entah deh, belum balik juga, pergi sama Jackson. Maklum, sejoli lagi dimabuk cinta. Kayak ee ayam, kalau baru masih panas, ntar lama-lama juga jadi kerak.
Jella nggak penakut, tapi dia mulai ketar-ketir waktu sadar lampu ruang tengah tempat anak-anak lantai dua biasa ngumpul buat nonton tv atau makan bareng tuh cetlak-cetlek berkali-kali, berasa kayak tempat disco. Nggak mungkin banget karena lampunya korslet, orang kedengaran jelas suara saklar ditekan bolak-balik. Waktu Jella memanggil, nggak ada yang jawab.
Anak lantai satu banyakan pada waras dan nggak ada yang seakrab itu sama Jella buat ngejahilin dengan cara nggak lucu kayak gini, jadi jelas nggak mungkin itu orang.
Mau cek keluar... YA NGGAK MUNGKIN LAH!!
Jella nggak se-expert Sara Wijayanto dalam meng-handle setan.
Akhirnya berusaha mengalihkan perhatian diri sendiri dengan cek status WA. Update yang baru nongol datang dari Milan. Tumben bener. Dia upload video dirinya sendiri, hitam-putih, lagi pakai hoodie dan celana pendek sambil duduk bersila dan gitaran. Lagunya sendu, dari Sheila on 7. Jella nggak pakai mikir, langsung reply saja. Nggak dibalas. Yaudah, scrolling. Nemu statusnya Wirya lagi flexing Rolex baru. Memang tajir sih si Wirya ini. Jella masih nggak nyangka, kenapa Wirya mau terjebak di sarang biawak bareng Tigra, Dhaka dan anak-anak kosan lain yang kalau dibandingin sama dia, kayak bandingin putra mahkota dan rakyat jelata.
Nggak dibalas juga. Jella sebel, hingga tahu-tahu ada getar di hp-nya. Ternyata Milan balas.
jella: boleh juga, bos
milan: tumben liat-liat status
jella: lagi takut gua
milan: takut kenape?
jella: setan kosan gue mainin lampu ruang tengah
jella: mana gue sendirian.
milan: yaudah sini gue temenin
jella: mau dong
jella: request lagu sekalian bisa???
milan: apa sih yang ngga buat lo
jella: canda, bos.
jella: jangan gitu lah gue takut dilabrak juwita.
milan: gue ama juwi udah kelar.
jella: hah?!!
milan: mau request apa?
jella: gajadi
milan: kalo gt, gue yg request ya?
milan: satnight ini, jalan yuk?
WAH, APA KAMSUD NIH?!!
Otak Jella masih belum bisa mikir dengan sempurna waktu hp-nya getar lagi. Sekarang Wirya yang balas.
jella: mantep bgt tuh tangannya ga kosong
jella: nice watch, btw. (this is genuine compliment).
wirya: tangannya ga kosong, tp hatinya kosong, la
jella: sa ae
wirya: isi dong
Kenapa sih dengan para jantan ini?!!
wirya: satnight ini kosong ngga?
wirya: kalo kosong, gue isi boleh tuh.
Jella nggak tahu apa yang barusan dia lakukan.
*
Jenar bawa motornya pelan banget, berbeda sama cara bawa motornya waktu jemput Rei dari minimarket tempo hari menuju kos putri Sadewo. Tapi nggak apa-apa, sih. Soalnya udara lagi dingin banget. Kalau Jenar ngebut, leher Rei pasti mati rasa karena rambutnya dicepol.
Tempat makan Mas Agus masih rame banget, padahal sudah malam. Mayoritas cowok yang lagi nongkrong di sana. Mereka ngobrol sambil ngerokok, ada juga yang sambil main gitar. Rei langsung lega. Untung dia datang sama Jenar. Coba kalau sendirian, sudah pasti mati gaya deh.
Dia turun dari boncengan motornya Jenar, lalu membuka helm dan memberikannya pada cowok itu. Jenar nggak langsung menerimanya, malah membuka kaca helmnya, lantas tertawa. Matanya melengkung lagi, membikin ilusi seperti mereka ikut tersenyum.
"Kenapa?"
"Rambut lo." Jenar berujar geli, terus mengulurkan dua tangan untuk merapikan rambut Rei yang berantakan habis pakai helm.
Rambut yang dipegang-pegang, tapi kok hati yang berantakan?
"Sana masuk duluan. Cari tempat."
"Nggak mau. Malu. Banyak cowok."
"Yailah." Jenar berdecak, lanjut melepas helm dan beberapa kali sibak-sibak sekalian menyisir rambutnya pakai jari sebelum akhirnya turun dan tiba-tiba saja, meraih salah satu tangan Rei.
"Apaan nih gandeng-gandeng?!" Rei bereaksi.
"Nggak apa-apa. Lagi banyak cowok."
Rei nggak ngerti apa korelasi lagi banyak cowok sama ngegandeng tangan.
"Nggak mau digandeng!" Rei menarik tangannya dari genggaman Jenar.
"Yaudah, terserah." Jenar santai saja berjalan di depan Rei. Dia memilih bangku yang agak di pojok dan sengaja nggak berada pada arah tiupan angin. Biar nggak kena asap rokok. Rei pesan makanan, sengaja porsi jumbo berikut tambahan double telur dadar. Tindakannya bikin Jenar melongo sebentar.
"Banyak bener."
"Capek, abis nugas."
"Nggak takut gendut? Biasanya cewek takut gendut."
"Naturally kurus."
"Sama dong kayak gue."
"Naturally kurus juga?"
"Nggak, kalau gue, naturally ganteng."
"Asbak nih lumayan kayaknya kalau dipakai ngehantam muka cowok yang sok kegantengan." Rei menanggapi dengan sadis.
Jenar nyengir. "Kata Jella, lo seneng banget makan di sini ya?"
"Wah, kacau, ember banget emang mulutnya Jella."
"Iya apa nggak?"
"Iya, tapi nggak ada di Gofood."
"Goshop lah."
"Mahal." Rei menjawab tanpa berpikir. "Bete banget, kalau mau makan kudu kesini. Mana di kosan nggak ada yang sesuka itu makan di sini kayak gue. Ujung-ujungnya ya makan sendiri."
"Yaudah, kalau mau makan kesini, bilang aja. Nanti gue temenin."
Hng...
"Bang Jenar?" tiba-tiba, ada yang memanggil. Rei menoleh, begitu pun dengan Jenar.
"Eh, Bi! Apa kabar!?" Jenar sama tuh cowok high-five, biasalah, salam akrab ala anak-anak cowok, terus cowok itu tersenyum ke Rei.
"Baru nih, Bang?" dia bertanya usil.
"Rei, ini Hasbi."
MAU DIBILANG GITU JUGA REI NGGAK KENAL HASBI SIAPA??
"Rei."
"Akhirnya ya, Bang." Hasbi mesem-mesem, mengobrol dikit terus pergi, balik nongkrong lagi sama teman-temannya.
"Siapa?" Rei bertanya.
"Adiknya Sierra."
"Dia tau lo sama kakaknya mantan temen bobo?"
"Kagak. Kalau dia tau, udah bonyok duluan gue."
"Wah, kasih tau ah..." Rei sengaja meledek.
"Lo rela gue jadi babak-belur?"
"Rela." Rei refleks tersenyum waktu dilihatnya Jenar melengos. "Anak mana si Hasbi?"
"Kampus sini. Maba."
"Fakultas?"
"Kok ngepoin dia sih?!" Jenar protes.
"Pengen tau aja."
"Jangan kepoin Hasbi."
"Kenapa?"
"Nanti ada yang cemburu."
"Oh... dia udah punya pacar?"
"Nggak."
"TERUS SIAPA YANG CEMBURU?!!"
"Gue."
Rei langsung dibuat terdiam soalnya nggak tahu juga... dia harus ngomong apa coba? Mikir sejenak, cewek itu buang napas dengan perlahan.
"Itu sih urusan anda, bukan urusan saya."
Obrolan mereka terinterupsi sejenak ketika makanan yang Rei pesan datang. Jenar nggak ikut memesan makanan, cuma pesan minum. Rei jadi ngerasa rada nggak enak jadi satu-satunya orang yang makan di meja mereka.
"Lo nggak makan?"
"Udah. Kan dibilang, mau nemenin lo doang."
Rei tergugu. "... makasih."
"Loh, tumben?" Jenar memiringkan wajah. "Udah mulai naksir ya? Cepet amat. Padahal belom gue dukunin."
"Emang lo nih tipikal yang dikasih hati minta jantung." Rei mengomel.
"Salah, gue tipe yang kalau dikasih, bakal gue jaga terus dengan baik."
"Idih."
"Eh ya, lo suka nontin midnight nggak? Gue ada tiket dua. Buat lusa."
Rei berpikir sejenak. "Harus banget midnight?"
"Enak nonton midnight. Cobain deh. Tapi harus sama gue."
"Yaudah."
Gantian Jenar yang kaget. "Kok gampang banget?!!"
"Lo udah nemenin gue makan. Gue nemenin lo nonton. Impas."
"Gue jemput ya nanti."
"Oke."
*
Ketika dengar Rei setuju nonton midnight sama dia, Jenar langsung senyam-senyum. Jujur, menurut Rei, senyumnya ganteng—nggak tahu kenapa, ini terdengar membosankan tapi mau gimana kalau faktanya memang begitu?
Lusanya, Jenar betulan menjemput. Berhubung mau nonton midnight doang, Rei nggak dandan. Ngapain juga? Ini cuma Jenar, bukan Johnny. Dia hanya pakai celana piyama, kaos lalu di-double jaket. Seperti dua malam sebelumnya, Jenar sudah menunggu di luar pagar. Dia memberikan helm. Helm-nya nggak sama dengan yang kemarin dan masih bau toko.
"Helmnya baru? Apa minjem lagi?"
"Baru beli."
Rei terdiam. "... ini lo nggak sengaja beli helm buat gue, kan?"
"Beli emang buat lo."
"YA TUHAN, CUMA BUAT NONTON DOANG! BOROS BANGET!!"
"Nggak apa-apa. Soalnya nggak tahu kenapa, gue punya firasat kalau habis ini, gue bakal sering boncengin lo."
Sebahagia Jenar saja, deh.
Akhirnya, Rei naik di boncengannya dan motor pun mulai melaju. Jenar lebih wangi dari biasanya malam ini, itu yang terlintas di otak Rei sepanjang jalan. Namanya dibonceng naik motor, angin dari depan kan ke belakang semua. Wanginya enak, tapi bukan wangi cowok se-republik. Pasti parfumnya Jenar bukan parfum kapak.
Setelah motor sampai di parkiran, Rei turun. Jenar baru mencopot helmnya dan menyangkutkannya ke stang saat dia lihat Rei agak kesulitan membuka pengait helm yang berada di bawah dagunya. Efek masih baru kali ya, jadi masih agak keras. Jenar berdecak, beranjak dari jok dan menghampiri Rei. Tangannya menyingkirkan tangan Rei dari bawah dagu.
"Hm, tangan lo anget." Jenar bilang sambil melepaskan pengait helm Rei.
"Tangan lo yang dingin, kan abis bawa motor."
"Yaudah, mana sini."
"Apanya?"
"Telapak tangan lo. Coba mana, gue mau lihat."
Rei menunjukkan telapak tangannya, masih nggak bisa membaca apa maksud Jenar. Jenar hanya tersenyum jahil, lantas menyelipkan jarinya diantara jari Rei.
"Tangan lo hangat, tangan gue dingin. Jadi kita gini dulu sebentar, angetin tangan gue. Oke?"
Apa yang pertama muncul dalam benak Rei adalah; tangan cowok tuh pada gede-gede banget. Begitu digenggam Jenar, jari-jari Rei serasa dibungkus sepenuhnya.
"Kenapa mukanya gitu?" Jenar menyentak dengan tanya.
"Tangan lo gede banget."
"Tangan lo-nya yang kekecilan."
"Ih, beneran tangan lo yang gede banget!" Rei membantah. "Untung nggak buluan. Kalau buluan, lo bisa dikira genderuwo."
"I am quite hairy tho." Rei menunduk, memperhatikan saat Jenar menggulung lengan jaketnya sedikit. "Tuh."
"Hm, iya juga." Jenar punya cukup banyak bulu-bulu halus, tapi warnanya bukan hitam, agak cokelat dan lebih pucat. "Lo ada gen bule ya?"
"Kakek buyut gue orang Inggris."
"Pantesan."
"Pantesan apa?"
"Ganteng." Rei berucap tanpa sadar.
Senyum lebar Jenar langsung tertarik. "So, do you like your man hairy?"
Rei terbatuk. "KENAPA NANYANYA GITU?!!"
"Muka lo merah, jadi gue anggap jawabannya iya." Jenar tergelak lagi sambil menyangkutkan helm Rei di bagian paling belakang jok motornya. Baru setelahnya mereka lanjut masuk ke mall. Langsung menuju cinema. Sambil menunggu, Jenar mengantre popcorn dan minuman.
"Lo emang selalu seboros ini ya?" Rei berujar saat Jenar menolak untuk patungan.
"Kenapa sih dari tadi boros-boros melulu ngomongnya?"
"Soalnya beneran boros. Beli helm. Jajan banyak. Tau gini, mending kita selundupin nasi padang aja."
"Chaotic evil. Kita mau nonton, bukan mau piknik." Jenar menyentil dahi Rei pelan. "Nggak apa-apa. Nggak ada yang boros kalau buat bikin lo seneng."
Sebentar, ini niatnya Jenar mau bikin ge-er, bikin baper, atau dua-duanya?
Rei nggak tahu, tapi dia enggan menerka.
*
Ternyata Jenar mengajak Rei nonton film yang cukup gore. Jadi kayak fim horor, tapi lebih ke adegan memotong-motong badan manusia dan kesadisan sejenis. Semacam film kayak SAW yang sampai sekarang selalu bikin Rei parno tiap lihat gergaji mesin.
Jujur, kalau bisa memilih, Rei mendingan marathon series Hannibal-nya Mads Mikkelsen saja, deh. Seenggaknya, motong-motong orangnya masih enak dilihat, nggak berceceran random dimana-mana.
Makanya sepanjang film, Rei pura-pura sibuk sama popcorn, atau menutupi muka pakai kedua telapak tangan. Tadinya, Jenar serius nonton, tapi saat dia nggak sengaja menoleh ke cewek di sebelahnya, cowok itu kontan tertawa kecil.
"Jahat banget lo!" Rei berbisik protes.
"Takut darah?"
"Mual aja lihat usus orang kemana-mana." Rei menyahut. "Mending nonton Hannibal."
"Gue juga suka itu. Yaudah, nanti nonton bareng ya?" Jenar tersenyum, lalu meneruskan. "Sini."
"Sini apanya—oopss—" Tanpa aba-aba, Jenar meraih kepala Rei,memaksa cewek itu rebahan di bahunya. "Jenar—"
"Merem aja kalau takut." Satu tangannya yang lain memegangi lengan Rei, jadi Rei tidak bisa menarik dirinya menjauh.
Wah, pengen Rei ajak ribut betulan, tapi takut diviralin sama penonton yang lain. Akhirnya mengalah. Cewek itu rebahan dalam diam.
Awalnya enggan, ujungnya malah nyaman, lalu perlahan... ketiduran.
Rei baru terbangunkan entah berapa lama kemudian.
"Oy."
Gitu suaranya Jenar.
"Rei."
Rei masih bergeming.
"Love,"
Rei refleks batuk dan akhirnya sadar kalau dia nggak lagi bermimpi. Cewek itu mengernyitkan dahi, membuka matanya perlahan hanya untuk memejamkannya kembali gara-gara merasa silau. Rei bingung sebentar, mengingat-ingat dan baru tersadar kalau mereka masih berada dalam studio bioskop.
"Shut up."
"Dipanggil 'love' aja baru bangun." Jenar mencibir. "Film-nya sudah selesai."
"Terus?"
"Oh, percaya sama gue, akan jadi kehormatan buat gue membiarkan lo tidur di bahu gue sampai pagi, tapi kalau kita nggak keluar dari sini dalam sepuluh menit, kita bakal diusir."
"Hng?" Rei ngantuk berat, betulan malas gerak.
"Bangun gih. Bobonya diterusin di kosan."
"Hm..."
"... atau mau diterusin di tempat gue?"
"Nggak usah gila."
"Bilangnya nggak usah gila, tapi masih betah senderan aja."
"Bentar, ngumpulin nyawa dulu."
"Regina,"
"Kenapa sih hobi banget manggil gue gitu?"
"Suka aja nyebutnya." Jenar menarik senyum lagi, walau Rei nggak bisa melihatnya. "Cantik."
"Kayak orangnya ya?"
"Kalau itu sih..."
"Ck." Rei memotong. "Lo mau ngomong apa?"
"Tadi lo ngiler."
Rei tersentak, kontan menegakkan badannya dan mengecek bagian bahu baju Jenar. Tidak ada jejak basah. Dia melotot kesal pada Jenar yang justru ketawa. Nggak tahu deh, kayaknya Jenar sesering itu ketawa kalau lagi sama Rei.
"Udah ngumpul belum nyawanya? Kalau udah, yuk pulang."
Dia berdiri lebih dulu, terus mengulurkan tangan dan Rei nggak tahu kenapa, tapi tanpa pikir panjang, dia meraih uluran tangan itu.
to be continued.
***
a/n:
happy birthday jungkook haha
anyway, aku ngga ship siapapun, semua yang ada di sini hanya visualisasi yang ngga perlu diseriusin wkwk
wkwk kayanya itu dulu deh untuk sekarang ya.
untuk vomments-nya samain aja kaya chapter sebelumnya.
ciao.
***
September 1st 2020 | 16.10
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro