Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[3] Alya: Harga yang Terlalu Mahal

Aku menatap perawat di depanku, seorang wanita tua dengan wajah keriput dan tatapan tajam yang menusuk. Berbeda dari perawat sebelumnya yang ramah, wanita ini memandangku dengan sorot mata menghakimi.

"Kamu anaknya?" Suaranya serak dan kasar.

Aku mengangguk. "Iya, saya Alya. Bagaimana, Bu, apa ada sesuatu yang masih kurang?"

Dia menghela napas, lalu melemparkan berkas ke meja di depan kami. "Hasil pemeriksaan terakhir ibumu. Kau seharusnya datang lebih cepat untuk mengambil ini. Kenapa baru sekarang?"

Aku terkejut dengan nada bicaranya yang keras. "Saya baru bisa datang hari ini. Maaf kalau—"

"Maaf? Maaf tidak bisa mengubah apa pun!" Ia membentakku. Suaranya bergema di ruangan kecil itu. Beberapa pasien di lorong menoleh. "Kau anak macam apa? Ibunya sakit parah dan baru mengurus ini sekarang?"

Aku mengepalkan tanganku di atas pangkuan, menahan air mata. "Saya merawat ibu setiap hari. Saya ada di sisinya sampai akhir."

Perawat itu mendecakkan lidahnya. "Halah, malah jual cerita sedih! Sekarang lihat ini! Kamu yang ngurus administrasi ibumu, kan?"

Aku mengangguk lagi.

Perawat itu mendengus. "Kenapa kamu nggak sekalian fotokopi ini?" Ia mengibaskan seberkas dokumen di tangannya, lalu melemparkannya ke meja di depanku. "Mau berapa kali bolak-balik?"

Aku terkejut. "Maaf, Bu. Saya tidak tahu kalau harus—"

"Dengar ya, Nak. Kalau kamu nggak mau ribet, lain kali tanyakan semuanya dulu! Jangan buang-buang waktu orang lain!"

Aku menelan ludah. Rasa malu membakar pipiku. Perawat itu berbicara cukup keras hingga semakin banyak orang di sekitar kami melirik ke arahku. Dengan tangan gemetar, aku mengambil kertas itu.

"Cepat fotokopi. Itu harus segera dikumpulkan. Buat dua kali kopi!"

Aku mengangguk lemah, mengambil berkas itu dan berjalan keluar.

Langkah kakiku terdengar samar di sepanjang lorong rumah sakit. Tanganku yang mungil meremas berkas yang baru saja kuterima dari perawat jahat itu. Hari ini seharusnya menjadi hari yang tenang, tetapi semuanya berubah begitu cepat. Semua terasa menyesakkan.

 Aku tiba di koperasi pegawai di depan rumah sakit. Keadaannya ramai. Orang-orang saling serobot untuk dapat giliran. Aku melihat ada celah di dekat mesin fotokopi, lalu kulambaikan berkasku ke mbak-mbak penjaga.

"Mbak, mau fotokopi dua kali."

Dia mengangguk, mukanya jutek. "Sepuluh ribu."

Saat merogoh kantong, aku sadar aku hanya punya selembar uang seratus ribu. Tidak ada pecahan. Kusodorkan uang itu kepadanya.

"Mbak, uang pas aja. Saya nggak ada kembalian."

Aku menggeleng. "Tapi—"

"Kalau nggak ada, tukerin dulu di warung-warung depan rumah sakit. Saya nggak ada waktu."

Aku mendengus lemas. Kuberjalan ke sebuah kios kecil di sudut rumah sakit. "Permisi, bisa menukar uang seratus ribu jadi pecahan? Saya hanya butuh sepuluh ribu."

Penjualnya, seorang pria tua, menggeleng. "Tidak ada kembalian, Nak."

Aku menghela napas dan berjalan ke warung lain. "Mbak, saya butuh tukar uang seratus ribu. Bisa?"

Wanita di balik meja kasir mengerutkan dahi. "Maaf, uang kecil saya habis."

Aku mencoba lagi ke beberapa pedagang kaki lima di depan rumah sakit. Seorang tukang sol sepatu, ibu-ibu yang menjual papan jalan dan pulpen, bahkan tukang parkir. Semua menjawab sama: mereka tidak punya pecahan.

Aku mulai putus asa. Perutku sudah kosong sejak pagi, uang itu satu-satunya yang kupunya untuk makan hari ini. Tapi tanpa fotokopi berkas, aku tidak bisa menyelesaikan urusan administrasi ibu. 

Saat badanku kian lemas, aroma gorengan mengundang perhatianku. Aku pun mendapat ide. Kudekati seorang pedagang gorengan.

"Permisi, Pak. Saya mau beli gorengan dua ribu, boleh pakai uang seratus ribu?" tanyaku sopan.

Bapak itu menggeleng. "Nggak ada kembalian, Dek. Seharian jualan, uang receh saya udah habis."

Aku tersenyum kikuk dan mengucapkan terima kasih sebelum melangkah ke kedai lain.

Di warung kecil sebelah rumah sakit, aku mencoba membeli minuman.

"Mbak, saya mau beli air mineral. Bisa pakai seratus ribu?"

Penjaga warung itu mengerutkan dahi. "Aduh, Mbak. Saya nggak ada kembalian segitu."

Aku mulai cemas. Berpindah dari satu kedai ke kedai lain, dari satu pedagang kaki lima ke pedagang lain, tetapi jawabannya tetap sama. Tidak ada yang bisa memberikan pecahan.

Aku berdiri di pinggir jalan, menatap uang seratus ribu di tanganku. Waktu terus berjalan. Jika aku tidak segera kembali, perawat tadi pasti akan semakin marah. Dengan berat hati, aku kembali ke tempat fotokopi dan menyerahkan satu-satunya uang yang kupunya. 

Aku kembali ke tempat fotokopi dan menyerahkan uang seratus ribu. "Saya sudah cari ke semua warung, Mbak, tapi tidak ada yang punya uang kecil. Ambil saja semuanya, deh, Mbak."

Petugas fotokopi menatapku dengan heran. "Kamu yakin? Mahal sekali, lho, untuk dua kali fotokopi. Mbak yakin nggak ada orang lain yang punya uang lebih kecil?" tanya penjaga fotokopi sekali lagi.

Aku menggeleng. "Maaf, Mbak. Saya sudah keliling cari pecahan, tapi nggak ada."

Penjaga fotokopi itu mendesah. Ia mengambil uangku dan memberikan fotokopian yang diminta. Setelah menghitung beberapa kali, akhirnya ia menggeleng. "Saya nggak punya kembalian sekarang. Kalau Mbak mau, ambil barang lain buat nutupin."

Aku menelan ludah. Aku tidak membutuhkan barang lain. Yang kubutuhkan hanyalah kembalian agar aku bisa makan nanti. Aku hanya mengangguk lemah. Tidak ada pilihan lain.

Namun, melihat waktu yang terus berjalan, aku akhirnya menyerah. "Tidak apa-apa, Mbak," kataku lirih. "Terima kasih."

Dengan hati berat, aku kembali ke rumah sakit dan menyerahkan berkasnya. Perawat tua itu tidak mengucapkan terima kasih, hanya mengangguk singkat sebelum melangkah pergi.

Aku merasa perutku mulai kosong, tetapi aku sudah tidak memiliki uang lagi. Aku menunduk, menarik napas panjang, lalu memutuskan untuk pulang. Mungkin besok aku bisa mencari cara lain untuk mendapatkan uang makan. Entah cara apa pun itu.

Ketika kembali ke rumah sakit dan menyerahkan berkas, perawat itu bahkan tidak mengucapkan terima kasih. Aku hanya menatap kosong ke lantai sebelum berbalik pergi. Aku tidak punya energi untuk marah.

Aku berjalan pulang dengan tubuh lemas. Perutku melilit, tapi aku mencoba mengabaikannya. Aku tidak ingin menangis, tapi mataku terasa panas. Semua ini terlalu berat. 

Langkahku terasa lebih berat dari sebelumnya. Malam semakin larut, dan jalanan mulai sepi. Aku menyeberang jalan dengan pikiran yang masih dipenuhi dengan kejadian tadi.

Tiba-tiba, suara klakson keras membelah udara.

Aku menoleh, tetapi semuanya terjadi begitu cepat. Cahaya lampu mobil menyilaukan mataku, dan sebelum sempat bereaksi...

Braak!

Tubuhku terpental ke aspal. Sakit. Sangat sakit. Dunia di sekitarku berputar. Aku mendengar suara orang-orang berteriak, tapi suaranya terdengar jauh.

Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhku, napasku tersengal, dan pandanganku mulai kabur. Dalam kesadaranku yang semakin menipis, aku masih sempat melihat mobil itu melaju kencang, meninggalkanku tanpa berhenti.

Aku mencoba membuka mata, tapi penglihatanku buram. Suara sirene samar-samar terdengar di telingaku, diiringi suara seseorang yang berkata dengan panik. "Cepat, dia masih bernapas!"

Aku tidak punya energi lagi.

Gelap.

Semua menjadi gelap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro