Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[2] Bima: Angkat Kaki Lagi

Gue nggak pernah nganggep diri gue sebagai pahlawan. Gue cuman nggak tahan ngelihat orang lain diinjak-injak. Itu aja. Tapi, tampaknya dunia nggak peduli pada niat baik gue. Dunia hanya ngelihat siapa yang memiliki kekuasaan dan siapa yang nggak. Dan gue? 

Gue selalu berada di pihak yang salah.

Nama gue Bima Wicaksana. Delapan belas tahun. Murid kelas 3 SMA Taruna Bangsa yang katanya bermasalah. Agresif, nakal, dan suka cari ribut. Begitulah kata guru-guru tentang gue. Tapi gue nggak peduli. Gue nggak pernah mengusik orang kalau mereka nggak ngusik gue atau teman gue.

Pas makan siang, gue baru balik main futsal. Baru aja mau ganti baju, gue denger suara cowok, ramean, di bilik kamar mandi sebelah. Gue nguping, antisipasi ada bocah mesum di sebelah.

"Beraninya lu nolak bayarin gue buat wisata ke Bali!"

"Ng-nggak gitu, Bang, aku lagi nggak ada duit."

Suara bogem menggema, dinding bilik bergetar. "Cuman sembilan ratus ribu masa nggak punya, sih? Lu berani bohong sekarang? Atau gak-"

Suaranya semakin meninggi. Ini lebih parah daripada bocah mesum. Gue dobrak bilik kamar mandi sebelah.

"Atau gak apa?" tantang gue.

Beruntung gue datang tepat waktu. Bocah yang di-bully barusan ternyata Rama, temen gue sejak SMP, dan hampir aja dia dipaksa minum air toilet! Gila! AIR TOILET! Dia dipaksa sama tiga cowok tengil di tempat sempit itu. Gak waras mereka semua!

"Gak usah sok jagoan lu!" Bocah jabrik itu menyerang gue, tapi kuda-kudanya salah.

Gue ngeles, lalu gue bogem mukanya satu per satu sampai pingsan. 

Sialnya, gue ternyata baru aja ngehajar anak seorang anggota DPRD. Bukan karena gue ingin cari gara-gara. Tapi karena dia bersama gengnya menindas Rama. Dia udah baik sama gue selama ini meskipun anaknya agak klemar-klemer. Mereka menendangnya seperti anjing liar, menertawakannya, bahkan nyuruh dia minum air bekas tai, dan gue nggak bisa diam aja.

Gue nggak ingat berapa kali pukulan gue mendarat di wajah bocah kaya itu, yang jelas dia babak belur sampai mimisan. Gue tahu gue akan dapet masalah besar. Tapi gue nggak nyangka akan sebesar ini.

"Kamu dikeluarkan, Bima." Kepala sekolah menghela napas berat, tangannya melipat di atas meja. "Dan bukan hanya itu, namamu sudah di-blacklist di semua sekolah di kota ini."

Gue menyandarkan punggung ke kursi. Itu bukan kabar yang mengejutkan, tapi tetap saja menyesakkan. Gue melirik ke samping, melihat ibu gue yang menundukkan kepala, wajahnya lebih pucat dari biasanya.

"Bu, aku—"

"Diam, Bima." Suaranya pelan tapi tajam. Gue menurut.

Kepala sekolah melanjutkan ocehannya, membicarakan bagaimana gue telah membawa nama buruk bagi sekolah, bagaimana gue seharusnya lebih bisa mengendalikan diri, dan segala omong kosong lainnya yang tidak ingin kudengar. Aku hanya menatap lurus ke arah jam dinding di belakangnya, menunggu semuanya berakhir.

Setelah pertemuan selesai, gue dan ibu keluar dari ruangan dengan langkah berat. Gue tahu dia ingin marah, tapi dia tidak melakukannya. Kami hanya berjalan dalam diam, menuju halte bus.

Saat bus datang dan kami naik, barulah ibu berbicara. "Kamu pikir kita punya uang untuk pindah sekolah lagi?"

Gue menggigit bibir. "Maaf, Bu."

"Maaf nggak bisa bayar sekolah, Bima. Maaf nggak bisa bikin orang-orang kaya itu berhenti menindas orang miskin seperti kita. Maaf nggak bisa bikin kamu berhenti berkelahi." Suaranya terdengar getir. "Kamu tahu? Ibu sudah bekerja mati-matian buat membiayai sekolahmu. Setiap kali kamu dikeluarkan, Ibu harus memutar otak mencari sekolah lain dan uang pendaftarannya. Ibu sudah keluar uang habis-habisan."

Gue nggak bisa jawab. Gue hanya bisa menatap jendela, melihat jalanan kota yang terasa semakin asing. Kepala gue pusing, rasanya pengen tiduran terus, dan nggak bangun lagi buat selama-lamanya.

Sore itu, gue terbangun karena suara ibu di dapur. Gue bangkit, berjalan mendekatinya. Dia duduk di kursi plastik tua, menatap lembaran uang di tangannya dengan ekspresi kosong.

"Bu?"

Dia tersentak sedikit, lalu menoleh. "Kamu udah bangun? Lapar, ya?"

Gue menggeleng. "Apa yang Ibu lakukan?"

Dia menghela napas panjang sebelum berkata, "Nanti malam, antar Ibu ke suatu tempat."

Aku mengernyit. "Ke mana?"

Dia nggak langsung menjawab. Dia hanya meremas lembaran uang itu, seolah mencoba menghitung sesuatu dalam kepalanya.

"Ada orang yang bisa memberi kita uang."

Hah, masa? Semua kenalan ibu sebatas tetangga julid yang biasa nongkrong di depan lapak tukang sayur. Nada suaranya membuat bulu kuduk gue meremang. "Siapa?"

"Seseorang yang bisa membantu kita."

Gue diam. Gue nggak suka caranya mengatakannya. Gue nggak suka bagaimana nada suaranya terdengar terlalu pasrah.

Tapi gue nggak bertanya lebih lanjut. Gue hanya mengangguk.

Keesokan paginya, gue nganter ibu naik motor bebek keluaran tahun 2008. Katanya, tempatnya ada di pinggiran kota. Jalanan yang kami lewati semakin lebar, rumah-rumah semakin megah seperti di FTV. 

Hah, apa selama ini gue anak simpenan pejabat, ya? Rasanya kayak mimpi, tapi barusan gue cuman bercanda. Masalahnya ibu nggak keliatan bercanda sama sekali. Dia minta berhenti di rumah paling gede di ujung komplek. Ada air mancur di depan halaman seluas lapangan sepak bola.

Gue nggak tahu apa yang ibu cari di tempat seperti ini, tapi gue nggak bisa bertanya. Gue hanya mengikuti langkahnya.

"Jangan ikutin ibu!" Ibu tiba-tiba melirikku. "Tetap di motor!" Suaranya membentak, tapi gue bisa denger ketakutan di sana. 

Gue mengangguk dengan menyimpan perasaan dongkol. Gue kembali, tapi gue nggak balik ke atas motor. Gue ngumpet di balik semak-semak. Di sini suara ibu masih bisa terdengar meski samar-samar.

"Ngapain kamu datang menemuiku? Masih kurang duit yang udah kukasih ke kamu?" kata seorang pria berjas putih. Umurnya di pertengahan lima puluh, menatap ibu dengan ekspresi datar. 

Ibu mengangguk. "Maaf, Pak, ini masalah serius. Bima..." Gue melihat jemarinya gemetar.

Pria itu melirik ke arah motor kami. Sepertinya mencari gue. "Bima kenapa? Dia dikeluarkan dari sekolah lagi?"

Ibu mengangguk lagi.

"Hmm." Pria itu mendecap. "Anak yang banyak masalah, ya?" Tapi tatapannya berganti sinis.

Gue menggertakkan gigi. Apa pedulimu? Siapa orang ini, sok tau banget sama hidup gue dan ibu gue?

"Pak, tolong saya untuk terakhir kalinya!" Ibu mencengkeram lengannya, lalu bersimpuh layaknya seorang gembel, tapi pria itu hanya tertawa kecil.

"Santai saja," katanya. "Aku hanya ingin tahu apakah dia bisa diandalkan."

Gue mengerutkan kening. Diandalkan untuk apa?

Ibu tidak menjawab. Tapi pria itu menepuk bahu ibu, lalu berkata, "Ayo masuk. Kita bicara di dalam."

Ketika pintunya terbuka, suara denting gelas beradu. Riuh tawa orang kaya yang sombong bersahutan. Sepertinya di dalam sedang ada pesta.

Gue merasa ada sesuatu yang nggak beres. Dari percakapan mereka, sepertinya ibu sudah berkali-kali ke sini. Gue nggak mau mikir aneh-aneh. Tapi gue nggak punya pilihan selain mengikuti mereka masuk ke dalam rumah itu.

Dan saat itulah, gue sadar—apa pun yang sedang terjadi di sini, ini bukan sesuatu yang biasa. Dan ini bukan sesuatu yang bisa dengan mudah gue tinggalkan.

Apa jangan-jangan ibu gue...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro