[1] Alya: Rumah yang Tak Lagi Sama
Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan berubah secepat ini.
Kemarin aku masih bisa mendengar suara ibu yang samar, masih bisa merasakan hangat genggaman tangannya. Hari ini, yang tersisa hanyalah sepi yang menggema di sudut-sudut rumah. Tempat yang dulu terasa nyaman kini berubah menjadi asing dan dipenuhi bayangan kehilangan.
Aku tidak tahu bagaimana perasaan seharusnya bekerja di saat seperti ini. Haruskah aku menangis? Marah? Atau justru tetap diam, membiarkan semuanya berjalan seperti angin lalu? Sejak ibu meninggal kemarin, duniaku terasa seperti benang kusut yang tak bisa diurai.
Om Nugroho, kakak ibu yang temperamen, tiba-tiba meneleponku seperti orang kesetanan.
"Alya! Cepat dong urus akta kematian ibumu! Nama dia harus dihapus dari Kartu Keluarga! Kalau tidak, pihak BPJS akan tetap menarik iuran! Repot, tahu, membayar iuran kalian berdua yang menumpang di keluarga orang lain!" Suaranya terdengar tajam.
Aku mengepalkan tangan. "Om, maaf, saya masih berduka. Bisa tidak kita bicarakan ini nanti?"
"Nanti, nanti, kepala lu peang! Duka doang nggak bayar tagihan! Urus sekarang juga pokoknya!"
Telepon terputus.
Aku menghela napas, tak ingin memperpanjang pertengkaran. Aku takut tiap mendengarnya membentak-bentak begitu, persis seperti dia memperlakukan ibu dulu.
***
Hari ini aku harus mengurus akta kematian ibu dengan hati yang masih berduka. Proses administratif yang seharusnya sederhana, tapi entah mengapa terasa seperti palu godam yang menghantam jiwaku.
Aku berdiri di depan kantor catatan sipil, menggenggam erat map berisi semua dokumen yang diminta. Surat kematian dari rumah sakit, KTP ibu, kartu keluarga, semuanya sudah lengkap. Aku menarik napas dalam, lalu melangkah masuk.
Entah kenapa pelayanan di kantor ini berjalan sangat lambat. Seorang pegawai berseragam cokelat memeriksa dokumenku dan sesekali mengetik di komputernya. Aku menunggu dalam diam, pikiranku masih kosong. Sementara suara mesin pencetak bekerja di belakang meja. Setelah dua jam lamanya, akta kematian ibu resmi dicetak. Sebuah kertas yang membuktikan bahwa seseorang yang kucintai sudah tiada. Begitu sederhana, begitu kejam.
Aku menatap kertas itu. Rasanya tidak nyata.
"Sudah selesai, Mbak," ujar pegawai itu.
Aku mengangguk kaku, menggenggam erat dokumen itu, seolah-olah jika aku meremasnya cukup kuat, ibu bisa kembali hidup. Tapi tentu saja itu tidak mungkin.
Saat aku pulang ke rumah, suasana terasa berbeda. Mobil Om Nugroho dan istrinya, Tante Jihan, sudah terparkir di depan. Aku melangkah masuk dan langsung melihat mereka membongkar lemari ibu. Tanpa meminta izin, tanpa bertanya. Mereka mengambil barang-barang berharga ibu, perhiasan, kain batik, bahkan buku-buku yang selalu ibu jaga dengan hati-hati.
"Apa yang kalian lakukan?" Suaraku bergetar, tapi tidak cukup keras untuk menghentikan mereka.
Tante Jihan menoleh sekilas, lalu kembali mengemas barang-barang ke dalam koper. "Ini barang keluarga. Kami juga berhak."
Aku mengepalkan tangan. "Ibu baru meninggal sehari lalu. Bahkan, tanah kuburannya masih basah. Kalian bahkan tidak menanyakan keadaanku, hanya datang untuk mengambil apa yang kalian mau."
Om Nugroho mendengus. "Jangan berlebihan, Alya! Ini hanya barang-barang. Toh, buat apa kamu punya barang-barang sebanyak ini? Urus saja kuliahmu sampai lulus!"
"Hanya barang-barang?" Aku tertawa kecut. "Bagi kalian mungkin hanya barang. Tapi bagi aku, ini adalah kenangan!"
Mereka tidak peduli. Aku bisa berteriak, bisa menangis, tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Mereka tidak menggubrisku dan tetap mengambil yang mereka inginkan, lalu pergi seperti tidak ada yang terjadi.
Namun, kejutan hari ini belum berakhir.
"Kakekmu, Johan, akan tinggal di sini mulai sekarang," kata Om Nugroho santai, seolah sedang membicarakan hal yang sepele. Dia bersandar di ambang pintu mobil.
Aku menatap mereka dengan mata membelalak. "Apa?"
"Dia sudah tidak bisa mengurus dirinya sendiri," Tante Jihan menambahkan sambil menutup koper berisi barang ibu. "Kami tidak bisa terus merawatnya. Dia lumpuh. Perawatannya sangat merepotkan. Om dan Tante harus bekerja, tahu. Kamu, kan, sudah sendirian dan pernah merawat ibumu yang sakit-sakitan. Jadi, lebih baik dia di sini, kamu rawat, ya, Alya."
Aku menggeleng, mencoba mencerna kata-kata mereka. Kakek Johan? Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Ibu jarang membicarakannya, dan dari sedikit yang kutahu, hubungan mereka tidak pernah baik. Dan sekarang, orang tua yang bahkan tidak pernah kutemui akan tinggal bersamaku?
"Tapi... aku tidak bisa!" Suaraku bergetar.
Om Nugroho hanya menepuk pundakku, seolah ini bukan masalah besar. "Mulai besok dia akan diantar ke sini. Sudah, jangan banyak protes."
Aku ingin menolak, ingin mengatakan bahwa aku tidak bisa mengurus seorang pria tua lumpuh sendirian. Tapi aku tahu itu tidak akan ada gunanya. Mereka sudah memutuskan. Aku hanya diberi tahu, bukan diberi pilihan.
Aku melangkah ke kamar ibu yang sekarang terasa kosong. Di sudut kamar, koper berisi barangnya sudah tidak ada. Seperti ibu telah benar-benar pergi, meninggalkan rumah ini menjadi sesuatu yang asing bagiku. Aku duduk di tempat tidurnya dan menutup wajah dengan tangan.
Alarm ponselku tiba-tiba berbunyi, memutus tangisanku.
Aku tidak bisa berada di sini lebih lama. Masih ada satu hal yang harus kulakukan hari ini. Aku mengambil tas dan bergegas keluar. Aku harus pergi ke rumah sakit.
Saat duduk di dalam angkot, aku memejamkan mata, mencoba menenangkan pikiranku yang berantakan. Aku baru saja kehilangan ibu, dan sekarang harus menerima kehadiran kakek yang tidak kukenal. Bagaimana aku bisa menghadapi semuanya sendirian?
Setibanya di rumah sakit, aku berjalan menuju ruang perawatan. Aku mengenal aroma antiseptik yang menusuk, lorong-lorong panjang dengan pasien dan perawat yang lalu lalang. Aku menekan tombol lift dan menunggu dalam diam.
Sesampainya di lantai tiga, aku menuju ruang dokter yang menangani ibu sebelum kepergiannya. Aku perlu mendapatkan beberapa dokumen medis untuk arsip asuransi. Aku mengetuk pintu dan seorang perawat menyambutku.
"Alya Prameswari?"
Aku mengangguk. "Saya datang untuk mengambil berkas medis ibu saya."
Perawat itu mengangguk mengerti, lalu meminta waktu sebentar untuk mengambilnya. Sementara menunggu, aku duduk di kursi kecil di luar ruangan dokter. Pikiranku melayang ke beberapa bulan terakhir. Aku ingat bagaimana ibu berjuang melawan penyakitnya. Betapa sering aku melihatnya menahan sakit tapi tetap tersenyum untukku.
Tanpa sadar, air mata mengalir di pipiku. Aku menghapusnya cepat-cepat saat perawat kembali dengan sebuah map di tangannya. Tapi, perawatnya berbeda. Dia bukan orang yang sama.
Dia membentakku.
Rasanya aku ingin mati saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro