Prolog
Tepatnya diatas tanah pulau suatu planet di ujung demensi alam semesta.
Suatu suku berjalan berdampingan melewati alur kehidupan segelap malam.
Tak pernah sekalipun suku tersebut menemukan suatu cahaya dalam hidupnya.
Bahkan bisa dikatakan, mereka tidak pernah mengenal apa itu sebuah cahaya.
Pagi, siang, malam terasa sama menggigilnya.
Mengigit urat nadi mereka, menusuk merasuk tulang belulang.
Di tengah kegelapan tanpa akhir pun kedinginan tanpa ampun, seorang pemimpin barisan menautkan jari-jari tangannya di depan dada.
"Dewa ataupun langit yang terbentang luas." Bisiknya.
"Berikanlah sebuah kehangatan untuk kami makhluk tak berdosa."
"Apapun bentuknya, kami tak memandang rupa yang kau berikan."
Beruntung dirinya.
Seorang titisan ilahi aliasnya seorang dewa yang hidup sejak masa lampau bersinggah disana.
Mendengar bisik rintih dari barisan manusia malang itu, dirinya berdiri kembali untuk menjawab dari ufuk timur.
"Wahai makhluk rapuh, beruntungnya dirimu menemukan diriku di ujung jalan. Terbalas semua penderitaan yang kau emban. Namun, satu hal yang kuminta." Ucapnya. Meminta sesuatu untuk dia jadikan sebuah persembahan.
"Berikan aku satu keturunan muda yang murni hatinya. Dia yang tak pernah padam cahaya jiwa raganya."
Sang pemimpin menoleh kebelakang. Dilihatnya seorang bayi laki-laki yang merengek dalam barisan. Dirinya yang menyaut panggilan kisah kehidupannya.
"Kemarilah, anak muda." Sang dewa membuka dua tangannya untuk menerima bayi laki-laki itu.
Ditatapnya lekat-lekat wajah anak manusia. Sosok murni yang tak pernah padam cahaya hatinya, secercah kehangatan yang mampu membawakan kehidupan bagi sekitarnya.
"Mulai hari ini, kau mendapat karuniaku. Sebuah nama yang tak akan pernah padam.."
"Inui!"
Sebuah nama terlahir.
Melantang suaranya, membelah langit, membuka celah untuk mentari menerangi tubuh mungilnya.
Perlahan kabut penyesat terhapus, pun dinginnya angin malam, bahkan gelap gulita penghalang pandang—semua terhempaskan.
Perlahan juga tangisan bayi mungil mengecil bersama dengan kegelapan yang berangsur-angsur bergerak pergi.
Suku tersebut pun bersorak-sorai. Memuja sang dewa akan kehebatan dan anugerah yang dia berikan.
Sang pengusir mimpi buruk yang menjadi legenda.
Dan setelah kejadian luar biasaitulah, tahun demi tahun, sebuah desa terbangun diatas tanah pulau tersebut. Tepatnya di sebuah bukit dekat dengan pantai, dimana setiap penduduknya dapat melihat mentari terbit dan tenggelam sejelas-jelasnya.
Dan disanalah,
seorang anak pembawa karunia sang dewa hidup bahagia.
Seorang pria rupawan yang memiliki kemiripan cukup dekat dengannya; surai keemasan yang selaras dengan maniknya, juga senyuman hangat tanpa ada kata padam.
Inui Ignis,
satu nama milik sang anak, pendamping nama sang dewa.
𖤓 𖤓 𖤓
Tears of the sun
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro