Chapter 6
"Hey."
Ucap Inui menarik perhatian sang penyihir. Memecah lamunan mereka sembari berjalan beriringan di tepi, membiarkan ombak berusaha meraih ujung kaki.
"Apa kau bisa melakukan hal sihir lain?"
"Seperti?" Tanya Ina bingung.
Inui mulai menjabarkan, "Mungkin, seperti menumbuhkan yang tak pernah layu atau—"
"Kau punya permintaan, Inui?"
Ina bisa membaca pikirannya. Jelas, sejelas gelas kaca.
"Katakan saja. Aku akan mendengarmu." Balasnya dengan ramah.
Inui menjatuhkan netranya kembali pada pasir yang jadi pijakan.
"Aku pernah melihat sebuah bunga yang begitu indah. Yang hanya mekar beberapa saat saja. Setelah itu keindahannya akan hilang pada masanya."
Dia berhenti. Sebuah nama terucap, "Turnera Ulmifolia."
Seakan berdering lonceng kepalanya, Ina terkejut. "Pukul delapan!" terbalaskan anggukan Inui.
"Aku... ingin bisa menyentuhnya lagi. Melihatnya sekali lagi. Dan kau tau aku."
Telapak tangan dia tampakkan. Energi sihir tak biasa mengalirkan memori masa kelam.
Sebagai seorang penyihir, tentu Ina tak bisa tenang bila dia tak bisa melakukan apapun. Otaknya berputar, mencari dimana atau bagaimana cara mengobati rindu sosok ini.
Ingatannya terbang pada suatu titik pulau itu, dimana menjadi kemana kaki berlari.
Suatu titik, dimana abu vulkanik bercampur dengan tanah menjadikannya pupuk sempurna untuk tanaman hidup.
"Siap-siap untuk keajaiban."
Ina merogoh tas nya, menebar benih berbeda pada tanah sekitar. Dan seperti sebelumnya, dia mulai mengalirkan energi sihir yang dia satukan dengan sumber kehidupan dalam tanah.
Mengalirlah nafas pada ujung daun tunas itu. Muncul kuncup kecil pada setiap ujung tangkai.
"Sampai sini dan tinggal menunggu waktu."
Hendaknya Inui berdecak kagum ingin mendekat, namun Ina menarik ujung kain baju sang pria. Menggeleng.
"Tapiii, kau tak bisa menyentuhnya. Sebagai gantinya—"
Kebalikannya, Ina yang berjalan mendekat. Dipetiknya salah satu kuncup yang sama sekali tak berniat untuk layu dalam genggamannya.
Kemudian bibir Ina bergumamkan sesuatu, memancarkan aliran cahaya kebiruan cerah yang berputar di tangannya, membuat bentukan menyerupai bola yang mengambangkan kelopak itu.
Bak kinerja sebuah mantra, bola kristal terbentuk membekap kuncup bunga. Didalamnya tampak calon mahkota tersebut terduduk diatas pasir putih kebiruan segar yang mengalir bagai air dibawah kaki si kuncup.
Bola kristal setengah biru setengah transparan diberikan pada pengharap disebelah.
"Yang ini, bisa kau sentuh."
Sang pengharap menangkup bola itu segenap batin. Tak sabar sekali dia menunggu detik dimana kusuma akan membuka mahkota pada semesta.
"Sebentar lagi, seharusnya sudah masanya."
Dua insan melihat kearah yang sama. Ufuk timur. Dimana ibu semesta mulai melambaikan sinarnya diantara awan mendung.
"Persembahkan padanya."
Inui menoleh pada lawan bicara. Lawan bicara itu mengangguk. "Percayalah, saat ini saja. Dia akan baik-baik saja."
Mengangguk menurut, Bola kristal diarahkannya pada dimana sinar sang ibu menyingsing.
Kuncup merespons, berdenyut, bergerak terbuka penantiannya. Bersama dengan kawan-kawannya yang berdiri diatas tanah, mekar bersamaan dibawah usapan hangat sang ibu.
Netra mengkilap itu berdetak pula. Fenomena yang telah lama menghilang, tak lama lagi dalam kenang, melainkan sudah di depan pandang.
Tanpa sadar seringai menyapu masam. Dinginnya udara bergantikan nuansa hangat musim semi.
Selagi Inui menikmati momen, saat itulah Ina menemukan tujuannya.
Menumbuhkan bunga dalam dada pemiliknya.
Tugasnya selama ini yang selalu membantu perkembangan, penyerbukan, pun penyebaran. Kini bergantikan jenisnya menjadi bunga yang lain.
Bukan yang tumbuh dari tanah, maupun penghias sebuah bangunan.
Namun kusuma yang tertanam sejak manusia terlahir, silih berganti mekar dan layu termakan waktu.
Ya, itulah tujuannya sekarang.
"Inui. Terima kasih."
Sang penggenggam kristal menoleh padanya.
"Sudah menjadi tujuanku."
Senyumnya kini tampak tak biasa. Apakah itu kelegaan? Kesenangan? atau.. sesuatu yang lain, Inui tak mampu menebak.
"Aku akan segera kembali. Akan kubuat semuanya kembali."
Alis Inui mengerut terkejut.
"Secepat ini?"
Ina mengangguk.
"Kau—tak ingin lebih lama menetap disini?" Tanyanya agak canggung. Dia ingat jelas mengusir gadis itu awalnya. Hingga waktu menggusur prasangka itu, bergantikan sesuatu lebih baik yang dia harapkan dapat menetap lebih lama lagi.
Sayangnya Ina menggeleng.
"Ada sesuatu yang harus kuselesaikan. Dan aku tak boleh membuang waktu lagi."
Ujung bibir digigitnya sedikit.
"Mungkin ini, akan kita namakan... perpisahan."
Lagi-lagi dia tersenyum, kini berderet gigi.
"Temani mereka, Inui. Mereka pasti kesepian bila kutinggalkan. Sebagai gantinya, jadilah temannya."
Inui tak mengerti satu dua tiga deret lebih dari perkataan Ina. Gadis itu hanya berjalan meninggalkannya tak berkata menuju dimana terakhir perahunya berhenti.
Dua orang yang bertemu jauh dari daratan seharusnya, kembali terpisahkan antar jarak.
Menyebrangi lautan, terbedakan oleh kehidupan.
𖤓
Kembali ke daratan hijau damai itu—tidak—Ina sudah tak berpikir lagi itu adalah tempat yang damai.
Terlepas dari perahu, dia meloncat pergi. Melewati keramaian yang mulai tampak sepanjang jalan bazaar pagi. Melalui jalanan lebat akan pepohonan kehijauannya. Ina bergerak cepat menuju suatu tempat yang pernah ditemukannya dalam buku perpustakaan. Sebuah tempat suci yang berada di ufuk timur, puncak dari Ignia.
Suatu altar berdiri disana, lengkap dengan berbagai persembahan yang sepertinya kemarin hari diletakkan, hanya berisasakan sunyi dan sepi saat ini.
Baru saja kakinya memijak lantai altar, energi begitu besar menariknya melalui magnet gravitasi.
"Ah~ sudah kuduga kau akan datang."
Suara menggema tak juga menampakkan wujudnya. Sengaja membuat Ina kebingungan dalam kalutan delusinya.
"Cepat atau lambat kau pasti tau aku kemari. Karena kau tau apa tujuanku kemari."
Sang wujud tak tampak tertawa mendengar Ina.
"Apa kau memahaminya benar? Bagaimana jika dia yang sebenarnya salah? Menggunakan kemalangannya sebagai umpan untuk mengudangmu kemari."
Ina menggertakkan gigi.
"Aku percaya dia adalah korban. Kau pikir kau bisa memanipulasiku dengan alasanmu."
Sekali lagi suara itu terkekeh.
"Bagaimana kau bisa begitu saja percaya dengannya? Sehari dia mengusirmu. Sehari kemudian, hanya karena dia membuka diri satu waktu, hatimu luluh? Kau sungguh naif, penyihir muda."
Ina berdecak kesal. Suara itu benar-benar menyulut pitamnya.
"Katakan semaumu. Naif atau apapun itu. Tapi, apa yang kulihat adalah kebenarannya."
"Lukanya tercemin jelas di parasnya. Energi yang mengalir di nadinya—itu milikmu, bukan? Kau mengendalikannya. Mempermainkan hidupnya. Dengan kutukan yang membuangnya jauh di ujung sana!"
"Bagaimana bisa makhluk egois sepertimu dianggap sebagai dewa?!"
Suara itu terdiam. Tak lama suara tapak kaki terdengar. Tampak tangga mengkilap transparan menuruni bumi. Hingga pria berawakan mendekati dua meter menampakkan diri. Surai mengkilap keemasan melambangkan sang mentari. Dia tersenyum pada tamu barunya.
Menapak dia mendekat, berjarak sekitaran tiga langkah. Netra tak lepas dari pandang kebencian milik sang lawan.
"Lantas, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?"
"Elemenmu tak akan pernah bisa mengalahkanku, kau bukan tandinganku."
Tatapnya menajam. Tak main-main dia, mengeluarkan sensasi energi yang begitu besar memancar seperti bola matahari dalam lingkar galaksi.
"Ugh, aku memang tak bisa dan tak akan pernah bisa mengalahkanmu."
"Aku akan menghentikanmu."
"Kan kuhentikan kutukan itu!"
Sang dewa mentari bernama Ignis terdiam. Dapat begitu jelasnya dia melihat penyihir muda didepannya ini memancarkan sihir tak biasa yang berusaha menyeimbangi miliknya.
Hitungan detik setelahnya, Ignis terbahak.
"Bagus! Kau mendapatkan perhatianku, anak muda!"
"Kan kuberikan kau kesempatan untuk melakukan itu."
"Dan untuk mencabut kutukan itu dariku."
Magnet gravitasi diringankannya, membebaskan tubuh penyihir itu dari jeratan.
Ina menoleh pada tuan Ignis. Tentu dia merasa sesuatu tengah makhluk itu rencanakan. Namun dia kembali teringat akan tujuannya kemari.
Sebuah bola berisi cairan aneh dikeluarkan dari tas, dipecahkan di dekat kakinya, membuat cairan itu meluber ke sekitar.
Mulailah dia menjernihkan pikiran. Rileks, fokus pada energi dalam diri.
Tak lama, cairan itu membentuk suatu lingkaran berbentuk segel.
Terpancarkan cahaya samar yang semakin kuat, beralirkan energi magisnya.
Saat sihir segel menyala, botol kecil berisi sihir emas diraihnya. Sejenak dia perhatikan, mengingatkannya pada momen singkat bersama dengan tujuan hidupnya itu.
Dalam tangkupan, Ina memejamkan mata, diulurkan lengannya ke depan. Lantas mulai dilancarkan rapalannya.
Jantung bunganya merespon, mekar selebar-lebarnya, memunculkan serbuk-serbuk halus menyala yang terbang ke udara, mengelilingi tubuh majikannya seraya ikut mendampinginya.
Botol berpasir itu menjawab, terbuka tutupnya, melayang pasirnya. Setelah menyatu dengan serbuk dari jantung bunga, keduanya membalut lembut pada dua tangan milik Ina.
Dua katup mata kembali terbuka. Sihir dan bagian dari kutukan itu sudah menyatu dalam genggaman.
Kini lah, penentu dari segalanya.
Ina berlari begitu cepat pada Ignis yang tak berkutik. Tepat di pusat dadanya berdetak, tangan Ina menusuk masuk menuju jantung sang dewa.
"Kkkhh!!"
Ignis menggeram. Namun dia tak melakukan apapun.
Ina yang merasa sudah membuka kesempatan, berusaha menarik dimana energi kutukan itu berada dari dalam jantung sang dewa.
Namun, saat dirinya merasakan inti sang dewa, suatu hawa berbeda terasa.
Dan naasnya..
"KYAAAAA!!!"
Suatu tak terduga menangkapnya.
𖤓 𖤓 𖤓
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro