Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2

Saat mentari terbenam, seperti fenomena pada umumnya, para penghuni desa kembali ke peraduannya.

Begitu pula sang anak dewa.
Dalam genggamannya bunga pagi itu sudah layu, hasil dari pesta yang membuatnya melupakan makhluk hidup berbahasa sunyi itu.

Akane menepuk pundaknya, menyadarkannya dari duka diwajahnya.

"Ayo kita pulang, ada yang menunggumu disana."

Dia tak bertanya lagi, hanya mengikuti kemana kakaknya pergi.

Sesampai ujung kaki berdiri di depan sebuah bangunan bernama rumah, tatkala dia menemukan sesuatu yang mendecakkan lensa.

Halaman depan tempat jendela bertengger itu, tepat dibawahnya, berderet tanaman semak.

Itu bukan semak biasa, karena dia bisa melihat kuncupan warna cerah bertabur diatasnya, menunggu kapan mentari kan terbit kembali.

"Kakak?"

Akane tersenyum melihat reaksi Inui.

"Selagi dirimu pergi. Aku memindahkan beberapa dari bukit kemari."

"Aku yakin, bunga yang kau bawa akan layu. Kau tau kenapa, Inui?"

Inui menoleh pada Akane.
Sebentar diperhatikan kuncup layu di tangannya.

"Tidak ada akar. Hanya bunga."

Akane kembali tersenyum, melihat kearah semak berbunga itu, berjongkok didepannya, diikuti gerak sang adik.

"Akar mereka membawa zat dari dalam bumi yang mana akan diproses ke batang untuk menjadi suatu energi."

"Mereka akan bekerja keras di ujung daun. Dan setelah hari-hari yang sulit itu, bunga hasil pekerjaan mereka akan tumbuh."

"Menyimbolkan keindahan dari kehidupan di bumi ini."

Sejenak Inui berpikir, ditelaahnya kata-kata sang kakak, sekaligus mengamati bunga itu kembali.

"Kalau bunga itu gugur. Apa tumbuhannya akan mati?"

Akane menoleh pada sang adik, lantas kembali ke tanaman berbunga itu.

"Selama akarnya menancap tanah, batangnya kuat menghadapi kehidupan, meski hanya bersisakan beberapa daun saja."

"Aku yakin mereka masih bisa tetap hidup."

Inui melihat kearah bunga kuncup itu.
Tatapnya melembut.

"Aku akan menunggu kalian."

Bagai mendengar, bunga itu mengayunkan kelopak dedaunannya.

"Sudah malam, besok kita bisa melihat mereka mekar bersamaan."

Inui mengangguk mantap, bibirnya melengkung senang, sembari meraih lengan kakaknya sebagai pelengkap rangkulan.

Keduanya mengakhiri hari. Sementara sang dewa diatas sana, merencanakan skenario esok hari.

"Selamat malam, anakku."

"Berkatku menyertaimu. Selalu."

𖤓

Esok fajar menyingsing dari timur.
Mentari kembali menyapa, menggelitik kelopak mata sang penerus dewa.

Saat kuapan terlepar dari bibir merahnya, sang kakak sudah lebih dulu menyiapkan meja, waktu sarapan.

Sebenarnya Inui ingin buru-buru melihat mekarnya bunga-bunga itu, tapi ucapan sang kakak menahannya.
Membuatnya harus menanti hingga pukul 8 pagi.

Sedari tadi tiap detik jarum jam dinding dia perhatikan. Bahkan kalau tidak diingatkan, buburnya pagi itu mungkin sudah diserbu semut duluan.

Penantiannya lantas terbayarkan, saat pukul delapan tinggal hitungan detik saja.
Kakinya lebih dulu berlari sebelum Akane mengikuti.
Terduduk dirinya di depan semak berbunga itu yang masih berhiaskan rintik embun di daunnya.

Tak tak tak, hitungan detik sampai juga di ujung jalan. Menyatakan pukul delapan telah datang.

Bersama dengan mentari yang mengikuti Inui. Bunga-bunga itu membuka lembar mahkota mereka. Memancarkan warna putih kekuningan pada penyaksinya.

Dengan hangatnya sang mentari yang menyinari, bunga tersebut menampakkan kehidupan, keindahan didalamnya mengembang keluar.
Pembuat kagum Inui dan Akane yang bersampingan melihat fenomena alami itu.

"Indah~"

Ucap Inui.
Sang kakak merangkul pundak adiknya, mengusap ujung kepalanya, lantas bersandar kepala keduanya.

"Kan? Mereka bunga terindah yang pernah kutemu. Seindah adikku yang satu ini~"

Keduanya bertabur kasih, membagikan keakraban keluarga yang tersisa.
Bersama puspa pagi yang ikut bersama mereka kini.

Tidak biasa, kepala desa akan mencari Inui saat itu.

"Nak Inui."

Dua orang itu terkejut.
Menoleh nyaris bersamaan pada kepala desa yang tiba-tiba muncul di halamannya.

"Ah, maaf mengganggumu pagi-pagi begini. Bapak tidak berniat mengagetkanmu dan nak Akane."

Akane bangkit dari tempat.

"Apa ini tentang ladang lagi, pak kepala desa?"

Pak kepala desa melihat Akane yang menatapnya tak biasa.

"B-begitulah. Itu sudah biasa, bukan? Lagipula, Inui juga sudah diberkati untuk mengkaruniai desa kita. Itu sudah tugas kesehariannya."

Kali ini Akane entah kenapa menghalangi langkah Inui.
Membuat anak itu bertanya-tanya dalam hati.

"Bisa berikan aku waktu sebentar dengan Inui? Ada hal yang ingin kubicarakan dengannya."

Kepala desa mengangguk kaku. Tentu dia merasa ada yang tak beres dengan Akane, bahkan Inui pun sama bingungnya.

Akane menarik Inui ke samping rumah.
Ditatapnya khawatir manik adiknya itu, sembari dua pundak diusapnya.

"Nui, dengar."

Inui menatap wajah sang kakak.

"Kau tak perlu melakukan hal itu setiap saat. Ingat, tuan Ignis yang seharusnya melakukan itu. Kau hanya pengantarnya saja."

Inui mengangkat alis kanannya.

"Kakak kenapa? Kenapa kau bertingkah aneh?"

Akane mulai membuang pandang.
Pelipisnya mangalirkan sebulir keringat.

Namun Inui menyentuh pipi sang kakak, mengarahkan wajah pada wajah.

"Kakak mimpi buruk?"

Dengan berat hati, Akane membuka pikirannya. Dia mengangguk.

"Aku mendengar tuan Ignis akan melakukan sesuatu padamu hari ini, Nui."

"Dia seperti... merasa kesepian. Sehingga dia memutuskan itu."

"Dan aku punya firasat buruk mendengarnya dari mimpiku."

Akane menyentuh punggung tangan Inui yang jatuh di pipinya. Ditatapnya manik adik yang paling disayangnya itu.

"Kau tak harus pergi, Inui."

"Tetaplah disini, bersamaku."

Inui melirik ke arah kepala desa, kemudian sang kakak lagi.

"Kalau aku tidak pergi. Orang lain tak akan tersenyum pagi ini."

"Kakak."

Kini dia tersenyum manis.
Begituuuu manis.
Seakan menjadi buah termanis yang pernah Akane temui.

"Aku juga ingin orang lain bisa tersenyum seperti kakak."

"Merasakan kehangatan kakak."

"Dan melihat keindahan seperti tadi. Bersama orang yang mereka sayangi."

"Aku tetap akan pergi. Kalau tidak.."

Sebesit memori yang jadi saksi fenomena pagi ini mekar dengan jelas dalam benak.

"Bunga itu tak akan mekar lagi."

Akane melihat tekad baik dalam hati nurani Inui.
Matanya terpejam, kemudian terbuka lagi.
Tatkala tangannya terjatuh, membiarkan Inui pergi.

Meski begitu senyumnya tetap ada disana. Penuh akan kasih sayang pula rasa rindu tak terdeskripsikan.

"Apapun yang akan terjadi nanti, Inui."

"Aku akan menunggumu kembali."

"Selalu, akan selalu seperti ini."

Inui merangkul leher sang kakak. Sekalinya dia menjatuhkan peluk, sebelum harus pergi menyimpan rindu.

"Aku akan segera pulang, kak Akane. Sebelum matahari terbenam."

Lantas dirinya berlari meninggalkan sang kakak sendiri.

Akane tak mampu berkata lagi.
Tangannya ditautkan di depan dada, maniknya mengarah pada atmosfer tempat awan dan tuan besar berdiri.

Alisnya mengerut.
Irisnya berkaca menahan mata air.

"Kumohon. Jangan kau lukai, Inui."

"Jika kau ingin melukai, jangan dia, pilih aku."

Kepalanya menunduk, menahan pedih.
Rasa tak enak sedari tadi semakin menghatui.
Dan karena itulah, dia tak berhenti berbisik.
Membisik doa untuk keselamatan adiknya sendiri.

𖤓

Inui di lain sisi, dirinya sudah berdiri, kini di ladang yang lain, nyaris mencapai ujung bukit. Itu tempat paling sempurna untuk mentari menyinari tanah bumi.

"Nak Inui."

Pak kepala desa berdiri tak jauh di belakangnya.

"Kau bisa mulai."

Inui mengangguk, kembali dia menatap ke ufuk timur. Dimana yang dia percaya sahabatnya—sang mentari—berada dibalik awan putih.

"Kumohon."

"Dengarkan aku saat ini."

Tangannya bergerak naik, matanya terpejam.

Bak sebuah sihir bekerja, kumpulan cahaya kecil mengitari telapak tangan.
Cahaya-cahaya kecil yang mengundang sang mentari kembali membelah permukaan langit.

Dan saat sepercik kehangatan dirasa ujung tangan, kelopak Inui kembali terbuka, hendak menyapa sahabat lamanya lagi.

Sang mentari seakan tersenyum lembut, memancarkan sinar kehangatannya pada tanah bumi.

Tapi... senyumnya mengembang.
Terus mengembang, menyingkirkan deretan awan yang membuat mereka menghilang entah kemana.

Kehangatan terus bergerak naik, selaras dengan senyum lembut yang kini semakin melebar menjadi senyum tak biasa.

Silaunya menyingsing keterlaluan.
Membuat pemilik tiap manik menutup indra pengelihatannya.

Tepat dari ujung langit, sinar menyingsing jatuh diatas tubuh anak itu, menyebar ke sekitarnya yang membawakan udara begitu hangat, bahkan bisa dikata sudah panas.

Perlahan silau menghilang, menyisakan suatu fenomena tak biasa dalam desa.

Dimana seorang anak berdiri.
Dibawah sang mentari.

Dan disekitar kakinya memijak tanah bumi.
Tumbuhan menjadi debu setelah termakan api.

Tak sedikit orang tak mempercayai.
Bahkan Inui sendiri.

"Salut untukmu, anakku."

Ujar seseorang yang terbang menuruni lantai tempatnya bersinggah.
Menampakkan dirinya pada umatnya yang mulai melupakannya.

"Kekuatanmu jauh berkembang dari perkiraanku. Kuhargai tubuhmu memang sekuat itu."

"Tetapi! Sayang sekali umatku hari ini, telah berpaling pergi. Dimana aku, harus melakukan ini."

Satu tangannya diarahkan pada anaknya.

"Mulai hari ini. Kau bukanlah Inui-ku lagi."

"Pergi. Dengan karunia yang telah kuambil kembali."

"Pergi. Bersama dengan kutukan yang akan kau emban sendiri."

"Untuk menjenihkan umatku lagi."

Suatu sinar ilahi dijatuhkan tepat pada tubuhnya. Dimana kekuatan milik Inui, yang dulunya bercahayakan emas murni.
Kini, menjadi sesuatu yang tak seperti dulu lagi.

Udara hangat yang biasa mengitari.
Berubah menjadi hawa panas tak mampu ditahan siapapun diri.

Sinar lembut mentari, tak lagi memancarkan silau kehidupan.
Namun silau kematian, yang mampu memadamkan jiwa seorang tiap detik.

Setelah melancarkan rencananya itu, tuan Ignis bergerak pergi.
Meninggalkan Inui yang terhujani tatapan takut dan benci.

"T-terkutuk..."

"INUI SUDAH DIKUTUK!!"

Nafasnya terhenti.
Mendengar kasak-kusuk disana disini.

"Tuan Ignis mengutuknya? Bagaimana ini?"

"Lalu apa yang akan kita lakukan? Jika Inui dibiarkan disini, ladang kita tak akan bisa panen lagi."

Beberapa orang masih mengkasihani.
Namun tak butuh waktu lebih untuk seorang menyulut api benci.

"USIR DIA! AKU TAK INGIN LADANGKU MATI!!" ujar seorang pria dewasa.

"AKU JUGA MASIH PUNYA KELUARGA UNTUK DINAFKAHI! KALAU LADANGKU MATI, APA YANG AKAN KUMAKAN NANTI?!"

Pandang Inui jatuh kesana kemari.
Melihat api sebenarnya kini terbakar dalam hati tiap insani.

Pergi..

Pergi...

MUSNAHKAN INUI!

Suara itu mampu didengar jelas telinganya.

Kakinya beranjak berlari.
Menuruni bukit.
Melewati hutan yang mulai gugur menjadi debu karenanya.

"Kakak!! Kakak!!!"

Air matanya berlinang.
Berharap seseorang menyapanya pulang.

Dan benar saja, Akane menariknya langsung ke dalam pintu.
Memeluk adiknya yang kini terasa begitu panas bak suhu musim kemarau.

"Inui. Tenanglah Inui. Aku disini. Kakak disini."

Inui memeluk erat kakaknya.
Membenamkan wajah, kesedihan dan ketakutan disana.

"Kita pergi. Kita akan pergi dari sini."

Ujarnya sembari menangkan sang adik.

"Ayo. Kita tidak punya waktu lag—hyaa!"

Baru saja sang kakak memperingatkan soal waktu.
Kumpulan warga sudah mencapai mereka lebih dahulu.

Mereka mendobrak pintu. Membakar rumah mereka dengan kobaran api. Merobohkan pilar-pilar kayu penompang rumah mereka.

Sang kakak dengan respon cepatnya memeluk sang adik dalam dekapan.
Sembari kakinya tetap digerakkan, menjauhi tempat yang mulai pengap akan kepulan asap hitam panas.

Cekrek! Cekrek!

"Gawat..."

Berusaha didobraknya pintu belakang rumsh kecil itu. Namun tak merespon apapun. Sesuatu seperti menghalangi dibaliknya.

Sementara langit-langit rumah sudah mulai runtuh bertabur serbuk api menyengat kulit. Akane menjerit rintih saat ujung lengan bersentuh dengan salah satunya.

"Kakak!!"

Inui menjerit memanggil sang kakak.

Dalam jebakan kobaran api, mereka berusaha mencari cara untuk keluar hidup-hidup. Meski di luar pun, warga masih menunggu untuk memburu ajal mereka.

Hidup mereka di ujung tanduk. Kedua orang itu terlahapkan rasa panik. Memeluk satu sama lain, membagi ketakutan yang sama.

"M-maaf, karenaku kakak jadi—hiks.."

Akane menggeleng, mengeratkan pelukannya pada adiknya.

"Tidak, Inui. Ini bukan salahmu. Kau tidak terkutuk. Kau terberkati. Kau—"

Detik itu, Akane menangkap suatu sela begitu kecil dari arah jendela.
Dekapan digantinya dengan gandengan.

Dirinya dengan agak ragu menanamkan niat, sekalinya perhatian tertuju pada satu kayu terbakar cukup besar disampingnya.

"Inui. Dengarkan aku."

Wajah manusia paling berharga di tangkupnya. Dimana ketakutan, kesedihan mencekam disana.

"Kau harus keluar dari sini, kau mengerti?"

"Buktikan pada mereka, kalau mereka salah. Kau bukanlah Inui yang terkutuk."

"Kau bukan anak dewa ataupun makhluk pembawa bencana. Kau Inui, hanya Inui."

Sekali saja Inui ingin berkata, Akane lebih dulu mengangkat kayu terbakar itu. Ditahannya perih menyengat dalam gertakan giginya.
Tanpa memerdulikan kulitnya yang melepuh, kayu itu di dobraknya ke arah jendela.

BRUAAKK!!

Terbukalah jalan keluar yang tak cukup besar untuk dirinya. Hanya untuk Inui seorang.

"Keluarlah!"

Inui tersentak, dia bergegas melewati sela kecil itu meski sedikit terhimpit.
Setelah berhasil keluar, dia berniat mengulurkan tangan juga untuk sang kakak.

"Kakak, kau juga—!!!"

Lensanya menegang. Melihat senyum sang kakak yang terlihat dari sela kecil itu.

"Hiduplah, Inui."

"Kakak selalu menyanyangimu."

"Sela—"

KRATAK! KRATAAKK!!

Langit rumah hangus itu jatuh menimpa tubuhnya. Menjadi penutup hari dirinya dengan kakak tercintanya.

"Kakak!! KAKAK!! ARGHH!!"

Sempat Inui ingin bergerak masuk kembali. Satu benda berkobar jatuh padanya. Menghasilkan bekas luka menjijikkan yang menjadi pengingat akan hari yang tak pernah diinginkan itu.

Dan setelahnya, sesuai kata sang kakak, Inui berlari meski tak ingin.

Berlari, menuju barat, menjauh dari tempat sang dewa berada, ke arah lautan.

Kemudian menghilang dan tak pernah ditemukan.

Para warga berpikir Inui sudah tiada. Kutukan terangkat dan mereka bersorak sorai.

Tapi mereka melupakan satu hal...

Bahwa kegelapan dan kabut dingin akan kembali menghantui.

𖤓 𖤓 𖤓

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro