Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1

"Nui, tangkap!"

Tap! Seorang wanita melempar sebuah bola yang terbuat dari rotan.

Seorang lelaki muda bersurai emas menangkapnya dengan lihai.
Kembali lagi dia lemparkan pada seorang gadis yang jadi satu-satunya keluarganya kini.

Ah ya, jam segini adalah jam mereka untuk bermain, meluangkan waktu bersama. Untuk sejenak sang kakak terlepas dari pekerjaan sebagai pedagang pasar.

Sang lelaki bernama Inui terhenti.
Bola di genggamannya, maniknya mengarah pada sang langit, sebentar membuang lamunan.

"Andai bisa bermain dengan mereka lagi."

Sang kakak tau jelas duka adiknya yang tak kunjung hilang.
Dua orang tua mereka meninggal karena kecelakaan lautan, tepatnya karena ombak besar.

Saat itu Inui masih terlalu kecil untuk mengendalikan kuasanya.
Maka dari itu, duka dan rasa bersalah tak mampu terenyahkan dari dadanya.

Sang kakak berjalan mendekat, mengusap pundak lesunya, sebuah senyum hangat tak terhapuskan diberikan pada adiknya.

"Mereka bahagia disana. Itu juga bukan salahmu, Nui."

Berniat menghapus perasaan buruk sang adik, sang kakak mengambil sesuatu dari saku, disembuyikannya dibalik punggung.

"Tebak, aku punya sesuatu untukmu."

Manik mengkilap Inui menghapus bayangan. Bibirnya sedikit terbuka akan antusias.

"Mainan?"

"Um um, bukan."

"Hmm, sayuran?"

Sang kakak tertawa kecil.

"Aku tau kau tidam mau makan sayur, Inui. Tidak mungkin aku memberikannya padamu."

Pipi Inui perlahan merona. Malu akan kebiasaan kekanakannya itu—tidak suka sayur, terutama yang hijau.

"Lalu apa? Ikan?"

Sang kakak kembali terkekeh.

Puas dengan permainan tebak-tebakan, ditampakkannya sebuah bunga segar yang dipetiknya pagi tadi.

"Ini namanya bunga pukul delapan. Mereka jenis yang spesial. Hanya mekar dari jam 8 pagi sampai 12 siang saja. Turnera Ulmifolia."

Inui bergerak meraih bunga itu dari genggaman sang kakak.
Disentuh mahkotanya, berdecak gemerlap lensanya, mulutnya ternganga melihat mahakarya alam itu.

"Hebat.."

Sang kakak tersenyum. Bunga itu didekatkan pada Inui.

"Ambilah. Aku memberikannya khususss untuk adik tercintaku."

Inui menerima bunga putih kekuningan itu. Senyumnya perlahan mekar, seakan menjadi wakil mekarnya sang bunga pagi itu.

Sinar mentari perlahan mengarah padanya. Menjatuhkan sinar dengan lembutnya pada bunga tersebut.

Yang mana tepat disekitar berdirinya sang anak, tumbuhan dari besar sampai kecil mengembangkan dedaunannya.
Bermandikan zat hara dan air mereka disana, berfotosintesis dengan gembiranya, lantas perjuangan mereka memekarkan bunga dan membuahkan hasil yang manis.

Alam seakan berterimakasih padanya.
Beberapa menjatuhkan buah manisnya.
Ada juga yang menggerakkan daunnya agar tetap sejuk sang anak meski diterpa cahaya mentari.

Dan baru saja dia merasakan keajaiban alam dan jam keluarganya, seorang pria dewasa datang memanggilnya.

"Inui!"

Sang anak menoleh pada sumber suara, dimana sang sumber suara berjalan mendekat seperti merasa beruntung dapat menemukannya.

"Pak kepala desa."

Dia berputar pada pria itu.
Sang pria tersenyum, mendapati anak itu kini masih bahagia bersama kakaknya.

"Nak Akane, selamat pagi."

Sang kakak—Akane—menundukkan kepalanya singkat.

"Pagi, pak kepala desa. Apa kau membutuhkan Inui saat ini?"

Sang bapak mengangguk.

"Warga desa bagian timur menyudahi kegiatan menyiram ladang mereka. Sekarang saatnya untuk tanaman mereka menerima mentari. Maka dari itu aku mencari Inui kemari."

Sejenak dia menyadari dua saudara itu tengah memiliki waktu mereka sendiri, seketika dia merasa bersalah.

"Maaf, aku mengganggu waktu keluarga kalian."

Akane menggeleng, dia menengok pada Inui. Tentu dia tau jelas bahwa Inui adalah bagian penting dari kehidupan desa, apalagi kehidupan alam. Dia sudah mengetahui itu sejak bertahun-tahun lalu.

"Inui ditakdirkan untuk mendapat tugas yang spesial. Aku tidak keberatan. Selama dia kembali pulang ke rumah, aku akan menunggunya."

Tangannya dengan lembut mendorong punggung Inui maju. Senyumnya lagi-lagi mengembang.

"Pergilah, Nui."

Inui awalnya ragu meninggalkan sang kakak. Namun apalah daya Akane menyuruhnya pergi, dia tak mampu menolak lagi.

Langkahnya berjalan maju, mendekat kepala desa.

"Aku akan pergi."

Kepala desa dengan senang mendengar jawabannya. Sebelum pergi mereka berpamitan dengan Akane dan berjanji tak akan lama, mungkin tidak sampai matahari terbenam.

Akane mengayunkan tangannya pada sang adik. Melambaikan salam perpisahan singkat yang pasti mereka akan bertemu kembali.
Kemudian dua orang itu berlalu, berangkat menuju bukit, dimana sebuah ladang tergelar lebar disana.

Penduduk desa sudah menunggunya. Dengan hangat mereka menyambut anak dengan karunia dewa itu.

"Inuii, syukurlah kau datang. Kau sudah makan? Apa kakakmu sehat-sehat saja?"

Seorang bibi overthinking menyapanya. Bahkan menangkup dua pipinya dengan telapaknya.

"Hey, jangan begitu, kasihan Inui bisa tirus kalau kau begitukan." Ujar kawannya.

"Aish, nggak kok, pipi empuk begini mana tirusnya? Lagipula, Inui, permata desa kitaa~"

Inui mulai merasa tak nyaman. Tangkupan itu dilepasnya.

"Sudah, bi. Terima kasih. Kak Akane juga sehat-sehat saja. Akan lebih baik kalau bibi berkunjung ke dagangannya juga."

Sang bibi tertawa sembari menangkup pipi sendiri.

"Pasti~ Akane sudah jadi langganan pula. Tenang saja, setelah ini aku akan ke tempatnya."

Inui mengangguk senang.
Tak lama, kepala desa kembali muncul.

"Inui, sudah waktunya."

Inui mengerti.
Kini sudah waktunya dia beraksi.

Berjalan menuju ujung ladang. Berdiri dibagian bibirnya.

Maniknya menjelajah langit.
Dipejamkan matanya sejenak, bagai berkomunikasi dengan sang mentari dari balik awan-awan putih.

Tangannya perlahan terangkat, lensanya pun terbuka juga.

Dan saat itulah...

Keajaiban menampakkan keberadaannya.

Barisan awan bergerak menepi.
Membuat celah-celah untuk sang mentari menyapa Inui dengan silaunya mengkilapkan surai emas titisan dewa Ignis.

Saat itulah sang mentari mendengar perintahnya. Dijatuhkan sinar hangatnya pada ladang yang menjadi objek misinya kali ini.

Pun tak terlupakan Inui yang kini bermandikan sinar mentari.
Menyalakan warnanya seperti bunga matahari disamping tanah ladang.

Setelah deretan awan bergerak pergi, menyisakan langit biru bersih juga mentari, Inui menurunkan tangannya lagi. Dia berbalik.

"Sudah selesai."

Penduduk warga bersorak-sorai.
Didekatinya Inui bahkan anak itu sampai diangkat dilemparkan ke udara saking senangnya.

"Yeaah!! Kau hebat, Inui!"

"Kami beruntung kau ada disini~"

Kemudian warga-warga berangsur-angsur membawanya pergi.
Berkat kemampuannya mengerahkan sinar mentari, sebagai balasannya, warga desa menggelar acara makan-makan untuknya.

Dan sebenarnya, Inui tak begitu menyukai juga menyukainya.
Suka karena itu adalah simbol kehangatan kebahagiaan.
Tidak suka karena mayoritas menu pasti terbuat dari sayur-mayur dan dia tidak menyukai itu.

Warga-warga berkumpul disana.
Menari, memuji, berpesta-pora meski belum waktunya musim panen bulan ini.

Meski begitu, Inui senang berada di desa ini. Dirinya tak pernah merasa kesepian meski ayah ibu meninggalkannya pergi.
Selalu ada siapapun itu untuk menghangatkannya dari malam dingin, sang kakak yang selalu memberinya balutan selimut hangat, senyum yang sama hangatnya, juga dekapan yang paling dia rindukan.

Tak perlu waktu lama untuk warga desa mengundang Akane juga ke pesta itu.
Karena mereka tau, Inui hanya memiliki Akane untuk kehidupannya sendiri.

Bersama-sama mereka berpesta merayakan hari tanam pagi ini.

Dan diatas semua itu pula, seorang pria ilahi tersenyum singkat melihat anaknya yang tertawa dalam desa kecil.

"Dia melakukan semuanya dengan baik, bukan begitu?" Tanyanya pada diri sendiri.

Sejenak dia beranjak dari singgasananya, meraih persembahan untuknya yang... entah kenapa hari demi hari semakin menipis.

'Bukankah Inui tampak begitu hebat?'

Bisikan hambanya melintas di telinganya.

'Kau benar! Butuh dia saja, ladang kita sudah beres tinggal menunggu panen saja.'

'Dia memang anak emas. Aahh.. kalau aku bisa menyembahnya, mungkin aku akan jadi yang pertama.'

'Kau bercanda?! Aku yang menyiapkan makanan pesta ini. Akulah yang pertama!'

'Kau pikir begitu? Asal kau tau, aku sudah menyiapkan segalanya untuk malamnya hari ini. Kau tak mungkin menyiapkan itu—'

Bisik demi bisik kian bertambah.
Bertambah semakin mengarah pada nama Inui semakin hari.

"Apa ini?"

Ignis berjalan mendekati deratan awan yang menjadi tanah pijakannya.
Dibelahnya langit itu, menampakkan gerombolan umatnya yang perlahan menghilangkan sinar kepercayaan mereka padanya.

Amarahnya tumbuh, geram dalam dada.

"Mereka mulai melupakanku. Mereka lupa aku yang memberikan anak itu kekuatan sehebat itu."

Dia berjalan kesana-kemari, membuat putaran oval di tempat yang sama.

"Memang benar aku punya rencana untuk menjadikannya generasiku selanjutnya."

"Tapi, selama dewa yang sebenarnya masih ada, anak itu bukan apa-apa selain wadah saja."

Dia kembali berputar.
Pikirnya pun ikut berputar mencari jawaban yang dicarinya, akan bagaimana agar umatnya menyadari keberadaannya.

Sebesit ide cerdik tiba-tiba saja menabrak kepalanya.

"Itu dia!" Ujarnya sembari menjentikkan jari, pengganti kata Eureka!

"Perlu pengujian apakah aku memilih anak yang benar untuk menjadikannya penggantiku."

"Dan ini akan menjadi penentu apakah dia cukup baik untuk mengendalikan kekuatannya itu."

Langkahnya berhenti, bersama senyum licik tumbuh di ujung bibir.

Pandangnya jatuh pada sosok anak yang memancarkan cahaya paling terang dari lainnya. Dia yang kini bersama kakaknya.

"Inui anakku."

"Fajar esok hari akan jadi awal dari kisahmu."

"Persiapkan dirimu."

Ignis terkekeh, lantas menutup belahan awan yang jadi penutup rencana esok harinya.

𖤓 𖤓 𖤓

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro