Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Maaf, Penjaga Hati

Aku mengerjapkan mata, sesulit itu bagiku untuk tidur. Sesulit itu juga aku bernapas dalam gelapnya malam pada hari ini. Aku tidak ingin menganggap bahwa Tuhan kejam lagi. Semua sudah diatur olehNya. Tidak ada hakku untuk marah.

Kembali air mataku turun. Mengingat apa yang aku alami hati ini. Faktanya hidup selama 24 tahun tidak membuatku bahagia, justru lebih banyak kesedihan yang kupendam. Aku tahu, kematian bukan satu-satunya cara untuk mengakhiri ini.

Hadapi. Kata itu pasti kuucapkan jika itu adalah orang lain. Jika diri sendiri yang merasakannya, entah kenapa aku ingin mengarah saja. Benar, menyerah. Seperti saat ini.

Ting!

Notifikasi ponsel cukup mengganggu renunganku. Segera aku mengambil dan mengintip pemilik nama yang mengirimkan pesan jam dua subuh. Bukan calon pendamping hidupku. Bukan juga dari Bizar. Nama yang aku hindari selain Reza.

Sarah
Kamu sudah putuskan pilihanmu, Dira?
Aku harap kamu adil pada kami.
Kalau tidak, kamu egois.

Nadira
Aku tahu.
Tidak bisakah kamu menghubungi ketika jam kerja, Sarah?

Sarah
Aku tidak peduli.
Aku hanya mengingatkanmu, Dira. Yang kamu korbankan bukan aku, tapi bumi dan seisinya.

Nadira
Kamu terlalu percaya diri


Aku menutup ponsel begitu saja. Tidak ada niatan membalas percakapan kami selanjutnya. Sarah tidak akan mau kalah dan aku tidak mau menyerah. Memutuskan semua yang telah aku bangun itu sangat sulit.

"Tuhan, jika aku tidak berjodoh dengannya ... kenapa aku harus diberikan harapan yang kutahu akan kandas?" gumamku pelan.

Di pagi hari itu adalah waktu yang sulit untuk dilakukan. Aku harus segera mandi, tanpa bertemu dengan Kak Ron dan istrinya. Bisa bahaya jika mereka menemukan mata hitam di wajahku. Bahkan mungkin akan diceramahi.

Aku tidak mau melibatkan mereka dalam masalah ini. Tidak bisa aku hancurkan harapan Kak Ron yang ingin melihat adiknya melangkah ke tahap hidup selanjutnya. Maaf, mungkin kata itu tidak dapat aku ucapkan pada Kak Ron.

"Nadira, hari ini kamu dan Radja akan membagikan undangan bukan? Cepatlah, meski kalian tidak mengundang banyak orang, undangan itu harus diberikan, terutama pada teman-teman yang jadwal sibuknya tidak pasti," celetuk Kak Ron ketika kami sedang makan.

"Benar, Dira. Tiga minggu lagi kalian menikah, pernikahan yang ditunggu-tunggu oleh semua orang, begitu pun aku," balas Nadia, istri dari kakakku.

Nadia sendiri adalah sahabatku, dia tahu kesulitan yang aku alami selama menempuh sekolah menengah tingkat atas. Sayangnya, aku tidak seterbuka itu untuk mengungkap masalah yang terjadi padaku dan Radja. Ya, calon suamiku. Calon yang tidak penah aku sangka. Orang yang kuharap hanya sebatas cinta pertama dan sepertinya memang tidka akan mungkin menjadi cinta sejati.

"Terima kasih sudah mengingatkan, Kak. Lalu kapan aku akan memiliki keponakan?" godaku hingga membuat wajah Nadia bersemu merah.

"Nadira, kamu tahu kalau Kakak dan ... Nadia menunggumu. Kami tidak tenang jika kamu belum bahagia. Sudah cukup penderitaanmu selama ini," balas kakakku.

"Kak ... aku bahagia. Tanpa menikah pun aku sudah bahagia, kamu tidak perlu menungguku menikah untuk memiliki anak. Aku justru sangat senang bisa melihat kalian bersama seperti ini. Andai dulu aku tidka menurut pada kakak untuk tinggal bersama kalian, mugkin sekarang aku bisa memeluk keponakan yang cantik, ganteng dan imut," sesalku. Ya, aku menyesali karena tidak punya argumen kuat untuk berpisah dengan mereka.

Kak Ron perlahan menarik tanganku. Menggenggamnya dengan erat. "Jika kakak boleh egois, kakak ingin tinggal bersamamu terus, Dira. Kakak tidak ingin menyerahkanmu pada pria manapun. Namun jika itu harus, maka Kakak hanya percaya dengan Radja saja."

"Aku mengerti."

Percakapan itu diakhiri. Semakin membuatku ragu untuk mengambil keputusan. Aku sudah menghubungi Radja beberapa jam lalu, meminta bertemu di siang hari. Tidka lupa membawa beberapa undangan yang harusnya kami bagikan. Seadainya aku juga bisa egois dan tidak peduli dengan ucapan Sarah.

Aku buka satu per satu halaman buku dari perpustakaan. Tidak ada minat pergi ke laboratorium dan bertemu dengan Bizar. Jika ilmuwan itu tahu masalah kami, semuanya akan rumit. Lebih baik aku menunggu Radja lebih dahulu.

"Maaf aku datang agak telat. Sarah ke rumah orangtuaku dan dia sangat yakin dengan itu," ucap Radja.

Mendengar nama Sarah sudah cukup membuatku gusar. Tanpa aku memberi keputusan, nyatanya wanita itu akan menjalankan rencananya yang lain. Apa aku bisa mempertahankan semua ini? Tidak, tidak. Apakah aku mampu untuk menerima fakta jika Sarah memang mengandung anak Radja?

Tiga bulan lalu aku masih melakukan tugas di kota lain, tidak bisa sering-sering bertemu. Radja sendiri sedang sibuk merintis perusahaannya. Yang aku tahu Abimanyu, kakaknya beberapa kali menemuiku hanya sekedar mengendurkan hubungan kami.

"Dira, Dira," panggil Radja hingga aku pun kembali menatapnya. "Aku sungguh tidak pernah melakukan apa pun dengannya."

"Menurutku belum terlambat, Ja," gumamku pelan.

"Kamu benar, kita punya dua minggu untuk membuktikan bahwa aku tidak melakukannya. Aku akan minta bantuan Bizar untuk masalah ini," balasnya segera membalikkan badan.

Aku buru-buru memegang tangannya sambil menatap laki-laki itu sendu. "Bukan itu yang aku maksud, Ja."

"Dira, jangan bercanda. Tenang saja, aku yakin bisa membersihkan namaku. Jangan mengatakan apa pun."

"Tidak bisa begitu, Ja. Takdir belum berpihak pada hubungan kita," balasku pelan.

Radja menggeleng. Laki-laki itu membelalak sambil menekan bahuku. "Apa kamu gak mau berjuang bersamaku lagu, Nadira? Apa cuma aku yang mempertahankan hubungan kita sampai akhir?"

"Bukan begitu ...." Air mataku jatuh, tidak lagi tertahan. Tentu, aku tidak ingin berpisah.

Siapa yang ingin berpisah dari orang yang dicintai? Aku tau tatapan Radja denganku sama. Namun, apa aku benar-benar boleh egois dan mengorbankan seluruh makhluk bumi?

"Radja, kamu ingat masa lalu kita di Twins? Inkarnasimu dan aku tidak dapat bersatu. Mereka ditakdirkan untuk saling mencinta dalam kebencian dan kesalahpahaman. Kita pun tidak bisa, walau Sarah belum pasti mengandung anakmu, tapi dia benar aku tidak boleh egois," jelasku.

"Apa ... kenapa kamu sembunyikan masalah ini dariku Dira? Katakan padaku, apa dia mengancammu?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Jika  kita dihadapkan pada pilihan kebahagiaan sesaat tapi mengorbankan semesta atau masa depan semesta lebih baik tanpa kita bersatu. Mana yang akan kamu pilih?"

Radja bungkam. Dia tahu jawabannya, begitu pun aku. Pilihan kami pasti sama. Namun, dia tidak menerima takdir—sepertiku.

"Terkadang kita boleh egois, Dira," balasnya pelan.

"Aku tahu. Tapi memperhatikan ke depannya, aku tahu kamu pun akan memilih jawaban yang sama denganku. Berpisah bukan berarti hati kita menjauh bukan?" ucapku semakin rendah. Bibirku bergetar ketika ingin mengatakan ucapan selanjutnya, "Aku merelakanmu dengannya, Radja Adhitama."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro