Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Hanya Salah Paham

Aku menatapnya, lama. Setelah kami berada di tempat yang jarang untuk dilalui para murid. Seharusnya kami kencan. Itu jika aku mengatakan tentang tugas yang telah diganti, bahkan beres. Tatapanku menutut Reza untuk membuka rahasia, sementara sang pemilik mata cokelat gelap itu melirik  ke tanah. Seolah ada uang atau benda berharga lainnya di sana.

Rasa sakit dari bahuku tidak lagi menjadi prioritas. Jika Radja atau teman-teman lainnya tahu, ini akan semakin sulit. "Jawab aku Reza!" 

Aku berusaha untuk tidak berteriak kencang dan mengundang banyak orang ke mari. Tidak mau jika orang-orang itu tahu jika kami berbeda. Reza enggan menjawab, membuang seluruh waktu yang kumiliki saat ini. 

"Aku hanya ingin melindungimu, Dira. Aku tahu mereka menindasmu, tidak hanya kali ini saja. Bahkan aku tahu mereka berniat---"

"Dan apakah itu akan mengubah mereka?" potongku. Jawabannya mengesalkan. Seolah nyawa manusia adalah mainan yang dapat dihancurkan sesuka hati. "Ini hanya membuat mereka semakin menindasku, Za."

"Lalu apa? Aku harus diam saja dan menerima jika sahabatmu itu yang terus melindungimu? Dira aku pacarmu!"  geramnya.

Aku membelalak. Dia cemburu lagi? Apa yang harus aku katakan agar kemarahannya mereda? Tiba-tiba dia menarik kedua tanganku. Nyaris memeluk jika aku tidak menahannya. Akan buruk jika orang-orang melihat noda darah pada seragam putih miliknya.

"Bahkan kamu gak mau aku peluk," bisik Reza padaku. Hatiku tidak nyama, tetapi hatinya diliputi oleh amarah. 

Aku mengembuskan napas. Menarik tanganku perlahan darinya, tetapi sulit. Tangan tertutupi sarung tangan hitam itu mencengkeram erat. "Reza, kenapa kamu terobsesi dengan kata pacar dan melindungi ? Jika yang kamu maksud adalah Radja, dia tidak salah. Kami sekelas, satu tim dan ..."

"Dan tentu saja kamu menyukainya." Kali ini Reza yang memotong ucapanku.

Tatapan tajamnya itu menyiksa batinku. Padahal bukan itu yang ingin aku katakan padanya. Radja hanya sahabatku. Setidaknya itu label yang laki-laki itu sematkan padaku sejak tiga tahun lalu. Fakta bahwa aku pernah menyukainya dan memandang dia sebagai laki-laki memang tidak dapat diubah. Itu hanya masa lalu yang sedang aku lupakan.

"Perdebatan ini tidak akan berakhir. Aku harus segera melapor," ucapku lalu berbalik. Menyentuhh jam yang memunculkan hologram. Aku mencari kontak Radja lebih dahulu agar dia langsung pergi.

Sayangnya, sebelum aku sempat berbicara, Reza memelukku dari belakang. Dia mendekap bahkan menekan bahuku yang terluka. Sakit, tapi lebih sakit ucapannya padaku.

"Kalau kamu melapor, aku bakal lebih lama lagi bisa sama kamu, Dira. Aku mohon, jangan. Aku gak bakal mengulanginya, tapi kamu harus jauhin dia," bisik Reza di telingaku hingga membuat bulu kudukku berdiri.

"Reza, jika kamu seperti ini terus. darahku bisa keluar lebih banyak lagi. Aku harus segera kembali, melaporkan kejadian ini," balasku sambil berusala lepas dari dekapannya.

"Kali ini tidak. Aku akan mengobatimu. Akan aku manfaatkan semua kesempatan agar bisa bersamamu, Dira. Aku tidak mau Radja merebutmu dariku. Tidak akan pernah. Kamu milikku," ucapnya.

"Reza!" aku berteriak. Perasaannya menakuti hatiku. Kakiku gemetar karena ucapannya. "Radja hanya sahabatku. Selamanya begitu. Kamu gak harusnya cemburu sama laki-laki yang hanya menganggapku sebagai sahabatnya."

"Dalam mataku, dia tidak begitu Dira. Dia gak pernah memandang kamu sebagai sahabatnya, percayalah. Jauhi dia."

-----------------------------------------------

Tiga tahun lalu.

Aku melihat kebaya yang kukenakan sangat cantik. Hari ini kelulusan, sebentar lagi rok biru yang selama ini kupakai akan berganti menjadi abu. Malam nanti akan ada pesta perayaan di Twins. Sedang di bumi, kami sedang merayakannya di sekolah. Namun, debaran dalam jantungku ini tidka berhenti.

Berkali-laki mataku dan mata laki-laki tinggi di atas panggung itu bertemu. Menyanyikan satu lagu ke lagu lainnya. Mataku tidak pernah absen, bahkan untuk mengambil makan atau minum. Hari ini dia terlihat lebih bersinar, tidak menyebalkan. Radja biasanya menganggangguku. Sekarang dia berdiri di atas panggung dan hanya menyanyi.

Sudah kuputuskan sejak kemarin. Perasaan yang ada di dalam hatiku harus dilepaskan. Meski harus siap juga menerima kemungkinan terburuk. Hanya saja aku tidka bisa menahannya lebih lama lagi. Tidak jika hanya menjadi pengagum rahasianya sudah cukup membuat hatiku tenang.

Suara musik berhenti. Radja berdiri mengucapkan terima kasih dan langsung turun dari panggung. Aku sendiri segera menghampirinya. Membawa laki-laki itu ke tempat yang tidak begitu ramai karena para murid sedang bersorak sorai melepaskan perasaan mereka.

"Kenapa Dira? Ada yang aneh di sini?" tanya Radja padaku.

Aku menggeleng. "Enggak, Ja. Aku cuma ... pengen bilang sesuatu ke kamu. Boleh?"

"Sekarang juga kita lagi ngobrol masa kamu gak boleh ngomong," ucapnya diselingi tawa. Pipiku memanas. Aku tahu hanya tiga kata yang akan kuucapkan, tapi kenapa sulit sekali?

Napasku seolah akan habis, padahal pasokan udara sangan banyak di luar sana. Mata kami saling bertemu.

"Ja. Aku suka kamu," lanjutku pelan. Sangat pelan, sampai mungkin aku sendiri menduga jika Radja tidak akan mendengarnya. Namun, aku salah. Laki-laki itu mendadak berhenti tersenyum.

"Dira? Kamu serius atau lagi dipaksa orang?" tanya Radja padaku.

"Aku serius!" ucapku lantang.

Radja membelalak. Dia tidak langsung menjawab. Dan itu cukup bagiku untuk tahu apa jawabannya. Kedua tanganku memegang rok batik yang tengah digunakan.

"Dira, aku senang mendengarnya. Tapi maaf, aku gak bisa menerima perasaan ini, kamu terlambat."

Aku melihatnya hanya tersenyum, tetapi matanya berkaca-kaca. Tidak lama aku mendengar suara seorang gadis di belakang kami. Secepat itu aku menjauhkan diri.

"Maaf, ja. Aku enggak tahu. Gak apa. Aku bakal lupain perasaan aku ke kamu, karena ini emang kesalahan."

"Dira ...," gumamnya pelan, "perasaan kamu ke aku itu bukan kesalahan."

-------------------------------------------------

Aku hampir menangis. Mengenang masa lalu yang memalukan sekaligus menyakitkan. Sedangkan Reza hanya terus mendekapku. Kesadaranku mulai berkurang. Namun dari atas, aku bisa melihat sosok Radja yang terbang. Laki-laki itu segera turun dan mengembalikan sayap nga ke dalam tubuhnya. 

Wajah penuh amarah itu mengingatkan aku pada Reza yang juga marah. Ah benar juga. Aku baru saja menamparnya. Dan sekaang aku ditampar oleh kenyataan. Naif sekali. Kenapa aku begitu naif?

Radja melihatku sekilas, tepatnya pada luka yang ada di bahuku. Pandangannya beralih pada Reza yang berada di belakang dan sedang mendekapku.

"Apa kamu gak ngerti kata lepaskan?" Adalah ucapan yang Radja ucapkan pertama kali pada pacarku.

Reza mendengus. "Dan apa kamu gak ngerti kalau status kamu dan Nadira hanya teman?" 

"Reza, lepaskan Nadira. Dia harus segera diobati!" ucap Radja pada laki-laki itu.

"Aku bisa mengobatinya. Kamu pergi saja melapor!" jawab Reza.

Aku benar-benar tidak mengerti lagi dengan dua laki-laki ini. Seperti seekor singa yang akan memulai perkelahian, mereka saling melontarkan tajamnya taring mereka, sementara aku umpannya.  Radja menatapku iba. Dia mungkin tidak akan menahan diri jika aku tidak dalam dekapan Reza.

"Reza, sepertinya kamu lupa dengan peringatan ku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro