Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TEAM: 69: To. X

maaf ya baru bisa post 🤗

HAPPY READING

...

Len-G. Itu nama panggung yang diberikan Arian saat jadi manager gadungan Marlen. G yang nyempil di sana artinya gamers, tapi siapa pun tidak menyangka kalau Arian memberi makna tersendiri pada nama itu mengingat Marlen juga punya akhiran yang sama dengan abjad G. 

Marlen tak pernah berpikir akan jadi aktor. Dalam kehidupannya yang terpencil, dia hanya memikirkan bagaimana caranya ikut tournament League of Legends dan gabung bersama e-sports. Tapi itu bukan impian Mami. 

"Apaan sih kamu mau ikut-ikutan e-sports gitu? Apa kata teman-teman Mami coba kalau kamu malah ikut tournament nggak jelas cuma main game? Nggak! Mami nggak setuju!" 

Serius Mami bilang begitu? Marlen tak menyangka padahal jadi atlet esports itu sudah jadi trend dan impian beberapa anak remaja sekarang. Lihat saja banyak orang yang memulai streaming di media sosial dan berlomba-lomba mendapatkan label pro player. Mereka ingin jadi gamers juga dan Mami masih menganggap itu hal yang tidak jelas? Oh tidak! Maminya ketinggalan zaman. 

"Bener tuh apa kata mama. Lo tuh punya impian yang berkelas dikit napa!" Ini lagi satu. Aska, sangat mendukung Mami agar Marlen berhenti dari keinginannya menjadi gamers. 

Sebentar, impian berkelas? Marlen jadi bertanya-tanya dalam diam. Memangnya ada impian berkelas? Semustahil apa pun keinginan seseorang, yang namanya impian kan tetap impian. Di dunia yang menuntut kesempurnaan ini, ternyata bukan hanya kepribadian yang harus berkelas, impian juga. 

Tapi memangnya impian berkelas itu seperti apa? Apa standar sukses seperti kebanyakan orang; punya profesi yang bisa dipamerkan, diakui oleh banyak orang tentang keahlian tertentu, mendapatkan insentif dari apa yang dia lakukan. Ah, klise. Justru setelah berada dalam standar itu, yang dia dapatkan hanya perasaan cemas tak beralasan. 

Terkenal, dikagumi, diberikan perlakuan khusus. Well, ini sih bukan pertama kali yang dia rasakan, tapi dia kenal jelas perasaan ini. Perasaan yang membuatnya tak nyaman sepanjang waktu. Padahal Arian bilang ini adalah satu-satunya cara agar dia berkembang; tidak menjadi Marlen yang diratapi segudang trauma, tapi ini malah mengingatkannya akan masa lalu yang pahit. 

Marlen ingat saat dia jadi bahan rebutan sejumlah perempuan di sekolah sampai-sampai mereka bertengkar di depan matanya. Bukan hanya itu, bahkan dia menemukan banyak barang-barang wanita dalam loker yang membuatnya jijik setengah mati, hingga anak lelaki lain yang merasa tersaingi pun ikut memusuhinya dan menganggap Marlen adalah saingan. Pada akhirnya, Marlen dibully. 

"Alen, ayo sekolah. Kalau nggak sekolah, kamu mau jadi apa, hah?" seru Mami, kala itu membujuk Marlen yang tak punya kekuatan lagi sekedar bangun dari tempat tidur.

Tubuhnya pegal karena kemarin beberapa anak laki-laki memukulnya di belakang sekolah dan memperingatkannya agar pindah. Soalnya kalau dia muncul lagi, mereka pasti akan mengganggunya. 

"Nggak mau! Alen nggak mau sekolah, Alen mau di rumah aja!" seru Marlen. 

Awalnya Mami hanya berpikir kalau mungkin Marlen tidak enak badan makanya tidak mau ke sekolah, tapi sudah tiga hari Marlen tidak pernah bangun dari tempat tidurnya dan hanya melamun saja. Tentu Mami khawatir dengan perubahan sikap anaknya. Barangkali Marlen ada masalah serius sampai-sampai tak bisa bangun lagi.

Akhirnya Mami memeriksakan kondisi Marlen ke dokter dan dia menemukan fakta bahwa anaknya mendapat perundungan fisik. Keterlaluan! Mami tak tinggal diam, dia berkunjung ke sekolah, menceritakan permasalahan Marlen yang tidak lagi punya semangat hidup karena dibully. Guru-guru di sekolah juga tak ada yang tahu-menahu alasan kenapa Marlen tidak mau ke sekolah lagi, tapi Mami jadi tahu satu hal yang mungkin menjadi pemicu bully...

"Apa? Marlen jadi rebutan? Kok bisa?" tanya Mami, tak percaya anaknya mengalami hal-hal ajaib seperti itu. 

"Ibu bisa lihat di mejanya, setiap hari selalu ada surat-surat cinta. Mungkin itu yang buat adik Marlen diganggu." 

Mami mendengar semua penjelasan guru-guru dengan penuh keterkejutan. Bagaimana tidak? Anak yang setiap hari main game bisa tiba-tiba disukai bahkan jadi rebutan pula! Ah, ternyata dia melahirkan anak rupawan juga. Mami mulai merasa bangga.

Namun, semua perasaan itu sirna ketika melihat isi lokernya yang di luar nalar. Tidak. Ini bukan perasaan biasa, mereka benar-benar terobsesi dengan anaknya sampai kehilangan akal begini. Pantas saja kalau Marlen trauma, Mami yang menyaksikan itu untuk pertama kalinya saja shock berat. Tidak bisa dibiarkan, Marlen harus cepat dipindahkan. 

Sepertinya terlambat, karena Marlen sudah terlanjur trauma dengan sekolah. Dia tak mau lagi sekolah. Anak-anak perundung itu diskors dan beberapa perempuan mendapat peringatan agar tidak melakukan hal yang sama lagi. 

Anak rupawan yang malang. Memang benar kata sastrawan, tampan itu luka. 

Dalam hidup yang sudah berubah 240 derajat, Marlen merasa ada beberapa hal yang kembali lagi dalam hidupnya. Salah satunya punya banyak penggemar ...

Anon kesekian: LenG ganteng bgt plis 😭💗

Anon yg gatau lg: g dapet jisung gpp, yg penting dapet LenG 🙏

Pernah Marlen merasa ketakutan, takut kalau orang-orang di masa lalu menyadarinya dan kembali terobsesi. Yeah, katakanlah ini berlebihan, tapi serius, kalau itu terjadi sepertinya Marlen akan mengasingkan diri keluar negeri. 

Hah, dasar aneh. Sejauh ini sih penggemar dadakannya banyak menyama-nyamai visualnya dengan idol K-pop, belum lagi berasal dari sebagian kecil shipper yang gemas dengan kedekatannya bersama Bea Morales. Sungguh, bagian shipper ini sudah mulai mengganggunya. 

Dan gara-gara itu pula Jessy mengakhiri hubungan mereka. 

J♡:
Seneng bgt ya lu dikiss Bea?
Kita putus. 

Itu pesan terakhir mereka setelah akhirnya Jessy memilih memblokirnya sebelum mendengar penjelasan. Katakanlah ini menyebalkan, mau gimana lagi? Jessy melihatnya sendiri sih. Entah ide siapa yang membuat Jessy berhasil menemukan kejadian ulang tahun Bea kemarin, tapi Marlen merasa ini juga salahnya. 

Padahal Jessy sudah menemaninya sejauh ini, hubungan mereka sebentar lagi setahun. Jessy banyak membantunya. Dia tak bisa digantikan siapa pun! Jessy juga yang membuat Marlen semangat ke kelas akting karena Jessy janji akan membantunya masuk ke dunia e-sports jika Marlen mau terjun ke dunia entertainment. 

"Ini kesempatan emas biar lu bisa balikan sama Jessy!" seru Airin, menggebu-gebu. 

Marlen yang sebenarnya sudah lelah mendengar ide gadis itu pada akhirnya nurut saja. Sejauh ini Airin selalu membantunya agar bisa punya ruang bicara dengan Jessy---walau ujung-ujungnya Jessy yang menghindar. Jadi tak ada salahnya mendengar lagi. 

"Apa?" tanya Marlen.

"Gala premier film lu bulan depan kan? Lu harus ambil kuota tamu undangan spesial buat Jessy biar dia merasa dispesialin sama lu!" 

"Eh?" 

Marlen tidak kepikiran sampe sana sih. Tapi apakah ini ide bagus? Marlen sendiri tak yakin, tapi boleh dicoba juga. Siapa tahu ini akan jadi awal yang baik balikan dengan Jessy. 

Omong-omong, Airin benar. Sebulan lagi, film perdananya akan tayang. Semua penggemar My Cutie Pie sudah mencatat tanggal rilis dan antusias menunggunya di bioskop kesayangan. Berbagai konten jelang rilis juga sudah diluncurkan dan visual Marlen berhasil mencuri perhatian banyak orang. Manusia di ujung pulau pun takkan menyangka hal ini akan terjadi pada sosok Marlen. Impresif.

Marlen pun inisiatif mengundang Jessy secara langsung dengan memberikannya tiket undangan sepulang sekolah, tepat sebelum gadis itu keluar kelas. 

Jessy yang kaget Marlen tiba-tiba mendekatinya dan memberikan tiket pun akhirnya memasang wajah masam. 

"Apa lagi?!" seru Jessy.

"Anu---ini---Jessy mau nggak datang ke gala premiere?" tanya Marlen, pelan. Takut jika Jessy akan ngamuk. 

Jessy terperangah. Wah, Marlen sudah semakin lancar bicara dengannya bahkan mengajaknya tanpa malu-malu seperti kemarin lagi. Kalau sudah begini, Jessy jadi tak bisa bersikap judes karena tak wajar jika dia emosi saat Marlen memiliki niat baik. 

Jessy pun meraih tiket itu sembari mengulum bibir. "Nggak janji dateng, tapi makasih udah undang gue." 

Marlen terdiam. Bingung apakah harus senang atau tidak karena Jessy tak berjanji datang ke sana, tapi dia lega juga karena gadis itu sedikit mencair. 

"Ada lagi?" tanya Jessy.

Ada. "Anu---sampai ketemu nanti, Jessy." 

Jessy agak mengerutkan kening mendengar itu, cukup merinding. Lalu berdehem canggung. "O--oke." Sedetik kemudian, pergi meninggalkan Marlen yang tadinya ingin melambaikan tangan. 

Fiuh! Dasar, bodoh. Marlen mulai mengutuk dirinya sendiri, padahal bukan itu yang ingin dia sampaikan. Entah kenapa berada di hadapan gadis itu membuatnya salah tingkah, padahal Jessy kan tidak melakukan apa pun. 

Bodoh. Bodoh. Tinggal bilang masih suka, kenapa susah sih? Marlen melesu. Sudahlah. Mungkin timingnya belum pas, dia bisa mengatakannya nanti saat mereka bertemu di gala premiere. 

◽◽◽

Menjelang film perdana rilis, penggemar setia My Cutie Pie dihebohkan dengan konten yang sebenarnya sudah tenggelam berbulan-bulan lalu tapi muncul lagi ke permukaan lantaran seseorang menemukannya. 

Ya, apa lagi kalau bukan konten dance di taman? Marlen sendiri lupa kalau dia pernah melakukan itu di tempat umum bersama Jessy. Ah, bukan. Dia bukan melupakan Jessy, tapi dia lupa kalau dia ngedance di tempat umum---bersama akrobatik terkenal sejagat maya. Ini memalukan tapi penggemarnya malah bangga mengangkat lagi konten itu. 

Omong-omong itu first date Marlen dan Jessy yang sebenarnya akal-akalan Airin dan Arian karena mereka dijebak nyalon hingga mewarnai rambut couple. Hah, waktu emas yang dirindukan, bisakah dia kembali ke masa-masa itu? Marlen merindukan butterfly era-nya.

"Ini lo kan?" tanya Bea sembari memperlihatkan konten dance dengan caption Slay J! itu ke arah Marlen yang ada di ruang fitting.

Marlen melihat ponsel itu sekilas, lalu menatap Bea sembari mengangguk. 

"Oh My God! Gue baru tahu lo bisa ngedance, trus sama si J lagi. Oh, iya. Kalian tuh satu sekolah, ya?" Bea mulai antusias. 

Marlen mengangguk lagi. 

"Gue nggak nyangka deh. Ternyata lo tuh banyak bakat tersembunyi, ya? Kalau gitu kita bisa dong bikin konten yang sama kayak gini." 

Ide itu lagi. Padahal mereka sudah punya banyak konten bersama, tapi Bea seolah merasa ingin trus melakukannya dengan Marlen. 

Marlen pun menggeleng. "Ngg---nggak bisa."

"Kenapa nggak bisa?" 

Marlen tak tahu bagaimana cara menjelaskannya, yang jelas dia tak ingin melakukan konten tak jelas lagi. 

"Nih, banyak orang yang notice lo lucu, trus pengen lihat lo ngedance lagi." Bea kembali membujuk dengan antusias.

"Ayo, Len. Puas-puasin ngonten biar film kita booming!" Kali ini Julian berseru. "Trus, siapa tahu lo berdua bisa jadian dikawal netizen."

Marlen mulai menatap Julian yang tiba-tiba gabung percakapan dengan decakan pelan. Ini alasan kenapa mereka suka sekali menjodohkannya dengan Bea, salah satunya adalah trick marketing agar shipper berdatangan dan film mereka booming. Ide bagus, tapi membuatnya tak nyaman.

"Apa sih, Julian. Nggak usah berlebihan deh." Bea menyela sambil nyengir. 

"Salting ya lo? Muka lo merah tuh," canda Julian lagi, menunjuk wajah Bea. Lalu dia menepuk bahu Marlen. "Ini tuh kesempatan deketin Bea. Kapan lagi coba ada kesempatan begini, Len? Mumpung Bea baru putus sama pacarnya, majulah!" 

Marlen masih diam, bingung bagaimana harus merespons lelaki itu. 

"Lagian lo juga single kan?" 

Kali ini Marlen melirik Julian dan Bea bergantian. Tak menjawab, tak juga menunjukkan gesture yang meyakinkan.

Melihat itu, Julian mulai mengernyit serius. "Eh, lo beneran single kan? Pak produser bilangnya lo single."

Menimbang cukup lama, Marlen pun mengembuskan napas panjang. Dia menggeleng. 

"Nggak? Lo punya pacar?" tanya Julian lagi, memastikan.

"Itu ...," Marlen menunjuk ponsel Bea yang masih memutar video dance di taman setahun lalu. "Pacar gue." 

Bea dan Julian yang bingung mendengarnya pun segera menatap ponsel, berusaha memahami apa maksud Marlen. Sedetik kemudian, mereka terperangah. 

"Hah? Maksud lo J ini? J si akrobatik tercantik ini?!" seru Bea.

"No way, lo bercanda---" Julian menyela dengan kekehan pelan, tapi surut ketika melihat Marlen tetap menatap mereka serius. "Bro, dia Sevenor kan?"

Marlen mengangguk. 

"Jadi bener? Serius dia pacar lo?" 

Marlen mengulangi anggukannya. Wajahnya benar-benar meyakinkan hingga membuat Bea dan Julian bersitatap, lalu melihat video itu lagi untuk memastikan apakah mereka berdua pacaran? Dilihat dari warna rambut sih, iya. Warna rambut yang couple itu menunjukkan kalau mereka berdua pacaran. 

Tapi siapa yang menyangka orang seperti Marlen akan pacaran dengan Jessy Sevenor? Maksud mereka---orang se-introvert Marlen bisa pacaran dengan sosok ekstrovert yang mereka tak yakin masih mengandalkan urat malunya di depan umum. Lihatlah, Jessy kelihatan sangat ceria dan percaya diri ketika menari. Itu jelas beda dengan Marlen yang masih suka bingung mengeja kata.

Mereka speechless membuat Marlen jadi merasa bersalah. 

"Kok lo nggak bilang sih kalau punya pacar? Trus dia gimana sekarang?" seru Bea, mendadak kepikiran kalau selama ini orang-orang menjodohkan mereka karena mengira sama-sama single. 

Marlen ingin bilang kalau mereka sudah putus dan penyebabnya adalah Bea, tapi Marlen tak enak mengatakannya. Bagaimana kalau itu membuat acara hari ini tidak berjalan baik? Lagi pula kan Marlen belum menyetujui keputusan Jessy. Jadi belum bisa dikatakan mereka putus kan?

"Ya---gitu."

"Dia marah nggak lo akting sama gue?" tanya Bea.

Pake nanya. "Ngg---nggak---tahu."

"Kok nggak tahu?" Bea menghela napas panjang. "Kalau tahu lo punya pacar, kita kan bisa jaga jarak."

"Yeeu, jaga jarak? J ini pasti orangnya professional. Mana mungkin marah pacarnya akting doang?" Julian membela dengan kalem.

Julian memang benar, Jessy gadis yang professional. Dia tak marah saat tahu Marlen akan beradu akting romantis dengan perempuan secantik Bea, tapi kasus mereka jauh berbeda daripada sekedar akting. Perjodohan netizen yang membuat hubungan mereka akhirnya retak.

Lama-kelamaan Marlen jadi berpikir, ini memang salahnya karena dia tak punya keberanian mengatakan dia sudah punya pacar. Payah sekali. Padahal dari awal jika dia mengatakan yang jujur dan keberatan jika menyembunyikan statusnya, pasti takkan serumit ini. Memang semua ini salahnya. 

Sore ini adalah pemutaran perdana film My Cutie Pie. Selepas didandani, Marlen dan jajaran aktor serta produser diarahkan masuk ke bioskop. Marlen melihat ponselnya sejenak berharap Jessy akan menghubunginya sekedar mengatakan akan datang, tapi rupanya hanya pesan masuk dari Arian.

ArYan: 
(Foto)
Kita di sini nungguin lu 🤗

Ah, rupanya trio kwek-kwek itu sudah menempati bioskop. Marlen takkan heran jika tiga serangkai yang biasanya suka ngintip di jendela kamarnya itu akan sampai terlebih dulu di sana untuknya, mereka memang penggemar setianya sejak dulu sih. 

Tapi hanya mereka bertiga? Serius, tak ada Jessy di sana? Marlen mulai sedikit pesimis.

Memasuki gedung teater, Marlen merasa deg-degan. Dia akan bertemu banyak orang untuk yang kesekian kalinya, membayangkan di antara hadirin itu ada Jessy juga, Marlen semakin gugup. Haruskah dia menangis sekarang? Ya, biasanya kan Marlen suka menangis kalau dia kelewat gugup dan tak tahu bagaimana cara mengatasinya. 

Jangan berpikir bodoh. Tarik napas, hembuskan. Perfect!

Lampu sorot tertuju ke arah mereka, para tamu undangan bersorak begitu melihat Marlen muncul bersama Bea. Sesekali Marlen menunduk karena terlampau malu, dia bahkan bisa merasakan tubuhnya berkeringat padahal udara sekitar sejuk. Tapi dia harus bisa mengatasi rasa gugup ini sendirian.

Untungnya di samping ada Julian.

"Pacar lo ada, nggak? Dia duduk di mana?" bisik Julian, penasaran. 

Mendengar itu, Marlen mengangkat kepala malu-malu. Pandangannya mulai menyapu setiap baris kursi pengunjung, kiri ke kanan, pun sebaliknya sampai dia menemukan Arian, Airin dan Leon yang melambai antusias ke arahnya. Benar. Tiga serangkai itu akan selalu ada sejauh mata memandang. Mereka ada di mana-mana! Di samping mereka juga ada Mami dan Aska yang sudah stand by dengan handycam, siap 45 merekam rangkaian kegiatannya hari ini. 

Marlen tersenyum tipis melihat mereka. Lalu kembali menyapu kursi penonton sampai baris terakhir dan---yap! Dia tak menemukan kehadiran Jessy.

"Nggak ada, ya?" Kali ini Bea yang bertanya membuat Marlen mengembuskan napas pasrah.

Gadis itu tidak memenuhi undangannya. Menyedihkan. 

Acara berlanjut dengan sesi wawancara di mana lampu sorot masih tertuju ke arahnya. Pertanyaan demi pertanyaan juga disuguhkan dan Marlen bisa menjawabnya, dibantu Bea dan Julian yang tampaknya sudah paham kalau Marlen masih suka gugup. Maklum ini pengalaman pertamanya di dunia entertainment. Kalau mereka tahu Marlen yang dulu suka menangis mungkin akan ikut illfeel dan membiarkannya seorang diri agar dipermalukan di depan umum. Syukurlah lingkungan kerjanya bisa positif.

Mungkin hanya sorakan menggoda yang tak bisa Marlen sela saat ada pertanyaan tentang kemistrinya dan Bea yang dianggap bagus selama syuting. Dia tak bisa lepas dari stigma perjodohan itu sepertinya. 

"Lenji walaupun pendatang baru dan pertama kali ke dunia akting, dia hebat. Diasampe ikut kelas akting lho buat perjuangin peran Gemini. Lenji juga walaupunintrovert parah tapi dia bisa profesional di lokasi syuting, saat take pun diabeneran jadi Gemini. Jadi emang Lenji tuh keren banget," ucap Demas Irawan, produser film yang melirik bangga ke arah Marlen.

Pengunjung menyambutnya dengan tepuk tangan.

Lihatlah, orang-orang ikut bangga walau hanya mendengar perjuangannya yang secuil itu membuat Marlen kikuk karena disanjung. Mendadak dia seperti jadi superstar di tengah-tengah sorotan ini. Hal seperti ini rasanya seperti mimpi, bukan?

Tapi walau merasa jadi sorotan dengan perkembangan yang besar-besaran ini, Marlen merasa sedikit kesepian. Mungkin karena harusnya di sana juga ada Jessy---yang dulu menemaninya? 

Jessy yang tahu apa yang bisa dan tidak bisa Marlen lakukan, Jessy yang selalu mendorongnya agar lebih berani lagi dengan keputusan yang dia ambil, Jessy yang selalu mendukungnya walau suka marah-marah. 

Ya, harusnya Jessy ada di sana. 

"Lenji, selamat! Akhirnya film lo keluar juga. Eh tahu, nggak? Besok SMA Bintang Favorit nyewa bioskop buat nonton lu doang. Selamat menjadi starboy ya!" seru Airin sembari menyerahkan buket bunga ke arahnya saat giliran foto bareng.

"Selamat, Len. Habis ini bisa kesampaian jadi e-sports," sambung Leon sambil menepuk tangannya. 

Marlen tersenyum mendengar obrolan absurd mereka lagi. Hah, sudah biasa.

"Udah, jangan murung karena nggak ada Jessy. Besok lu sewa bioskop khusus nonton berdua sama Jessy, apa perlu gue bantu sewain?" Kali ini Arian menyahut membuat Marlen mulai tersenyum canggung.

"Nggg---nggak usah." Tentu, itu berlebihan. 

"Beneran nggak galau nih? Habis tadi lu kayak orang hilang arah, pasti nyariin Jessy kan?" 

"Ngg---itu---"

"Jessy nitip salam kok, dia emang nggak bisa dateng soalnya jagain mamanya, lagi sakit. Tenang aja, dia tetap dukung lo. Dia malah seneng banget pas lo ngundang dia ke gala premiere ini," bisik Airin berusaha menenangkan. Dia tahu Marlen sedang gegana.

Entah itu benar atau tidak, Marlen merasa sedikit lega. Tandanya Jessy tidak memenuhi undangan karena tak mau melihatnya dengan Bea, tapi karena menjaga mamanya yang sakit.

Eh, mamanya sakit? Alih-alih lega, Marlen jadi semakin kepikiran. 

"Lenji anak mama yang paling hebat! Akhirnya film kamu rilis juga, mama bangga sama kamu! Nggak sia-sia kamu dipaksa sama Arian sampe ikut kelas akting. Ternyata semua berguna juga. Sekarang kamu mau apa, pasti mama ikutin asal yang masuk akal. Mau es krim? Boleh minum es krim seminggu tiga kali." Mami tampak ingin menangis, terharu melihat Marlen yang berdiri di sana dengan percaya diri.

Marlen tersenyum, lekas memeluk Mami dengan penuh rasa terima kasih. Ah, mamanya ini memang suka mellow setiap Marlen berhasil melakukan pencapaian tertentu. Maklum mereka memang keluarga dramatis. Pulang nanti Marlen akan membicarakan keinginannya jadi e-sports, pasti mamanya takkan menolak lagi karena sudah janji semua keinginannya akan terpenuhi. Hehe. 

Pun dengan Aska yang mulai menyerahkan buket bunga dengan senyuman bangga.

"Keren lo, kak. Next bisa main drakor? Bisa lah ya!" seru Aska. 

Mendengar itu Marlen hanya berdecak. Jauh sekali pemikirannya.

"Oh ya, gue kirimin video lo tadi ke kak Jessy," sahut Aska lagi, semangat. 

Kali ini Marlen bereaksi. "Huh? Kenapa dikirim?"

"Mau lihat balasannya, nggak?" Aska menggoda dengan senyuman jahil.

"Mana?"

Aska pun memperlihatkan hasil chatnya dengan Jessy via instagram yang membuat jantungnya berdegup lagi.

just.j
udh mulai ya? maaf ya ga bs datang
Aska, gue minta tolong ya? bilangin ke Marlen gue ajak ketemu besok di taman
kalau dia ga mau, gpp sih

"Balas mau," ucap Marlen, cepat. 

"Buset, cepet amat jawabnya," ledek Aska. "Ya lo balas pake akun lo sendiri lah. Ngapain pake akun gue? Harusnya juga lo yang ngajak, bukan kak Jessy."

Marlen berdecak. Maunya sih begitu, tapi Jessy kan memblokirnya di segala sosial media. 

"Aih, bilang aja mau," desak Marlen, gemas sendiri.

"Iya, nih. Gue bales! Habis foto," balas Aska, langsung mengatur posisi foto di sebelah Marlen.

Sementara lelaki yang tengah jadi sorotan itu perlahan tersenyum lagi. Sadar kalau perasaannya yang semula tak karuan jadi lebih tenang mengingat besok dia akan bertemu lagi dengan Jessy. 

Kalau begitu, Marlen harus mempersiapkan kata-kata agar tidak gugup lagi bertemu mantan kekasihnya. Kali ini tidak boleh gagal!

◽ TO BE CONTINUED ◽

...

chapt 70; janji

coming soon!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro