Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TEAM: 61: GUILTY AS CHARGED

HAPPY READING 

...

Ini adalah tahun terakhir Adly menjadi siswa SMA Bintang Favorit. Sejak peraturan program PIN diperbarui dan mendiskualifikasi keluarga Sevenor, mereka memperketat seleksi masuk program PIN. Selain itu, stigma buruk muncul tentang program PIN; di mana orang-orang beranggapan program ini hanya diperuntukkan orang-orang kelas sosial atas. 

Namun, kehadiran Leon sebagai peraih PIN emas menjadi tameng baik untuk program PIN. Setidaknya, mereka percaya kalau program PIN tidak bergantung pada kelas sosial, tapi murni skor, test dan prestasi. Nepotisme yang beredar, perlahan diredupkan. Sevenor masih dikecam sedang SMA Bintang Favorit kembali meraih puncak popularitasnya. Adil, bukan?

Aurelie masih tercatat sebagai murid berprestasi karena dia berhasil meraih piagam penghargaan lewat essay nasional. Walau berita itu diangkat, tetap saja tak seheboh pemberitaan tentang keluarganya yang jadi dark sistem masyarakat. Setidaknya Aurel membuktikan kalau dia sudah lepas dari mereka. 

Sementara itu, Jessy masih mengikuti kompetisi gymnastic, dia masih menjadi akrobatik iconic SMA Bintang Favorit dan Sevenor yang tak pernah redup. Barangkali penggemarnya di luar baru tahu kalau Jessy adalah bagian Sevenor lantaran gadis itu suka sekali menggunakan nama panggung J. Well, pada intinya Sevenor---yang jadi saingan berat keluarga Nirlangga hancur sebagaimana Nirlangga---yang juga tenggelam dengan kabar buruk. Insiden mereka mendominasi media, sekeras apa pun mereka menutupnya. 

Sampai sekarang tak ada yang tahu, Adly terlibat dalam penyebaran insiden Sevenor di SMA Bintang Favorit. Lebih tepatnya, dia yang melakukan siaran langsung di sosial media dan menaikkan tagar #EndOfSevenor hingga membuat netizen terpengaruh mengangkat kasusnya. Semua orang mengira yang melakukan itu Aurel, makanya dia dikeluarkan dari PIN perak karena telah melanggar salah satu peraturan sekolah; mencemarkan nama baik. Dalam hal ini, Aurelie banyak berkorban agar tak melibatkan anggota program PIN selain Sevenor.

Perbuatannya itu hanya diketahui Airin dan Aurelie. Bahkan Kepala Sekolah pun tak bisa menebaknya. Adly termasuk beruntung. 

"Tapi kalau mereka tahu lo yang ngelakuin ini, lo pasti bakal dikeluarin dari program PIN." Begitu kata Airin, sebelum Adly memantapkan niatnya melakukan streaming. 

"Udah tahu," jawab Adly. "Siapa yang peduli keluar dari program PIN?" 

Airin mengerjap tak percaya. Lelaki ambisius di depannya ini benar-benar tak peduli lagi soal program PIN yang diperjuangkannya mati-matian kemarin? 

"Airin, alasan sebenarnya lo gabung program PIN itu ... cuma mau terkenal kan?" 

Airin menjeda cukup lama. Kalau dipikir lagi, ya, tujuan awalnya hanya ingin terkenal; dipandang setara dengan Arian dan Leon. Soalnya, dia selalu jadi bayangan ketika jalan dengan dua orang itu, kehadirannya tak dianggap sama sekali bahkan mereka saja baru tahu kalau ada gadis seimut Airin yang nyempil di tengah mereka. Kalau dia tak gabung program PIN dan namanya naik, mana mungkin orang-orang mengenalnya? 

Pilihan untuk jadi terkenal di SMA Bintang Favorit tak semudah itu. Pilihan pertama, harus jadi orang penting---punya privilege, berprestasi dan berasal dari keluarga kelas atas. Pilihan kedua, well, jadilah seperti Marlen atau Bang Eka yang terkenal karena berbuat ulah sendiri. 

"Iya. Gue emang pengen terkenal dulu ...," jawab Airin. "Gue nggak pernah kepikiran jadi salah satu anggota program PIN, sampai gue lihat dua sahabat gue di sana. Itu alasan gue."

Adly terdiam. Dia memang sudah bisa menebak alasan Airin masuk program PIN karena ingin diakui orang-orang kalau dia juga sama hebatnya dengan Leon Arian. Setahun lalu, Adly pernah mendengar Airin menyerukan kalau dia akan ada dititik setara dengan five lamination face atau bahkan mengalahkan mereka semua. 

"Tapi, setelah jadi terkenal, ternyata nggak enak juga, ya?" Airin melanjutkan. "Ada plus-minusnya. Banyakan nggak enaknya sih. Sekarang setelah berhasil ada dititik ini, gue malah pengen bertahan karena temen-temen lain. Aneh, ya?"

Airin tersenyum tipis. "Gue masih peduli dan pengen bertahan di program PIN. Lo---kenapa nggak peduli lagi?" 

Adly menatapnya. "Gue nggak punya alasan kenapa harus bertahan."

Airin mengernyit. 

"Alasan gue masuk program PIN, semuanya cuma demi bokap. Sekarang nggak tahu harus tunjukin itu ke siapa lagi?" jelas Adly.

"Mama lo?"

"Mama nggak pernah nuntut."

Mereka hening cukup lama, seolah menunggu pertunjukan Aurel dan Adnan di ruang OSIS untuk melancarkan aksi mereka di internet. Sementara Airin, bingung apa yang sebenarnya ada dipikiran Adly? Apakah lelaki itu benar-benar sudah tak peduli semuanya lagi, sehingga keluar dari program PIN pun dia sudah tak masalah?

"Kalau lo sampe keluar program PIN, lo tahu kan kita semua juga bakal keluar?" tanya Airin, pada akhirnya. 

"Tahu. Lo semua ngelakuin itu dulu," jawab Adly. "Makanya ... jangan sampe ketahuan."

Sebetulnya, Adly melakukan itu bukan semata-mata ingin membantu Aurel dan kasus program PIN. Dia hanya ingin membalaskan apa yang Sevenor perbuat pada keluarganya. Masalah memalukan yang harusnya jadi privasi, tapi jadi pemberitaan tanpa henti hingga membuatnya muak. Mereka bahkan menyebarkan hasil visum ke media---pelanggaran hak---tapi, lihatlah, tak ada yang menuntutnya karena yang melakukan itu adalah Sevenor. 

Mereka selalu punya kekuatan dan kekuasaan, menjatuhkan siapa saja yang mereka inginkan. Mereka juga harus mendapatkan timbal baliknya, bukan?

Maka setelah insiden sebulan lalu itu, Adly menjalani hidup seperi biasa. Tahun terakhirnya ada di SMA Bintang Favorit harus diakhiri dengan baik, tanpa kasus-kasus menggemparkan lagi. Belakangan Raya terlalu sibuk mengurus sertifikat hak milik rumah baru mereka. Sesuai yang dijanjikan Raya beberapa bulan lalu, mereka akan pindah rumah setelah semuanya selesai. Perceraian sudah berakhir, tak ada lagi mimpi buruk itu. 

Hidup mereka yang baru akan di mulai.

"Mama udah serah terima kuncinya, hari ini kita kemas barang-barang karena mobil pengangkutnya datang besok," ucap Raya. 

Adly mengangguk pelan mendengarkan itu. 

Dia akan pindah---dari sumber kegelapan ini. 

Raya sudah mengupayakan semuanya sebelum keputusan sidang cerai itu. Pindah, memulai kehidupan baru, melupakan masa lalu seakan mereka terlahir kembali tanpa tahu ada luka yang tak kunjung membaik dan membekas dalam batin. Adly menurut saja, apa yang menjadi keinginan Raya sekarang, Adly menerimanya. 

Adly mengemas barang-barang. Semua medali dan piala dimasukkan ke dalam kotak, sesekali Adly membaca konteks penghargaan yang dia terima sejak kecil. Selama bertahun-tahun, Adly tak pernah mengamati medalinya dengan baik, ya, karena dia hanya mendapatkannya demi memperlihatkan prestasinya dan menunggu pujian Reno. Dan karena Reno tak pernah peduli dengan prestasi itu, Adly pun ikut acuh tak acuh. 

Saking terbiasanya menerima banyak penghargaan, Adly jadi tak peduli dengan puluhan medali emas yang dia dapatkan. Tapi dia ingat setiap moment melewati kompetisi itu, di mana Adly tak pernah melewatkan setiap jam belajarnya. Bahkan pernah tak tidur karena harus mempelajari hal-hal baru setiap saat. Itu melelahkan, tapi Adly tak pernah mengeluhkannya pada siapa pun. 

Sekarang semua tinggal kenangan, membekas jadi kenangan yang buruk. 

Semua barang-barangnya telah dikemas, kecuali satu hal yang sengaja Adly kemas paling akhir karena dia sedikit ragu membukanya. Setelah dirasa cukup siap, Adly pun membuka nakas dan mendapati benda-benda tajam di sana. 

Cutter, silet, pecahan kaca---cukup aneh mengoleksi benda-benda itu dan menggunakannya saat keinginan hidup menurun. Hah, Adly jadi trigger berat melihatnya---seperti menekannya kembali ke masa-masa suram. Adly pun segera mengumpulkan benda tajam itu dengan tangan yang sedikit gemetar, mengumpulkannya ke dalam kotak kosong kecil dan membungkusnya serapat mungkin. 

Dia akan mengubur benda itu bersama kenangan-kenangan buruknya di rumah ini. 

Tanpa sadar, Raya melihat itu dari belakang. Melihat benda-benda aneh yang ternyata dikumpulkan anaknya selama ini.

"Adly?" tegur Raya. 

Adly menoleh ke belakang, agak kaget melihat presensi Raya di sana. 

"Udah selesai?" tanya Raya.

"Udah," jawab Adly, beringsut sedikit---menyembunyikan kardus itu. 

Raya mendekatinya sambil bersidekap, mengamati kardus yang ada di nakas. Adly terlambat menyembunyikan karena Raya sudah melihatnya, jadi untuk apa berpura-pura menyembunyikan semuanya? 

Wanita itu tersenyum sendu, perlahan menggenggam tangan Adly dan menariknya. Adly diam saja manakala Raya menyingkapkan sedikit lengan bajunya dan menunjukkan bekas luka di sana. Raya sudah mengetahui itu sejak mereka melakukan visum. Bekas luka yang mengerikan---beberapanya berubah jadi keloid. Sudah berapa sering Adly melakukannya? Raya terlalu fokus meladeni Reno dibanding memperhatikan apa yang terjadi pada Adly di saat-saat kelam itu. 

"Nanti juga hilang," ucap Adly. Kendati sudah bertahun-tahun lamanya, dia pun tak yakin apakah bekas luka itu bisa menghilang dalam waktu dekat? 

Adly hendak menarik kembali tangannya, tapi Raya menahan. Napas yang diembuskan terdengar berat, Adly menebak, mungkin saja Raya kecewa karena Adly memilih melakukan hal-hal buruk dengan tubuhnya saat itu?

Raya beralih memegang bahu Adly seraya meraba bekas luka di sekujur tubuhnya. "Papa sering pukul di sini, ya?" 

Adly tak menjawab. 

"Pasti selalu sakit, kan? Papa pukul kamu di mana lagi? Di sini? Waktu itu, kamu bisa nahan sakitnya?" tanya Raya. 

Adly tak kunjung menjawab, hanya menatap nanar Raya yang sudah menyapu semua punggungnya, seolah menanyakan bekas luka yang ditorehkan Reno dulu. 

"Kamu nggak pernah ngeluh itu ke siapa pun. Kamu selalu belajar dari pagi sampe malam, kamu selalu ke ruangan itu sendirian, trus balik dengan luka baru. Tapi kenapa? Kenapa nggak pernah ngeluh?" Raya melanjutkan dengan suara berat, menahan isakan. "Maaf, ya?"

Raya menyapu punggung Adly, pelan. Di sana---sekujur tubuhnya, selalu jadi samsak pelampiasan emosi Reno. Dia dipukul tanpa rasa bersalah, tak punya teman untuk dikeluhkan, bahkan membenci Mamanya untuk alasan yang jelas dan tak mau bicara dengannya lagi hingga tak butuh pembelaan siapa pun. 

Semua itu membuat Raya merasa bersalah. Apa pun yang dia lakukan sekarang, dia takkan bisa menebus kesalahan masa lalu dan itu jadi trauma sendiri antara mereka. 

Hingga akhirnya, Raya pun memeluk Adly yang masih stagnan. Menenggelamkan kepalanya di sana. 

"Maaf, Mama nggak bisa jaga kamu. Maaf, kalau Mama udah jadi orang tua yang gagal. Maaf kalau kamu ngelewatin itu sendirian. Maaf, kalau kamu nggak punya masa kecil kayak anak-anak lain---kalau Mama ciptain rumah yang rusak buat kamu. Maaf."

Terkadang, Adly berharap kata-kata itu keluar dari mulut Reno. Bahkan saat pertemuan terakhir mereka, yang dia dengar tetap serapah yang menyakitkan, trauma yang tak berujung, hingga sedikit saja Adly menaruh dendam, tapi yang dia temukan hanyalah rasa kosong dan kehilangan. 

Perlahan, lengan Adly terangkat, balas memeluk Raya. Wanita itu juga sama, pernah tersiksa. Dia juga punya luka yang tak pernah dipahami siapa pun. Adly tak membalas sepatah katapun, hening dalam pelukan. Ada emosi yang tak bisa dia jelaskan. 

"Kita pindah, ya? Mama janji, kita akan bikin rumah baru yang lebih hangat. Nggak ada luka, nggak ada penderitaan, nggak ada yang nekan kamu lagi," lirih Raya, dalam isakannya. "Jangan lukain diri kamu lagi, ya? Udah cukup. Bertahan, demi Mama, ya?"

Bertahan? Ya, Adly sudah melakukannya, bahkan tak menyangka kalau dia masih hidup sampai sekarang.

"Mama ... tenang aja. Adly bakal selalu jagain Mama, mulai sekarang," balas Adly. "Nggak ada yang bakal nyakitin Mama lagi."

Walau trauma takkan mungkin hilang begitu saja, setidaknya mereka masih berusaha bertahan dan saling menguatkan sebelum sempat jauh dan tak saling mengenal sebagai ibu dan anak.

Adly pun mengubur kotak berisi benda-benda tajam itu di belakang rumah. Menguburnya bersama bayangan masa lalu yang suram, terkadang pasti menghantui dan abadi, tapi tak apa. Selama Adly masih punya alasan kenapa dia melangkah maju meninggalkan kenangan buruk itu, dia akan baik-baik saja.

Setiap sudut rumah yang menderita ini juga---Adly akan meninggalkannya. 

◽◽◽

Adly bilang dia akan pindah rumah, makanya dia mau mengajak Airin hari ini. Sebenarnya ini juga permintaan Raya sih. Raya bilang dia ingin Airin ikut di semua aktivitas keluarga mereka, agar Raya punya teman bicara juga. Soalnya Adly jarang bicara, makanya dengan kehadiran Airin, Raya merasa punya teman ngobrol. Berhubung Airin juga gadis yang suka cerita banyak hal.

Untungnya Airin sudah tak secanggung awal bertemu Raya. Wanita itu menerimanya dengan baik, jadi Airin merasa nyaman jika berada di dekatnya. Sekarang gadis itu sudah ikut sibuk mengatur barang-barang di rumah baru mereka.

"Terima kasih, ya, Airin udah mau ikut ke rumah baru," ujar Raya setelah Airin menurunkan kardus kecil di ruang tamu. 

"Sama-sama, Tante."

"Walaupun udah agak jauh dari rumah Airin, sering-sering ke sini ya, temenin tante." 

Airin tersenyum. "Pasti." 

Well, Adly sudah pindah cukup jauh dari rumah lamanya---yang berarti jauh juga dari blok yang menuju kediaman Airin. Wah, Airin jadi ingat pertama kali mereka bertemu di mini market yang menghubungkan kompleks wilayah rumah mereka, tak nyangka saja kalau ternyata Adly itu suka jajan susu cokelat di tempat yang sama.

"Jangan seringnya datang belajar mulu, kamu boleh kok datangnya sekedar main," seloroh Raya, mengingatkan Airin kalau yang dia lakukan selama bertandang ke rumah tak lain hanyalah belajar. Ya, gimana lagi? Dia mengikuti aktivitas Adly sih. 

"Emang tante mau main sama Airin?" tanya Airin. 

"Kenapa, nggak? Justru tante nunggu diajak main."

"Bisa gitu, ya?" canda Airin. Mereka terkekeh bersama. 

Raya mendekatinya, lalu menepuk punggung Airin. "Adly itu emang udah terbiasa belajar. Bahkan nggak ada agenda apa pun, dia tetap aja belajar---karena itu udah jadi kebiasaan. Jadi, jangan kaget lagi ya kalau sama Adly, kamu juga kebawa belajar terus?"

Airin mengangguk-angguk, paham. Tentu awalnya Airin culture shock mengenal Adly yang pembahasannya melulu pembelajaran, bahkan di saat-saat masuk rumah sakit, yang dia pikirkan hanyalah kompetisi itu---setelah tahu dia didiskualifikasi karena pingsan seharian. Seakan yang tertanam dalam benaknya hanyalah belajar, menanti pengakuan kebanggaan yang timbul dari mulut seseorang. 

Adly selalu konsisten soal belajar.

"Tapi sekarang Adly udah sering main kok, tan," ucap Airin. 

"Oh, ya?"

"Iya. Airin ajak Adly ke timezone waktu itu, trus---Airin juga pernah lihat Adly main game di komputer dia. Adly juga udah sering jalan-jalan kalau liburan. Ya, seenggaknya, Adly udah nggak belajar terus-terusan dan punya aktivitas lain. Hehe." Airin menjelaskan dengan bangga. Aneh, bisa-bisanya dia bangga mengajak orang bermain ketimbang belajar. Itukan bukan hal yang patut dibanggakan. 

Di luar itu, Raya tersenyum. "Itu pasti karena kenal kamu. Makasih ya, Airin. Berkat kamu, Adly udah banyak berubah. Dia nggak menderita lagi karena harus belajar, dia juga udah sering senyum sejak kenal kamu."

Airin terdiam, lalu mengerjap dengan raut polosnya. Tak menyangka Raya akan memusatkan seluruh perubahan Adly karena mengenalnya, padahal Airin merasa tak melakukan apa pun. Malahan Adly yang banyak mengubah hidupnya di SMA Bintang Favorit. 

"Oh ya, tante juga ada sesuatu ...," Raya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas salempangnya dan memberikan itu pada Airin. "Selamat ulang tahun, ya? Maaf Tante baru bisa kasih ini sekarang."

Airin terperangah saat Raya memberikannya sebuah kalung dengan liontin bintang.

"Tt--tapi, tante, ini kan---" 

Airin tak dapat meneruskan ucapannya karena Raya sudah memasangkannya sendiri. "Ini punya tante, kalung dari keluarga besar Tanjaya. Maaf, kalau kamu belum bisa rasain kehangatan di keluarga besar Nirlangga, tapi tante mau kamu tahu, kalau keluarga tante juga selalu nerima kamu. Kayak keluarga kamu yang selalu nerima Adly, apa pun kondisinya."

Airin mengamati liontin itu dengan seksama. Warnanya kuning berkilau, menggambarkan harapan dan impian dari siapa pun yang mendapatkannya. Unik sekali, padahal Airin tak pernah peduli dengan benda-benda seperti ini. 

Hadiah pertama yang dia dapatkan dari Ibu Adly membuat Airin girang sendiri dalam hati. Ini namanya sebuah pencapaian! 

"Terima kasih, tante," pungkas Airin dengan senyuman lebar. 

Airin tak dapat memprotes lagi karena melihat betapa Raya senang kalau kalung ini diterima Airin. Wanita itu memeluk Airin, selama beberapa saat menikmati kehangatannya. Tanpa sadar, Adly sudah memperhatikan interaksi itu dari jauh, ikut senang melihat Raya dan Airin bisa bicara tanpa kecanggungan. Syukurlah mereka dekat, karena Airin jadi sosok yang mudah mencairkan suasana dan Raya juga termasuk orang yang bisa membuka obrolan ringan---well, jauh beda dengannya sih. 

"Lo tahu, nggak, Mama lo ngasih hadiah apa?" tanya Airin, malam hari setelah mereka selesai menghabiskan waktu dengan mengatur rumah baru Adly dan melakukan konversasi di jalan pulang. 

"Kalung," jawab Adly.

Airin memudarkan senyumnya dan mengernyit, "Dih, curang banget. Kok tahu sih?"

"Pernah lihat kalung yang lo pake sekarang. Itu punya Mama," jawab Adly lagi. 

Airin pun mengamati lagi kalung itu, kelihatan sekali kalau dia bahagia menerimanya. "Kok bisa ya, tante ngasih ini? Kan sayang banget, ini pemberian keluarga besar ...,"

Adly juga bingung kenapa Raya mau memberikannya, kendati dia tak pernah sedekat itu dengan Raya hingga mengetahui warisan keluarga besar Raya Tanjaya. Mendadak dia merasa bersalah, harusnya dia mengetahui keluarga besarnya dan mengenal mereka semua. Adly tak pernah berbaur di keluarga siapa pun sih. Kalau ada acara keluarga, Reno melarangnya datang dengan alasan, Adly harus belajar. 

Dia benar-benar menghabiskan waktunya dengan sendirian tanpa tahu, keluarganya seperti apa?

Jadi, satu alasan yang bisa Adly yakini adalah ...," Itu artinya lo udah gabung di keluarga nyokap."

Airin menatap Adly dengan cepat, sedangkan lelaki itu masih menyetir tanpa ekspresi yang berarti. Hey, bisa-bisanya dia mengatakan itu dengan santai! Menyebalkan.

"Kenapa?" tanya Adly. 

"Ngg--nggak, nggak apa-apa," jawab Airin, membuang muka. Tak mau ketahuan malu. 

Menyadari itu, Adly tersenyum. "Lulus nanti, lo beneran mau bikin komik?" 

Pembahasan mereka berubah, sepertinya Adly tahu kalau Airin sedang mengalami kematangan kulit setelah melihatnya seperti kepiting rebus. Airin pun menetralkan kembali wajahnya dan berdehem. "Gue pengen tau... bikin komik, tapi---ah, gambar gue aja masih jelek. Udah tiga bulan, gue belum nunjukin progress apa-apa. Emang orang kayak gue bisa bikin komik?" 

Adly mengernyit. Tiba-tiba saja gadis itu kehilangan kepercayaan diri lagi. Apa dia sudah sadar? Tidak mungkin. Adly butuh kepercayaan diri Airin dan ketengilannya seperti biasa. 

"Karena lo udah nunjukin keseriusan, lo mau daftar kursus desain grafisnya?"

"Eh?" tanya Airin. "Boleh, ya?"

"Boleh," jawab Adly. "Kemarin nggak boleh karena lo niatnya jelek. Lo kemarin mau ikut banyak kelas biar kelihatan keren aja, trus butuh pengakuan. Makanya nggak boleh. Sekarang kan lo serius mau lihat kemampuan lo bikin komik."

Ah, walaupun Adly jujur dan nyelekit mengatakannya, tapi dia benar juga. Kemarin itu Airin sok-sokan bikin daftar kelas yang ingin dia ikuti karena merasa semua anggota program PIN sudah punya bakat dan kemampuan sehingga orang-orang melihat mereka sebagai murni berprestasi, beda dengan Airin yang asal masuk saja tanpa orang-orang tahu sebenarnya, gadis half-bun dan suka nyolot ini punya bakat apa?

"Mau!" seru Airin. "Tapi, nanti ... gurunya bakal galak, nggak? Gurunya kayak lo, nggak?" 

"Kenapa? Nggak mau diajarin gue lagi?"

"Lo jahat, lo suka noyor atau nyentil jidat kalau gue bengong. Guru yang nggak berperikemanusiaan."

Adly tertawa mendengar teori gadis itu. "Ya lo-nya suka bengong kalau diajarin. Lucu."

Airin memicing kesal, bisa-bisanya Adly merasa itu lucu padahal Airin gedeg setengah mati setiap Adly melakukannya. 

"Nggak, gue serius. Gurunya nggak bakal ada yang noyor kayak gue, mereka pasti bakal ngajarin lo sampe bisa. Bahkan di sana ada orang yang udah sepuluh tahun di kelas yang sama demi belajar gambar dan mereka ngajarin dengan sabar." Adly melanjutkan.

"Heh? Sepuluh tahun? Selama itu?" 

Adly mengangguk. "Semuanya nggak instan, Airin. Dia belajar dari nol, kayak lo. Makanya gue pernah bilang, gambar itu salah satu kemampuan yang bisa diasah kalau lo serius."

Airin mengerucutkan bibir. Keinginan membuat komik mendadak menurun membayangkan dia akan bertahan di kelas yang sama bertahun-tahun lamanya seperti orang yang dibicarakan Adly itu. Airin jadi ragu sekarang. Haruskah dia menyerah saja?

"Kemampuan orang juga beda-beda, nggak bisa lo samain. Ada yang setahun, tiga, lima, intinya kemauan diri sendiri aja," jelas Adly lagi. "Jadi gimana? Besok lo bisa langsung masuk kalau mau."

Setelah memikirkan cukup lama, Airin menatap Adly dengan yakin. Dalam keraguan dan skill menggambar yang jauh dari kata sempurna, Airin mantap mengangguk seraya mengatakan, dia mau mencoba demi impiannya membuat komik tentang Ai dan menunjukkan Ai ke seluruh penjuru bumi! Hehe.

Sedetik kemudian, ponsel Airin berdering, ada panggilan masuk dari Jean membuat Airin mengernyit. Tumben pria itu menelepon, Airin berpikir ada sesuatu yang urgent sampai-sampai Jean menelepon karena pria itu tak biasanya menelepon kalau tahu Airin sedang bersama Adly. Gadis itu pun segera mengangkatnya,

"Papa?" tanya Airin.

"Sweetie, kamu boleh langsung ke rumah sakit, nggak? Mama---ah, kamu langsung ke rumah sakit aja, ya?"

"Kenapa? Mama udah mau melahirkan, ya?!" seru Airin. 

"Papa kirimin alamat sama ruangan. Hati-hati ya, nak ...,"

Jean langsung mematikan telepon sepihak membuat Airin merasa tidak enak. Suara di balik telepon itu juga kedengaran panik dan tergesa-gesa, seolah cemas. Airin menunggu Jean mengirimkan ruangan dan beberapa saat kemudian muncul pesan yang membuat Airin tercenung: Instalasi Gawat Darurat. 

"Kenapa?" tanya Adly. 

Airin belum menjawab, tapi perasaannya semakin tidak enak. Jantungnya juga berdegup tak beraturan dan rasanya dia ingin menangis. 

"Airin?"

"Mama kan baru delapan bulan, ya," lirih Airin setelah menyadari hal itu. Dia segera melirik Adly dengan mata berkaca-kaca. "Mama masuk rumah sakit. Papa nggak jawab kalau udah melahirkan atau nggak, kenapa, ya?" 

"Rumah sakit mana?" tanya Adly. Begitu Airin memberitahu, lelaki itu langsung menginjak gas menuju rumah sakit. 

Perasaannya juga jadi tidak enak. Berharap tak ada hal-hal buruk yang terjadi, tapi ruangan yang dituju sudah menjelaskan kalau pasti ada hal yang membahayakan mereka; Arista dan bayinya. 

◽ TO BE CONTINUED ◽

...

chapt 62; ? 

coming soon!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro