Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TEAM: 60: YOURS

HAPPY READING 

...

Sejujurnya Airin tak kepikiran Adly akan menyiapkan sesuatu untuknya di hari ulang tahun ini karena perjanjian mereka, Airin ingin Adly mengikutinya ke tempat yang dia inginkan. Cowok itu memang tak mudah ditebak sih. Jangankan ditebak, diterawang pun mustahil. Ke mana lagi Adly akan mengajaknya pergi selain ke tempat-tempat membosankan yang dipenuhi segudang buku pelajaran? Perlu diingat, Adly bukan orang yang romantis sama sekali. Dipikirannya hanya belajar dan membaca.

Satu-satunya hal romantis yang pernah Adly lakukan hanya malam itu ...

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Panti, mereka sampai di tempat tujuan---yang rupanya belum pernah Airin kunjungi semasa hidup---dan dia cukup terkesima akan dibawa ke tempat ini. 

Tempat wisata yang sebenarnya terlihat biasa saja, tapi malam ini jadi lebih menarik karena dihias dengan lentera kecil dan balon ulang tahun yang menggantung di setiap pohon, memancarkan kontras yang berkilauan di permukaan air danau. Juga meja dan dua kursi yang dipersiapkan tak jauh dari danau, terkesan romantis dan---ini bukan Adly yang Airin kenal.

Seluruh danau ini—hiasan, cahaya lentera, lilin di meja makan—semua itu Adly lakukan hanya untuk merayakan hari ulang tahunnya.

"Whoaa ... ini---lo yang bikin?" tanya Airin. Dia membalikkan tubuh ke arah Adly. Mata bulannya bersinar cerah dibanding puluhan lentera, kelihatan sekali kalau dia senang sekaligus tak menyangka Adly akan kepikiran melakukan ini.

Well, ini sebenarnya bukan murni ide Adly. Ini saran Jean di malam gender reveal Arista. Pria itu menyarankan agar membawa Airin ke tempat-tempat romantis, soalnya Airin kebanyakan hanya tahu tempat bermain dan belum pernah merasakan candle light dinner seperti pasangan umumnya. Jadilah Adly kepikiran membuatnya di danau. 

Ini juga salah satu balasan untuk Airin yang selalu merayakannya kemarin. Gadis itu pantas dirayakan dalam keadaan apa pun. 

"Suka?" tanya Adly.

"Suka! Suka banget!" jawab Airin dengan cepat. "Kalau tahu lo bakal nyiapin dinner, gue pasti bakal pake gaun." 

Lantaran hanya tahu mereka berkunjung ke panti, Airin hanya menggunakan overall dress selutut. Airin agak insecure membandingkan penampilannya sekarang, kelihatan biasa saja di tempat seindah ini. Padahal dia bisa dandan agar terkesan lebih romantis lagi. 

"Kenapa harus pake gaun?" tanya Adly lagi.

"Ya biar cantik. Kan lo sering ngatain gue jelek!" Airin menjawab dengan sedikit sindiran, mengingatkan Adly kalau lelaki itu tak pernah mengatakannya cantik. 

Adly mengulum senyumnya, menahan tawa mendengar itu. Airin benar-benar polos mengira dirinya jelek sungguhan, padahal Adly tidak bermaksud mencelanya. Dibanding menanggapi, Adly malah menarik Airin, duduk di kursi yang berhadapan. Ada kue ulang tahun di sana, juga makanan-makanan kesukaan Airin. Wah! Lelaki itu bahkan riset alami tentangnya, pasti semua dia dapat dari Jean. 

"Tt---tapi, gue baru tahu lo bisa seromantis ini," ucap Airin, malu-malu.

"Emang apa yang lo tahu tentang gue?"

Airin memasang tampang berpikir. Lebih tepatnya sedang mengingat watak Adly yang dia kenal dulu. "Lo orangnya dingin, intimidatif, ngeselin. Lo aja---jarang banget senyum ke orang-orang."

Setelah Airin mendeskripsikan pribadinya yang buruk, Adly malah tertawa membuat Airin tertegun. Ini bukan pertama kalinya dia melihat Adly tertawa, tapi entah kenapa reaksi lelaki itu selalu jadi sesuatu yang ditunggu Airin; senyumnya. 

"Kenapa ketawa? Bener kan?" tanya Airin, mendadak malu.

"Gue baru tahu gue kayak gitu," jawab Adly setelah tawanya reda. "Gue cuma ngelakuin apa yang gue mau. Gue pengen lo seneng. Kalau lo anggap ini romantis, it is."

Airin menerbitkan senyumannya. Tampaknya Adly tak terlalu peduli soal pribadi buruknya yang Airin sebutkan tadi, toh sekarang dia berubah jadi lelaki romantis yang sedang mengejutkan pacarnya, bukan lelaki dingin dan intimidatif yang membuat orang-orang risih. Dalam artian, ini adalah sisi lain Adly yang belum pernah orang-orang tahu, kecuali Airin. 

Airin pun berdehem membuat Adly segera menyalakan pemantik pada lilin dengan angka 17 dan menatap Airin. 

"Happy birthday, the most cheerful girlNow, blow up the candle."

Airin nyengir mendengar Adly bicara seperti instruktur acara. Dia mengangguk, bersiap meniup lilin. Namun sebelum Airin mengibaskan tangan, api sudah terlebih dulu padam disapu angin. Seketika Airin jadi teringat kejadian yang sama saat ulang tahun Adly di mana hanya angin yang memadamkan api itu sebelum mereka meniupnya.

"Wah, kayaknya ini angin yang waktu itu deh. Dia ikut ngerayain ulang tahun gue, ternyata!"

"Harapan lo juga dibawa terbang." Adly menanggapi. "Lo punya banyak harapan, ya?" 

"Kok tahu?" 

"Orang kayak lo pasti punya banyak harapan."

Airin menggigit bibirnya. Menatap Adly dengan sedikit pesimis, "Emang---lo nggak punya banyak harapan?"

Adly terdiam sejenak, lalu mengerjap pelan. "Punya. Tapi ini kan tentang lo, bukan gue."

Airin tak merespons. Entah kenapa dia jadi canggung dengan pembahasan mereka, merasa kalau Adly tak sungguh-sungguh mengatakannya. Perihal harapan yang sebenarnya Adly tak punya lagi soal kehidupannya, beda dengan Airin.

Melihat Airin hanya diam, Adly pun kembali bersuara, "Airin, gue minta maaf soal waktu itu. Gue udah bikin lo ketakutan karena hampir nyelakain Sessa. Lo pasti---ngeliat gue sebagai orang yang beda kan? Lo pasti takut kalau gue beneran mau jatuhin Sessa waktu itu."

Airin mengerling, tak menyangka Adly akan membahasnya sekarang. 

Sebenarnya Airin tak bermaksud melarikan diri dari pembahasan itu, dia hanya tak mau mengingat perlakuan menyeramkan Adly karena memang merasa Adly berbeda saat nyaris mencelakai Sessa. Tapi kalau dipikir lagi, itu hanya reaksi alami Adly saja setelah mendengar Airin dicelakai secara sengaja, bukan?

"Gue nggak expect aja lo mau gertak Sessa segitunya ...," Airin membalas pelan. "Gue kan baik-baik aja."

"Lo kebiasaan ngomong baik-baik aja dalam keadaan sekarat?"

"Bukan gitu. Tapi kan lo lihat sendiri, nih---hidung gue nggak kenapa-napa. Nggak parah, nggak sampe dioperasi juga. Ya, emang kadang nyerinya ada, tapi nggak ngaruh apa-apa kok," seru Airin sembari memperlihatkan hidungnya. "Dibanding lo mau nyelakain Sessa waktu itu ... Sebenarnya gue lebih takut, kalau lo beneran nyelakain dia trus lo-nya kenapa-napa, gimana? Dituntut sama keluarganya atau dikeluarin dari sekolah. Keluarganya bisa aja ngelakuin itu."

Adly tahu Airin juga memikirkannya. Hari itu, Adly memang sudah lepas kendali. Dia marah karena tak bisa melindungi Airin, juga triggered karena Sessa menyinggung soal masalah keluarganya. Satu-satunya yang ada dipikiran Adly adalah ingin melampiaskan amarahnya dengan mencelakai Sessa, agar Sessa paham kalau dia sudah kelewatan. 

"Maaf," putus Adly akhirnya. "Gue cuma pengen mereka tahu, gue nggak bakal biarin siapa pun nyelakain lo, mulai sekarang."

Airin mencerna penegasan lelaki itu. Kedengarannya seperti Adly akan selalu melindunginya kapan saja. Kalau diingat lagi, dia memang selalu seperti itu; berlagak melindunginya. Ya, sejauh ini sih Adly benar membuktikannya, dia selalu melindungi Airin baik sengaja maupun tidak. Sampai Airin sadar, dia juga merasa aman kalau Adly ada didekatnya. 

"Dimaafin?" tanya Adly lagi, membuyarkan lamunan Airin. 

Gadis itu mengangguk pelan membuat Adly lega. Suasana kembali cair setelah Airin tersenyum.

"Gue punya sesuatu buat lo," ucap Adly. 

"Lagi?" tanya Airin. Gadis itu kembali penasaran.

Adly mengiakan. Tentu, dia masih punya kejutan lain lagi untuk gadis ini ..., "Masih ingat voucher musim dingin di Shanghai? Laoshi bilang bisa ajak 2 orang ke sana. Bentar lagi musim dingin. Gue ngajak Mama juga. Lo mau pergi bareng?" 

"Eh?" Mendengar itu, antusiasnya memuncak. Voucher musim dingin yang dia idam-idamkan hari itu bisa jadi kenyataan?

"Gue mau nebus kesalahan gue juga waktu di Tokyo, gue nggak nepatin janji lihat bunga sakura. Ingat, kan? Jadi gantinya, kalau ngerasain musim dingin di Shanghai, lo mau?" 

Bola mata Airin mulai mengeluarkan kristal, menyambut antusias tawaran lelaki itu dengan sepenuh hati. "Mau! Mau banget!" Tentu saja dia tak mau menolak tawaran impian itu. Jalan-jalan menjelajahi dunia adalah salah satu kegiatan yang paling disukai Airin! 

"Good." 

Wajah Airin 2x lipat berseri-seri setelah keputusan itu. Bahkan Airin jadi membayangkan akan seindah apa liburan akhir tahunnya di Shanghai nanti. Salah satu kota tersibuk yang ramai dan pastinya menyenangkan karena banyak destinasi unik. Airin mana mungkin mau melewatkan kesempatan liburan musim dingin itu?

Hari ini terlalu banyak kejutan. Candle light dinner romantis yang tak pernah Airin pikirkan datang dari Adly di hari ulang tahunnya, hadiah ke Shanghai bersama Adly nanti. Sebentar, ini seperti mimpi. Airin tak menyangka akan merasakan hal-hal romantis ini di usia remajanya. Ah, tampaknya ini akan jadi top 3 malam kesukaan Airin semasa hidup; ulang tahunnya bersama Adly. 

Malam ini juga terasa hangat dan berwarna, walau tak ada bintang yang menemani, juga bulan yang bersembunyi di balik awan. Lampu lentera dan led di sekeliling mereka berganti warna membuat Airin tertarik memperhatikannya dan mengambil gambar. Tiba-tiba saja dia mendengar denting piano dari gazebo yang tak jauh dari mereka. Airin pikir orang itu adalah Arian, tapi ternyata bukan. 

"Itu salah satu muridnya Arian," ucap Adly. "Arian yang nyuruh ke sini."

"Eh? Arian juga tahu lo nyiapin ini?"

Adly mengangguk. "Bokap lo yang cerita ke mereka. Dia nggak bisa ke sini karena harus jagain Sunny."

Memikirkan itu, wajah Airin jadi merah. Dia membayangkan apa tanggapan Arian nanti saat tahu Adly melakukan ini; ah, pasti lelaki itu mau menggodanya lagi karena tahu Airin bisa romantis dengan pacarnya. Wajah usilnya juga sudah bisa dibayangkan membuat Airin tak bisa menahan salah tingkahnya. Siap-siap saja bertemu mereka nanti!

"Curang banget. Kok bisa nyiapin ini dengan mulus, ya?" gerutu Airin. Gadis itu mendengkus, lalu memotong kue, menyuguhkan sesendok potongan kue ke arah Adly. "Gue nggak mau kalah romantis. Gue juga bisa, kan?"

Adly tersenyum. Kepolosan gadis itu natural sekali. Kesannya jadi mereka berlomba-lomba mendapatkan gelar si paling romantis malam ini, padahal wajar saja kalau Adly effort mempersiapkan kejutan ini karena Airin yang berulang tahun. Pada akhirnya, Adly menerima itu dengan senang hati. 

"Masih aja kalah," sahut Adly membuat Airin merengut. Seolah apa yang Airin lakukan barusan klise. "Emang nggak bakat jadi orang romantis."

"Oh, nantangin nih? Jadi lo mau bilang bakat lo selanjutnya itu jadi orang romantis setelah bertahun-tahun cuek dan dingin?" seru Airin. 

"Nggak ada yang tahu tentang gue sebaik lo," balas Adly. Kelihatan meyakinkan. 

"Wow, gue dapat reward dong?" canda Airin.

Adly tertawa. Dia menengadahkan tangan ke arah Airin yang membuat gadis itu kebingungan. "Mau dansa?"

"Huh?" Seketika Airin jadi canggung mendengar ajakan lelaki itu. 

"Malam itu kita jadi pasangan, tapi kita nggak sempat dansa."

Airin paham lelaki itu sedang menyinggung festival ulang tahun sekolah di mana mereka yang harusnya berdansa karena jadi pasangan, tapi tidak terealisasikan lantaran Adly telat dan tidur di selasar, alih-alih masuk ke ballroom

Kejutan Adly sekarang ini terasa seperti sedang ingin menebus banyak kesalahan masa lalu. Entah kenapa, tapi Airin merasa senang karenanya. 

"Sure." Airin menerimanya dengan senang hati. Mereka pun berdiri berhadapan di samping meja. "Emang lo bisa dansa juga?"

"Kayak gini?" 

Airin luar biasa terkejut ketika Adly melingkarkan tangannya di pinggang Airin dan menariknya semakin dekat. Gosh! Airin benar-benar mati gaya, tak tahu harus berekspresi seperti apa lagi saat wajah mereka ikut dekat. Airin menelan salivanya, mendadak kaku. Sedangkan lelaki di hadapannya tak memperlihatkan kegugupannya sama sekali. 

Ni orang bisa biasa aja, nggak sih? batin Airin. Dia memalingkan pandangan ke tempat lain, perlahan menyangga tangannya di bahu Adly dan berdehem. Airin tak boleh kalah dan mleyot! Ia pun berusaha sekuat tenaga agar tak terlihat salah tingkah. 

Adly membuktikannya, dia bisa berdansa mengikuti iringan lagu dari pianist. Airin langsung menyadarinya dan tersenyum.

"Lagian, kenapa---waktu itu---lo telat?" tanya Airin, sedikit terbata tanpa melirik Adly. Gadis itu kembali mengulas malam puncak ulang tahun sekolah setahun yang lalu.

"Gue nggak telat, gue nggak masuk ke gedung itu aja," jawab Adly. 

"Kok nggak masuk? Nggak mau dansa sama gue, ya?" Airin mulai cemberut. 

"Emang kalau gue masuk, kita bakal dansa?" 

Airin terdiam beberapa saat. Tak juga mau membenarkan itu soalnya ... dia sendiri tak yakin, saat itu apakah dia mau berdansa dengan Adly? Masa-masa itu Airin memandang Adly sebagai orang menyebalkan. Mustahil mereka bisa berdansa. 

"Ya kalau lo ngajak, bisa jadi," balas Airin. 

"Gue lihat lo dansa sama Leon. Jadi gue nggak masuk."

Jawaban lelaki itu malah terkesan pesimis. Airin ingat sekali malam itu dia kelewat bahagia karena berdansa dengan Leon, juga patah hati dalam waktu yang sama karena lelaki itu malah membahas perasaannya pada Prity. Airin juga ingat, setelah keluar dari gedung dansa dia bertemu dengan Adly yang memilih tidur di tempat sepi. 

Malam itu ... 

"Gue boleh tanya?" lirih Airin setelah menyadari sesuatu.

"Tanya apa?"

"Malam itu ...," Airin ragu menanyakannya. Jantungnya juga berdegup kencang mengingat apa yang terjadi malam itu. "Lo udah suka sama gue, ya?" 

Karena malam itu pertama kalinya Airin terkejut Adly mendekatkan wajah---salah satu hal yang membuat Airin selalu deg-degan kalau berada di dekat Adly, juga tak mengerti kenapa Adly selalu melakukan itu. 

Adly menghentikan gerakan dansa, seraya menjeda jawaban pertanyaan Airin. Piano masih dimainkan, tahu kalau mereka sedang bicara dengan intens. 

"Udah," jawab Adly. 

Airin mengerjap beberapa kali. Tak bisa menahan senyum salah tingkahnya. 

"Gue udah suka sama lo malam itu, tapi yang lo lihat cuma Leon doang." Lelaki itu melanjutkan. "Sebenarnya gue nggak ada niatan datang. Tapi rumah gue berisik. Lo tahu? Malam itu, gue cuma mikirin lo. Gue pengen ketemu lo, mungkin karena keluarga lo bikin gue nyaman. Jadi gue mutusin ke sekolah biar kita bisa ketemu."

Adly ingat malam itu, salah satu malam mengerikan di hidupnya yang sudah biasa terjadi; menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar, Raya dilempari benda keras yang menghantam bahunya dan berdarah, serta Adly yang hanya bisa menyaksikan pertengkaran mereka tanpa ekspresi. Kemudian Adly membandingkan apa yang dia lihat sekarang dengan apa yang dia lihat beberapa hari lalu di rumah Airin. 

Keluarga yang hangat itu ... Adly ingin sekali merasakannya. 

Begitu saja sosok Airin mudah masuk diingatannya membuat Adly ingin ke sekolah. Malam puncak ulang tahun sekolah pasti sudah di mulai dan ... mungkin saja Airin sendirian seperti orang linglung karena pasangan menyebalkannya ini tidak hadir. Itu bisa saja terjadi karena sewaktu berjalan di red carpet, Airin benar-benar terlihat menyedihkan karena tak ada pasangan. Adly juga berpikir, apakah dia bisa berdansa dengan Airin malam itu? Bagaimana kalau Airin menolaknya? Gadis itu kelihatan sekali membencinya karena pertemuan pertama mereka yang tidak ramah. 

Namun, yang Adly temukan di gedung itu beda dengan praduganya. Lagi pula, mana mungkin gadis seperti Airin akan merasa sendirian? Bahkan dia sudah berdansa dengan Leon dan jelas sekali gadis itu sangat menyukai Leon, sahabatnya sendiri. Adly menyadarinya. 

Mendengar kilas balik itu, Airin jadi agak prihatin. Baru tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Adly malam itu. Pantas saja waktu tidur, wajahnya tampak angelic, ternyata ada kesedihan di sana. Mana mereka saling mengata-ngatai pula. 

"Maaf. Tapi harusnya lo kan nyamperin gue," kata Airin, merasa bersalah.

"Kenapa gue harus nyamperin lo?"

"Ya kan kita ditunjuk jadi pasangan. Lo boleh protes kalau pasangan lo diambil, tahu!" 

Adly tersenyum. "Lo-nya yang kelihatan nggak mau diganggu."

"Dih, kata siapa?" Airin mengerucutkan bibir. "Emang lo nggak cemburu malam itu gue dansa sama Leon?" 

"Lo nggak tahu, ya? Kalau ada orang yang bisa bikin gue cemburu, itu Leon sama Arian," jawab Adly. 

Airin mengernyit. 

"Mereka terlalu dekat sama lo, bahkan mereka tahu hidup lo dari kecil. Mereka pasti---nggak punya penyesalan selama hidup karena udah kenal lo, Airin."

Wajah Airin terasa memanas, dia juga yakin pipinya lebih merah dari blush on merah jambu sekarang. Adly selalu berhasil membuatnya mleyot sendiri.

"Tapi mereka mandang lo sebagai keluarga. Gue cemburu, tapi lega juga. Makanya malam itu gue nyadarin lo, kalau cinta lo ke Leon bertepuk sebelah tangan." Adly mengangkat dagu Airin pelan, memaksa bertatapan. "And I get close to you like this, so you can only look at me, Airin."

Airin mendongak dengan kerjapan pelan, menahan napasnya ketika Adly mendekatkan wajah. Kejadian malam itu terulang lagi. Airin tak dapat menormalkan degupan jantungnya---tahu kalau ini bukan pertama kalinya terjadi, tapi debarannya masih saja sama. Airin menutup rapat matanya. Membiarkannya terjadi tanpa berani melihatnya. 

Sepersekian detik, Airin merasa ingin berteriak saja. 

Bisakah jantung ini stabil? Ini kan pernah terjadi! Kalau degupannya kencang, bisa-bisa Airin mengalami heart attack. Tapi wajar saja, karena walau ini pernah terjadi, Airin tak kuat bahkan ketika mengingatnya. Jantungnya selalu kalah dari jarum jam jika berhadapan dengan Adly mode percaya diri begini.

Hening, hanya terdengar denting piano yang memainkan instrumen It's You. Dia menunggu sentuhan itu datang, tapi tak terjadi juga. Berikutnya Airin hanya merasakan jemari Adly mengusap pipinya membuat Airin membuka sebelah mata. Lalu, tiba-tiba saja dia merasakan tetesan air di kepala. 

"Hujan," lirih Adly. 

Lelaki itu kembali menjauhkan wajahnya dari Airin dan mendongak. Benar saja. Rintik hujan mulai turun perlahan. Adly pun menarik Airin ke gazebo, sebelum berubah gerimis. Musik berhenti mengalun, Adly memberi tanda kalau acaranya berakhir.

Sementara itu, Airin masih berusaha bersikap normal dengan menstabilkan degupan jantungnya. Tadi itu dia benar-benar ingin berteriak karena setelah sekian lama, perlakuan Adly yang sering mendekat terjadi lagi. Namun, lihatlah---pelaku yang membuat jantungnya tak normal itu malah tidak merasa bersalah sama sekali dan kelihatan santai. Apakah dia tahu Airin sedang geregetan? Airin merasa kalah. 

"Waktu itu juga hujan, kan?" tanya Adly, memecah kecanggungan mereka. 

Airin menatapnya ragu-ragu. Lagi-lagi Adly membahas tentang kejadian itu, saat Adly pertama kali mengatakan perasaannya di sekolah, saat yang sama juga hujan. Airin pun berdehem pelan, "Kita punya banyak kenangan pas hujan."

Adly membenarkannya. "Udah setahun."

"Iya juga." Airin tersenyum. 

Mendadak hening membuat Airin sedikit memeluk perut dan mengusap siku, sedikit kedinginan. Adly menyadarinya. Lelaki itu pun merangkul Airin. 

"Pulang yuk, sebelum makin deras. Tante pasti khawatir," ajak Adly. 

Airin mengangguk. Namun, sebelum beranjak, Airin menahan langkah Adly dengan menggenggam lengannya. "Anu---maaf, ya soal malam itu. Gue---terlambat sadar. Gue terlambat suka sama lo."

Adly mengernyit. "Lo udah pernah bahas itu."

"Iya sih. Tapi gue beneran, gue ngerasa gue terlambat sadar. Harusnya gue suka sama lo, sebelum lo ngerasain itu. Harusnya kita ngelewatin banyak waktu bareng-bareng!" Airin berseru dengan pipi yang sedikit mengembung.

Adly terdiam. Ternyata bukan hanya dia yang merasakan penyesalan itu. Penyesalan yang Adly katakan di Sea World kala itu, tak mengada-ngada. Dia menyesal baru mengenal sosok Airin---sama seperti Airin yang menyesal karena terlambat menyadari perasaannya. 

Airin pun memeluk Adly. Tubuhnya terasa hangat, padahal cuaca mulai dingin. "Ada pertanyaan yang selalu ganggu pikiran gue. Waktu lo tanya, apa gue bakal baik-baik aja kalau lo pergi?"

Adly pernah melontarkan pertanyaan itu usai mereka bermain di timezone. Dia ingat Airin menjawabnya dengan malu, mungkin saja waktu itu dia tak mengerti apa maksud pertanyaan Adly, tapi semakin ke sini, Airin semakin memahaminya. 

Airin pun lantang menjawab, "Nggak! Gue nggak bakal baik-baik aja. Gue nggak mau lo pergi. Terserah lo mau bilang gue childish, bilang aja. Gue mau lo selalu di sini---tetap hidup, tetap di samping gue. Tetap jadi milik gue doang!"

Adly membalas pelukan gadis itu. Ada kata maaf yang belum berani terucap, di hari-hari buruknya; saat pikiran bunuh diri datang dan dia berniat melakukan itu di hari ulang tahunnya. Adly pikir semuanya sudah selesai sehingga dia bisa menghentikan dunianya yang sudah lama mati, tapi dia salah. Itu hanya pikiran intrusif, bukan yang sebenarnya dia inginkan.

Seseorang menahannya, dan itu yang ia butuhkan. Adly membutuhkan seseorang yang menyadari itu dan menahannya untuk tetap tinggal.

Dan orang itu akan selalu ... Airin.

Adly berbisik, "Gue nggak bakal pergi, Airin. Jangan pikirin pertanyaan itu lagi. I'm yours."

I'll always be yours. 

◽ TO BE CONTINUED ◽

...

THOR-CHAN G KUAT NULIS ROMANCE MAKANYA PART INI NGANGGUR HAMPIR SEMINGGU 

sadar nggak, pas chapt 39 itu sebenarnya Adly ada rencana suicide? makanya judul chaptnya misery:( untung aja Airin datang ke rumahnya. Kalau ga, gabisa dipikir lagi 🤧

DIVOTE BANYAK BANYAK YA, MATES <3

...

chapt 61; guilty as charged

coming soon!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro