Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TEAM: 40: ISSUES

maaf tadi kesalahan teknis T_T semoga belum pada baca ya wkwk #malubgt

HAPPY READING

...

"Adly udah ke sini kan?"

Sore ini, Richo mengunjungi dokter psikolog, Elegi Wijaya---sahabat dekatnya sewaktu SMA. Setelah mendengar dari Radya kalau Adly dibawa ke psikolog, Richo langsung tertarik mengunjungi Elegi dan menanyakan keadaan lelaki itu. Sedikit lega karena pada akhirnya anak remaja itu mengaku butuh bantuan dan menemui psikolog, kebetulan itu sarannya ketika mereka bertemu di rumah sakit dulu.

"Udah. Dia udah dua kali ke sini," jawab dokter Elegi.

"Trus gimana? Ada---sesuatu?"

Psikolog itu memutar kursinya dan menatap malas ke arah Richo. "Kamu tahu nggak sih ada yang namanya kode etik di dunia ini? Nggak sopan nanyain pasienku."

"Ya elah, lo pikir gue nggak tahu apa yang terjadi sama Adly?"

"Everybody knows it, zaman udah canggih. Kamu bisa lihat media." Dokter Elegi tersenyum.

"That's the point, dude. Gue harus tahu apa yang terjadi dengan dia sebelum terjadi hal-hal yang nggak diinginkan," Richo mengetuk meja dengan telunjuk membuat senyum sahabatnya pudar. "Gue diamanahin Kak Raya, jadi ini juga termasuk job gue."

Akhirnya dokter Elegi mengembuskan napas panjang. "Adly belum cerita apa pun. Dia juga nolak tes lab atau ditanya-tanya. Dia nggak mau didiagnose."

Richo mengernyit. "Trus waktu itu dia kambuh dianterin Radya gimana?"

"Dia cuma datang ke sini dan nggak cerita apa pun. Mungkin dia merasa aman di sini. Tapi tetap nolak ditanya lebih dalam," jawab Elegi. "Dia butuh waktu, Ric. Nggak semua orang gampang datang ke sini dan cerita. Tapi seenggaknya, dengan dia kepikiran datang ke psikolog saat merasa ada yang salah udah termasuk langkah yang tepat. Kita harus ngerti, dia belum siap."

Richo paham apa yang dikatakan sahabatnya itu. Pasti Adly juga belum siap duduk berjam-jam di ruangan itu dan mengulang semua kenangan buruk. Bertemu Radya saja sudah membuatnya kehilangan kendali, apa lagi harus mengulang kejadian traumatis. Adly juga bukan orang yang mudah diajak bicara. Menggali perasaannya tentu butuh waktu lama.

"Lo nggak usah ketemu Adly atau Raya. Lo nggak lihat dia setrauma itu ketemu lo? Lo tuh harusnya terima kasih, masih untung Reno nggak nyebarin kelakuan minus lo ke media. Karir lo masih aman."

Begitu kata Richo setelah menemui Radya, sepupunya yang nekat menguntit Adly demi mendapat simpati lelaki itu.

"Ngatain kelakuan gue minus, lo sendiri lebih minus," balas Radya.

"Heh, jaga mulut lo ya!" Richo mengerling sinis.

"Coba lihat, emang lo udah bawa anak lo ke keluarga besar? Nggak berani kan?"

Dan itu juga yang membuat Richo tak mau lagi menarik konversasi panjang dengan Radya. Richo memang belum pernah membawa Prity ke keluarga besar karena takut mereka belum menerimanya. Setelah kesalahan di masa lalu, Richo berusaha keras agar dia dimaafkan dan bisa percaya diri memperkenalkan Prity sebagai anaknya pada mereka. Toh, dia sudah mengejar pendidikan tinggi dan memegang salah satu perusahaan keluarga sesuai aturan keluarga.

Richo berencana mendaftarkan Prity sebagai pewaris perusahaannya. Itu yang dia pikirkan untuk bisa menebus kesalahannya pada gadis itu.

Richo mampir ke SMA Bintang Favorit pulang sekolah. Memantau Prity seperti yang sering dia lakukan hampir setiap hari. Prity juga pasti tahu Richo membuntutinya, hanya tidak peduli saja.

Ada beberapa hal yang terjadi belakangan ini yang membuat Richo khawatir. Prity tak pernah menghubunginya dan juga, Richo pernah mendapatinya pergi ke rumah makan dan toko-toko pinggiran dalam sehari, dia juga bicara dengan penjaga toko selama beberapa menit lalu pergi. Richo jadi penasaran. Sewaktu menanyakan hal itu pada penjaga toko, mereka bilang kalau Prity datang menanyakan kerja part time.

"Kenapa dia kerja part time? Uang jajannya emang nggak cukup?" pikir Richo.

Richo tak pernah kepikiran hal itu karena dia selalu mengirimkan uang jajan setiap minggu di rekening Prity. Dia curiga kalau Mona yang memaksanya ambil kerjaan. Jadi, Richo harus menemui Prity untuk menanyakan langsung. Kebetulan gadis itu keluar dengan Leon, Richo punya ide.

"Eh, udah mau pulang nih?" tanya Richo, setelah turun dari mobil.

Prity kelihatan pasrah melihatnya sedang Leon sudah tersenyum senang.

"Belum, Om. Saya baru aja mau ajak jalan Prity."

"Pas banget. Ayo kita jalan bareng, gue juga suntuk. Kita ke restoran favoritnya Prity. Yuk!" ajak Richo, semangat.

Leon ikutan semangat mendengarnya dia melirik Prity, hendak menyetujui tapi gadis itu kelihatan tidak memberi respons yang berarti.

"Kenapa?" tanya Leon.

Prity menatapnya. Ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan dan menggeleng karena Richo sudah mengajaknya lagi.

Richo berhasil. 

Mereka pergi ke restoran Thailand kesukaan Prity yang selama perjalanan berisi celotehan Richo tentang rekomendasi restoran yang enak selama dia hidup---hanya Leon yang betah menanggapinya. Lelaki itu tidak canggung lagi berhadapan dengan Richo dan itu membuat Richo senang. Sedangkan Prity hanya terus diam.

"Jadi lu udah mutusin mau ke mana lulus nanti?" tanya Richo.

"Masih pertimbangan, Om. Rencana awal saya ke Baruch College tapi masih ada beberapa pilihan yang harus saya lihat dulu," jawab Leon, sopan.

"Woah, Ralph Lauren lulusan Baruch College. Bagus itu!" seru Leon. "Omong-omong jangan panggil Om dong. Kan lu anak gue juga. Panggil daddy aja."

Prity menekuk wajah, tak menyangka orang tua itu menolak disebut om sedang Leon tersenyum canggung. Pada akhirnya mengiakan. Maklum dia masih berjiwa muda walau umur sudah masuk tiga puluhan, mulai di fase tersinggung dipanggil om padahal memang wujudnya begitu. Makanan mereka datang setelah 15 menit menunggu

"Kalau gitu gue udah mutusin, Prity juga bakal gue kuliahin di luar negeri sama kayak Leon. Biar kalian nggak jauh-jauhan." Richo tersenyum bangga, berusaha membuat mereka terkesan dengan keputusannya sebagai seorang ayah. Dia Menatap Prity. "Gue punya apartemen di New York, kehidupan lo di sana aman pokoknya."

"Gue belum bilang kalau gue setuju," balas Prity.

Leon dan Richo langsung meliriknya kompak. Kelihatan sekali kalau Prity menghindari Richo.

Prity hendak menjelaskan, takut kalau Leon menafsirkannya dengan hal lain seperti tak mau sekampus dengannya. "Maksudnya gue belum kepikiran kuliah."

Meskipun mengelak, Leon sudah kelihatan agak kecewa. Padahal dia baru saja mendapatkan restu agar bersama terus dengan Prity di masa-masa kuliah.

"Kalau gitu, lo kepikiran mau ke mana? Biar gue persiapin dari sekarang," ucap Richo lagi, tak mau kalah.

Kalau di sampingnya tak ada Leon, Richo yakin pasti Prity sudah bersikap ketus dan memarahinya yang banyak tanya ini. Bahkan ingin menjitaknya kalau bisa.

"Belum," jawab Prity, dengan sedikit kesabaran yang tersisa.

Richo pura-pura ber-oh ria. Dia segera menyuruh mereka makan.

"Leon tahu nggak kalau makanan kesukaan Prity itu tom yam?" tanya Richo.

Mendengar itu, Leon melirik tom yam yang hanya diaduk Prity lalu tersenyum ke arah Richo. "Baru tahu sekarang, Om."

"Ck, panggil daddy," ralat Richo membuat Leon menunduk malu-malu karena salah menyebut.

"Wah, ternyata kalian belum saling kenal ya. Nggak apa-apa awal pacaran zaman SMA emang gitu, baru saling tahu makanan kesukaan, warna, tempat, hobi. Ntar kalau udah lama pembicaraannya meningkat lagi ...,"

Leon seakan berada dalam petuah sesepuh yang bijaksana; belajar tentang kisah-kasih anak SMA. Dia menjadi pendengar baik walau sebenarnya tahu, memang itu yang harusnya dilakukan anak seusia mereka. Pengenalan.

"Kalau gitu, Leon pasti nggak tahu juga ya kalau Prity lagi nyari kerjaan part time?" tanya Richo, blak-blakan.

Prity langsung menatap tajam Richo. Cukup terkejut pria itu akan membahasnya secara langsung di sini. Leon menyambut dengan kernyitan bingung dan menggeleng.

"Gue juga nggak tahu, padahal uang saku sekolah banyak. Prity jarang boros, gue nggak pernah absen transfer. Kira-kira kenapa tuh?" Kali ini Richo beralih ke Prity.

Gadis itu menggeleng ketus, lalu menarik tas. "Nggak jelas lo."

Richo tak menyangka Prity akan sekesal itu padanya sampai-sampai pergi meninggalkan mereka. Leon juga ikut kaget. Bingung harus mencerna situasi ini seperti apa. Tak mau diam saja, dia ikut menarik ransel dan berpamitan pada Richo mengejar Prity. 

Pria yang ditinggal itu hanya mengembuskan napas pasrah sambil bergumam, "Hah, dasar mood anak muda."

◽◽◽

Leon mengejar Prity yang sudah keluar restoran, menarik gadis itu yang tampaknya kelihatan kesal dan berupaya menenangkan. Entah apa yang terjadi, tapi Leon merasa hubungan Prity dan Richo sudah tidak baik lagi. Jelas sekali bagaimana Prity sering menanggapi pria itu sewaktu bicara atau menatapnya. Padahal Richo kelihatan seperti ayah yang baik dan lucu. 

"Prity, gue tahu lo nggak akur sama Om Richo tapi dia berusaha jadi ayah yang baik buat lo," ucap Leon setelah berhasil menepikannya.

Gadis itu menghadapkan tubuh ke arah Leon dan menghela napas. 

"Iya. Dia emang bokap yang baik, baik banget, Yon. Gue yang buruk di sini---sebagai anaknya."

"Nggak. Maksud gue bukan gitu---"

"Nggak, lo bener." Prity tersenyum. "Gue emang anak---yang nggak baik buat dia. He don't deserve me. Gue cuma mau nyadarin dia hal itu biar dia berhenti nunjukin kebaikan dia as a father.

Leon menggelengkan kepala, merasa tak paham dengan apa yang dikatakan gadis itu. 

Prity melanjutkan, "Oh ya, gue emang cari kerja part time akhir-akhir ini karena gue mau pindah kontrakan. Gue mau bawa nyokap gue jauh dari lingkungan itu. Sorry nggak sempat cerita."

"Lo usahain semua itu sendiri? Padahal bokap lo bisa bantu, gue juga bakal bantuin lo, Prity. Kita nggak mungkin biarin lo susah-susah sendirian," tegas Leon lagi. 

"Ya, itu alasan kenapa gue nggak cerita. Gue tahu lo sama Richo bakal bantu, tapi gue nggak mau. Gue nggak mau ada campur tangan siapa pun biar gue nggak perlu balas jasa kalian."

"Lo serius ngomong begitu? Lo anggap gue sama bokap lo ini orang asing yang butuh balasan kebaikan?" tanya Leon dengan raut tak percaya. 

Prity terdiam. 

"Prity, gue nggak masalahin pendapat lo soal gue, tapi Om Richo? Gue masih nggak ngerti kenapa lo belum bisa hargain dia. Lo boleh marah atau kesal, tapi dia tetap bokap lo." Leon tampak jengah. "Jangan jadiin dia orang asing, lo bahkan nggak pernah manggil dia dengan sebutan yang layak."

"Udah gue bilang kan? He don't deserve---a daughter like me. Lo emang nggak akan pernah ngerti itu, Yon. Lo nggak pernah ada diposisi gue." 

Leon mengerjap nanar ketika gadis itu pergi meninggalkannya.

Prity benar, Leon tak pernah ada diposisinya; dia tak memahami hubungan keluarga yang rusak karena keluarganya sendiri selalu akur dan penuh kehangatan. Kadang kalau memikirkan dari sisi Richo, Leon berpikir Richo sudah menebus kesalahan dan bertanggung jawab hingga dewasa, tapi sepertinya lebih dari itu---Prity punya luka batin yang tak mau diceritakan. 

Leon sedikit merasa bersalah karena dibanding memahami Prity, dia lebih condong memikirkan perasaan Richo. Pikirnya Prity sudah keterlaluan kali ini, tanpa tahu dia punya alasan. 

Sementara Prity merasa tak masalah sudah mengeluarkan apa yang dia pendam tadi walau berujung adu argumen dengan Leon. Perkataan Mona tempo hari benar-benar mempengaruhinya untuk berprinsip tidak bergantung pada laki-laki sekalipun mempercayai mereka. 

Cepat atau lambat, mereka akan sadar dan pergi. Dia bisa ninggalin kamu kapan aja, sama kayak yang dilakuin papa kamu.

Malam harinya, Prity mengabaikan pesan yang masuk dari Leon. Lelaki itu terus-terusan mengirimkan permintaan maaf dan berharap mereka kembali bicara seperti semula. Katakanlah dia keterlaluan. Prity bisa saja segera membalasnya, tapi masih memberi ruang untuk tenang dan mencerna kesalahannya dibanding menyelesaikannya sekarang.  

Tiba-tiba saja terdengar bunyi ketukan pintu. Prity segera ke depan, membuka pintu untuk tahu siapa tamunya di jam delapan malam ini. Ternyata Leon.

"Lo ngapain ke sini?" tanya Prity, setengah ketus. 

"Lo nggak balas pesan gue."

Prity mengawasi sekeliling. Suasana sepi, menguntungkan mereka untuk kabur sebelum ada yang melihat Leon. Prity pun menarik Leon keluar dari sana setelah menutup pintu, hingga mereka berada di ujung gang. 

"Lo gila, ya? Udah gue bilang jangan pernah ke kawasan ini. Kalau ada yang lihat trus laporin ke orang tua lo gimana?" tanya Prity

Mendengar itu, Leon sedikit terpukul. Secara tidak langsung Prity juga memperingatkannya tentang orang tua yang belum menerima Prity sebagai pacarnya sekarang. 

"Iya. Gue minta maaf, gue nggak tenang karena masalah tadi. Gue nggak mau nunggu hari esok buat nyelesainnya, jadi gue harus ke sini," terang Leon dengan tampang bersalah. "Lo bisa cerita apa pun, gue bakal denger tanpa ngejudge lo lagi."

Hening mendominasi. 

Prity menggaruk dahi, kelihatannya diambang keraguan untuk mulai bicara lalu akhirnya bersidekap.

"Gue nggak tahu apa yang mau diceritain, Yon. Gue nggak mau juga terlalu ngedramatisir hal-hal kecil," ucapnya. 

"Ini bukan hal kecil, Prity. Gue salah nggak ngertiin lo dan lebih milih ngertiin bokap lo, lo benci Om Richo kan?"

"Dibilang benci nggak juga. Lo bener, mau gimanapun dia bokap gue. Dia udah berusaha baik dan tanggung jawab." Prity menyapu sikunya, menghalau dingin yang seketika menusuk kulit. "Mungkin gue cuma ... kecewa sama fakta dia ninggalin gue sama nyokap sampe mikir semua laki-laki di sekeliling bakal sama aja. Dia bikin hidup kita jadi kayak gini, sulit diterima orang lain. Itu fakta, lo mungkin nggak mikir ke sana."

Rupanya benar, keresahan gadis itu merujuk pada ketidak-percayaan menerima atau diterima. Leon mana mungkin bisa setuju dengan pemikiran gadis itu karena nyatanya tidak semua laki-laki berpikir meninggalkan, beberapanya melakukan itu karena alasan. Dalam hal ini---baik Richo maupun Leon, Prity tak mau bergantung pada mereka karena yakin mereka akan pergi juga. 

"Lo nggak bisa ubah pikiran itu?" tanya Leon. 

Prity menghela napas kasar. "Gimana bisa, Yon? Dia ngelakuin itu. Dia udah ninggalin kita sejak gue bayi, kenapa gue harus ubah pikiran kalau semua orang juga bakal pergi? Sekarang lo ... coba lo pikir deh, Yon. Lo mau kita bertahan tuh sampe kapan? I know you'll leave. Lo nggak peka juga kalau orang tua lo nggak akan pernah nerima gue?"

Prity tak menyangka akan menyinggungnya secara langsung sekarang. Dia menelan semua peringatan Mona waktu itu dan menghubungkannya dengan situasi hubungannya dan Leon sekarang. Ah, dia tak mau kelihatan seperti gadis yang butuh dikasihani tapi Leon menatapnya seperti itu.

"Jadi ... selama ini lo juga mendam itu? Gue selalu minta maaf sama perlakuan nyokap gue ke lo dan lo bilang nggak apa-apa. Tapi ujung-ujungnya bikin lo luka kan?" Leon menarik tangan Prity. "Gue tahu sulit buat lo, buat gue juga, tapi buktinya gue nggak pergi sekalipun lo nolak gue di depan umum. Orang tua gue cuma butuh waktu aja, Prity. Gue bakal make sure semuanya baik-baik aja, jadi kasih waktu sebentar."

"Yon, kita masih remaja. Lo cuma belum ketemu orang lain aja, lo juga punya mimpi dan cita-cita orang tua yang harus lo wujudin ketimbang merjuangin orang kayak gue. Hidup tuh harus realistis," terang Prity.

Ini sama seperti yang dikatakan Mona sewaktu Leon ditinggal berdua dengannya di rumah sakit. Wanita itu sudah memperingatkannya tentang perasaan remaja yang labil---bisa hilang dan timbul---ketakutan yang sama disalurkan pada anaknya, Leon bisa paham hal itu.

"Hidup harus realistis, tapi juga harus diperjuangin. Kalau gue bisa perjuangin mimpi dan cita-cita, kenapa gue nggak bisa merjuangin lo?" 

Sepertinya Leon tak mengerti situasinya, dia terus bicara seperti orang dewasa yang bisa menerawang masa depan. Sesungguhnya Prity terpukau dengan perkataan lelaki itu. Dia bicara serius, walau Prity masih merasa harus mengakhirinya. 

"Bokap lo mungkin lagi berusaha nebus kesalahannya. Gue nggak bakal maksa lo percaya atau nerima Om Richo, tapi please ... percaya gue. Gue bakal lawan badai apa pun asalkan itu bareng lo. Sampai bisa ubah pandangan lo tentang orang-orang yang bakal pergi, i promise."

Prity tak dapat berkata-kata, tapi dari lubuk hatinya juga berharap itu benar; bahwa pandangannya tentang mereka berubah dan bisa melihat sisi lain kehidupan selain menelan apa yang terjadi dengannya dan Mona sejak dulu.

◽ TO BE CONTINUED 

...

chapt 41; peran baru 

coming soon!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro