TEAM: 39: MISERY
HAPPY READING
...
Akhir pekan ini sesungguhnya menjadi hari besar sekaligus hari yang dihindari Adly karena putusan sidang perceraian orang tuanya keluar. Sejumlah media sudah menetap di pengadilan, menunggu Raya melakukan konferensi pers untuk mengkonfirmasi berita-berita yang menuding dirinya selama ini. Beberapanya lagi menunggu di rumah, tentu saja karena mereka ingin mewawancarai Adly juga.
Hasil sidang keluar, bukti-bukti kekerasan seperti visum Adly dan Raya tersebar. Sedangkan bekas luka yang terdeteksi dilakukan sendiri, dirahasiakan mereka. Setelah menjalani proses berbulan-bulan lamanya, Reno Nirlangga divonis penjara selama tiga tahun karena pertimbangan kekerasan yang dilakukan atas pembelaan. Tentu saja Raya tak dapat berbuat apa-apa, keberaniannya mengajukan bukti saja dirasa sudah cukup. Asal Adly sudah bebas dari pria itu.
Berbagai komentar memenuhi siaran langsung konferensi pers, menyalahkan sisi wanita dan pria. Ada kelompok penganut alasan kenapa Reno melakukan kekerasan dan penganut kekerasan tidak dibenarkan dalam hal apa pun. Astaga, mereka berkomentar seolah-olah tahu segalanya, padahal hanya tahu secuil lewat media.
Anony satu: pantas Adly bisa sepintar itu waktu kecil, ternyata karena dipaksa orang tuanya. Dia cerdas karena dituntut bukan cerdas dari lahir
Jenuh. Adly menjelajahi internet di kamarnya sendirian. Sebagian besar berita merujuk padanya. Walaupun tak pasti, Adly yakin sekali itu ulah keluarga Sevenor. Mereka memang suka melebih-lebihkan berita untuk menjatuhkan seseorang---terlebih keluarganya. Bukankah mereka seperti itu pada Nirlangga? jadi yang paling pertama menantikan keluarganya jatuh sejak dulu. Tapi Adly sudah masa bodoh, toh keluarganya juga sudah hancur.
Lalu, Adly melihat beberapa awak media di luar rumahnya dari jendela.
Entah kenapa rasanya hampa sekali, padahal ini juga hari besar buatnya. Dia berharap hari yang harusnya digunakan bersuka cita ini tak pernah ada; tidak. Dia bisa menghadapi apa yang terjadi di rumahnya dulu, tapi kenapa hari ini rasanya berbeda? Semua penderitaannya berakhir, Raya bilang mereka akan pindah rumah dan memulai hidup baru. Harusnya dia bebas dan bahagia, bukan?
Pikirannya berjalan kosong, hanya seperti ruang-ruang hampa yang gelap. Dia bisa merasakan bekas luka di lengan hingga punggungnya, tak pernah ada luka baru lagi di sana. Adly mengabaikan awak media di halaman rumah dan beralih membuka nakas. Tempat keramat di mana dia sering membuka itu di masa-masa kelamnya. Ada cutter dan sebongkah pecahan kaca---pecahan yang pernah dilempar Reno hingga melukai punggungnya dulu.
Dia belum pernah berpikir membuang benda-benda itu. Tak tahu juga kenapa. Mungkin karena benda-benda itu sudah menemaninya dulu atau mungkin ... benda-benda itu menunggu untuk digunakan lagi.
Perlahan tangannya bergerak mengambil cutter sembari membatin, dia tak punya planning apa pun lagi di hari esok, bukan? Misinya mendapatkan medali emas di IPhO sudah selesai, dia berhasil menutup berita keluarganya kemarin, ibunya juga kelihatan sudah sehat dan baik-baik saja. Ah, rasanya sudah bisa istirahat dengan tenang.
"Den Adly?"
Bunyi ketukan pintu membuat Adly tersadar dari pikirannya. Dia menghela napas kasar dan menutup kembali nakas, membuka pintu kamar dan seketika tertegun.
"Den, ada Airin yang nunggu di bawah. Mau Bibi panggil aja?" tanya Bi Mira, hati-hati.
◽◽◽
"Dok, ini gendernya udah bisa dilihat belum?"
Jean dan Airin menatap dokter dengan manik mata berkristal, antusias. Sedangkan Arista yang sedang melakukan pemeriksaan USG melihat monitor dengan senyuman lebar. Ikut penasaran dengan apa jawaban dokter, tapi kemudian dia teringat sesuatu.
"Eh, jangan dibilang dulu, dok. Kan saya mau adain gender reveal, hehe. Dokter tulis aja di kertas rahasia ...," jawab Arista.
"Ya udah kalau gitu bisikin saya aja, dok. Saya bisa lapar penasaran nih kalau nggak dikasih tahu!" seru Airin, mendekati dokter.
Dokter tertawa melihat mereka mulai saling mengeluarkan pendapat mengadakan gender reveal party atau tidak usah saja karena sejujurnya mereka bertiga pun sangat penasaran. Airin tetap ngotot mau tahu apa gendernya dan mereka melakukan kesepakatan.
"Gimana kalau Airin yang urus gender reveal party-nya? Boleh ya? Biarin Airin tahu dulu. Setuju?"
Mereka pun setuju. Airin mendekat ke dokter yang sudah sibuk mengamati gender janin di monitor lalu berbisik pada Airin. Gadis itu langsung nyengir tak menyangka mendengar calon baby mereka. Hal itu membuat Jean dan Arista penasaran.
"Apa, Rin?" tanya Jean.
"Rahasia lah. Ntar aja pas gender reveal."
Begitulah kegiatan check up mereka hari ini. Mereka terlalu bersemangat sampai-sampai tak mau keluar dari ruangan dokter karena mengajukan banyak pertanyaan yang membuat dokter juga bijaksana menjelaskan dengan panjang lebar, candu juga mendengar detak jantung si baby seolah ini pengalaman pertama mereka.
Keluar dari rumah sakit, Airin tak sengaja bertemu seseorang yang dia kenal---kebetulan mereka bertemu pandang, Airin langsung menunjuknya dengan girang.
"Fahren!" seru Airin.
Fahren terkekeh. "Udah gue duga, itu reaksi lo kalau ketemu seseorang."
"Gila! Apa kabar? Udah lama nggak ketemu. Kok bisa ada di sini?" tanya Airin setelah mendekatinya.
"Nemenin kakak gue, ada jadwal USG hari ini," jawab Fahren. "Lo?"
"Nyokap gue juga ada jadwal USG. Baru aja selesai."
"Woah, selamat ya bentar lagi jadi kakak," ucap Fahren lagi sambil tersenyum.
Airin balas dengan raut bangga. "Lo juga dong bentar lagi jadi om-om."
Fahren tertawa sambil mengangguk. Dia tampak mengamati sekeliling dalam beberapa detik lalu kembali menatap Airin. "Adly gimana?"
"Adly? Dia---kabarnya baik-baik aja kok," jawab Airin, walau kelihatannya juga ragu dengan jawaban itu.
"Dia udah cerita?" tanya Fahren.
Mengingat Fahren pernah mengatakan hal-hal yang janggal mengenai Adly sewaktu olimpiade mereka dulu, Airin pun berdehem membenarkan.
Sejak kejadian di rooftop, Adly jadi sedikit lebih terbuka padanya dan tak ragu mau menceritakan apa pun. Dia bahkan berani mengatakan tidak baik-baik saja malam itu walaupun tidak menceritakan kejadian kenapa dia relapse, mungkin belum siap. Airin tak mau terlalu memaksa karena dia percaya Adly akan cerita jika dia siap.
"Besok putusan sidangnya, ya? Gue nggak sengaja lihat berita." Fahren menepuk bahu Airin pelan. "Jangan biarin dia sendiri, Rin. Besok mungkin bakal jadi hari berat buat dia."
Airin tersenyum simpul dan mengangguk.
"Sampein salam gue ke Adly, ya. Semoga lain waktu gue bisa ketemu dia." Begitu kata Fahren sebelum mereka mengakhiri pertemuan. Tak lupa diakhiri dengan selfie bersama untuk dipamerkan agar membuat Yoana dan Antonius iri dengan pertemuan tak terduga mereka.
Setelah pertemuan itu Airin jadi memikirkan perkataan Fahren semalaman. Lelaki itu benar, Adly pasti tidak bisa tidur lagi malam ini karena mengingat hari esok yang berat. Apa rasanya? Airin tak pernah ada diposisi seperti itu, tapi kalau dibayangkan pasti Airin juga bisa gila memikirkan orang tuanya akan pisah sungguhan. Bagaimana dengan Adly?
Akhir-akhir ini Airin selalu khawatir kalau Adly lama membalas pesannya. Sebenarnya dia tidak mau jadi pacar yang harus mengetahui kabar 24/7 karena pasti masing-masing dari mereka punya kehidupan privasi sendiri, tapi Airin juga tidak mau terus-terusan memikirkan apa Adly baik-baik saja. Bagaimana kalau dia terpengaruh pikiran buruknya untuk melukai diri sendiri atau lebih parah dari itu?
Esok harinya, Airin inisiatif pergi ke rumah Adly. Lelaki itu bilang tak berencana ke mana-mana hari ini dan hanya ingin di rumah saja, dia bahkan tidak menemani Ibunya di pertemuan media. Airin tahu salah satu alasannya pasti tak mau bertemu mereka yang sudah nangkring di depan rumahnya. Airin sendiri agak ragu kalau harus masuk ke rumah Adly dengan santai dan melewati mereka seperti tak terjadi apa-apa, dia harus melakukan sesuatu.
"Permisi, Pak, Bu. Kalian lagi nungguin Adly, ya?" tanya Airin dengan senyuman lebar mendekati mereka.
Para wartawan menoleh dengan raut bingung, mereka bersitatap lalu salah seorang dari mereka menjawab, "Kita cuma mau minta konfirmasi sebentar kok."
Airin ber-oh ria. "Tapi---emang kalian nggak tahu, ya kalau Adly lagi keluar kota? Dia lagi liburan ... seminggu kayaknya. Habis konferens juga Mamanya bakal berangkat. Kalian bisa ke bandara sekarang."
Mereka terpaku dengan wajah dungu. Diambang keraguan antara mempercayai makhluk yang tak jelas asal-usulnya ini.
"Kamu siapanya Adly?" tanya mereka.
Hah, mereka butuh status juga, ya? Airin ingin sekali meneriaki apa hubungannya dengan Adly, tapi bisa berisiko besar. Bagaimana kalau nantinya ganti dia yang diwawancara? Airin harus menemukan cara agar tidak diwawancarai dan tidak diragukan.
"Tadi pagi saya jogging di sini, trus---saya nggak sengaja lihat Adly packing." Airin berusaha terlihat meyakinkan.
"Trus tahu dari mana kalau Adly pergi liburan seminggu?" tanya mereka lagi, tak mau kalah.
"Ya---saya tanyain lah. Kalau nggak percaya, pergi aja ke bandara, tuh tinggal setengah jam lagi mereka berangkat," ucap Airin.
Mereka segera berunding untuk pergi atau menetap. Ya, mereka pilih pergi karena mengejar target berita. Airin lega dan tak percaya modal keberaniannya berhasil membohongi mereka, dia bisa mudah masuk ke rumah Adly kalau begitu
Ini adalah kedua kalinya Airin datang ke rumah Adly. Hawanya masih sama seperti saat pertama datang; sama-sama sunyi dan mencekam. Untung saja Airin sudah lumayan akrab dengan Bi Mira. Wanita itu menyuruh Airin menunggu, mengecek keadaan Adly karena tak tahu apakah dia siap bertemu orang lain atau tidak.
Adly memilih menemuinya.
"Kok bisa ke sini?" tanya Adly, dia mengintip lewat jendela di belakang Airin dan mengernyit mendapati halaman rumahnya kosong. Tak ada wartawan lagi di sana.
"Gue ngibulin mereka, bilangnya lo lagi liburan seminggu. Hehe. Tenang aja," jelas Airin dengan bangga.
Adly tak menyangka gadis itu yang membuat mereka pergi. Sepertinya selain punya bakat berkhayal, Airin ahli dengan kemampuan sok akrabnya dan membohongi publik. Betapa ajaibnya manusia ini.
Adly tak mengatakan apa-apa lagi, hanya kembali berhadapan dengan Airin dengan wajah pucat. Sesaat Airin beringsut maju, menempelkan tangan di dahinya.
"Lo demam lagi?" tanya Airin
Adly menggeleng. "Suhunya sering gitu."
Airin tampak prihatin. Dia ingin menyemangati tapi tak enak memulainya. Sebisa mungkin, Airin tak membahas hari berat ini dulu. Dia pun menekan tas selempangnya sembari menatap Adly. "Lo mau nggak temenin gue? Gue mau ke dekor booth, minggu depan ada gender reveal party. Kemarin Mama check up trus gender bayi-nya udah ada. Coba lo tebak gendernya apa?"
"Perempuan," jawab Adly dengan wajah datar.
Airin mendelik tak percaya. "Ya ampun, ini pertama kalinya dalam hidup lo, lo ngasih jawaban yang salah. Selamat!"
Airin memaksa lelaki itu berjabat tangan atas jawaban salahnya, ini suatu moment yang luar biasa di mana Airin mengira selama ini Adly tak punya kelemahan pengetahuan. Salah besar. Dia menunjukkan ketidak-tahuannya kali ini.
Entahlah, mana Adly tahu soal ciri-ciri seorang ibu yang hamil anak perempuan atau laki-laki? Dia kan tidak belajar itu.
Pada akhirnya Adly menginjakkan kaki keluar rumah di hari yang berat ini, menemani Airin. Mengikutinya sampai ke dekor store. Sepengetahuannya, usia kandungan Arista sudah masuk dua puluh minggu, pantas saja mereka antusias mengadakan acara kecil-kecilan. Gendernya sudah tampak.
Airin banyak bicara dengan tim dekor booth tentang konsep yang mau digunakan dan memilih dekor lewat katalog, terkadang meminta pendapat Adly hingga membuat event organizer-nya menebak bahwa mereka berdua yang mengadakan acaranya dan Airin langsung menyambar,
"Bu, emang saya kelihatan kayak lagi hamil?" tanya Airin, cemberut. Maksud Airin---wajahnya masih imut seperti bayi dan dia baru mau menginjakkan usia tujuh belas tahun. Dari mana letak ibu hamilnya? Ayolah, mereka pasti bercanda.
Meeting konsep dan dekor selesai pada jam makan siang. Sepulang dari sana, Airin mengajak Adly ke suatu tempat. Adly tak tahu tempat apa lagi yang mau Airin tuju, yang bisa dia lakukan hanyalah mengikutinya.
Sea World. Tempat yang dituju Airin. Dia bilang dia sudah beli tiket yang kebetulan ada promo di hari ini. Bisa dibilang gadis itu punya ide dan beli tiket karena ada promo. Well, tak masalah---yang jelas Adly ikut saja karena ... tak ada yang bisa menghentikan Airin kalau moodnya sedang cerah.
Mereka pun ikut antrian selama beberapa menit di loket, lalu masuk ke rute pertama terowongan antasena, menyapa kelompok hiu berukuran kecil yang baru saja melewati mereka. Sepertinya sedang menyambut siapa yang datang hari ini. Airin kelihatan sedikit ngeri, namun juga gembira di waktu yang sama. Gadis itu melambai-lambai dan mengajak bicara para hiu walau tahu dia diabaikan.
Mereka terus mengikuti rute sambil terus mendongak, membawa langkah ke main aquarium. Sesuai dugaan, Airin lah yang selalu berdecak kagum sambil lari-larian di dekat kaca. Beragam jenis biota laut kabur ketika dia mendekat.
"Lihat deh, mereka kayaknya excited didatengin!" seru Airin. "Kita harus ambil foto!"
Adly turut prihatin, sepertinya Airin tidak tahu kalau ikan pun tak sanggup melihat energinya hari ini.
Airin mulai mengeluarkan ponselnya dan memotret apa pun yang dia lihat, katanya tak mau menyia-nyiakan tiket promo hari ini dan harus ambil gambar estetik sebanyak-banyaknya. Sementara itu, Adly hanya terus memandangi puluhan ekor ikan berkelompok mengelilingi batu karang, tempat yang cukup luas membuat mereka bebas berkeliaran.
Adly mendongak mengikuti arah renang para ikan, mencari permukaan. Seketika dia merasa tenang. Adly juga heran kenapa dia mendadak damai melihat aquarium raksasa itu---padahal sejak pagi pikirannya gaduh dan hampa.
Barangkali karena aquarium ini menggambarkan dalamnya lautan. Adly pernah baca teori restoratif dari alam yang menjelaskan tentang bagaimana lingkungan bisa membantu mengurangi stress, laut salah satunya. Sebagian besar orang banyak memilih menenangkan diri di pantai karena mendengarkan deburan ombak atau sekedar merendam kaki di buliran pasir. Sesederhana itu cara orang-orang menenangkan diri.
Tiba-tiba saja muncul pertanyaan seperti ... apakah orang-orang yang pernah tenggelam dan tak ditemukan itu sudah merasakan kedamaian?
"Selfie!" seru Airin sambil menghadapkan kamera ke arah Adly yang masih mendongak. Lelaki itu agak kaget diajak foto dadakan. Alhasil fotonya jadi candid dan Airin tak peduli, malah kembali menarik Adly ke kelompok pari yang berenang menjauh. Lagi-lagi mengajaknya bicara.
"Lo sering ke sini?" tanya Adly, seketika.
"Nggak sering sih. Dulu waktu SD pernah karena ada tur edukasi. Habis itu seringnya ke Aquarium sebelah," jawab Airin. "Eh, lihat deh itu ikan badut! Keep swimming!"
Perhatian gadis itu cepat sekali teralihkan, seperti anak kecil. Dia berteriak pada seekor ikan oranye seolah menyemangati, padahal yang diteriaki pun tidak peduli. Airin mulai menjelaskan perbedaan biota laut SeaWorld zaman dulu dan sekarang, lagi-lagi menjelaskan seolah Adly adalah manusia primitif yang baru keluar gua. Kalau sudah begini pasti Airin takkan berhenti berceloteh. Anehnya, Adly nurut saja dan ikut mendengarkan. Berikutnya Airin kembali mengambil gambar, video dan lanjut ke wahana sebelah. Jellyfish.
"Lo tahu nggak kenapa ubur-ubur itu nyengat?" tanya Airin, kedengarannya seperti main tebak-tebakan.
Adly menatap gadis itu, "Ubur-ubur nyengat karena tentakelnya ada sel nematosit."
Airin mengernyit. Ya, itu jawaban ilmiahnya, tapi dia sedang tak ingin serius di situasi ini. "Harusnya lo jawab nggak tahu biar gue kasih jawaban gong-nya."
Gantian Adly yang bingung apa maksud gadis itu. "Emang jawaban lo apa?"
"Karena mereka itu DJ," jawab Airin, wajahnya disetting jadi tengil. Dia balas menatap Adly, menunggu reaksi lelaki itu tapi Adly hanya mengerutkan kening. Airin pun mendengkus kesal, "Ya ampun, lo nggak pernah nonton Spongebob Squarepants apa?"
Ternyata gadis itu sedang membuat lelucon recehan. Adly menggelengkan kepala, tak habis pikir kenapa gadis itu bisa menemukan lelucon-lelucon receh di dunia ini. Dari dulu selera humornya agak aneh sih.
Adly mengamati Airin selagi gadis itu bicara dengan para ubur-ubur. Sejak awal pergi sampai wahana terakhir, gadis itu tidak pernah kelihatan lelah. Malah semangatnya semakin besar setiap kali mereka pindah tempat. Sama seperti mereka main di timezone waktu itu, Airin selalu jadi orang yang energinya tak pernah habis. Padahal dia juga bicara seharian walau Adly menanggapi dengan singkat.
Diam-diam, gadis itu sedang berusaha membuat Adly merasa lebih baik hari ini.
"Berapa tempat lagi yang lo tahu?" tanya Adly, saat Airin sudah selesai mengambil gambar ubur-ubur.
"Huh? Tempat apa?"
"Lo selalu ngajak gue ke tempat-tempat main. Berapa tempat lagi yang pernah lo datengin?" Adly memperjelasnya sambil menatap Airin.
Airin tersenyum. "Banyak. Banyak yang harus lo tahu. Banyak lagi wishlist gue yang harus gue penuhi. Gue sampe niat banget, sebelum Tuhan ambil nyawa gue, gue harus ke tempat yang pengen gue kunjungi. Gue nggak mau pergi tanpa wujudin wishlist gue."
Adly terdiam. Sekelebat perasaan melankolis melandanya bahwa Airin punya keinginan hidup lebih lama untuk pergi ke tempat yang belum pernah dia kunjungi.
Gadis itu punya alasan kenapa dia harus bertahan hidup.
"Tahu, nggak? Gue bulan depan resmi tujuh belas tahun. Trus di hari itu ... ada tempat yang pengen gue datengin. Tapi gue nggak mau datang sendiri. Jadi gue bakal ajak lo lagi." Airin melanjutkan dengan riang. Dia beringsut ke samping Adly seraya berbisik, "Lo nggak boleh bosan ke tempat-tempat kesukaan gue."
"Bulan depan lo ulang tahun?" tanya Adly lagi.
"Yup. Gue udah mikir. Tujuh belas tahun gue kayaknya bakal diawali dengan banyak hal-hal seru deh. Gue bakal jadi kakak trus gue bakal bikin cerita untuk persiapan bikin komik, gue juga bakal giat belajar gambar. Intinya gue nggak sabar banget tujuh belas tahun," terang Airin. "Eh, btw ulang tahun lo kapan?"
Adly menjeda cukup lama. Beberapa bulan terakhir selalu bersama, mereka belum sampai di tahap mengetahui ulang tahun masing-masing. Mau gimana lagi, mereka banyak melewatkan moment bicara soal diri sendiri karena lebih banyak menghabiskan waktu belajar ke olimpiade sih.
"Hari ini," jawab Adly.
"Eh?" Airin terkejut mendengarnya. "Hari---ini? Lo ulang tahun hari ini?"
Adly mengangguk.
Airin kelihatan merasa bersalah karena baru mengetahui ulang tahun Adly. Kalau begitu, dia bisa menyiapkan surprise untuknya dibanding pergi ke aquarium raksasa ini. Ya, walaupun belum terlambat jika dia menyiapkannya sekarang tetap saja ada perasaan yang tidak enak.
"Yah, harusnya gue tahu dari dulu ya. Gue malah ngajak lo ke aquarium, kan nggak ada vibes ulang tahunnya." Airin mulai menggerutu. "Maaf ya. Gue nggak tahu. Gue jadi nyesel."
Mendengar itu, Adly mengulas senyum tipis. "Lo nyesel cuma karena baru tahu gue ulang tahun?"
Airin mengangguk masih dengan raut masam.
Hari ini memang hari besar Adly yang harusnya jadi hari bersuka cita, tapi malah jadi hari yang dia hindari karena perceraian orang tuanya. Lagi pula, ulang tahun bukan hal yang berarti sejak kecil. Apa yang dia dapatkan hanyalah umur yang bertambah, bukan umur yang menyenangkan.
"Hari ini gue tujuh belas tahun. Lo nyesel karena baru tahu. Tapi lo tahu penyesalan gue apa?" tanya Adly.
Airin menetralkan wajah. Kali ini mereka bicara serius.
"Gue nyesel baru ketemu lo ... di usia tujuh belas tahun."
Airin tertegun.
Di keramaian---dalam bayangan aquarium raksasa, mereka bertatapan dalam jarak dekat. Waktu pun seolah berhenti sejenak. Ungkapannya terkesan sendu. Airin menyadari sesuatu; tatapan lelaki itu tak berubah setiap kali mata mereka bertemu. Terkesan dalam dan kelam. Saat Airin bertatapan dengannya pertama kali di mini market, saat malam ulang tahun sekolah, saat hujan dan hari di mana Adly mengatakan dia menyukai Airin---tatapan itu selalu sama.
Tujuh belas tahun rasanya seperti tahun-tahun yang berat untuk Adly. Andai dia bertemu Airin sejak kecil, apakah kehidupannya bisa berubah?
Apakah pemikiran bunuh diri itu bisa diselamatkan?
Airin tersenyum pada akhirnya, tak dapat membalas apa pun. Waktu sudah berjalan lagi. Dia pun menautkan genggaman tangan dengan Adly dan menariknya berpindah ke tempat lain. "Yuk. Habis ini kita harus rayain ulang tahun lo."
Mereka mengelilingi wahana demi wahana cukup lama, dari main aquarium, hiu, ubur-ubur, memberi makan ikan-ikan di kolam dan menyentuh bintang laut, tak lupa berfoto dengan maskot ancol di mana Airin mengatakan pada maskot bahwa hari ini ulang tahun Adly. Maskot itu memberi ucapan selamat ulang tahun.
Mereka keluar SeaWorld menjelang malam. Airin bilang dia ingin merayakan ulang tahun Adly walaupun hari sepertinya akan berganti beberapa jam lagi. Dia masih belum terlambat, bukan? Meski Adly bilang dia tidak butuh kejutan atau hadiah, tapi Airin tak mau melewatkan hari besarnya.
Airin buru-buru mampir ke toko kue, katanya mau beli kue yang sudah ready. Gadis itu memang aneh. Mana mungkin dia beli kue ulang tahun sedangkan orang yang ulang tahun ada di sampingnya? Adly sudah bisa menebak hal konyol berikut yang akan Airin lakukan adalah meniup lilin dan potong kue ulang tahun di toko dan disaksikan banyak orang.
Untung saja tebakan itu salah. Airin tidak merayakan ulang tahunnya di depan banyak orang, melainkan di SMA Bintang Favorit. Ya. Di rooftop sekolah. Dengan modal nekat, dia bernegosiasi dengan penjaga sekolah untuk masuk menggunakan privilege sebagai anggota PIN perak. Tentu saja dengan hak istimewa itu menguntungkannya di masa-masa ini.
"Ngapain pake dipersiapin? Kan gue udah tahu," tanya Adly, ketika mereka sudah sampai di rooftop.
"Justru itu. Kan lo bilang nggak butuh kejutan, jadi kita persiapin perayaannya bareng-bareng lah," jawab Airin. Gadis itu sudah sibuk memasang topi ulang tahun dan menyalakan pemantik ke lilin. Menyerahkan kue ke arah Adly. "Sekarang ... make a wish."
Make a wish.
Sesuatu seperti itu, sebenarnya Adly tak mempercayainya. Entah bagaimana harapan dibuat di depan lilin dan sepotong kue, bukankah orang-orang yang melakukannya setiap tahun tetap saja menjalani hari yang sama? Tapi Airin sudah menutup mata, malah dia yang kelihatan punya banyak harapan dibanding Adly dan lelaki itu hanya diam menatapnya.
"Udah?" tanya Airin setelah membuka mata.
"Udah," jawab Adly, kendati tak melakukan hal serupa.
Baru saja memberi isyarat tiup lilin sambil bernyanyi, angin berhembus lembut dalam beberapa detik membuat api mati terlebih dulu. Airin mengerucutkan bibirnya kesal. Seharusnya Adly yang melakukannya, bukan angin! Airin berniat menyalakan pemantik kembali, namun tak sempat karena Adly sudah menertawainya lebih dulu dan mencegah.
"Tiup lilin cuma sekali karena buat harapannya juga cuma sekali kan? Udah diwakilin sama angin, mungkin harapannya juga lagi dibawa terbang," ucap Adly.
Airin tak mengerti maksud lelaki itu, tapi melihat Adly tersenyum dia juga ikut tersenyum lega. Setidaknya, walau tahu hari ini sangat berat Adly masih bisa mengukir senyum di depannya tanpa tahu dia tidak berharap apa pun; malah harapannya bergantung pada Airin.
Sementara Airin membuat harapan sepenuhnya tentang lelaki itu. Berharap hari-hari yang baik untuk Adly.
Semoga dia punya masa-masa tujuh belas tahun yang bahagia.
Semoga di hidup yang cuma sekali ini, dia bisa menang melawan dunia.
Semoga ... dia ada keinginan hidup lebih lama biar kita bisa terus merayakan hal-hal seperti ini, selamanya.
◽ TO BE CONTINUED ◽
...
chapt 40; issues
coming soon! ⭐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro