TEAM: 36: PACARAN
HAPPY READING
...
Sunny kesal setengah mati ketika Arian mengatakan dia harus memotong pendek rambutnya dan mengubah warna rambut. Maksud Sunny---lelaki itu bahkan melakukannya tanpa meminta persetujuan, seenaknya mengatur hal yang seharusnya tak perlu dia pikirkan. Tentu saja Sunny tak mau rambut emasnya berganti warna karena itu satu-satunya yang menghubungkannya dengan orang tuanya. Identitas. Warna rambut yang bisa dia pertahankan sebagai identitas Nathanael dan mendiang ibunya.
Dia bertindak seolah memaksa. Lihat saja dia masih mengejar. Sunny membiarkan Arian terus mengejar sampai ketika di persimpangan depan loundry, dia tak sengaja bertemu Zero berseragam sekolah. Mereka bertemu pandang dan langsung saja Sunny kepikiran kabur dengan Zero. Melarikan diri, tak lupa menon-aktifkan ponsel karena tak mau Arian mengganggu.
"Berhenti!" seru Sunny.
Zero menepi, melirik bingung Sunny yang sudah turun dari sana tanpa mengucapkan terima kasih. Anehnya lagi, dia bahkan tak dapat jawaban kenapa Sunny kelihatan melarikan diri dari seseorang dan mengajaknya ke dalam masalah.
"Lo udah boleh pergi."
Zero tak menyangka gadis itu sama sekali tak berekspresi seolah tak menganggap pertolongannya.
"Oke, gue anggap itu sebagai terima kasih. Tapi, lo ngapain ke sini?" tanya Zero setelah melihat plang di belakang yang bertuliskan Chill Bar. Tempat mereka bertemu malam itu.
"Bukan urusan lo," jawab Sunny, singkat lalu memutar tubuh dan melanjutkan langkah.
"Kalau mau nebeng pulang, gue bisa nunggu!" seru Zero, terdengar seperti tawaran tapi Sunny tidak menanggapi.
Sunny mengembuskan napas panjang memeluk botol tumbler. Satu-satunya tempat yang dia pikirkan untuk lari adalah tempat ini, tempat yang sudah beberapa kali Sunny kunjungi di malam hari karena ada live music. Sesuai nama bar, tempat ini ada untuk bersantai. Namun, bar itu tampak sepi karena tak ada live music, hanya beberapa pengunjung yang duduk di pojokan sambil bercengkrama dengan sebotol wine. Waktu menunjukkan hampir jam dua belas, sebentar lagi jam makan siang.
Sunny menghampiri counter bar. Duduk sambil memperhatikan shelving, botol-botol alkohol berjejeran di sana. Lagi-lagi dia berpikir memesan minuman keras itu, tapi dia belum cukup umur memesannya di tempat ini.
"What can I get for you today?" tanya seorang bartender.
Sunny masih memandang lurus deretan minuman alkohol di sana. Pemikiran yang konyol; dia tidak membutuhkan minuman itu, dia hanya butuh siapa yang sering meneguk minuman itu setiap malam. Dan orang itu tidak ada di sini.
"Nojito's, please," jawab Sunny tanpa melirik bartender.
Beberapa saat kemudian, Sunny tenggelam dalam perasaan bersalah. Dia mulai memikirkan soal Arian. Mungkin sikapnya meninggalkan Arian terlalu berlebihan tadi. Bagaimana kalau Arian merasa tersinggung karena Sunny menolak permintaannya? Ah, aneh sekali. Tiba-tiba dia kepikiran perasaan lelaki itu padahal perasaannya saja diacuhkan Arian.
Arian bilang mengubah penampilannya itu dilakukan demi kebaikannya. Entah kebaikan seperti apa, Sunny tak mengerti. Mana Arian bilang untuk memulai hidup baru pula. Sepertinya dia benar-benar jet lag dan butuh tidur. Terlalu banyak pergi ke pameran seni bisa menyebabkan seseorang halusinasi. Tapi serius. Sunny terlanjur kesal sampai-sampai tak meminta penjelasan Arian tadi. Harusnya dia tidak berlebihan dengan kabur dari Arian, toh mereka akan tetap bertemu malam nanti.
Sunny menekan dada, dia mulai merasa ada yang aneh ketika menarik napas. Dadanya terasa nyeri mendadak. Oh tidak! Jangan bilang penyakitnya kambuh di tempat asing ini.
"Here's your nojito," Tersadar dari lamunan, segelas nojito sudah disuguhkan di hadapannya membuat Sunny mengerjap. Dia masih bisa menahan rasa nyeri itu.
"Anything else, Nona Sunny?"
Mendengar namanya disebut, Sunny perlahan mendongak dengan kening mengerut. Siapa yang mengenalnya sebagai Nona Sunny di tempat asing ini?
Begitu melihat, Sunny speechless. Orang itu ..., "Krista?" lirih Sunny
Ah, rasanya dunia seperti bercanda. Wanita yang sudah bersusah payah dia singkirkan dari kehidupannya, sekarang hadir lagi. Sunny ingat sekali wanita itu dulu pergi dengan air muka penuh dendam, menatap Sunny yang tersenyum mengejek karena dia berhasil memisahkannya dengan Nathanael serta mengusirnya dari rumah itu.
Waktu berlalu cepat. Sekarang, gantian Krista yang menerbitkan senyuman mengejek. Dia menyandarkan siku di meja seakan beringsut maju ke arah Sunny yang sudah bergeming.
"Wah, takdir selalu mempertemukan kita, ya Nona Sunny? Apa itu artinya ada yang belum selesai antara kita?"
Sunny masih terdiam. Matanya menyapu seluruh permukaan wajah Krista untuk memastikan bahwa dia tidak halusinasi; matanya, keningnya, rambutnya yang tidak serapi dulu dan senyum licik itu, ditambah dia berani menggunakan piercing hidung dan ... perut! Seingat Sunny, Krista pernah mengatakan dia mengandung anak Nathanael dulu.
Menyadari Sunny memperhatikan perutnya, Krista kembali berdiri dan mengelus perut. "Kamu cari adik kamu, ya? Ah, sayang banget, adik kamu harus pergi. Tapi tenang aja. Bukan berarti kita nggak ada ikatan sebelumnya, Sun Shiera."
"Omong-omong, kenapa kamu ada di sini? Kayaknya ini belum liburan deh ... apa kamu buat liburan kamu sendiri?" Krista melanjutkan dengan senyuman miring. "Atau ...jangan bilang papa kamu ngusir kamu juga dari sana setelah tahu kalau kamu cuma anak penyakitan yang nyusahin hidupnya?"
Ya, wanita di depannya ini memang Krista. Wanita licik yang dia kenal dulu.
"Aku---ke sini liburan," alibi Sunny. Tak mau membenarkan hal itu, tak mau pula mengatakan yang sejujurnya apa yang terjadi antara mereka.
Krista tampak menahan tawa, "Oh, ya? Kok kelihatan meragukan, ya? Papa kamu di sini juga dong berarti?"
Kening Sunny berkerut kesal. "Dia di sini atau nggak, buat apa kamu mau tahu? Kamu nggak ada urusannya lagi dengan Papa."
"Tenang aja. Aku nggak ganggu kehidupan kamu kok. Kenapa kelihatannya panik banget?" tanya Krista. Sengaja bertanya seperti itu karena meragukan keberadaan Nathanael dan Sunny di sini.
Sunny menetralkan wajah, tak mau kelihatan kesal atau terganggu dengan kehadiran Krista karena itu pasti membuat Krista senang dan gencar mencari tahu. Dia pun melihat nojito yang disuguhkan, hendak meneguk tapi tiba-tiba saja pikiran buruknya mengatakan bagaimana kalau seandainya Krista menaruh sesuatu di sana untuk balas dendam? Kelihatannya dia memang sudah menyadari Sunny sejak dia masuk ke bar.
"Jadi ingat papa kamu, ya? Yang sering minum champagne setiap makan malam." Krista kembali berceloteh, seakan bisa membaca pikiran Sunny. "Kalau kamu mau coba champagne, aku bakal buatin, gratis. Hitung-hitung, tanda pertemuan kita setelah sekian lama."
"Nggak perlu, aku bisa minum itu malam nanti sama papa." Sunny masih berbohong
"Kalau gitu, kenapa diam aja dan nggak minum nojito-nya?"
Sunny semakin curiga melihat wanita itu memaksanya untuk minum nojito yang dia buat. Ya ampun! Sunny muak dengan pikirannya. Dia jadi ingin melarikan diri dari hadapan Krista. Tapi kalau dia melarikan diri, itu hanya akan membuat Krista puas karena berhasil menantangnya. Sunny tak mau itu terjadi.
Sunny pun perlahan mendekatkan jemarinya ke gelas, menimbang-nimbang apakah harus meminumnya sekarang atau tidak. Dia bisa membayarnya dan mengatakan minuman ini untuk Krista saja, berlagak seperti orang angkuh. Namun belum sampai mengambilnya, gelas itu sudah diraih oleh Zero yang tiba-tiba ada di belakang. Sunny tercengang, Zero menghabiskan mocktail itu dengan enteng.
"Ah, seger banget. Emang minuman pilihan kamu itu nggak salah ya, Sunny," ucap Zero, dia menatap Sunny sambil tersenyum manis.
Apa-apaan dia? Sunny ingin marah, tapi lelaki itu sudah terlanjur berkata pada Krista bahwa dia yang akan membayar nojito itu. Sedang Krista yang semula terkejut pada akhirnya pasrah sambil memicing curiga ke arah Zero. Sunny tahu Krista pasti ingin bertanya siapa lelaki asing yang tiba-tiba mengambil minumannya itu tapi tak sempat karena Zero sudah mengeluarkan kartu debit.
Sesaat kemudian, Zero menarik Sunny keluar dari bar membuat Sunny terpaksa mengikutinya. Krista mengamati mereka dengan masam.
"Lo ngapain sih?" tanya Sunny. "Bukannya udah gue suruh pergi?"
Zero pun menghentikan langkah dan melepaskan genggaman, dia memutar tubuh berhadapan dengan Sunny. "Tapi kamu kelihatannya nggak mau sendirian. Lagian siapa coba yang ngajak ke sini? Masa seenaknya nyuruh pergi. Trus ngapain juga pesan nojito jauh-jauh?"
Sunny mengusap kepalanya, tidak habis pikir dengan sosok pemuda yang tak kalah seenaknya dari pada Arian. Sepertinya dia sudah salah mengajak Zero di situasi ini.
Sunny ingin kembali bicara, tapi mendadak dia merasa nyeri dadanya semakin parah terlebih saat dia menarik napas. Perutnya juga terasa kram membuat Sunny menekan perut sembari meringis, perlahan terhuyung ke lantai. Menyadari itu, Zero pun panik
"Eh, kamu kenapa? Sunny?" tanya Zero. Yang ditanya tak menjawab, hanya terus meringis. "Hey, kamu sakit? Kamu masih bisa jalan? Bentar, aku panggil taksi dulu."
Zero tak sempat beranjak mencari taksi karena sesaat setelah berdiri, dia melihat Arian sudah terlebih dulu datang memapah tubuh Sunny tanpa mengeluarkan sepatah katapun, bahkan tidak meliriknya. Mereka pergi begitu saja. Sebenarnya Zero ingin menahan dan pergi bersama mereka karena penasaran apa yang terjadi dengan Sunny, tapi dia sadar memangnya dia siapa? Jadi dia hanya memandang kepergian Arian dan Sunny di tempat.
◽◽◽
Dokter pribadinya bilang kalau Sunny mengalami kram perut karena stress, juga dia jarang makan. Arian baru tahu kalau Sunny jarang minum obat dan melewati sarapan pagi karena memilih beraktivitas di luar selama berjam-jam. Selain itu, penyakitnya juga kambuh.
Selama di bawa ke rumah sakit, Sunny kelihatan setengah sadar---hanya terus meringis dan terengah saat menarik napas. Ini sudah sekian lama sejak tahu Sunny mengidap infeksi paru, Arian melihatnya kambuh lagi.
"Nyeri dada Sunny kemungkinan besar disebabkan infeksi yang kambuh. Ada beberapa risiko yang harus kita waspadai, salah satunya kemungkinan terjadi komplikasi lebih lanjut seperti abses paru atau efusi pleura. Saya akan meresepkan antibiotik yang lebih kuat dan beberapa obat antiinflamasi untuk mengurangi peradangan."
"Pastikan Sunny banyak istirahat dan tidak melakukan aktivitas berat. Kalau terjadi efek samping, segera hubungi saya."
Arian tak banyak bercerita tadi selama memberitahu dokter apa kegiatan Sunny. Ya, gadis itu memang suka beraktivitas di luar padahal tahu fisiknya lemah. Arian tak habis pikir apa yang sebenarnya dilakukan gadis itu setiap hari. Bukankah dia berniat sembuh?
Sepulang dari sana, Arian memutuskan membawa Sunny ke condominiumnya. Itu lebih baik dibanding kembali ke apartemen dan membiarkan Sunny melakukan aktivitas di luar nalar lagi. Menunggu sejam, akhirnya Sunny bisa sadar seutuhnya. Semula bingung di mana dia berada. Pandangannya menyapu isi kamar yang tampak kosong dan sejuk, memandangi bed yang ditempati sekarang. Barulah dia sadar kalau ini tempat Arian.
Sunny menghela napas panjang dan bangkit. Dadanya masih terasa agak nyeri dengan wajah yang pucat. Sunny tertatih sambil menekan dada, menuju pintu. Dia berpapasan dengan Arian yang tengah membawa sebaki bubur dan segelas air.
"Mau ke mana?" tanya Arian.
"Pulang ke apart."
Arian mendengkus. "Mulai sekarang sampai beberapa waktu ke depan, lo di sini dulu."
Sunny mengernyit, "Kenapa?"
"Lo nggak lihat keadaan lo sekarang? Di apart lo cuma sendirian, bibi Saras udah gue suruh pulang."
Menyebalkan sekali jawabannya ..., "Gue lagi nggak pengen debat sama lo. Nggak ada juga yang nyuruh bibi Saras di sana. Gue cuma mau pulang."
Mendengar itu, Arian geram. Dia sudah cukup lelah dengan sikap Sunny hari ini. Arian pun menaruh baki di nakas samping dan berkacak pinggang.
"Bisa nggak sih lo itu ngerti sekali aja? Keadaan lo sekarang lagi nggak aman, di mana pun itu! Penyakit lo, orang-orang di luar sana yang dendam sama bokap lo dan ngincar lo, itu semua nggak aman! Gue nggak mau capek-capek panik dan nyusulin lo ke tempat yang jauh atau bolak-balik apartemen lo!"
Sunny berharap sekali tak ada perdebatan hari ini, tapi dia juga terlalu kesal mendengar keluhan Arian. Padahal dia hanya ingin pulang.
Sunny pun menatap Arian sayu, "Udah gue bilang kan, gue nggak mau jadi beban lo? Gue nggak mau lo ikut-ikut gue pindah. Sekarang lo capek? Trus lo nyalahin gue?" Sunny menyugar rambutnya, ingin mengakhiri. "Lo nggak usah peduliin gue kalau gitu. Gue bakal bilang ke Om Morgan sekarang kalau gue mau lo balik ke Jakarta dan berhenti ngintilin gue. Lo bukan siapa-siapa yang bisa seenaknya!"
Arian tertegun ketika Sunny mengucapkan kalimat terakhir.
Sunny sudah melangkah mundur, kembali ke kamar sambil memegang ponsel. Sepertinya dia serius ingin menghubungi Morgantara dan menyelesaikan urusan mereka sekarang. Dia benar-benar ingin lepas dari bayangan beban Arian. Arian paham, Sunny sebenarnya juga tidak mau. Dia hanya tak bisa berpikir jernih karena dia sedang sakit.
"Ya udah, kita pacaran sekarang."
Seketika Sunny mematung.
"Lo bilang gue bukan siapa-siapa kan? Kita pacaran sekarang. Gue pacar lo, jadi gue punya hak melindungi lo dan ngintilin lo ke mana pun itu."
Hening mendominasi.
Sunny mendadak seperti orang linglung, mencerna ucapan Arian barusan. Apakah dia kerasukan? Tidak. Dia juga tidak mungkin bercanda. Sunny memutar tubuh, memberanikan diri menatap Arian.
"Lo udah gila?" tanya Sunny.
"Gue masih waras buat dijadiin pacar."
Sunny membaca air muka lelaki itu. Entah kenapa sebagian hatinya merasa senang Arian mengatakan hal itu, tapi bukankah Arian mengucapkannya dengan terpaksa? Sunny menebaknya. Jelas sekali dari nada bicaranya yang lelah dan terpaksa membuat perasaan senang yang hinggap perlahan memudar. Menyadarkan Sunny bahwa ini semua hanya kepura-puraan Arian saja.
"Jangan anggap gue bodyguard lo, kacung atau pelayan lo. Gue sekarang pacar lo ...," tegas Arian lagi.
Sunny mengerjap beberapa kali. Dia memalingkan tatapan ke tempat lain, "Nggak. Gue---nggak mau."
Melihat reaksi Sunny, Arian menyeringai sarkas. "Wah, apa itu artinya gue ditolak? Sayang banget. Padahal gue kira lo tuh punya perasaan sama gue. Salah, ya? Tapi kan selama ini laki-laki yang dekat sama lo cuma gue doang."
Sekarang dia malah berubah jadi Arian narsis yang membuat Sunny kembali geli. "Nggak usah sok percaya diri. Lagian---gue juga udah punya pacar!"
Sejenak terdiam, Arian kelihatan berpikir lalu tertawa. "Orang kayak lo punya pacar? Siapa yang mau jadi pacar lo? Udahlah lo nggak punya kenalan cowok lain, pacar lo cuma gue doang."
Sepertinya Arian benar-benar kerasukan atau memang sudah gila. Sunny ngeri melihat wujud lelaki dengan narsistik parah itu sekarang. Dia menggelikan. Tapi kemudian, Sunny punya ide.
"Gue punya pacar. Bentar malam gue mau ngedate sama dia. Jadi nggak usah ngintilin gue lagi!" seru Sunny. "Oh ya, dan untuk tawaran pacaran lo tadi ... maaf banget, gue nggak bisa nerima lo. Itu juga kalau lo beneran ngajak pacaran!"
Arian mengerling kesal mendengar jawaban Sunny. Bisa-bisanya dia melakukan hal itu! Arian tak menyangka kalau dia akan tertolak secepat ini oleh gadis yang menyukainya sejak SMP.
Merasa tak terima dan juga tak percaya, Arian pun kembali berkacak pinggang.
"Buktiin!" seru Arian. "Buktiin kalau lo udah punya pacar. Gue mau lihat gimana lo ngedate sama orang itu."
"Buat apa gue ngebuktiin ke lo?"
"Ya biar gue nggak minta lo jadi pacar gue," jawab Arian, penuh percaya diri.
"Trus kalau gue udah ngebuktiin, lo bakal stop seenaknya sama gue gitu?"
"Nggak juga," jawab Arian. Wajahnya mulai serius. "Tapi karena lo masih di bawah perlindungan gue, gue mau kenalan sama pacar lo itu. Gue mau lihat kalau dia pantas dan bisa jagain lo sehebat gue atau nggak."
Sunny mengerjap nanar.
"Kalau nggak, lo harus putusin dia. Atau kita bakal pindah ke kota lain lagi."
Ternyata sama saja. Arian tetap memegang kendali besar atas hidupnya. Dia bisa seenaknya karena dititahkan jadi pelindung Sunny. Harusnya Sunny berterima kasih hidupnya bisa seaman sekarang karena ada Arian dan keluarganya. Arian yang waktu itu menggendongnya di sekolah setelah estafet karena dia nyaris pingsan, Arian yang mengalihkan perhatian Krista agar Krista tidak mengetahui sakitnya saat makan malam bersama, Arian yang berkorban pindah dari Jakarta hanya untuk menemaninya.
Arian banyak berperan besar, Sunny hanya gengsi mengakuinya.
◽ TO BE CONTINUED ◽
...
chapt 37; arm in arm
coming soon! ⭐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro