Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TEAM: 33: ADLY VS PRITY

HAPPY READING 

...

Kumite biasanya tidak banyak dihadiri siswa-siswi SMA Bintang Favorit. Beda dengan pertandingan basket yang membuat mereka bisa heboh sendiri di bleachers, soalnya melihat karate terlalu ekstrem dan beberapanya lagi bilang membosankan. Tapi hari ini mereka lumayan antusias menonton karena dengar-dengar Prity akan melawan Adly. Kepala Sekolah juga antusias menghadirinya. Tidak menyangka kalau pertandingan pertama semester ini diperbolehkan instruktur melawan antar gender. 

Mereka bilang Prity itu sama kuatnya dengan Adly. Soalnya Prity adalah satu-satunya perempuan yang bisa mengalahkan adu panco Bang Eka saat kelas sepuluh. Dalam aturan preman sekolah, siapa yang bisa mengalahkannya dalam adu panco akan jadi pengecualian dipalak. Memang preman sekolah gadungan itu rada sinting. Prity juga tak berniat memamerkan kekuatan fisiknya sih, kebetulan saja Airin dipalak waktu itu dan Prity datang menolongnya, mengajak adu panco dan ditonton semua orang. Untung saja dia menang.

Selain itu, Prity juga bisa mengimbangi kecepatan lari Adly di estafet ulang tahun sekolah kemarin. Meskipun tetap saja dia kalah, tapi waktu mereka sampai ke garis finish beda tipis.

"Siapa coba yang ngide mereka tanding?" celoteh Jessy ketika masuk gimnasium bersama Airin. 

Tentu saja Airin bukan satu-satunya yang kaget mendengar Prity dan Adly akan battle karena setahunya, sparring di sekolah hanya dilakukan sesama gender. Pasti ada masalah besar yang membuat Prity siap melawan Adly. Ah, kalau memang benar, Airin jadi khawatir. Bukannya meragukan Prity, tapi Airin pernah melihat Adly menghadapi empat orang sekaligus waktu mereka mau diculik. Saat itu Airin berpikir nasib mereka sudah selesai karena Adly kalah,  tapi dia masih bisa melawan mereka walaupun lengannya berdarah. 

Airin lupa. Dulu rumornya Adly bukan hanya anak karate, tapi masuk klub wushu. Pantas saja dia bisa sekuat itu. Jadi Airin tahu, seberapa bahayanya Adly dalam pertandingan ini. 

"Duh, gimana sih caranya biar mereka nggak jadi tanding?" tanya Airin, khawatir. 

"Kenapa lo malah mikir gitu?" Jessy balik tanya. 

Airin bingung menjelaskannya. Dia pun menatap Jessy serius sambil memegang kedua bahunya, "Yakinin gue, kalau pertandingan gini ada alat pertahanan biar Prity nggak cedera."

Jessy mengerjap beberapa kali, bingung. Lalu menahan tawa. Pfftt ..., "Woi, lu pikir mereka lagi berantem apa? Yaiyalah mereka pasti pake body protector biar nggak kenapa-napa. Lagian ini sparring. Nggak bakal se-ekstrim itu."

Mereka sudah duduk di bangku paling bawah. Jessy memanggil Leon yang juga baru masuk, lelaki itu ikut duduk bersama mereka. Begitu Airin menatap Leon, dia tahu sahabatnya itu juga punya pikiran yang sama; kenapa hari ini pertandingannya jadi Prity lawan Adly?

"Udahlah, lu berdua tenang aja. Ini tuh namanya pertandingan persahabatan. Waktunya juga nggak ada setengah jam. Kalau kalah hadiahnya nggak mungkin putus ...," celoteh Jessy.

Airin dan Leon langsung kompak memasang bombastic side eye membuat senyum manis Jessy memudar. Gadis itu berdehem canggung lalu segera menunjuk arena pertandingan. Lebih baik mereka menonton saja. 

Aturan kumite dibagikan. Jika mereka bisa melakukan semua kriteria penilaian dari serangan yang sempurna, maka tiga poin penuh adalah harganya. Dua poin untuk teknik yang cukup sempurna dan satu poin untuk teknik yang bisa dipertimbangkan. Waktu yang diberikan tiga menit, jadi mereka harus bisa menjalankan misi; mengumpulkan poin dan menghindari pelanggaran yang dapat mengurangi poin. 

Prity mengencangkan belt, masuk ke area pertandingan setelah perintah instruktur. Adly tampaknya juga sudah siap. Dua instruktur mengecek body protector dan memberitahu Pelatih Nara kalau semua sudah aman. Begitu perintah hormat, mereka berdua membungkuk lalu berhadapan. 

Pertandingan di mulai.

Prity tak tahu di mana letak kelemahan Adly atau memang lelaki itu tak punya kelemahan di saat-saat seperti ini. Logikanya dia takkan mungkin menang karena sosok yang dilawan punya pemahaman lebih baik di martial art. Prity serius, dia takkan ragu kalau dia kalah. Tapi dia tak mungkin mau mempermalukan diri kan? 

Prity mengambil start setelah melakukan stance. Fokus matanya memindai ke titik di mana dia harus mendapatkan poin. Dia bisa memukul, menendang atau menjatuhkan, semua pilihan jika dilakukan dengan sempurna akan mendapat poin. Setelah mempertimbangkannya, Prity pun melepaskan tiga pukulan lurus ke arah dada, Adly membungkuk menghindari serangan.

Gerakannya ringan seperti angin, membuat serangan Prity meleset dan hanya mengenai udara kosong. Prity memicing ketika Adly menahan lengan bawah dan membuat serangan dadakan ke perut. Prity balas menahan kepalan lelaki itu.  

Cepat sekali. Adly bisa membaca gerakannya. Hasil first strike menunjukkan Prity dapat satu poin dari pertahanannya, Adly juga dapat satu poin karena menggunakan teknik menyerang balik.

Instruktur memberi arahan untuk kembali ke posisi awal. Mungkin selanjutnya, Adly yang akan menyerang. Prity sedikit berdecak. Dia berusaha membaca pindaian Adly, tapi lelaki itu tak memindai apa pun. Tidak mungkin lelaki itu bergerak dengan insting kan? 

Benar saja. Adly mulai kembali menyerang dengan melancarkan tendangan rendah yang tajam ke arah kaki Prity. Prity berusaha menghindar, tetapi kecepatannya kurang. Tendangan itu menghantam kakinya, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai. Tak sampai di situ, Adly juga niat menyerangnya lagi dengan dua pukulan ke dagunya dan Prity berhasil menangkis lagi. Nyaris saja.

Adly dapat dua poin. Dia sekarang punya tiga poin.

Prity bangkit dari posisi bertahannya, melirik Adly. Tatapan intimidasi lelaki itu hadir lagi, seolah memberitahu kalau Prity akan kalah. Yang benar saja. Kumite ini Prity yang memulainya, jadi dia tak boleh tertinggal. Prity harus mendapatkan poin. 

Instruktur memberi perintah tetap di tempat dan kembali bertanding. Mereka sudah menghabiskan satu menit. Prity tak bisa menyia-nyiakannya. Setelah mengambil posisi, dengan gerakan yang terukur, Prity melancarkan serangan balik. Sebuah pukulan cepat mengenai perut Adly, membuatnya mundur selangkah. Gotcha! Prity melanjutkan dengan tendangan memutar yang mengenai dada Adly, membuatnya mundur cukup jauh. 

Akhirnya, Prity dapat tiga poin dari teknik sempurna. Total poinnya sekarang empat.

Sementara itu, di bangku penonton Airin dan Leon mengembuskan napas lega. Percayalah mereka sudah tegang sejak awal masuk ke gimnasium. Ya mau gimana lagi? Orang yang tanding itu adalah pacar mereka, jadi wajar kalau mereka tegang; khawatir sekaligus penasaran apa yang akan terjadi. Hanya Jessy yang tumben ekspresif di sini, sering kali berseru menyemangati Prity dan bertepuk tangan ketika gadis itu mendapat poin. Dia bingung melihat Airin yang kelihatan lega dibanding cemas.

"Heh, lu kok nggak dukung pacar lu sih?" tanya Jessy. 

"Dukung lah," jawab Airin. 

Dia sebenarnya mendukung Adly, tapi selalu panik kalau Adly sudah menyerang. Supporter satu ini memang aneh. Soalnya melihat lelaki itu sparring terasa seperti melihatnya bertengkar. Mana wajah datar itu mendukung lagi. 

Dua menit berlalu. Sisa waktu mereka tinggal satu menit lagi. 

Keduanya masih bergerak dalam stance, menunggu siapa yang akan menyerang duluan. Prity menyusun strategi menunggu sampai dua puluh detik untuk menambah poin. Berpikir Adly akan terus-terusan menyerangnya di sisa waktu terakhir dan benar saja, Adly selalu membuat serangan dadakan dengan pukulan lurus yang tak dapat ditangkis. Berhasil mengenai bahu. Poinnya bertambah. 

Total poin mereka berubah. Prity tetap di poin empat dan Adly menjadi lima. Poin itu terus berkejaran seiring pertarungan mereka yang terkadang diinstruksikan mengulang dari tatami. Serangan mereka beberapanya terjadi di luar garis, jadi tak dapat dihitung sebagai poin. 

Dua puluh detik yang Prity tunggu pun tiba.

Prity kembali membuat stance, memberi jarak agak jauh dengan Adly. Kali ini harus berhasil. Gadis itu menyipitkan mata, memutar tubuh, melancarkan tendangan ke dagu. 

Berhasil. 

Adly terdorong lagi, nyaris jatuh. Prity bisa menebak dia dapat dua poin dari serangan ini. Langkah terakhir, Prity menghindari balasan tendangan Adly ke samping dan mendekati Adly sambil melemparkan pukulan lurus dengan tangan kanannya. Dia menargetkan pukulan ke wajah. Kali ini meleset, dia kalah cepat. Kepala tangannya selaras di samping wajah Adly.

Sepuluh detik. 

Sekarang gantian Adly yang menarik lengan Prity membuat gadis itu terkejut. Malah Adly menepak kepala Prity agar menghadap samping hingga Prity tak dapat melihatnya, lalu mendorong kaki Prity dengan lututnya hingga Prity kehilangan keseimbangan. Tubuhnya jatuh menelungkup. Prity bahkan bisa merasakan panasnya matras lewat pipinya. Adly mengunci lengan gadis itu ke belakang dan menahan punggung atas Prity dengan lutut agar dia tak bisa bangkit.

Sial. 

Prity pikir Adly akan melakukan finishing dengan memukul punggungnya. Poinnya akan lebih tinggi lagi jika melakukan itu. Namun, dia tak melakukannya. Hanya menghitung detik yang tersisa, lalu menghela napas. 

"Lo kalah," ucap Adly.

Prity tahu. Seperti biasa, dia tak bereaksi apa-apa karena ini sesuai ekspektasinya. 

◽◽◽

Setelah meneguk habis mineral, Adly menaruh botol minum di sampingnya. Beberapa jam setelah kumite berakhir, gimnasium kembali sepi. Perintah masuk kelas seperti biasa diumumkan Kepala Sekolah. Ah, tentu saja dia sedang merayakan pertandingan tadi di istananya dengan secangkir teh. Wanita itu suka sekali melihat perselisihan para murid.

Setelah pertandingan tadi, Adly mengakui kalau Prity juga hebat. Meski serangannya seringkali melesat, dia tidak pesimis. Adly tahu Prity cermat menghitung waktu, itu kelebihannya. Jadi Adly mengikuti gadis strategi gadis itu; mengeluarkan semua kemampuannya di sisa waktu terakhir. 

Tak berapa lama kemudian, Adly tertegun melihat Airin tiba-tiba muncul di pintu masuk. Gadis itu tampak menghela napas panjang lalu menghampirinya. 

"Kenapa di sini tadi?" tanya Adly begitu Airin duduk di samping. 

"Ya nonton," jawab Airin seadanya. 

"Gue nggak mau lo nonton," ucap Adly lagi. Airin mendelik kesal. "Nanti lo ketakutan kayak waktu itu."

Airin berdecak. Ya, benar sih. Selain tegang, dia tidak suka melihat adegan pemukulan seperti itu apa lagi lawan Adly perempuan. Temannya pula. Dia khawatir kalau lawan Adly malah kewalahan seperti preman gadungan yang mereka temui di basement sekolah. 

Untung selama pertandingan tadi tidak ada hal-hal mengerikan seperti dibayangannya.

"Lo ada masalah ya sama Prity?" tanya Airin, mengalihkan pembicaraan. 

Adly menatapnya cukup lama, menimbang sejenak. Lalu berdehem, membenarkan. 

"Cuma salah paham. Dia mikir orang tua kita ada hubungan," jawab Adly, akhirnya. 

Airin beringsut lebih dekat dengan wajah penasaran. Siap mendengarkan cerita lelaki itu. 

Adly pun mulai bicara, "Prity itu teman pertama yang gue punya di sini."

Adly ingat ketika semua orang tidak menyukainya karena disebut sebagai si ambisius dan mulut liar karena suka menyarkas, Prity sering datang bicara dengannya. Walaupun yang gadis itu lakukan hanya memberi komentar-komentar yang tak kalah menyebalkan pula seperti, "Ya ampun, lo udah sebesar ini masih minim empati juga ya?" Karena Adly mengatakan Bang Eka miskin karena suka memalak. 

Setidaknya, Prity terus mengajaknya bicara. 

Prity juga orang pertama yang melihat Adly dipukul dengan belt Reno karena lelaki itu ketahuan kolaborasi dengan Aurelie dalam kompetisi robotika. Dia menghampiri Adly yang bersandar menahan sakit di balik pilar dan bilang, "Lo diem aja dipukulin gitu? Ewh mending lo keluar dari klub bela diri, nggak guna kalau nggak kepake."

Namun, akhirnya Prity kasihan karena melihat Adly seperti orang sekarat. Gadis itu mengobati punggungnya yang luka, dia juga yang pertama kali tahu semua bekas luka di sana dan merahasiakannya pada semua orang sampai sekarang. Prity selalu membersihkan lukanya dulu. Terkadang Adly benci karena dia selalu ikut campur hingga Adly menyebutnya 'gadis kampungan' dan Prity tidak masalah. Barangkali Adly tahu kenapa Prity seperti itu. 

Prity pernah ada diposisinya; dijauhi dan tidak punya teman di sekolah. Adly pernah mendapati rumahnya ribut, tapi Prity kelihatan baik-baik saja. Adly ingat sekali jawaban gadis itu ketika Adly menanyakan bagaimana cara gadis itu menghadapi suasana rumah dan dia benar-benar menjawab seperti tak ada beban. (**)

Ketika Adly mengetahui Richo Deenata adalah ayah Prity, dia tak menyangka. Apa lagi setelah mengetahui kalau yang melaporkan Reno adalah Richo. Adly pikir Prity yang melibatkan Papanya dalam hal ini mengingat gadis itu suka ikut campur, tapi ternyata semua itu dari Richo sendiri. 

Saat itu di restoran, Richo menceritakan semuanya. 

"Sebenarnya aku ragu ceritain ini. Tapi kamu bakal baik-baik aja kan kalau kita cerita?" tanya Richo. 

Adly melirik Raya di samping yang tersenyum, ikut menunggu jawabannya. Ya, mau tak mau dia harus mendapatkan penjelasan. 

"Ini hanya cerita masa lalu, Adly. Kamu nggak perlu mikirin ini terlalu jauh. Kamu tahu kan kalau setiap keluarga itu punya aturan sendiri? Keluargaku pribadi membolehkan pernikahan setelah menyelesaikan aturan keluarga. Menempuh pendidikan sampai S3, belajar bisnis, bangun usaha. Waktu itu, Radya udah punya hubungan bertahun-tahun dengan Mama kamu. Apa lagi mereka sekelas, sejurusan juga. Tapi mau kayak gitu juga, takdirnya mereka nggak bersama."

Adly terdiam. 

"Adly, Mama kamu diterima baik di keluargaku. Itu kenapa aku anggap Mama kamu sebagai bagian keluarga yang harus aku bantu. Emang udah berlalu, tapi ini bukan tentang hubungan Mama kamu dan keluarga aku lagi. Ini tentang gimana aku menghormati Kak Raya. Apa pun yang terjadi, Mama kamu nggak pernah menyesali masa lalu dan dia kelihatan lebih baik sekarang karena dia punya kamu." 

Richo bilang begitu karena takut Adly merasa sedih dan berandai-andai. Bagaimana seandainya Raya tak bersama ayahnya, kehidupan wanita itu pasti akan baik-baik saja dan tidak hidup bertahun-tahun bersama pria arogan dan ambisius yang sudah menyiksa hidupnya. Ah, Richo bilang Adly tak perlu memikirkannya, tapi Adly jadi kepikiran. 

Richo menggenggam tangannya dan Raya. "Apa pun yang terjadi sama hubungan Mama kamu dan Radya Deenata, itu nggak penting lagi sekarang. Aku akan pastiin kamu dan Kak Raya aman, ya?"

"Adly, percaya sama Mama. Mama nggak pernah menyesali apa pun di hidup Mama. Kita berdua dan itu cukup."

Walau tak bisa hilang begitu saja, Adly menyetujui apa yang mereka katakan. Lalu, dia tak sengaja melihat Prity di kejauhan yang sudah berbalik badan. 

Gadis itu menyaksikan semuanya dan berasumsi sendiri. Adly tak menjelaskannya pada Prity sampai hari di mana Prity memintanya menjadi lawan sparring karena dia pikir Richo yang akan menjelaskannya. Ternyata tidak. 

"Gue paham perasaannya gimana. Gue juga awalnya gitu pas lihat om Richo sama Mama. Gue lebih marah waktu itu dan—nggak kekontrol. Gue sampe dibawa ke psikolog sama Radya Deenata. Dipikir-pikir, lebih parah gue dibanding Prity. Bedanya Prity melampiaskan itu dengan cara ngalahin gue di sparring."

Airin tak menyangka Adly akan bercerita sepanjang itu. Adly benar-benar menceritakan semuanya dengan detail, tidak melewatkan siapa Radya Deenata di hidupnya—pria yang membawa traumanya kembali. Dia menaruh simpati yang besar akan hidup Adly dan Prity. Ternyata mereka punya benang merah yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. 

"Lo sekarang nggak apa-apa kan?" tanya Airin. 

Adly menatapnya dan tersenyum. "Gue lega bisa cerita ini ke lo."

Airin merasa seperti sedang terbang. Padahal kalimat itu tidak romantis sama sekali. Tapi memang ini yang dia inginkan pada Adly sejak dulu; Adly menceritakan semua tentang perasaannya, tentang hidupnya, tentang keresahannya agar Airin merasa perannya sebagai pacar itu nyata bukan sekedar guru privat dan murid. 

Airin pun balas tersenyum. 

"Lo harus temuin Prity. Jelasin semuanya ke dia dan selesain masalah kalian," ucap Airin. 

Adly memikirkan itu sejenak. 

Benar, dia harus menemui Prity. 

Spot kesukaan Prity sejak awal masuk sekolah adalah lantai paling atas. Dia suka sendirian di sana sambil mengamati orang-orang yang ada di lantai bawah. Tapi sejak pacaran dengan Leon, dia tak lagi menyendiri. Dia mulai sering makan di kantin, ke gimnasium menonton Leon melatih adik kelas atau latihan di kolam renang.

Adly tak menemukan gadis itu di tempat-tempat yang biasanya Prity tempati. Rupanya gadis itu duduk di tangga taman, melamun sambil memainkan gelang di tangan. Entah kenapa gadis itu jadi kelihatan menyedihkan, seperti hilang arah dan bukan dirinya sendiri. Tanpa pikir panjang, Adly mendatanginya, melemparkan botol minum membuat Prity tersentak. Gadis itu mendengkus setelah melihat Adly duduk. 

Mereka terlibat hening cukup lama, juga Prity tampaknya enggan bicara. Sampai Adly memutuskan memulainya.

"Om Richo belum cerita apa-apa?" tanya Adly.

"Udah gue bilang gue nggak peduli," jawab Prity tanpa melihatnya. 

"Nggak usah kayak bocah. Lo harusnya cari tahu dulu," ucap Adly. "Lo kenal Radya Deenata?" 

Prity mengerutkan kening, segera melirik Adly. "Nggak."

"Dia keluarga bokap lo."

Prity kembali menatap lurus ke depan. Kembali hening, lalu dia mengembuskan napas panjang.

"Lo pasti tahu berita nyokap gue selingkuh kan? Radya Deenata selingkuhannya. Tapi ternyata orang itu juga bagian masa lalu ...," Adly tak dapat melanjutkan karena mendadak tidak nyaman membicarakannya. 

"Gue belum pernah dibawa ke keluarga besar Deenata," jelas Prity. "Gue tahu lo mau jelasin semuanya. Tapi gue beneran nggak peduli soal Richo. Jadi lo nggak perlu cerita apa pun."

"Beneran kayak bocah," sindir Adly lagi.

Prity mengerjap, matanya menyorot kosong. Kelihatan tak peduli Adly mengata-ngatainya seperti itu. 

"Gue punya pertanyaan." Prity kembali berujar

Mendengar itu, Adly diam seraya menyilakan gadis itu melanjutkan.

"Gue tahu lo paling paham perasaan itu. Gimana kalau bokap lo sadar sama kesalahannya dan dia balik, pengen bareng lo. Pengen ambil lo jadi anaknya, tanpa lihat perasaan nyokap lo." Prity menatap Adly, "Lo bakal maafin dia atau nggak?"

Jleb! 

Adly bergeming. Tak pernah memikirkan jawabannya karena dia terlalu gila untuk berpikir hal-hal seperti itu; ayahnya yang arogan, suka menuntut, membentak dan memukulnya itu akan sadar akan kesalahannya dan menyayanginya sebagaimana hubungan orang tua-anak pada umumnya. Hal seperti itu ... tidak mungkin terjadi kan? Itu hanya ilusi.

Tapi kalau itu terjadi, Adly juga tak tahu apa jawabannya. Dia terlalu sakit untuk memaafkan, serta terlalu rindu untuk tidak memaafkannya.

"Kayaknya lo juga nggak tahu ya, bakal maafin dia atau nggak?" ulang Prity. 

"Sekarang ini ... gue cuma pengen nyokap gue bahagia," jawab Adly, pada akhirnya. 

Kalau waktu itu tiba, gue hanya butuh jawaban Mama. Jika ibunya memaafkan, maka Adly pun begitu. 

"Wah, lo mikirin perasaan orang lain juga ya?" ucap Prity, kedengarannya seperti menyindir.

Adly hanya memicing tajam ke arahnya membuat Prity menyeringai. 

"Sorry, udah nantangin lo di sparring ini. Walaupun kalah, seenggaknya gue bisa nendang dagu lo. What an achievement."

Hah, gadis ini benar-benar minta dihajar lagi. Adly bersiap beranjak, karena tahu sifat menyebalkan gadis itu sudah kembali seakan melupakan pertanyaan dramatis barusan. 

"Pencapaian orang-orang sekarang tuh ngalahin lo tahu, or ... seenggaknya bisa saingan sama lo," lanjut Prity lagi. "Tapi yang bisa ngalahin cuma Airin Clark, ya?"

Adly beranjak. "Nggak usah ngajak saingan. Gue nggak ngizinin siapa pun ngalahin gue, selain Airin."

Lalu, Adly benar-benar pergi dari sana meninggalkan kesan menggelikan bagi Prity yang terbiasa melihat lelaki itu kaku dan dingin. 

Prity mengamati botol mineral yang Adly berikan tadi. 

Adly sudah sedikit berubah. Baguslah dia jatuh cinta. Soalnya kalau mode single seperti beberapa bulan kemarin dia sangat tidak asik diajak ngobrol dan wajahnya selalu minta dihajar. Prity mengangkat kening, lalu ikut beranjak menuju kelas.

◽ TO BE CONTINUED ◽

...

(**) Flahsback ke TEAM part 28 

jangan lupa vote ⭐⭐⭐⭐⭐

...

chapt 34; kenangan pahit

coming soon!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro