TEAM: 30: SORRY
HAPPY READING
...
Radya Deenata.
Adly sama sekali tidak mengenal nama itu, tapi dia kenal firasat. Perasaannya aneh setelah nama itu disebut Richo-membuatnya cemas kalau nama itu ada hubungan dengan masa lalu. Tapi melihat Adly yang tak bereaksi dan hanya membeku, Richo mengernyit. Dia menyadari kalau Adly tak pernah mendengar nama itu. Makanya Richo bernapas lega dan berkata kalau Radya hanya berniat memberi support pada Raya atas masalah ini.
Berusaha meyakinkan, tapi memangnya dia pikir Adly anak kecil yang gampang dibohongi?
"Suruh dia berhenti," ucap Adly dengan raut datar.
Tentu saja setelah nama Radya Deenata disebut, Adly tak tinggal diam. Dia langsung mencari tahu lewat internet dan menemukan fakta bahwa Radya Deenata-anggota keluarga besar Richo-CEO perusahaan logistik di Jakarta. Pantas saja dia melabeli kartu ucapan terang-terangan seperti itu dan Richo langsung mengenalnya.
Adly tak terlalu tahu soal keluarga Deenata, meskipun mereka cukup terkenal karena sering masuk dalam majalah Forbes. Hal itu wajar karena kebanyakan dari mereka juga tak mau sering-sering dipublish media dan privasi hidup mereka sangat ketat. Wajah pria yang disebut bahkan tak ada di sosial media manapun. Hanya profilnya saja yang bertebaran di internet membuat Adly sedikit kecewa. Memangnya siapa Radya itu?
Hari itu juga Adly memutuskan mendatangi kantor di mana Radya bersemayam dengan penuh nyali. Adly tahu apa yang dia lakukan ini berlebihan karena sudah mengganggu privasi seseorang tapi bukankah pria itu melakukan hal yang sama?
Dia sampai di bangunan bergaya klasik yang bertuliskan R&D Parcel menggunakan motor. Memandangi ujung bangunan itu sembari memikirkan apa yang akan dia lakukan setelah bertemu dengan orang bernama Radya. Ah, lupakan soal itu. Dia saja tak punya akses bertemu dengan Radya. Kalau dia masuk ke sana, sudah pasti akan ditolak mentah-mentah karena tak punya janji pertemuan. Pada akhirnya yang dia lakukan nanti hanyalah mempermalukan diri sendiri, bukan?
Namun, tak sia-sia dia berdiri memandangi bangunan itu berjam-jam karena sosok yang dia cari, muncul kepermukaan sendiri.
"Saya tahu kamu pasti datang untuk saya, Adly."
Adly membalikkan tubuh, lantas seorang pria dengan kemeja netral lengan panjang dan potongan rambut pendek, tertata rapi berdiri di sana. Adly mengamati pria itu agak lama. Sontak ingatannya mendeteksi wajah sosok yang ada di hadapannya.
Ini kah Radya Deenata?
"Saya sudah mengamati kamu sejauh ini. Saya tahu kamu pasti akan mencari saya. Maaf, saya tahu ini mendadak tapi ... ini yang bisa saya lakukan untuk keluarga kamu. Saya hanya mau menjaga Raya dan kamu ...,"
Ah, pria itu ...
Kesekian kalinya, Adly terpaku. Waktunya seakan berhenti. Pria yang ada di hadapannya adalah pria yang sama yang dia lihat beberapa tahun silam di rumahnya. Pria yang Adly pergoki berdua dengan Raya di rumahnya sendiri-melakukan hal-hal terlarang. Adly ingat sekali masa kelam itu; ketika tubuhnya susah payah bangkit setelah Reno menghukumnya perkara turunnya nilai, dia menemukan Raya dan pria di hadapannya ini. Pria yang dia benci selama ini.
"Saya senang kamu mau mendatangi saya. Sejujurnya saya mau minta maaf atas semuanya, Adly. Saya tahu saya ikut andil membuat keluargamu seperti sekarang ...,"
Setiap pria itu bicara, ingatan buruknya datang seperti bayangan malam. Membawa serta kegelapan yang menyelimuti sebagian besar hatinya dan di waktu yang sama, Adly merasa ingatan itu seperti menggerogoti kepalanya. Membawanya jauh ke hal-hal yang sudah terkubur lama; kehadiran pria yang membuat rumahnya berisik setiap detik, suara benda-benda jatuh, pecah dan retak, suara yang memperebutkannya saat kecil.
"Adly, Mama ngelakuin ini biar kamu lihat kalau Mama sayang sama kamu. Mama di sini cuma mau melindungi kamu, makanya ikut Mama dan kita mulai hidup baru. Tinggalin Papa kamu yang punya pikiran gila itu!"
"Cih, perempuan murahan. Pergi saja kamu dengan perempuan gila itu biar kamu tahu gimana murahannya Mama kamu."
Prangg!!
"Bunuh aja aku! Bunuh aku di depan Adly kalau kamu berani!"
Adly menutup sebelah telinga karena suara-suara yang dia ingat terasa sangat dekat. Padahal pria di depannya sedang bicara, tapi Adly tak dapat mendengar apa pun selain suara berisik masa lalu. Fase ini lagi ... dia berusaha menjaga kesadaran, walaupun tubuhnya tak merasakan kehidupan sekitar; dia berdiri tegap, tapi kakinya dirasa tak menapak, jantungnya berdegup kencang tapi Adly tak dapat mendengarnya. Bahkan dia tak tahu kalau tangan yang digunakan menutup sebelah telinga gemetar.
"Adly, kamu nggak apa-apa?" Akhirnya, pria itu menyadarinya. Bingung melihat Adly yang sudah melangkah mundur dengan wajah pucat. Dia mendekati Adly, ingin menyentuh bahunya.
Adly pun menepis pria itu dengan sebelah tangannya, wajahnya setengah meringis.
"Kenapa?" tanya Adly, suaranya pelan ditelan napas yang terengah.
Banyak sekali 'kenapa' yang ingin dia ucapkan, tapi mulutnya tak mampu mengeluarkan banyak kata. Kenapa orang ini hadir lagi? Kenapa Mama biarin dia hadir lagi? Kenapa ingatan itu harus muncul?
Harusnya Adly menghajar pria itu. Dia ingin melakukannya sejak dulu, bahkan walau mereka bertemu di tempat umum. Sialnya dia malah dijebak perasaannya sendiri hingga membuatnya tak mampu bergerak. Pada akhirnya yang terjadi hanya dia yang bertingkah bodoh di hadapan orang yang dia benci.
Tidak. Jangan sekarang.
Adly merasa akan melakukan sesuatu yang lebih gila daripada menghajar Radya. Sesuatu yang membuat kesadarannya habis dan berteriak di depan umum. Berulang-kali lelaki itu mengerjap-kerjapkan mata dan melangkah mundur. Dia ingin mencari tempat yang tidak bisa dilihat siapa pun untuk menenangkan diri. Namun, Radya mengikutinya sambil berceloteh.
"Adly kamu kelihatan pucat. Saya panggilkan driver untuk kamu pulang ya ...,"
Adly tak menghiraukan. Dia masih tak bisa mendengar suara pria di belakangnya karena telinganya sudah penuh akan suara-suara berisik masa lalu. Sebelah tangannya yang gemetar mencari kunci motor di blazer.
Sial. Tangannya mati rasa. Dia tak bisa merasakan apa pun, padahal dia sudah mendapatkan benda itu.
"Adly?" tegur Radya lagi. "Adly!"
Adly masih tak menghiraukan. Radya pun memegang lengannya dengan cepat.
"Hey, tenang dulu. Jangan takut. Saya nggak nyakitin kamu. Nggak ada yang nyakitin kamu, sekarang ...,"
Adly menatapnya, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut pria itu. Entah kenapa terlintas sesuatu dipikirannya.
"Dokter," ucapnya.
"Huh?" Radya mengernyit.
"Bawa aku ke sana. Dokter."
◽◽◽
Airin membaringkan kepalanya di meja belajar sambil mengamati gantungan HP yang berbentuk jejak kaki kucing di sana. Benda pemberian Adly ketika mereka berada di Jepang.
Adly pernah bilang kalau mereka akan mulai pencarian bakat Airin setelah olimpiade selesai, tapi lihat yang lelaki itu lakukan-malah mereka saling jauh satu sama lain. Padahal Airin pikir dengan dia mendapatkan medali emas di IPhO, semua masalahnya selesai. Ternyata dia harus melalui fase ini; bertanya-tanya apakah dia tak sepenting itu dan Adly benar-benar hanya mementingkan ambisinya di IPhO kemarin?
Airin menghela napas panjang. Dia aja nggak peduli kalau gue sering diremehin orang-orang di luar sana, khususnya Sessa CS. Dia juga nggak banyak cerita soal dirinya sendiri. Dia nggak masalah kalau Kepala Sekolah jadiin kita rival. Dia nggak peduli sama siapa pun ... bahkan nggak peduli dirinya sendiri. Dia cuma peduli sama ambisinya itu.
"Ih, kenapa sih dia? Dia juga nggak ngechat!" geram Airin sendiri.
Gadis itu membuka ponsel dan beralih ke chat melihat kolom chatnya dengan Adly. Tertulis bahwa lelaki itu terakhir membuka aplikasi chat dua hari yang lalu. Dan itu waktu mereka pulang dari olimpiade.
Entah kenapa Airin jadi menyesal menolak ajakan belajar bersama kemarin. Hanya karena Kepala Sekolah memberinya challenge menggeser posisi ranking Adly di ulangan harian, Airin jadi berpikir belajar sendiri tanpa bantuan Adly. Itu juga demi melihat kemampuannya sendiri dan tak mau terlalu bergantung dengan lelaki itu.
Apa keputusannya menerima tantangan itu salah?
Airin memejamkan mata. Tahu-tahu dia sudah masuk ke alam mimpi. Memimpikan keadaan di mana dia berdiri di tengah-tengah halaman yang luas dan orang-orang melempar gumpalan kertas ke arahnya. Sebagian kertas memukul bahunya membuat Airin sedikit menghindar. Itu pasti dari orang-orang membencinya. Airin menunduk. Dilihatnya satu gumpalan kertas yang setengah terbuka memuat satu gambar kupu-kupu.
Hey, itu kupu-kupu yang pernah dia gambar di lengan Adly.
Mimpi yang singkat, tapi bisa-bisanya menghabisi separuh malamnya. Airin terbangun dengan perasaan yang tidak karuan. Dari sekian banyak hal yang bisa dia mimpikan, kenapa dia malah memimpikan kupu-kupu di lengan Adly yang penuh bekas luka? Oh tidak! Airin jadi kepikiran.
"Sweetie, ayo bangun. Nanti telat lagi lho ke sekolahnya," tegur Arista setelah mengetuk pintu kamar Airin.
Gadis yang melamun itu hanya berdehem. Tak mau berlama-lama memikirkan mimpi itu karena takut apa yang dia pikir jadi kenyataan. Mana lagi menghubungkan sikap Adly yang tak pernah aktif sosial media lagi. Ini aneh. Dia harus segera ke sekolah, memastikan kalau Adly baik-baik saja.
Airin pun melakukan semua dengan cepat; mandi, menggunakan seragam sekolah, mengikat setengah rambutnya dan bergegas sarapan. Dia bahkan tak banyak mengeluarkan suara di meja makan membuat Jean dan Arista kesekian kalinya khawatir kenapa anaknya hanya diam saja.
"Belajarnya sampe larut lagi ya, sweetie?" tanya Arista.
"Iya. Hari ini ada ulangan harian," jawab Airin.
"Adly nggak belajar di rumah lagi, ya?" tanya Jean.
Kali ini Airin yang melirik orang tuanya bergantian. Dia semakin merasa bersalah mengingat lelaki itu. Seharusnya mereka memang belajar bersama, dengan begitu Airin tak perlu khawatir dan membuat mereka jauh satu sama lain-yang ujung-ujungnya menjadikannya kesal sendiri.
Atau harusnya gue nggak ambil tantangan Kepala Sekolah itu.
"Ugh-iya. Airin lagi pengen belajar sendiri," jawab Airin dengan tampang bersalah.
"Kamu sama Adly nggak ada masalah kan?" tanya Jean lagi, pelan.
Airin terdiam. Bingung menjelaskannya karena mereka memang tak ada masalah serius. Hanya saja, akhir-akhir ini jadi agak asing satu sama lain.
"Bukannya Papa sama Mama mau ikut campur, tapi kadang kamu juga butuh cerita kalau ada masalah, Airin. Siapa tahu Papa sama Mama bisa ngasih solusi," ujar Arista sambil tersenyum.
Benar juga. Lagi pula, orang tuanya ini sudah menjalani hubungan yang lama. Tak ada salahnya minta pendapat atau sekedar didengarkan mereka. Airin juga tak mau membuat mereka terlalu khawatir karena ketiadaan Adly di rumah ini.
Airin pun mengembuskan napas panjang dan mulai bertanya, "Ma, Pa, salah ya kalau Airin mau belajar sendiri karena nggak mau dianggap bergantung sama Adly?"
Dua orang dewasa itu bersitatap lagi, mengernyit bingung.
"Ya ... nggak salah kok. Tapi emang siapa yang mikir Airin bergantung sama Adly?" sahut Jean.
"Ng-nggak ada sih. Kan Airin ada diposisi sekarang juga karena Adly. Dari peringkat sampai bisa dapetin medali emas juga karena belajar bareng. Makanya Airin belum mau belajar bareng karena mau lihat kemampuan Airin tanpa dia gimana. Trus ... tanpa bantuan Adly, Airin bisa nggak geserin posisi dia di peringkat satu. Kemarin Airin mikirnya gitu. Maaf, ya."
Arista dan Jean mulai kelimpungan mendengarnya. Gawat! Anak mereka sudah didoktrin energi negatif.
Arista terkekeh canggung. Menjawab dengan pelan.
"Sweetie, kamu udah lihat dari sisi Adly-nya belum? Sebenarnya nggak apa-apa kok kalau Airin ada keinginan di peringkat satu. Tapi kalau persaingannya malah bikin hubungan kalian jadi nggak baik, gimana? Adly udah banyak bantuin kamu, sayang. Kalau ujung-ujungnya Airin anggap Adly saingan, sama aja Airin khianatin dia. Kan Airin juga tahu kenapa Adly bertahan di peringkat satu."
Airin terdiam lagi, memikirkan semuanya dengan matang. Semakin dipikir, dia semakin merasa bersalah. Dia jelas tahu kenapa Adly mati-matian berada di peringkat satu. Dia sering berkata kalau Adly tak pernah mempedulikan apa pun selain ambisinya, lantas bedanya dengan Airin apa? Dia juga hanya memikirkan pendapat orang tentangnya yang terlalu sering bergantung dengan Adly dan berujung mau bersaing dengan orang yang berjasa dalam jalannya otak cemerlangnya itu.
Airin hanya tersenyum tipis sebagai jawaban atas nasihat Arista dan Jean. Untung saja dia menceritakan ini pada orang tuanya, jadi dia bisa tersadarkan dari aksi bodoh yang akan dia lakukan nanti. Dia kembali merutuki diri sendiri, coba saja dia tidak melakukan hal bodoh ini pasti dia dan Adly bisa belajar bersama. Ah, lupakan. Hal yang harus dia lakukan selanjutnya adalah bergegas ke sekolah dan memastikan Adly baik-baik saja.
Airin berangkat lebih pagi dari biasanya. Itu juga karena dia tahu, Adly selalu datang pagi. Airin ingin bertemu dan melakukan konversasi yang panjang sebelum jam pelajaran di mulai agar mereka tak perlu menjadi asing lagi seperti kemarin-kemarin. Sayangnya lelaki itu belum datang.
Airin menunggu di kelas sembari menyorotkan pandangan ke pintu. Berharap wajah Adly yang muncul di sana. Mulai dari tebakan lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit, hingga sejam lelaki itu belum juga tampak.
Duh, kok dia belum datang juga sih. Jangan-jangan dia sakit lagi trus nggak sekolah? Tapi nggak mungkin. Hari ini kan ulangan harian logika. Tapi kalau bener sakit gimana?
Airin cemas melihat keadaan sekolah yang ramai. Sesekali melirik arlojinya. Lima menit lagi jam belajar akan di mulai.
Lima menit yang ditunggu pun tiba. Bel pelajaran pertama berbunyi. Airin melengos pasrah dan bergerutu sendiri kalau setelah ini dia takkan ragu menghubungi Adly duluan dan menanyakan apakah cowok itu baik-baik saja. Kesal sendiri karena mengkhawatirkan hal-hal yang tak pasti. Hingga ketika Pak Willy masuk kelas, mereka semua ikut melirik karena guru itu datang bersamaan dengan Adly.
Airin baru bisa bernapas lega. Syukurlah dia datang juga!
Adly datang tanpa melirik siapa pun di kelas. Duduk seperti biasa dengan muka datarnya dan menunggu arahan Pak Will. Airin sedikit kesal menyadarinya, tapi tak ada waktu untuk itu. Pak Willy sudah memberi arahan pada mereka mengerjakan soal. Ulangan harian matematika di mulai.
Walaupun mengerjakannya dengan teliti, sesekali Airin melihat Adly yang duduk di depan. Lelaki itu kelihatan sekali fokus mengerjakan soal. Airin jadi ingat setiap mereka belajar bersama, Adly selalu memberi peringatan begini; "Sebelum soal lo selesai, jangan pernah lirik orang lain. Jangan pernah penasaran apa yang orang lain lakuin. Fokus soal lo sendiri." Tapi yang ini tidak bisa. Pandangan Airin selalu tertuju ke depan.
Ini memalukan, tapi Airin baru kali ini merasa ingin terus melihat cowok itu.
Airin menggelengkan kepala. Kalau begini terus dia malah kehilangan banyak waktu. Dia harus segera menyelesaikan soal dan bicara dengan Adly setelah semua selesai.
◽
Rencana Airin yang ingin bicara dengan Adly tak terealisasikan dengan baik. Soalnya cowok itu menghilang di lima menit sebelum jam istirahat dengan alasan ke toilet. Airin menunggu di kelas karena tak mau ketinggalan eksistensinya, tapi ada pemberitahuan bahwa ranking ulangan harian akan keluar di display.
Ah, menyebalkan. Sebagian siswa pasti sudah berkumpul di sana karena penasaran urutan peringkatnya. Airin sebenarnya sudah tak terlalu peduli dengan peringkat itu karena yakin seratus persen kehadirannya hanya akan dicemooh orang-orang. Jadi dia hanya menunggu di kelas, menyimak perankingan lewat siaran di ponselnya.
7. Marlen Giannoka
6. Jessy De Sevenor
5. Prity
4. Leonardo Alisatya
Airin sudah menduga kalau nama-nama itu sama seperti peringkat biasanya. Tak ada yang berubah karena sudah seharusnya seperti itu, bukan?
3. Aurelie Sevenor
2. Adly Nirlangga
1. Airin Clark
Tidak. Yang ini sih sudah di luar dugaannya. Masuk akal pun tidak sama sekali. Bagaimana mungkin cowok itu benar-benar ada diurutan kedua seperti rencananya kemarin?
Airin membesarkan netra dengan mulut setengah menganga. Ada yang salah dengan perankingan itu. Ya, pasti ada yang salah dengan hasil perankingan itu. Tanpa ba-bi-bu, Airin berlari keluar kelas. Samar-samar mendengar Jessy berteriak memanggilnya, tapi Airin mengabaikan gadis itu. Dia bahkan mengabaikan pandangan orang-orang yang mulai berbisik membicarakannya lagi. Yang ada dipikirannya hanyalah menemui Pak Willy sebelum Adly yang melihat rankingnya. Airin tak mau cowok itu nanti salah paham.
Tepat sekali, guru itu baru keluar dari ruangan Kepala Sekolah sambil menenteng berkas. Sedikit heran melihat Airin yang sudah ngos-ngosan mendatanginya begini. "Ada perlu apa, Airin?"
Airin masih berusaha menetralkan napas sambil memegang perut.
"Kamu sudah lihat ranking yang keluar?"
Airin mengangguk, "Pak, saya-saya boleh lihat semua hasil ulangan hariannya, nggak?"
Pak Willy mengernyit. "Untuk apa?"
"Pak, kok bisa saya yang ada di ranking satu? Ranking satu harusnya kan Adly, pak. Bapak pasti salah meriksa jawabannya ya? Atau salah input nilainya di sistem? Atau ... Bapak kurang teliti kali."
Mendengar itu, Pak Willy tersenyum. Dia pun memperlihatkan lembar penilaian ke arah Airin. "Nggak ada yang salah kok. Kamu memang peringkat satu di ulangan harian ini. Selisih skor per-poin kamu sama Adly banding 0.5, Adly juga nggak salah. Kamu cuma jawab dengan pengerjaan yang lebih tepat dibanding Adly."
Airin membandingkan hasil jawabannya dengan Adly.
Benar kalau antara jawaban mereka tak ada yang salah. Benar-benar hanya banding 0.5 di mana Airin menulis turunan label pada soal logika sementara Adly tak menulisnya. Seperti sengaja dilakukan, padahal kan Adly tahu kalau setiap pengerjaan dan bentuk turunan pasti dihitung jadi poin dalam ulangan harian.
"Gimana, Airin?" tanya Pak Willy lagi.
Airin pun menyerahkan kembali berkas itu dan berpamitan. Meninggalkan Pak Willy yang heran dengan tingkahnya, tapi mewajarkannya. Mungkin saja gadis itu kaget kan karena berhasil menggeser posisi Adly?
Airin kembali lari-lari keliling sekolah, menunggu di toilet cowok. Ada satu siswa yang keluar dari sana membuat Airin bertanya akan kehadiran Adly dan cowok itu menggelengkan kepala. Adly tidak di toilet.
Airin pun memutar langkah, berlari ke perpustakaan. Cowok itu pasti di sana.
Nihil. Dia juga tidak di perpus.
Airin geram sendiri. Di kelas tak ada, toilet, perpus juga sama. Di mana sebenarnya cowok itu?
Mini market, tempat itu terlintas begitu saja. Airin yakin Adly di sana karena itu tempat pilihan yang akan Adly kunjungi di jam istirahat untuk beli sekotak susu cokelat. Dan tepat sekali, Adly baru keluar dari sana.
Ini dia saatnya.
"Adly!" panggil Airin, tak peduli dengan napas yang terengah. Adly meliriknya. "Gue mau bicara. Sekarang."
Adly tak menjawab, seolah menyilakan Airin bicara. Gadis itu mengamati sekitar, terlalu ramai.
"Nggak di sini. Di rooftop aja," lanjut Airin lagi.
Adly pun mengangguk. Menyilakan Airin jalan terlebih dulu dan gadis itu mulai melangkah. Jam istirahat mereka tinggal sedikit, dia harus memanfaatkan waktu dengan baik.
Selama perjalanan menuju rooftop menggunakan lift, mereka hanya diam-diaman. Benar-benar canggung. Padahal Airin sudah punya banyak kata dan pertanyaan yang ingin di lontarkan.
Tapi, kenapa dia juga cuma diam? Apa jangan-jangan dia marah? Airin bergelut dengan batinnya.
Ketika sampai di rooftop, Airin jadi deg-degan. Tiba-tiba tak tahu harus mulai dari mana.
"Di sini udah nggak rame," ucap Adly, pada akhirnya.
Airin menghentikan langkah. Menarik-embuskan napasnya sembari meyakinkan diri memulai pembicaraan. Tak boleh mengulur waktu karena dia tak mau menyesal lagi.
"Lo sengaja ya-nggak ambil poin di ulangan harian?" tanya Airin sambil membalikkan tubuh. "Lo nggak sepelupa itu. Gue tahu."
Adly menatapnya datar. "Lo peringkat pertama, kan? Selamat."
"Lo kenapa sih? Gue nggak minta diselamatin, ya. Peringkat lo tuh lagi turun, tahu? Lo belajar nggak sih?"
Adly tampak mendengkus. "Bukannya itu tantangan Kepala Sekolah buat lo? Geserin peringkat gue. Sekarang udah kan?"
Airin mengernyit, tak menyangka Adly sudah mengetahuinya dan malah sengaja membiarkan peringkatnya digeser begitu saja.
"Oke, lo tahu soal itu trus lo sengaja jadi peringkat dua gitu? Biar apa? Gue juga nggak butuh jadi peringkat pertama kalau cara lo gitu, tahu!"
"Tapi nyatanya lo mau jadi peringkat pertama. Lagian itu juga keinginan lo dari dulu kan, ingat nggak?" balas Adly.
Airin mendelik kesal, benar-benar tak bisa membaca pikiran Adly.
"Waktu Kepala Sekolah ngadain test di depan umum, lo tahu kan kita tuh mau dijadiin rival? Lo kayaknya serius ya mau kita dijadiin rival beneran di sekolah? Kalau dulu gue pengen geserin lo, itu dulu dan itu selalu mustahil. Tapi lo tahu sekarang? Sekalipun nggak mustahil, gue bukan saingan lo, Adly!" seru Airin. "Gue nggak jadi ambil tantangan Kepala Sekolah, asal lo tahu aja. Gue juga nggak niat geserin peringkat lo. Gue nggak mau jadi saingan lo!"
Perlahan, Adly melangkah mendekati Airin membuat gadis yang masih mengeluarkan kekesalan itu tertegun.
"Lo tahu nggak, gue nggak pernah nganggap siapa pun saingan? Mau itu Aurelie. Gue nggak pernah anggap dia saingan. Lo tahu kenapa?" tanya Adly, suaranya pelan tapi mengintimidasi. "Dia masih jauh dari kata itu. Gue nggak pernah biarin siapa pun ada di peringkat satu selama gue ada di urutan itu. Dari dulu."
Airin mengerjap ketika Adly semakin dekat.
"Tapi gue biarin lo di peringkat satu. Gue nggak peduli Kepala Sekolah jadiin kita saingan. Kenapa? Karena gue cuma mau lo yang bisa disandingin sama gue di manapun itu. Gue biarin lo bisa capai posisi gue, dengan atau nggaknya bantuan gue. Dan kalau orang-orang tanya apa lo bisa jadi saingan gue? Lo bakal selalu pantas untuk itu."
Airin berubah jadi patung dadakan mendengarnya. Apa yang Adly lakukan? Jadi selama ini Adly tak masalah kalau mereka jadi rival karena Adly mau mereka setara. Airin ingat itu, kalau Adly tak pernah menganggap Aurelie saingannya padahal orang-orang di luar sana melabeli Adly si nomor satu dan Aurelie si nomor dua. Ternyata Adly tak pernah mau disandingkan dengan Aurelie. Se-arogan itu karena tak mau ada yang pantas mencapai posisinya.
Sampai dia bertemu Airin.
"Jadi jangan pernah keluar dari posisi itu, Airin. Gue nggak mau siapa pun, selain lo."
Airin merasa sedikit mencair dengan ucapan Adly barusan. Ya, dia baru saja meminta Airin agar tidak keluar dari posisi itu; menjadi saingan agar mereka selalu bisa disandingkan di manapun. Rasanya seperti ... Adly mau setiap namanya disebut, mereka juga mengingat Airin sebagai saingan yang pantas disejajarkan. Adly yang terlalu kaku untuk sekedar persaingan, ternyata tidak setelah bertemu Airin.
Dan Airin merasa terharu karenanya.
"Ta-tapi gue-gue nggak mau lo nurunin peringkat lo kayak gitu. Gue juga nggak mau jadi saingan lo. Gue nggak mau lo diurutan kedua. Lo kan-selama ini belajar buat peringkat itu ...," ucap Airin, terbata. Dia setengah menunduk, tak berani lagi melihat Adly.
"Trus lo belajar buat apa? Semua orang belajar buat peringkat kali," balas Adly. "Gue dapat peringkat juga ada alasannya dulu. Sekarang alasannya apa lagi? Nggak ada."
Ah, lelaki itu secara tak langsung juga menyinggung masalahnya dengan Reno. Alasan kenapa dia selama ini belajar dan mendapatkan peringkat kan hanya demi Papanya. Sekarang dia malah seperti kehilangan arah, tak tahu kenapa harus mendapatkan peringkat. Dia bisa dengan mudah menurunkan peringkatnya, tapi juga bisa mempertahankan kalau dia mau.
Dia bebas dengan apa yang dia lakukan sekarang.
"Bentar lagi masuk. Lo belum ke kantin kan? Jangan ngabisin waktu di sini," tukasnya lagi, berniat mengakhiri.
Airin mengangkat wajah, melihat Adly yang bersiap pergi.
"Gue belum selesai ngomong!" seru Airin. Ya, masih ada lagi yang ingin dia selesaikan. "Lo ke psikiater kan?"
Deg!
Adly terperangah menatapnya. Ah, dia memang tak memberitahu Airin soal itu. Pernah ada niatan mengatakan itu sewaktu mereka di bandara, tapi entah kenapa dia malah beralih membahas IPhO dengan alasan sudah mengirimkan soal yang harus Airin kerjakan di pesawat.
"Lo tahu dari mana?" tanya Adly.
"Fahren yang bilang." Kali ini Airin yang mendekati Adly. "Fahren cerita semua, mulai dari lihat badan lo yang penuh bekas luka sampe nggak sengaja baca chat psikiater lo yang nggak pernah lo balas itu."
Akhirnya Airin berhasil mengeluarkan apa yang dia pendam selama di Jepang. Ketika Fahren memberitahu Airin tentang Adly saat mereka pulang dari jalan-jalan musim semi.
"Kayaknya ada yang mau gue sampein deh, sebelum kita pisah dan jadi asing," ucap Fahren, di bawah pohon sakura. (*)
"Apa?" tanya Airin.
"Dari reaksi lo tadi, lo kayaknya pacaran ya sama Adly?" tanya Fahren.
Airin ngeblush, agak malu membenarkannya. Soalnya Fahren mengatakan mereka tidak cocok sebelumnya. Tapi pada akhirnya dia mengangguk.
"Udah gue duga." Fahren tersenyum. "Tapi lo tahu nggak sesuatu soal Adly?"
Fahren mulai bercerita keanehan yang dia temukan ketika Adly selesai mandi-punggung cowok itu ada bekas luka. Lengannya juga. Bekas luka yang membuat Fahren dan Anton selalu bersitatap dan ngeri setiap saat. Apa lagi sebelumnya mereka tak sengaja melihat pesan masuk di bar notifikasi Adly, pesan-pesan dari Dokter Elegi-ahli jiwa. Fahren tahu itu karena Dokter Elegi ternyata keluarganya juga.
Sejujurnya cerita itu membuat Airin sangat terkejut.
Adly tak pernah cerita apa-apa padanya. Airin bingung kenapa lelaki itu tak mau menceritakannya, padahal Airin selalu bilang jangan sungkan menceritakannya agar Adly tidak merasa sendiri. Belakangan Airin mengeluarkan pertanyaan begini: "Nggak ada yang mau lo omongin?" Berharap Adly mau menceritakan setidaknya apa yang dia rasakan pasca sidang cerai orang tuanya, tapi Adly justru menyembunyikannya.
"Kenapa sih nggak pernah cerita? Gue selalu khawatirin lo tahu nggak. Lo pikir nggak capek apa diam-diam khawatirin lo dan ngarep lo mau sedikit terbuka? Sekalinya cerita juga gue harus tahunya dari orang lain dulu!"
Adly diam. Matanya mengerjap dengan pandangan sayu.
"Lo kenapa sih selalu merasa bisa nyelesain masalah lo sendiri dan menjauh dari orang-orang? Lo tahu nggak sekhawatir apa gue kalau lo nggak ada kabar? Lo pikir waktu itu gue berani datang ke rumah lo karena mau belajar? Nggak! Gue cuma bikin alasan belajar buat mastiin lo baik-baik aja karena lo nggak sekolah dan nggak pernah hubungin gue. Sekarang aja lo nggak pernah chat gue lagi. Gue harus mastiin badan lo nggak ada bekas lukanya! Gue harus mastiin lo nggak ada niatan mau bunuh diri! Gue kesel tahu harus khawatirin lo dan lo cuma cuek aja!"
"Hari itu pas kita berantem, gue nungguin lo ngechat tapi nggak ada! Lo bilang kita mau lihat bunga sakura kalau olimpiade selesai, tapi mana?" Airin tak sadar dia mengeluarkan isi hatinya dengan mata yang berkaca-kaca.
Airin pun mengusap matanya yang basah, tak mau kelihatan menangis di depan lelaki itu. "Ah, lupain. Gue nggak terlalu peduli soal bunga sakura itu. Tapi bisa nggak sih lo jangan rese kayak gini lagi? Lo sebenarnya anggap gue apa sih? Kadang gue mikir lo nggak pernah peduli siapa pun, sama gue atau sama diri lo sendiri! Lo tuh cuma peduli belajar, belajar dan belajar! Gue tahu itu penting, tapi lo kan juga butuh-"
Airin tak melanjutkan ucapannya lagi karena dia mendadak terkejut. Adly baru saja meraihnya ke dalam pelukan. Sepertinya itu memang cara ampuh untuk mendiamkan Airin yang kelebihan energi memarahinya sejak tadi. Dan benar saja, Airin tiba-tiba jadi kalem.
Airin bisa merasakannya; detak jantung Adly yang cepat, aroma parfumnya serta telapak tangannya yang hangat. Suhu tubuh lelaki itu memang selalu hangat, persis seperti yang Airin rasakan waktu ke rumahnya.
"Iya, gue datang ke psikiater. Kemarin relapse juga dibawa ke sana dan belum lanjut periksa karena gue nggak mau," lirih Adly, disela-sela pelukan mereka. "Gue takut didiagnosa. Belum siap aja. Tapi kalau nanti ada apa-apa sama gue, lo masih mau nemenin gue kan?"
Pertanyaan apa itu? Airin berdesis. Bisa-bisanya setelah amarah panjang lebar tadi, dia masih bertanya. Menyebalkan.
Airin mengerucutkan bibirnya.
"Iya! Gue bakal selalu nemenin lo, tahu!" seru Airin, dia balas memeluk Adly. Tak terasa matanya kembali berkaca-kaca.
Mendengar itu Adly pun tersenyum tipis, mengusap pelan rambut Airin. "Sorry for everything, Airin."
◽ TO BE CONTINUED ◽
...
seperti biasa kepanjangan. semoga ga capek bacanya. anggap aja stok sebulan wkwk 😋
btw serangan panik itu ga enak bgt ya guys. kejadian Adly di atas pernah aku alami, jadi aku nulis berdasarkan pengalaman bukan ngasal nulis (suka syedih kl ada yg blg nulis 'mental issue' tuh agak cringe. maaf ya) mungkin juga diantara kalian ada yg punya pengalaman yg sama. Sending hug 👥
besides that, udah tau kan sebucin apa si manusia ambis itu sama Airin kita? 😼
ohya tanda (*) juga jawaban ttg apa yang Fahren omongin ke Airin di part 25 kemarin ya. hayo siapa yang ngira Fahren lagi nyatain cinta dan jadi perusak hubungan?😆
jangan lupa vote. see u next chapt!
...
chapt 31; ?
coming soon! ⭐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro