TEAM: 24: NOW OR NEVER
HAPPY READING
...
Open ceremony berlangsung meriah di Tokyo, disambut antusias oleh partisipan sebanyak 500 siswa dari negara yang beragam. Airin, Adly, Fahren, Yoana dan Antonius duduk dengan tenang menyimak pembukaan acara, pidato inspiratif, pentas seni sebagai hiburan serta mengikuti arahan untuk melakukan ikrar sebagai bentuk hormat dan bersikap adil di olimpiade nanti. Terakhir, mereka dibuat terkesima setelah obor olimpiade dinyalakan. Menandakan bahwa olimpiade resmi dibuka.
Mereka akan menghabiskan waktu di hotel selama kurang dari lima hari. Tes eksperimen akan dilaksanakan besok, sedangkan tes teori akan dilaksanakan dua hari setelahnya. Mereka diberi kesempatan istirahat setelah menghadiri open ceremony, jadi setelahnya mereka meminjam ruangan di stadium untuk evaluasi dan menuju hotel.
"Ini udah jam makan siang. Pak Hendry nyuruh kita ke restoran bufet di lantai satu," ucap Fahren.
"Nggak kerasa ya, perasaan kita baru aja kekenyangan sarapan tadi," seloroh Yoana.
"Gizi kita bakal dijamin aman kalau masa-masa olimpiade gini. Jadi jangan disia-siain," Antonius menyahut. Dan disetujui oleh Airin.
Bagaimana tidak? Pukul tujuh mereka mengawali sarapan dengan baik. Bukannya picky soal makanan, tapi sungguh makanan di hotel yang mereka tempati sangat enak membuat mereka semangat kalau harus tambah lagi. Apa lagi Airin yang doyan makan. Belum lagi selama open ceremony mereka dijamu dengan makanan ringan membuat mereka lumayan kekenyangan. Tapi kalau harus memulai lagi di jam makan siang, tak ada yang akan menolaknya.
Mereka dalam perjalanan menuju hotel menumpangi microbus. Sedikit bercengkrama mengenai upacara pembukaan yang menakjubkan tadi, lalu tiba-tiba saja Yoana menunjuk microbus yang ada di depan.
"Itu microbus dari kontingen Turki kan?" tanya Yoana, menunjuk beberapa siswa yang duduk tak jauh dari tempat mereka.
"Iya. Eh, tadi dengar nggak dari pembimbing kalau Turki ngirim peserta tahun kemarin di IPhO," jawab Antonius. "Mereka nggak keluar dari zona nyaman, ya."
"Loh, bagus dong kalau masih ngirim peserta di tahun kemarin. Pengalaman sama pengetahuannya bisa jadi bekal ke SAT," balas Yoana.
"Betul juga. Tapi kalau mau antisipasi, kalian harus segan sama China sih. Statistiknya yang paling tinggi di medali emas. Mereka yang paling siap kalau olimpiade begini." Fahren menyahut.
Airin yang tadinya ikut interaksi kecil-kecilan sekarang hanya diam mendengarkan obrolan mereka. Biasanya gadis itu suka asal ngomong kalau mereka bertiga sudah bicara, ya maklum Airin suka menggunakan mode sok akrabnya pada orang yang baru dikenal agar tak terkesan canggung. Tapi yang ini Airin tak tahu harus ikut nimbrung di bagian mana. Dia kan tidak tahu soal orang-orang pintar di luar sana, data statistik peserta olimpiade pun dia acuh tak acuh, jadi dia ganti jadi pendengar. Sedangkan Adly yang duduk di belakang juga tak tertarik nimbrung, dia malah sibuk membaca buku.
Bahkan setelah topik beralih pun, Airin masih tetap jadi pendengar.
"Eh, lihat deh itu hologram 3D yang gerak semalam ...," tunjuk Fahren.
Mereka semua melihat keluar jendela. Ada layar raksasa di persimpangan toko yang menampilkan animasi seekor kucing berjalan. Lalu, beberapa saat kemudian kucing itu meloncat seolah-olah keluar dari layar membuat mereka yang ada di microbus berdecak kagum. Persis seperti orang primitif. Terlebih Airin, si cat lovers yang berandai-andai kalau dia membawa Aishiteru, kucingnya akan sangat senang.
"Nggak kelihatan kayak animasi ya, malah kayak kucing hidup yang direkam," ucap Yoana.
Airin meliriknya. "Emang itu bukan kucing beneran?"
"Nggak, Rin. Hologram 3D pakenya psikofisika, itu ilusi optik," jawab Yoana.
Ya, Airin juga sebenarnya tahu kalau hal-hal seperti itu serupa dengan fiksi yang sering ia lihat. Ilusi. Tapi berhubung dia sedari tadi jadi pendengar dan ingin juga ikut nimbrung bicara, makanya pertanyaan aneh itu keluar. Fahren juga langsung menyambung.
"Jarang ada buku yang jelasinnya sih, tapi gambar begitu bisa dianalisis pake perspektif subjektif yang berbanding lurus dengan algoritma intensitas ...,"
Sebentar, Airin yang sudah excited dibawa masuk ke obrolan lagi jadi ngelag. Kenapa tiba-tiba bahasannya belok lagi ke hal-hal yang tidak dia ketahui? Gadis itu agak mengerucutkan bibir.
"Perspektif Weber-Fechner, ya? I prefer Stevens karena dia pakai eksponen kekuatan diperhitungannya ...," Antonius meyahut.
Buset, ini apa lagi coba? Airin mengerutkan kening. Dia belajar intensitas cahaya, tapi tak sampai ke sana, maksud Airin—bisakah mereka membahas hal-hal yang normal saja?
"Sama aja. Stevens versi rumitnya, Fechner versi ringkasnya. Fechner fokus sama intensitas cahaya dan Stevens punya banyak faktor dibanding cuma hitung algoritma intensitas ...," Fahren tak mau kalah.
Sekarang mereka malah berdebat.
"Nah, itu point bedanya. Stevens bahas banyak faktor dan kerangka kerja hologram yang lebih akurat. Dibanding cuma bahas algoritma intensitas pengamat, teorinya bisa lihat fungsi kuadrat, eksponen, blablabla ...,"
"Setuju." Yoana menambahkan.
Dan Airin yang lagi-lagi hanya jadi pendengar pun mulai membatin, ini apa gue ikut nimbrung kayak Yoana yang tinggal bilang setuju juga apa nggak, ya? tapi setuju ma siapa coba? Fahren apa Anton? Mana gue nggak ngerti lagi mereka bahas apaan. Perkara hologram doang sampe beda persepsi, padahal kan sama aja. Intinya hologram itu fiksi. Tapi kalau gue bilang setuju, gimana kalau mereka nanya setuju ma siapa dan mereka minta pendapat gue ...
"Menurut gue mau pake teori Stevens atau Fechner itu bakal sama aja. Titik pangkalnya ya tetep aja perspektif subjektif stimulus hologram 3D yang kayak tadi ...," Fahren tersenyum, dia membalikkan tubuh ke belakang melirik Adly yang masih sibuk dalam bacaannya.
Sejak awal, cowok itu tak pernah ada niatan gabung dalam obrolan, tapi Fahren yakin dia mendengar mereka dalam diamnya. "Kalau menurut lo gimana, Adly?"
Airin yang sedang adu batin ikut heran karena Fahren tiba-tiba membawa Adly dalam obrolan mereka. Airin ikut menoleh ke belakang, dilihatnya Adly sudah memalingkan pandangan dari buku dan bersiap unjuk persepektif di sini.
Benar saja.
"Stevans nggak bisa dibilang rumit dan Fechner nggak bisa dibilang ringkas. Lo bisa bilang gitu karena cuma lihat rumus perhitungan aja. Fechner bisa nyambung ke prinsip just noticeable difference. Banyak buku psikologi yang bahas itu dan lebih rumit dari sekedar perhitungan. Dan sebenarnya kalau mau bahas faktor lebih kompleks dan menarik daripada Stevans atau Fechner, gue bakal naruh Lambert diurutan pertama," jawab Adly. "Lebih dari sekedar rumus perhitungan yang dasar."
Rumus perhitungan dasar. Dasar katanya. Airin tak menyangka kalau selama perdebatan tadi, Adly malah menganggap mereka hanya membahas perhitungan dasar padahal Airin saja tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Hey, itu bukan pembahasan biasa!
Sebentar, Airin tersadar satu hal. Dia mulai membayangkan situasi ini. Airin seperti berada di rapat para peneliti yang sedang merancang hologram 3D dan memastikan teori apa yang lebih baik digunakan. Kalian bisa menebak situasinya? Benar sekali! Dia berada di antara orang-orang pintar.
Airin tersenyum. Dia malah bangga sendiri. Dibandingkan mereka, Airin merasa dirinya 2x lebih jenius karena bisa menggambarkan situasi itu dalam otaknya yang luar biasa itu. Cuma Airin yang bisa melakukannya dan berkhayal hal-hal seperti itu, bukan?
Di luar dugaan, pada Fahren dan Antonius yang bersitatap seolah mengakhiri perdebatan dan setuju dengan Adly, serta Yoana yang membatin lagi-lagi Adly hanya bicara kalau penting ... ada Airin yang tiba-tiba tepuk tangan heboh dengan cengiran lebar membuat perhatian teralihkan ke arahnya.
"Kita semua ... keren, ya?" tanya Airin, terlampau gembira.
"Eh?" Mereka semua kebingungan. Kecuali Adly.
◽
Airin mengoleskan pelembap wajah di depan cermin. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam dan dia bersiap untuk tidur. Ya, sebenarnya Airin sudah berjanji akan tidur cepat malam ini karena ia harus mengerjakan tes besok dengan keadaan yang segar dan bersih dari segala ngantukan. Tapi karena Jean menghubunginya hingga menyita waktu berjam-jam, jadinya dia meladeni dan baru mengakhirinya lima menit yang lalu.
"Jadi, lo sama Adly itu dekat, ya?" tanya Yoana, tiba-tiba.
Gadis itu juga belum tidur. Tentu saja karena ikut ngobrol dengan Jean dan Arista karena Airin memperkenalkannya. Diam-diam, Yoana juga mendengar Jean menanyakan keadaan Adly yang membuat Airin tampak salah tingkah.
Airin meliriknya beberapa saat, lalu mengembuskan napas panjang.
"Ya ... gitu," jawab Airin.
"Maksud lo dekatnya pedekate atau dijodohin atau ...,"
"Ya ... deket," jawab Airin. Sejujurnya juga tidak yakin ingin mengatakannya, tapi gadis itu agak malu kalau harus bilang pacaran.
Yoana masih menganalisis, "Dekatnya berapa lama? Udah dari sebelum berita tentang dia?"
Airin mengernyit. Ah, tentu saja. Setiap orang yang membicarakan Adly pasti tak jauh-jauh dari berita keluarganya yang sedang on going di Indonesia saat ini.
"Oh itu ... ya, kayaknya gitu."
Yoana berdecak, "Kok lo jawabnya nggak pasti-pasti sih?"
Mendengar itu, Airin pun menghampiri Yoana dan duduk di sebelah gadis itu. "Emang gue sama dia kelihatan kayak nggak dekat, ya?"
Yoana memasang raut berpikir, "Ya selama kita ikut pelatihan sih nggak. Tapi gue sadar di bandara interaksi kalian kayak dekat. Kayak pacaran, tapi nggak pacaran. Pedekate sih iya, kelihatan."
Airin mencerna penjelasan itu dengan kening yang menyatu, "Emang orang pacaran tuh kelihatannya gimana?"
"Ya selayaknya orang pacaran lah. Tergantung kalau love language dia apa, kalau phsyical touch, dia nggak ragu megang tangan lo di depan umum. Kalau word affirmation, dia pasti bakal banyak ngomong ke lo dan kalian pasti punya panggilan sayang satu sama lain. Ya, intinya normalnya orang pacaran tuh bakal kelihatan banget, bahkan kalau kalian backstreet."
Airin hanya diam setelahnya. Terserah dengan istilah-istilah love language yang sering digunakan orang-orang sekarang, tapi Airin juga terkadang merasa sebagai pacar, dia belum sedekat dan selayaknya orang yang pacaran. Kalau bersama, yang mereka lakukan hanyalah belajar, belajar dan belajar. Hubungan mereka hanya perkara belajar saja. Lagipula, mereka kan mengawali hubungan dengan ...
Mengingat kejadian beberapa bulan lalu membuat Airin merinding. Sial. Dia teringat first kiss itu. Airin pun menggelengkan kepala dan segera menarik selimut.
"Yuk, tidur. Besok kan kita harus fokus sama soal-soalnya," ucap Airin seketika.
Yoana yang merasa pembicaraan mereka belum selesai pun mengernyit heran. Tapi, Airin benar. Mereka harus tidur sekarang agar otak mereka dapat berfungsi dengan baik besok. Dia ikut meredupkan lampu dan menarik selimut.
Airin memejamkan mata. Berusaha menghalau ingatan masa lalu yang membuat pipinya merah dan jantungnya tersentil.
Tidur. Tidur. Harus tidur. Bunga sakura. Jepang. Hologram 3D. Kucing. Aishiteru. Besok olimpiade.
Deg!
Airin membuka kembali matanya. Ini lebih gawat lagi. Jantungnya berdebar bukan karena mengingat tentang Adly, tapi karena mengingat besok adalah hari yang dia takutkan sejak lama. Mengisi soal-soal fisika dan berjuang mendapatkan medali emas.
Airin akan senang memikirkan itu agar lebih fokus lagi, tapi semakin dia mengingatnya, dia malah semakin deg-degan.
Airin pun memejamkan kembali mata. Dia harus tidur.
Harus tidur. Bunga sakura. Besok tes eksperimen.
"Aish!" gerutu Airin. Dia membalikkan tubuh, melihat Yoana yang tampaknya sudah tidur pulas. Ya, Airin dapat menebaknya karena gadis itu sudah mendengkur. Cepat sekali gadis itu bisa tidur, sedangkan Airin masih dipermainkan otaknya sendiri. Dia pun dengan yakin memejamkan mata sekali lagi.
Tidur. Olimpiadenya besok.
Besok olim—
Airin geram. Kejadian itu terus berulang hingga jam menunjukkan pukul dua belas malam. Ini lebih sial lagi karena Airin sudah menghabiskan waktu dua jam memejamkan mata dan sia-sia. Gadis itu pun akhirnya menyerah, membiarkan matanya terjaga dan meraih ponsel.
Tak ada pilihan lain, dia membuka WhatsApp dan memilih kontak.
Airin:
Lo udh tidur?
Gue ga bs tidur nih
Tak sampai 2 menit, Adly membalas pesannya.
Adly Muka Tembok:
knp?
Airin:
Gue deg-degan. Kepikiran besok bakal kayak gmn ya?
Kali ini, Adly membalasnya lebih dari lima menit membuat Airin mengembuskan napas. Sepertinya lelaki itu sudah tidur.
Tidak, sampai akhirnya muncul notifikasi ...
Adly Muka Tembok:
keluar bntar
Airin agak bingung. Dia menimbang-nimbang sejenak dan melirik Yoana yang sudah pulas di samping, lalu akhirnya memutuskan keluar kamar dan menemukan Adly di pintu sebelah menunggunya.
"Mau ngapain?" tanya Airin. "Jangan bilang lo malah ngajak gue belajar lagi. Otak gue mana bisa ngerjain soal jam begini."
Adly tak menjawab. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan memberikannya pada Airin. Gantungan HP berbentuk jejak kaki kucing.
"Woah! Lucu banget!" seru Airin, setelah menerimanya. Gadis itu langsung ceria.
"Gue lihat tadi di mini market," ucap Adly. Sesuai dugaannya, mata gadis itu berbinar senang. Seperti biasanya.
"Ekhem ... thanks ya, bakal gue pake malam ini." Airin tersenyum. "Oh gue tahu nih, pasti lo sengaja ngasih malam ini biar gue kepikiran gantungan ini terus kan trus cepet tidur?"
"Kenapa juga nggak tidur?"
"Ya ... gue juga rencananya tidur jam sepuluh. Tapi kepikiran terus tahu," gerutu Airin. "Lo sendiri kenapa belum tidur juga jam begini?"
"Baru selesai belajar," jawab Adly.
Mendengarnya saja, Airin sudah merasa kelelahan. Bagaimana bisa di saat Airin berjuang untuk tidur agar tidak cemas memikirkan hari esok, ada makhluk di tempat lain yang memilih belajar sampai larut malam? Impresif.
"Lo aja yang pinter masih tetep kepikiran belajar, gimana gue yang malah tidur jam begini, ya?" Airin kembali bersura dengan bibir yang mengerucut.
Dibanding menanggapi pertanyaan itu, Adly malah balas bertanya. "Lo punya keinginan apa kalau olimpiade ini selesai?"
Airin menatapnya, mengerjap beberapa kali. Sepertinya menimbang-nimbang sesuatu hingga akhirnya menemukan ide.
"Besok katanya bunga sakura mekar lho. Tapi besok nggak mungkin bisa jalan-jalan full time lihat sakura soalnya besok lusa masih ada tes teori. Kan harus belajar. Trus setelah tes, gue mungkin bakal kepikiran pengumumannya. Trus habis pengumuman, kalau gue nggak dapat medali emasnya gimana? Gue pasti nggak bakal excited lihat bunga sakura. Mana waktu kita terbatas di Jepang ini. Padahal kan jarang-jarang bisa lihat sakura ...,"
"Daripada mikir hari pengumuman, mending pikir apa yang bakal lo lakuin setelah semua selesai." Adly memotong ucapannya sambil mengangkat kening. "Atau malam setelah pengumuman, lo pasti bakal tidur nyenyak. Alihin aja pikiran lo ke situ. Soalnya cepat atau lambat hari ini bakal lewat juga."
Airin mendengkus lesu, "Tapi, gimana kalau ternyata nggak? Gimana kalau gue nggak bawa pulang medali emas?"
Adly mengembuskan napas. "Lo pulang dari Jepang sebagai peserta olimpiade fisika internasional aja udah jadi standar kebanggaan orang tua lo. Lo boleh kasih standar medali emas, tapi masih ada penghargaan lain yang punya peluang besar. Nggak fair kalau setelah semua usaha lo, lo malah mikir gagal."
Semakin dipikir, benar juga. Olimpiade ini hanya tiga hari. Setelah pengumuman, dia pasti bisa tidur nyenyak dan menghadapi kehidupan normal tanpa embel-embel olimpiade. Lagipula kalau bukan medali emas, masih ada penghargaan lain seperti honorable mentions. Well, walaupun tak ada medali, tapi Airin masih berpeluang ke sana dengan semua usahanya selama ini.
Usahanya takkan mungkin sia-sia. Selama ini dia berjuang keras bukan untuk mencapai kegagalan, jadi Airin harus percaya dirinya sendiri.
Airin pun tersenyum, walaupun hatinya sedikit tersentil. "Ya, bener sih ...,"
"Jadi? Setelah olimpiade lo mau jalan-jalan lihat sakura?" tanya Adly, kembali ke topik.
Airin menatapnya dan mengangguk kecil, "Tapi, nggak bakal kesampean karena kita kan balik Indo-nya cep—"
"Bisa," ucap Adly. "Kalau olimpiade selesai, kita lihat sakura di luar."
"Beneran?" tanya Airin dengan cengiran lebar.
Adly mengangguk.
◽◽◽
Dalam hidupnya yang menyenangkan itu, Airin tak pernah sedikitpun kepikiran ikut olimpiade. Apa lagi jenis olimpiade dengan sejuta rumus seperti ini. Jangankan jadi peserta, mendengar orang-orang di luar sana ikut saja, dia tak tertarik. Dunia benar-benar tak dapat ditebak. Sekarang dia malah di hadapkan dengan lembar kerja dan alat-alat eksperimen.
Puluhan meja di aula terisolasi sehingga semua peserta dapat dipastikan sibuk dengan soalnya sendiri. Begitu juga dengan Airin. Dia yang biasanya suka penasaran melihat apa yang orang lain kerjakan atau sudah sampai mana mereka bertempur dengan soal, sekarang hanya bisa menatap lurus instrumen serta material yang ada di sana. Dia takkan membiarkan sedetikpun sia-sia. Dalam sisa memori dan pengetahuannya yang tak seberapa itu, dia mengerjakan soalnya.
Sejujurnya, Airin diserang rasa gugup ketika membaca soal. Dia sudah merapalkan berbagai doa dalam hati dengan kepercayaan diri yang timbul-tenggelam. Terserah dengan otak yang sepertinya sudah hangus menghitung hasil dari material yang di uji cobanya, dia harus menyelesaikannya sekarang.
Demi medali emas. Demi Papa dan Mama. Demi dirinya sendiri, sekarang atau tidak pernah.
◽ TO BE CONTINUED ◽
...
holla teammates!
nggak terasa ya udah sampai di tahap Airin ikut IPhO juga.
Tapi sebenarnya, IPhO yang asli itu seleksinya nggak semulus Airin Clark ya karena seleksinya banyak dan ketat. Maklum fiksi yang ini agak gimanaa gitu jadi kelihatan kayak menggampangkan olimpiade bergengsi 😹
Karena sejujurnya lewat Airin juga aku belajar dan semoga lewat Airin, teammates khususnya pelajar nggak menyerah buat terus belajar dan percaya diri 🥰
kira-kira Airin bakal dapat medali emas nggak, ya?
menurut kalian gimana?
....
chapt 25; ?
coming soon! ⭐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro