TEAM: 17: PROTECTOR
HAPPY READING
...
Sebenarnya, Arian sudah sering ikut acara-acara besar dengan para miliarder di luar negeri sejak kecil. Kalau dipikir kembali, sungguh, acara mereka tidak semembosankan itu. Seperti menghadiri turnamen golf tahun kemarin di Georgia, Amerika Serikat yang pesertanya didominasi miliarder muda atau pertemuan sebesar Forum Ekonomi Dunia yang di mana mereka sering membahas kolaborasi proyek dan topik global perekonomian lainnya, lalu mereka akan mengisi malam hari dengan perjamuan dan hiburan. Tentu saja setiap negara akan bergiliran menjadi tuan rumahnya.
Dan yang paling Arian suka adalah acara malamnya.
Arian punya beberapa kenalan dari anak-anak miliarder lain. Kebetulan mereka punya kisah hidup yang hampir serupa alias terpaksa ikut pertemuan ini demi orang tua mereka, soalnya orang tua mereka juga berpesan; kelak mereka yang akan meneruskan acara ini. Anehnya, Arian percaya hal itu.
Malam ini pula, sebelum perjamuan di mulai Arian sudah siap sedia di lounge, memainkan jemarinya di atas tuts piano. Not-not ciptaannya berhasil diabadikan dalam beberapa menit, memodifikasikan karya Philip Glass menjadi sesuatu yang lebih berwarna. Arian senang menamakannya dengan seni.
Seperti yang sudah dia duga, banyak orang menyukainya. Terbukti dengan tepuk tangan meriah disertai pujian dari mereka yang menghampiri Morgantara di depan pintu lounge.
"Our young composer, wow, dia sangat mengagumkan, Morgant!" seru Dixon—salah satu investor MG Group. Pria itu datang membawa anak gadisnya yang masih SMP, memberi kode pada putrinya untuk berkenalan dengan Arian.
Morgan sudah tahu ini akan terjadi. Setiap tahun selalu begitu; banyak yang datang membawa putrinya dan mengajak Arian kenalan. Ujung-ujungnya pasti akan berkata kalau mereka kelihatan cocok dan serasi yang dengan basa-basinya, Morgan hanya merespons dengan tawa.
"Thank you, Dixon." Morgan menjawab dengan senyuman lebar. "Omong-omong, baru kali ini aku melihat putrimu, biasanya hanya lewat internet."
"Ya ampun! Aku pikir kamu tidak punya waktu buka internet?"
Morgan tertawa. Walaupun tahu itu hanya basa-basi semata. Mana mungkin di zaman sekarang ini ada orang yang tidak buka internet? Setidaknya di jam-jam istirahat, mereka pasti punya satu sosial media yang akan dibuka.
Dan begitu saja Arian menghampiri mereka, berjabat tangan dengan Dixon serta putrinya.
"Daniela." Begitu kata anak gadis Dixon yang tersenyum malu-malu.
"Akhirnya kalian kenalan juga. Arian, kamu boleh ajak Daniela main, tapi jangan jauh-jauh dari sini ya?" ucap Dixon pada Arian.
Buset, yang mau ngajak main siapa coy? Arian berdesis dalam hati. Heran pula kenapa pria ini bisa dengan mudah menawarkan anaknya diajak main pada orang yang baru dia kenal. Oh, Arian kenal jelas kok siapa Dixon karena dia salah satu investor di perusahaan ayahnya. Tapi kan Dixon kan belum kenal baik siapa Arian.
Arian sedikit lupa kalau Daniela ini blasteran. Dia sudah lama menetap di Amerika, jadi mungkin Dixon sudah terbiasa kalau anak gadisnya kenalan dengan laki-laki.
Pada akhirnya Arian mengajak Daniela jalan-jalan di sekitar kolam.
"Aku harus panggil kak Arian ya?" tanya Daniela.
Arian meliriknya. "Nggak usah, panggil Arian aja."
Gadis itu mengangguk, "Kebetulan aku follow instagram Arian kemarin, tapi belum difollback."
"Ah itu ...," Arian menggaruk kepalanya, "Aku belum buka handphone dari kemarin. Maaf ya."
Padahal memang Arian yang tidak berniat follback. Ya, bukan tidak berniat juga sih. Soalnya ada banyak akun yang masuk di bar notifikasnya, jadi Arian tidak kepikiran melihat satu per satu akun yang masuk dan merespons akun Daniela.
Daniela sedikit murung, tapi gadis itu menutupinya dan tersenyum paksa. "Aku suka lihat Arian main piano."
"Oh ya?"
"Iya. Aku juga bisa main piano. Kapan-kapan, aku mau main sama Arian di depan banyak orang."
Wah gawat. Anak ini menyusahkan saja. Arian kembali membatin. Apa itu artinya dia harus membuat janji dengan Daniela untuk main di pertunjukan selanjutnya? Itu membosankan.
"Arian ...,"
Arian bernapas lega ketika melihat ada beberapa orang yang dia kenal menyapa di seberang kolam. Arian pun mengajak Daniela menghampiri mereka, dua diantaranya gadis sepantaran Arian.
"Hey, Bilie, Stephanie, kenalin ini Daniela. Anaknya Om Dixon," ucap Arian.
Dua gadis yang menegur Arian pun tersenyum lebar ke arah Daniela sedang gadis itu kelihatan agak canggung.
"Ow, hey. Salam kenal ya."
Ketiga gadis itu mulai berjabat tangan dengan suasana yang sedikit canggung. Tak lupa pula Arian mengajak beberapa pemuda lain berkenalan dengan Daniela. Lalu, Arian memberi kode ke arah Bilie untuk mengajak Daniela main. Untung saja Bilie peka dan mulai mencari konversasi yang panjang dengan Daniela, meski gadis yang ditinggalkan itu sedikit panik karena Arian meminta izin keluar sebentar.
Arian merogoh ponselnya, mengirimkan pesan teks pada Sunny. Dia tidak lupa kalau Sunny sedang berada di Jakarta hari ini, katanya sih mau menonton pertandingan Prity. Apa pun aktivitas gadis itu, Arian harus selalu mengetahuinya. Jadi setelah mendapat jawaban kalau gadis itu sudah pulang di rumah, Arian bernapas lega. Menjauh sedikit dari kerumunan, masih dengan ponsel di genggaman.
"Philip Glass, salah satu komposer jenius dunia."
Arian mengangkat wajah mendengar seseorang bicara di depannya.
Tampilan pria tua yang menegur di depannya tampak quite luxury, rambutnya hitam mengkilap disisir rapi. Arian bisa bilang dia tua karena perawakannya. Walau begitu Arian takkan mengira kalau dia benar-benar pria tua karena warna rambut itu, juga auranya sangat kuat, seperti seorang raja.
"Yang kamu mainkan tadi itu, Philip Glass, kan?" tanya pria itu lagi dengan senyuman manis.
"Yes, sir," jawab Arian.
"Kamu tahu, meskipun banyak yang kelihatan suka dengan penampilan kamu tadi, tapi sebenarnya mereka tidak benar-benar suka?" kata pria tua itu lagi.
Arian agak canggung mendengarnya.
"Ya, musik Philip Glass selalu minimalis, beliau punya ciri khas mengulangi struktur yang sama. Bagi beberapa orang, mungkin itu membosankan. Jadi, saya sedikit memodifikasinya," jawab Arian, sopan. "Tapi, Philip Glass salah satu komposer jenius yang punya penghargaan prestasi seumur hidup fulbright."
Diluar dugaan, pria itu tertawa membuat Arian bingung.
"Nak, saya tidak meragukan musik Philip Glass dan modifikasi yang kamu lakukan. Hanya saja ... saya ingin mengatakan banyak yang tidak suka penampilan kamu tadi."
Arian mengerjap. "Ada yang salah dengan penampilan tadi?"
Pria itu mendekat ke arah Arian dan berbisik, "Terlalu singkat."
Apa-apaan? Arian tidak mengerti kenapa ada pria tua yang datang mendekatinya dan melakukan gombal cringe itu. Sial. Itu mungkin jokes bapak-bapak.
Pria itu tertawa ketika Arian diam saja, lalu kembali menarik tubuhnya.
"Tidak usah terlalu menganggap serius. Beberapa orang yang tidak suka penampilanmu tadi mungkin segelintir orang yang berbeda selera musik dengan musik-musik Philip Glass," ucapnya lagi.
Arian tersenyum canggung dan mengangguk-angguk.
"Omong-omong kamu teman sekelas Aurelie dan Jessy kan?"
"Yes, sir," jawab Arian lagi.
Ngelag sedikit, lalu tiba-tiba terkejut dalam diamnya. Arian baru ingat kalau Morgan pernah mengatakan di acara ini akan ada keluarga Sevenor. Sudah pasti pria tua di hadapannya ini adalah Gerald Sevenor, pemimpin keluarga besar Sevenor.
"Senang bisa bertemu kamu secara langsung. Biasanya saya hanya mendengar nama Arian Morgan karena jadi salah satu pemegang PIN perak di SMA Bintang Favorit." Gerald kembali membuka topik, "Juga, senang bisa melihatmu bermain piano secara langsung."
"My pleasure, sir," jawab Arian.
"Kelak, kamu bisa menciptakan aransemen kamu sendiri, lebih baik dari Philip Glass."
Arian terkekeh, "Saya tidak mungkin melampaui orang-orang hebat dalam sejarah."
"Kenapa tidak? Sejarah bisa diperbarui, asal kamu tau saja."
Arian mengerjap. "Ya, mungkin ... tapi tidak semua."
Gerald tampak tidak senang dengan jawaban Arian, jelas sekali terlihat dari keningnya mengerut lalu berpura-pura tersenyum.
"Saya dengar, kamu tidak lagi sekolah di SMA Bintang Favorit. Sayang sekali, padahal kamu salah satu peraih PIN perak di sana."
Arian pun menjawab dengan santai, "SMA Bintang Favorit memang sekolah terbaik, sir."
"Pindah dari sana bukan keinginanmu, kan?"
Ini dia! Sebuah peringatan dari Morgan waktu itu kalau Sevenor pasti akan mengulik informasi darinya. Siapa lagi kalau bukan tentang Sunny? Arian sungguh ingin membenarkan pertanyaan itu, tapi bagaimana bisa? Morgan berkata padanya kalau dia harus kelihatan innocent dan tidak tahu apa-apa soal Sunny.
"Pindah dari sana murni keinginan saya juga. Kebetulan saya punya kegiatan baru di Negara ibu saya, jadi saya pindah," jawab Arian.
"Kalau tidak salah, Shivia berasal dari Polandia, kan?" tanya Gerald.
"Yes, sir," jawab Arian.
"Ah begitu ...," Gerald mengangguk-angguk.
Arian kembali tersenyum, pandangannya bersirobok dengan Morgan yang berada di sudut ruangan, masih dengan beberapa koleganya—tapi tetap memperhatikan anaknya yang tengah diajak berbincang dengan Sevenor.
"Sebenarnya saya ingin mengundang kamu di Majestic Art bulan depan. Kebetulan proyek itu sudah saya presentasikan tadi bersama Art Market karena ini proyek kolaborasi." Gerald mulai menjelaskan, "Saya juga sudah membicarakannya dengan Morgantara tadi, dan Morgan bilang kalau keputusan ada di tangan kamu."
Mendengar itu, Arian melirik sekilas ke arah Morgan yang masih memperhatikannya. Sepertinya pria itu tahu apa yang mereka bicarakan dan saat ini dia sedang menunggu jawaban Arian.
"Kamu tampil di acara pembukaannya. Bagaimana? Tidak keberatan?"
Arian kembali menatap Gerald. Mengerjap selama beberapa kali sembari mencari alasan. "Wah, saya mungkin akan sangat gugup, sir."
"Mana mungkin? Kalau sudah menekan piano, kamu kelihatan sudah bersatu dengan alat musik itu. Kamu tidak mungkin gugup, Arian."
Arian masih dalam diamnya, terus menatap manik mata Gerald yang tajam dan tegas.
"Dan kalau bisa, saya ingin kamu kembali memainkan Caprice 24 seperti yang kamu bawakan di Gedung Kesenian waktu itu. Dengan pengiring biola dari SMA Bintang Favorit ... ah, siapa nama gadis itu? Sun Shiera ya?"
Deg!
Tahu apa yang lebih sial? Arian kehilangan kata-kata.
◽◽◽
Sudah pukul 1 malam, Arian baru tiba di Jakarta dan sekarang menuju rumah lamanya. Sepulang dari pertemuan bersama orang-orang penting di Singapura, Arian jadi lebih sering merenung. Lebih tepatnya setelah mengeluarkan keputusan yang berisiko untuknya.
"Dari mana bapak tahu saya pernah lomba di Gedung Kesenian?" tanya Arian.
"Kamu tidak tahu ya kalau SMA Bintang Favorit selalu menyiarkan semua utusan sekolah yang berlomba di stasiun TV? Saya mengetahui semua kegiatan SMA Bintang Favorit. Bahkan saat ini saya tahu, ada dua peserta IPhO yang akan berangkat bulan depan, itu juga akan disiarkan di stasiun TV internasional. Saya pikir kamu tahu hal itu."
Bagaimana Arian bisa lupa? Keluarga Sevenor banyak bekerja sama dengan industri televisi untuk merangkum berita-berita yang muncul, khususnya berita mengenai dunia pendidikan. Juga, Arian tidak akan lupa kalau SMA Bintang Favorit seantusias itu menyerahkan nama sekolahnya untuk disiarkan di seluruh televisi nasional Indonesia. Kalau berkenaan dengan dunia pendidikan, SMA Bintang Favorit selalu terdepan.
Masalahnya sekarang, Arian sudah menyetujui undangan Gerald tanpa menjanjikan pengiring biola; Sunny. Arian tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan untuk tampil bermain piano di acara-acara besar, bukan? Meskipun dia tahu, keluarga Sevenor sengaja mengundangnya karena kepentingan pribadi.
Dan membawa Sunny ke sana akan berisiko besar untuk mereka. Bagaimanapun juga, tugas Arian adalah melindungi gadis itu.
"Keputusan kamu sudah benar, kamu tidak perlu membawa Sunny dan berpura-puralah tidak mengenal Sunny," ucap Morgan, sebelum Arian take off.
"Terlalu berlebihan, mana ada orang yang nggak saling kenal tapi lomba bareng?" balas Arian. "Itu malah bikin mereka makin curiga."
Morgan menghela napas panjang, pandangannya lurus ke depan. "Bahkan sepertinya mereka yakin kalau Sunny di bawah perlindungan kita."
Arian terdiam.
"Kamu tahu kenapa ayah tidak langsung menjawab undangan itu?" tanya Morgan, melirik Arian yang sudah menggeleng. "Ayah ingin lihat ... sejauh mana kamu memahami masalah ini. Dengan keputusan kamu, kamu jadi paham kan kenapa kamu harus melindungi Sunny?"
Diusia tujuh belas tahun, ayah yakin kamu pasti akan mengerti.
Dulu sekali, Arian menafsirkan itu sebagai sebuah perjodohan menyebalkan yang akan membawanya ke masa-masa suram. Tapi ternyata lebih dari itu. Morgan membawanya ke dalam masalah Sunny yang lemah dan butuh dilindungi, serta harus membayarnya dengan nyawa. Ah, Arian jadi heran, sebenarnya Morgan paham tidak sih anaknya ini terpaksa harus jadi bodyguard yang mau tidak mau memperhitungkan nyawanya sendiri?
Arian tidak suka plot twist karena dalam hidupnya yang tenang itu sudah banyak sekali plot twist yang terjadi. Sepertinya di setiap sudut hidupnya ada plot twist membagongkan yang membuat tidur nyenyaknya terganggu setiap malam. Arian juga tidak suka hal yang ribet, tapi sayangnya, dia diciptakan untuk bertempur dalam arena yang penuh dengan keruwetan hidup. Menyebalkan.
"Tuan Muda tidak mau turun dari mobil nih? Apa mau balik ke kondominium saja? Saya bisa menyiapkan jet sekarang." Mr. Bee membuyarkan lamunan Arian.
Ini lagi satu, pria kaku, culun nan cerewet yang sudah Arian kutuk menjadi sapu lidi, tapi malah berakhir menjadi teman hidupnya selama di rumah. Mister lebah yang paling membagongkan. Kalau dia bercerita rasanya Arian ingin membungkamnya dengan stapler agar dia trauma dan tidak kerja lagi. Pemikiran yang agak mengerikan, tapi kadang Arian suka memikirkan hal itu.
"Lu balik aja sana sendiri, gue mau istirahat. Jangan ganggu gue sampe jam sembilan pagi! Kalau lu gangguin gue, daleman lu gue masuki kecoa semua!"
Arian turun dari mobil dengan muka kusut, membiarkan Mr. Bee yang meresponsnya dengan senyum robot—sepertinya sudah biasa mendengar recokan Arian. Lelaki itu tak lanjut ke rumah, malah masuk ke paviliun, tempat dia bertapa bersama pianonya.
Setidaknya untuk malam ini, Arian ingin bersantai tanpa memikirkan apa-apa.
Piano tua-nya masih bersemayam di sana. Walau sudah ditinggalkan, Arian selalu memastikan piano-nya tidak akan dihuni para jelaga nakal dan debu. Bagaimana tidak? Dia menghubungi asisten rumah tangganya setiap jam sih.
Arian berdiri di depan piano, mencoba menyelaraskan jemari dengan not yang ada di ingatannya. Caprice 24. Instrumen yang berisik, tapi klasik mulai menyuruk ruangan yang sepi. Dia hanya melakukan itu selama beberapa detik, lalu mengembuskan napas panjang karena lelah.
Padahal niatnya tak ingin memikirkan apa-apa, tapi kenapa rasanya melelahkan sekali? Seakan dipunggungya ada ton besi yang sangat berat. Ditambah pula dengan perasaan deja vu kala melihat trampolin di depan paviliunnya. Tempat di mana Leon dan Airin suka berkumpul di sana.
Well, Arian sudah lama tak bertukar pesan dengan mereka. Jarang sekali dia bisa membuka pesan grup dan membalasnya. Mungkin satu-satunya alasan kenapa dia membuka ponsel karena menghubungi Sunny. Arian sengaja tak mau membalas pesan grup karena tak ingin semakin merindukan mereka, soalnya ujung-ujungnya setelah chat, mereka akan melakukan kilas balik masa kecil dan itu membuat Arian homesick.
"A—Arian ...,"
Arian mengernyit saat mendengar suara memanggilnya di jam satu malam ini. Sekiranya itu suara hantu paviliun yang merindukan Arian selama sebulan lebih, tapi ternyata itu adalah Marlen yang mengintip di jendela kamarnya.
Marlen anak mami, tetangga kesayangan Arian!
"Loh, Marlen? Belum tidur lu?!" Arian senang bukan main.
Lelaki itu keluar dari paviliun, meloncat ke sekat tembok yang lumayan tinggi, tempat di mana dia, Airin dan Leon sering mengintip Marlen. Marlen yang masih tak menyangka tetangga toyib itu pulang akhirnya menepi, memberi ruang untuk Marlen memanjat dan tiba di kamarnya.
"Wanjir, calon aktor udah potong rambut. Udah rapi, dicet item lagi, bener-bener ini orang ...,"
Arian tak meneruskan perkataan saat Marlen dengan dramatis malah mencengkram lengannya dengan wajah tak menyangka.
"Ini beneran Arian?" tanya Marlen.
Mereka bertatapan selama tiga detik.
"Napa jadi bromance sih anjir? Geli banget gue." Arian menepis cengkraman cowok itu. "Kenapa lu tau gue di bawah?"
"Dengar suara piano," jawab Marlen.
"Nah, kangen kan lu ma gue?" sela Arian dengan muka sok ganteng.
"Bakal tinggal di sini lagi?" Marlen malah mengganti topik.
Arian yang tadinya memasang muka senang sekarang berubah kusut.
"Nggak. Mampir aja bentar," jawab Arian. Dia memandangi satu per satu benda yang ada di kamar Marlen. "Tumben layar laptop ma PC gaming lu mati semua? Dilarang Mami ya pasti? Eh, tapi kok ini banyak komik anime. Dih, wibu ya lu ternyata? Eh serius deh gue sering ngintip, tapi baru kali ini lihat isi kamar lu. Trus ini—"
Arian berhenti cerewet saat melihat ada jepitan perak di meja belajar. Mendadak deja vu.
Dulu, dia punya PIN itu. PIN yang diimpikan banyak orang.
"Disimpen dong, jangan ditaroh doang. Ntar hilang, lu yang ribet," ucap Arian.
"Pindah ke mana?" tanya Marlen seketika. Memecahkan kecanggungan mereka.
Arian membalikkan tubuh, memandang Marlen yang mengekor di belakangnya.
"Nggak jauh kok. Lagian gue masih sering-sering datang ke Jakarta."
"Ke sini berapa hari?" tanya Marlen lagi.
"Besok harus balik," jawab Arian. Dia menatap Marlen yang kembali diam dan tersenyum, "Eh, gue baru sadar lu udah lancar ngomong."
"Huh?"
"Iya, dulu kan lu gagap. Suka grogi kalau diajak bicara." Entah kenapa sekarang Arian jadi seperti bapak-bapak yang bangga melihat perkembangan anaknya. "Ternyata, kelas akting tuh merubah lu banget yah."
Marlen menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Lumayan."
"Udah selesai syuting? Film lu kapan tayang sih?"
Marlen menggeleng, menandakan kalau dia belum selesai syuting, juga masih belum tahu film perdananya kapan tayang.
"Nanti kalau ada premier-nya, gue janji duduk paling depan deh buat support lu." Arian tersenyum bangga ala bapak-bapak.
Mereka pun berbincang selama beberapa menit, hanya seputar perkembangan syuting Marlen yang agak rempong. Mami dan Jessy membantu banyak selama perkembangan kelas aktingnya sebulan ini dan juga mengupayakan agar trauma skinship Marlen bisa sembuh.
Yang membuat Marlen agak bingung, Arian sama sekali tak menanyakan kelas yang dia tinggalkan, tidak pula menanyakan kabar teman-teman yang lama tak bertemu dengannya. Jadi setelah Arian pamit pulang dan menyuruh Marlen tidur karena sudah jam dua malam, Marlen pun memberanikan diri bertanya.
"Nggak titip salam ke Airin, Leon?"
Arian yang sudah bersiap meloncat, meliriknya sekilas. "Nggak. Jangan bilang kalau lu ketemu gue yah."
◽ TO BE CONTINUED ◽
...
Holla teammate! selamat tahun baru 2024 h3h3 *sangat telat ya bund ngucapinnya*
kuucapkan selamat datang dan selamat bergabung untuk beberapa pembaca yang baru ketemu cerita TEAM ini *ya soalnya keliatan dari vote h3h3h3* semoga betah ya di lapak berdebu ini.
bicara soal Arian, menurut kalian, Arian tuh bakal ada love story-nya ga sih nanti?
jangan lupa vote dan ramein setiap part yaa! (* ̄3 ̄)╭
...
chapt 18; metamorfosis
coming soon! ⭐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro