Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TEAM: 16: THE COLD SUN

HAPPY READING 

...

Sunny tak suka pertemuan dadakan. Apa lagi pertemuan dengan orang yang mengenalnya di tempat asing ini. Sayangnya, cowok sok kenal ini tiba-tiba saja muncul dalam hidup keterasingannya. 

Instrumen yang dimainkan pemusik di panggung masih mengalun indah. Sunny pun masih menikmatinya, hanya saja dia yakin beberapa saat lagi moodnya akan memburuk karena berinteraksi dengan cowok ini. 

"Masih ingat aku kan, yang di gym waktu itu?" Cowok itu nyengir hingga gingsulnya kelihatan jelas. "Kalau lupa, kenalin, aku Zero. Zero Kagara." 

Sunny mengamati uluran tangan Zero cukup lama, tak berminat menyambutnya dan malah mendengkus.

"Waduh, dianggurin nih?" 

"Harus banget?" tanya Sunny. "Udah tahu juga kan nama gue siapa?"

Zero pun nyengir dan menarik kembali tangannya. "Iya sih, tapi kan tadi itu kenalan formal. Biar resmi aja kalau kita udah kenalan."

Sunny hanya diam. 

"Ya ampun, nama kamu ternyata nggak merepresentatifkan orangnya yah. Sunny, tapi kamu nggak se-sunny itu."

Sunny sudah menduga moodnya akan buruk sejak lelaki ini menegurnya. Lagi, apa-apaan itu? Dengan ke-sok-tahuannya, dia malah mengomentari keterkaitan nama dan kepribadiannya. Menyebalkan. 

"Nggak usah sok kenal," ujar Sunny. 

Zero terkekeh. "Nah, tadi diajak kenalan nggak mau. Giliran first impression malah ngatain."

Sumpah, ni orang nggak  jelas banget. 

"Kamu kayak anak hilang tahu nggak?" Zero melanjutkan. "Tapi pasti kamu ke sini buat dengerin musiknya doang kan?"

Sunny melirik sinis, "Gue nggak suka diikutin."

"Nggak ada kok yang ngikutin. Kebetulan aja aku duduk di depan sama anak-anak dan nggak sengaja lihat kamu."

Sunny meneguk sedikit mocktailnya dan lagi-lagi mendengkus malas. "Diajak taruhan lagi sama mereka buat kenalan? Bilang sama mereka lo berhasil ngajak gue kenalan. Selesai. Jangan temuin gue lagi."

"Ettss, bentar." Zero mencegah Sunny yang hendak beranjak dengan raut bingung. "Kenapa kamu bisa mikir aku taruhan?"

"Keliatan jelas cowok kayak lo gabut diajak taruhan buat kenalan."

Diluar dugaan, Zero tertawa. "Bisa pede gitu yah?"

Dasar, memangnya dia pikir Sunny tak tahu kalau dia mendekatinya hanya karena taruhan dengan cowok-cowok gym kemarin? Tidak susah menebak lelaki berpenampilan preppy seperti Zero yang mudah mengajak para gadis berkenalan. Sunny hanya ingin, dia tak terikat dengan perkenalan lelaki itu. 

"Tapi aku serius kok cuma ngajak kenalan buat jadi teman doang. Aku nggak mungkin gangguin orang yang udah punya pacar."

Sunny kembali menatapnya dengan mata yang menyipit. Kesekian kalinya orang ini bersikap sok tahu. Padahal Sunny kan sama sekali tidak punya pacar.

Namun beberapa saat kemudian, Sunny teringat kalau saat itu Arian datang menyelamatkannya dari gangguan cowok usil ini. Ah, mungkin saat itu dia melihat kedekatan mereka sebagai pasangan kekasih. Padahal kan sebenarnya tidak begitu. Sunny membiarkan cowok itu mengira Arian sebagai pacarnya. Hitung-hitung biar cowok itu berhenti mengganggu. 

"Sebenarnya dari awal lihat kamu, aku pengen kenalan. Soalnya ... kamu percaya nggak kalau aku pernah lihat kamu sebelumnya?"

Sunny mengerjap. "Di mana?"

"Gedung Kesenian, Jakarta. Aku lihat kamu main biola di sana."

Gosh! Sunny cukup terkejut mendengarnya. 

Bahkan di tempat baru ini, ada yang mengenalnya versi masa lalu. Sial, Sunny agak bingung menamainya masa lalu karena itu benar-benar baru terjadi kurang dari tiga bulan. Tapi lupakan soal itu, pikirkan bagaimana caranya dunia menjadi sangat kecil hingga mempertemukannya dengan orang yang mengenal masa lalunya?

"Whoa, jangan salah paham dulu. Aku nggak ikutin kamu lagi kok. Aku ke sana karena jadi supporter, sekolah aku tanding sama sekolahmu. Kebetulan kamu jadi peserta pertama dan paling berkesan, jadi ... aku gampang ingatnya."

"Aku juga nggak nyangka loh bisa ketemu kamu." Zero melanjutkan sambil menunjuk pemusik di panggung. "Nggak heran kalau kamu di sini buat dengerin musik itu."

Sunny ikut memandang pemain musik yang ada di sana. Instrumen A Thousand Years sudah berakhir, sekarang berganti menjadi Jar of Hearts yang membuat suasana bar jadi agak biru. Christina Perri memang ahli menghipnotis perasaan seseorang lewat suaranya. Melodi yang tercipta dari rasa sakit, Sunny menyukainya. Dia suka lagu-lagu yang membawa rasa sakitnya kembali. 

"Sunny?" tegur Zero lagi karena Sunny hanya diam. 

Sunny mengerjap pelan dan menatap Zero. "Lo bisa main alat musik juga?"

Zero tampak kebingungan dalam beberapa saat, kembali memandang pemain musik yang ada di panggung dan Sunny secara bergantian lalu terkekeh. 

"Aku bisa main gitar. Ya ... alat musik paling gampang sih, basicnya doang, tapi ... aku lumayan suka main gitar," jawab Zero. "Ah, gitar sama biola walaupun kelihatan mirip, cara mainnya beda jauh banget. Tapi, mereka masih sejenis kan?"

"Melodis," jawab Sunny. 

Zero mengangguk setuju. 

Sunny diam setelahnya, kembali memandangi pemusik yang masih khidmat menghibur pengunjung bar. 

"Aku suka lihat orang main biola, menurut aku biola tuh alat musik yang fictional," ucap Zero, seketika.

"Fictional?" tanya Sunny.

"Yup. Ah, mungkin cuma aku aja yang ngerasain itu, alat musik kayak biola, harpa itu bisa bawa aku ke dunia yang serba fantasy. If you know what I mean ...,"

Mendengar itu, Sunny pun berdehem. "Sounds like a dreaming kid."

Zero menggaruk kepala dengan raut gugup. "Ya, maaf deh. Tapi aku cuma ungkapin apa yang aku rasain kok kalau denger orang main biola. Dari dulu aku suka kagum sama orang yang main biola ...,"

Sunny menatapnya jengkel. Tiba-tiba saja dia berpikir kalau Zero sengaja mengatakannya hanya untuk membuatnya tersanjung. Ya, klise. Beberapa cowok memang mencari topik yang sesuai dengan passion lawan bicaranya. 

Namun, Sunny mengenyahkan pikiran itu tepat setelah Zero melanjutkan. 

"Pacar aku juga main biola ... sebelum dia pergi sebulan yang lalu."

Sunny menatapnya cukup lama, seketika penasaran. "Pacar?"

"Pacar," jawab Zero sambil tersenyum.

"Pergi ke mana?"

"Dia ... udah pergi ke surga."

Ah, cerita yang menyedihkan lagi. 

Di tengah-tengah instrumen yang mendayu, lelaki di depannya menceritakan kehidupan tragis dengan mata yang agak sayu. 

"Was she the one playing violin?" tanya Sunny.

Zero mengangguk, "Kok tahu?"

"Lo nggak mungkin jauh-jauh dari sini ke Jakarta jadi supporter buat orang lain." Sunny menjawab dengan santai. "Pasti dia orang berharga, makanya lo ke sana."

Zero terkekeh. "Ya, kamu benar. Dia masuk di tiga besar waktu itu. Trus, dia nggak main violin lagi karena sakit."

Sunny tak tahu harus menanggapi seperti apa. Pada akhirnya dia hanya bisa memutuskan percakapan dengan bela sungkawa, berharap percakapan singkat mereka berakhir dan Sunny tak bertemu cowok ini lagi. 

"I'm sorry," ucap Sunny lalu bersiap-siap pergi dari sana. 

Zero tersenyum. Sekali lagi mencegah Sunny yang sudah berdiri, "Hey, makasih udah mau coba ngobrol sama aku. Aku tarik kata-kata aku soal representatif nama kamu tadi."

Sunny hanya menatapnya sekilas, lalu melanjutkan langkah. 

Terserah. 

◽◽◽

Sudah lama Sunny tak memainkan violin. Benda itu tersimpan rapi di ruang musik, apartemennya. Sunny tak punya alasan lagi kenapa dia harus memainkan violin sekarang, tapi setelah melewati bar dengan pemusik yang memainkan piano dan biola, Sunny tertarik melihat keadaan alat musiknya. 

Diangkatnya benda berlekuk itu hingga sampai ke pundak, menopang badan biola dengan dagunya, lalu jemarinya mulai menyentuh fingerboard. Sebelah tangannya yang memegang bow diangkat hingga bergesekan dengan senar. Mencoba berteman kembali dengan benda yang sudah lama tak disentuh. 

Sunny mengimbangi not dalam pikirannya melalui senar. Satu-satunya yang ingin dia mainkan adalah Only Hope, lagu kesukaannya yang dinyanyikan Mandy Moore. Sunny ingat lagu ini juga dimainkan Arian dulu ketika performance malam puncak ulang tahun sekolah. Mungkinkah lelaki itu juga menyukai lagu ini?

There's a song that's inside of my soul
It's the one that I've tried to write over and over again ... ♪

Sunny tak biasa memainkan musik pop. Sejak awal bermain violin, Sunny lebih tertarik dengan musik klasik seperti sonata-sonata dari Niccolo Paganini atau Antonio Vivaldi. Ya, itu juga karena papanya yang memperkenalkan sonata klasik karena biasanya pada saat ulang tahun mendiang mamanya, Nathanael sering mengundang maestro untuk memainkan musik klasik di waktu dinner. Ah, mengingat masa-masa itu membuat Sunny sedikit perih. 

Masa-masa emasnya sudah berakhir. 

Kebahagiaan itu; duduk di meja makan dan menatap wajah orang tuanya, mendengarkan musik klasik, bersulang. Banyak sekali yang Sunny dapatkan dulu sebelum semuanya sirna. 

"Papa yang kamu banggakan itu pembunuh."

"Mama kamu jatuh dari mercusuar karena didorong, bukan bunuh diri."

Tidak. Bukan itu yang ingin Sunny ingat. Seburuk apa pun kenyataan itu, Sunny tak ingin mengingatnya. Yang ingin dia ingat adalah kenangan-kenangan indah bersama orang tuanya. Sayang, perkataan Liana saat di Jakarta yang paling sering terngiang. 

Kenapa kenangan buruk selalu jadi bagian yang tak pernah bisa dilupakan?

Bow terjatuh. Sunny berhenti memainkan biola karena secara bersamaan batuknya lepas begitu saja. Dia menutup mulut saat merasa dahaknya akan keluar lagi dan benar saja ... lagi-lagi dahak berwarna merah itu keluar membuat Sunny menaruh kembali biola dan lekas pergi ke wastafel. 

Sunny membersihkan tangannya dan menatap dirinya di cermin. Penyakit ini tak bisa membiarkan Sunny berlarut dalam ingatan pedihnya barang sedetik saja. Sunny benci mengakui ini—kalau bukan hanya hatinya yang sakit, tapi tubuhnya juga. Seperti ... kesedihan serta penyakitnya bersifat permanen. Dia bahkan tak tahu bagaimana penyakit ini akan berakhir? Dan kalau sudah begini, Sunny merasa penyakitnya akan menang melawan tubuhnya. 

Kalau penyakitnya menang, dia takkan bisa memainkan biola lagi. 

Sunny merasa agak familiar dengan cerita itu, cerita tentang seseorang yang tak bermain biola sebelum akhirnya "pergi".

"Itu kan cerita si Zero," lirih Sunny dengan kernyitan tipis. 

Dasar, bodoh. Bisa-bisanya cerita itu melekat dalam ingatannya. 

Sunny pun mengembuskan napas panjang dan bergegas ke kamar. Ya, tadinya memang berniat ingin tidur walau perasaannya tidak normal, tapi ponselnya mengundang untuk dimainkan. Dan tepat saat meraih ponselnya, Sunny mengangkat kening menemukan pemberitahuan instagram. 

zerokagara followed you 

"Dia tahu dari mana akun gue?" monolognya. 

Sunny pun masuk dalam dunia media sosial, menjelajahi feeds zerokagara dan berkomentar dalam hati. Rupanya lelaki itu suka mengunggah foto. Lihat saja, ada seratus dua puluh foto di sana, isinya juga menarik. Ada foto-foto candidnya, cinematic pemandangan seperti rumah, pantai, langit, outfit of the day, serta foto yang membuat Sunny terkesan adalah foto seorang gadis memainkan biola di tepi pantai dan dibubuhi caption wherever you go, we'll meet again, right? dan diunggah seminggu yang lalu. 

Ini mungkin aneh, tapi Sunny baru kali itu bertemu dengan seorang lelaki yang sedih akan kehilangannya. Soalnya dalam hidup Sunny, dia tak pernah melihat ada laki-laki yang sedih atas kisah menyedihkan mereka. Ya, beberapa lelaki di sekitarnya garang semua sih. Apa lagi papanya, saat pemakaman mamanya saja dia malah memilih berlibur di Maldives dan bersenang-senang. 

Sedetik setelahnya, Zero mengirimi pesan.

zerokagara:
kalau km baca ini, boleh dong follbacknya 😅

Sunny mendengkus. Menimbang-nimbang sejenak untuk mengikuti balik akun Zero atau tidak. Lagian, Sunny belum menganggapnya teman. Perkenalan mereka juga belum resmi dan Sunny tak ingin jadi kenalannya. Tapi karena sudah terlanjur dibaca, Sunny pun menekan following back tanpa menanggapi pesan lelaki itu. 

zerokagara:
membagikan tautan
ada event di skatepark besok, ada penampilan band juga. mau nggak dtg?

Sunny tak menyangka kalau dia akan tertarik dengan undangan Zero di skatepark, tepi pantai. Baiklah, bilang saja kalau Zero pandai merayu dan menggunakan hal-hal yang disukainya agar dia datang—dan Sunny masuk dalam rayuannya. 

Sunny datang dengan dress vintage selutut, motif bunga matahari berwarna abu-abu. Rambutnya yang berwarna cokelat keemasan itu dikuncir, tak lupa menambahkan clip hair kesukaan Sunny agar kontras dengan dressnya. Gadis itu berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Mungkin sesaat lagi eventnya akan di mulai. 

Sunny memperhatikan beberapa orang yang beraksi dengan skateboard mereka; menggunakan teknik kickflip dan memutar arah. Mereka kelihatan sangat jago mengendalikan skateboad. Dan tak disangka, Sunny menemukan Zero di antara pemain skateboard itu. 

Sunny bersidekap, memperhatikan Zero. Cowok itu penuh kejutan. Padahal baru kemarin dia mengejutkan Sunny dengan kenyataan kalau mereka pernah bertemu—oh tidak, bukan Sunny yang menemuinya, melainkan Zero—secara tak sengaja di lomba Piano dan Violin beberapa bulan lalu. Belum lagi kejutan bahwa lelaki itu juga ternyata menyukai biola dengan alasan simple, pacarnya yang telah tiada juga seorang violinist sekolah. Sekarang tahu-tahu saja dia bisa bermain skateboard dan membuat Sunny tertegun. 

Entah kejutan apa lagi, tapi Sunny tak bermaksud menunggunya. Hingga saat event di mulai, Zero keluar dari arena—tepat saat dia menemukan Sunny di belakang kerumunan. Lelaki itu berbinar senang dan menghampirinya. 

"Aku pikir kamu nggak akan ke sini," ucap Zero. 

Tentu saja Zero akan mengiranya seperti itu, soalnya Sunny tak membalas pesannya sih. 

Sunny mengamati sekitar sambil memeluk siku, angin pantai membuatnya tiba-tiba kedinginan. 

"Lo bilang bakal ada band," Sunny menyanggah.

"Yup. Tuh, mereka siap-siap mau tampil." Zero menunjuk panggung yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Kini, khalayak sudah berkumpul di depan panggung, menantikan penampilan band yang akan manggung. "Tahu mereka kan, The Overtunes?"

Sunny menggeleng. 

"Wah, bukan gen Z dong kalau nggak tahu The Overtunes. Lagu-lagunya bagus semua tahu." Zero berkomentar. "Kalau kamu dengar lagunya pasti kamu bakal bilang tahu nih."

Sunny hanya mengangkat kening. 

Saat vokalis band mulai bernyanyi, khalayak itu juga bernyanyi bersamanya membuat Sunny sedikit kaget, ternyata hanya dia yang benar-benar tak tahu The Overtunes di dunia ini. Mana lagunya easy listening pula. Sunny kesal dia baru tahu ada lagu sebagus ini sekarang. Pemikiran yang aneh, bukan? Tapi, tentu saja Sunny hanya bisa bilang itu dalam diam. 

"Aku nggak nyangka kamu beneran nggak tahu The Overtunes," kata Zero ketika band berhenti bernyanyi. 

Beberapa menit setelahnya, event di mulai. Para pemain skateboard kembali beraksi di arena membuat beberapa orang tergerak mendekat untuk menonton. Beberapa kelompok lagi memilih stagnan di panggung untuk foto bersama vokalis The Overtunes.

"Nggak semua orang tahu apa yang lo tahu." Hanya begitu jawaban Sunny. 

"Bener juga yah, selera musik orang beda-beda." Zero terkekeh. "Tapi karena kamu suka biola, mungkin selera musik kamu yang high klasik kali yah."

Sunny meliriknya, "Sok tahu lagi."

Zero tersenyum. "Sok tahu sama nebak itu beda lho."

Sunny diam. Matahari sudah mulai turun dari singgasananya, membuat Sunny semakin mengelus siku karena angin pantai berembus keras. 

"Kamu kedinginan yah?"

"Nggak," jawab Sunny. "Lo nggak lanjut tanding? Event udah di mulai tuh."

"Oh, aku nggak tanding. Aku ke sini cuma main-main aja. Temen-temen aku yang tanding," jawab Zero. Dia melepaskan jaketnya dan menyerahkannya ke Sunny. "Pake aja dulu."

"Nggak usah, gue udah mau balik."

"Wah, kok cepet banget? Cuma mau lihat band doang nih?"

"Emang lo expect apa?" Sunny bertanya dengan raut malas. 

"Hm ...," Zero memasang tampang berpikir. "Aku expect-nya kamu bakal nemenin aku sampai eventnya selesai."

"Gue nggak punya waktu buat itu."

Zero terkekeh lagi. "Kamu lucu yah."

Mendengar itu, Sunny memasang side eye

"Kalau nggak punya waktu, kenapa ke sini coba?" tanya Zero. 

Sunny mendengkus, "Lihat band doang."

Zero memudarkan kekehannya dan tersenyum, "Hey, aku ngundang kamu bukan buat pendekatan kok. Aku murni pengen temenan. Well, aku bilang kayak gin kalau kamu mikir aneh-aneh aja."

Sunny mengernyit. 

Zero melanjutkan, "Oh ya, dan soal anggapan kamu kalau aku taruhan sama temen-temen aku buat kenalan, itu bener. Kemarin pas di gym. Mereka kayak gitu cuma buat hibur aku doang kok. Maaf yah kalau kamu risih dan terganggu."

"Banget," jawab Sunny dengan cepat. "Ya udah, kalau gitu kita nggak usah ketemuan lagi."

Zero tersenyum dan mengangguk. "Senang bisa kenal kamu, Sunny."

Sejujurnya, ada bagian hati Sunny yang berat mengatakan itu. Astaga! Padahal cowok di depannya ini kelihatan tulus ingin berteman, dan Sunny juga tak keberatan untuk itu—buktinya, dia tetap datang ke event ini atas undangannya kan? Hanya saja ... Sunny merasa ini hanya buang-buang waktu. Kenalan, menjadi teman, lalu apa? Bukannya Sunny melarikan diri dari kota lamanya untuk menjauh dari semua orang dan tak berniat berkenalan lagi? 

Orang-orang yang ada di Jakarta itu sudah cukup jadi kenalannya. 

Pada akhirnya, Sunny hanyalah jiwa-jiwa kesepian yang berhati dingin. Seolah tak membiarkan siapa pun masuk ke kehidupannya yang sudah rusak dan membiarkan seseorang tinggal di sana. Terjebak, mungkin? 

Tapi di luar itu, Zero agak beda dengan Arian. Walau niat awalnya salah mendekati Sunny karena taruhan, tapi cowok itu tak seketus Arian. Senyumnya lebih tulus serta pancaran matanya mencirikan cowok polos. Arian kan barbar dan suka memasang tampang malas. Memang dasarnya cowok itu menyebalkan. 

Tunggu sebentar, kenapa pula Sunny membandingkan Zero dan Arian?

Sunny menggelengkan kepala. Tidak-tidak. Apa pun itu, Sunny tak boleh memikirkan mereka berdua. Buang-buang waktu saja. Lagian, di hidupnya hanya boleh ada Arian. Sedangkan Zero hanyalah cowok asing yang tiba-tiba saja bertemunya di tempat baru ini. 

◽ TO BE CONTINUED ◽

...

holla teammate! 

ucapkan selamat datang pada tokoh baru yang mungkin bakal berperan selama beberapa part ke depan; Zero Kagara. nantinya Zero bakal jadi karakter yang penting juga loh guys 🤭

btw, aku uploadnya hari selasa nih. biasanya aku up malam minggu. lebih cepat nggak apa-apa lah ya, anggap aja ganti nggak upload minggu kemarin🤭 

...

chapt 17; ?

who's next? 🤭

coming soon!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro