PROLOG
TEAM II: REACH THE STARS
#Sequel Team
...
Hello Teammate! Selamat datang dibuku kedua dari TEAM.
YAP! Cerita ini masih berkisah tentang 9 anak sekolahan yang absurd dengan segala masa remaja mereka—masa muda, serunya belajar, serunya berkompetisi, persahabatan, drama keluarga, drama persahabatan, jatuh cinta gaya anak SMA dan sedikit bumbu-bumbu komedi untuk kalian yang receh kayak aku h3h3—perlu diingat kalau cerita ini masih sambung-menyambung dengan TEAM buku pertama.
I'm trying my best;)
[ CERITA TIDAK BISA DIBACA TERPISAH !]
...
I think we dream, so we don't have to be apart so long. If we're in each others dreams, we can be together all the time. – Winnie The Pooh
Hidup dalam sekolah yang punya ambisi kuat dalam mencetak sejarah prestasi terbanyak tidaklah mudah. Di mana pemegang PIN adalah kelompok murid yang paling spesial dan murid biasa hanya menjadi penonton.
Namun, bukan berarti mereka yang tidak punya PIN tidak bisa bermimpi tinggi karena setiap manusia berhak punya mimpi. Hanya ada dua pilihan dalam hal ini; bergerak menggapainya, diam menguburnya.
Seperti itulah yang ada dalam benak para pemegang PIN di SMA Bintang Favorit. Hidup dalam tekanan berkompetisi untuk menaikkan spesifikasi sekolah adalah kewajiban. Di samping harus mempertahankan PIN perak, mereka juga sedang berjuang dengan impian masing-masing. Walaupun masih terbilang ... cukup dini kalau harus memikirkan masa depan.
Leonardo Alisatya, dia pemegang PIN emas yang sekarang sedang merancang masa depan. Tentu saja rancangannya akan semulus kulit bayi karena backingannya SMA Bintang Favorit. Leon punya jaminan melanjutkan studi ke manapun yang dia mau sesuai dengan minat dan bakatnya, gratis pula. Sungguh beruntung kan?
"Gue belum mutusin sih, tapi kayaknya gue pengen ke Baruch College. Papa gue juga udah berharap gue lanjut ke sana biar bisa gabung tim basket Nasional."
Yah tidak heran sebenarnya karena kecintaan Leon pada basket dan didukung penuh keluarganya menjadikan Leon tambah semangat menjadi atlet. Katanya itu opsi pertamanya, opsi berikutnya akan dilihat dalam beberapa bulan sebelum ujian nasional.
"Yang penting sesuai dengan kemauan lo juga, yang jalanin nanti kan lo." Begitu kata Prity yang membuat Leon tersenyum.
"Lo sendiri? Lulus nanti ada rencana ke mana?"
"Belum ada rencana. Kayaknya gue ... ngalir aja sesuai takdir."
"Sejujurnya gue ngarep kita bisa kuliah bareng," ucap Leon. "Gue pengen kita perjuangin masa depan kita bareng-bareng, kayaknya bakal seru. Menurut lo gimana?"
"Masa depan yah?" Prity terkekeh. "Hm, menarik. Sambil lihat-lihat minat gue ke mana aja dulu. Gue nggak mungkin maksa kuliah bareng sementara gue nggak minat ke sana. Gimanapun, kita bakal ada di passion masing-masing, right?"
Leon mengangguk setuju.
"Lo mau latihan kan? Gue duluan nggak apa-apa? Mau ketemu Sunny. Dia ngajakin shopping ... sebelum pindah besok."
"Gue anter kalo gitu."
"Nggak usah. Dahuluin latihan lo aja, gue dijemput Sunny kok."
"Ya udahlah, have fun!"
Sementara itu, di tempat lain Marlen sedang cengo dadakan ketika ditunjuk untuk menampilkan akting skill-nya di depan produser dan sutradara. Ah, ini semua berkat tetangganya yang kurang ajar sudah mengantarkannya di studio Stars Cinema sebelum dia pindah. Hal yang lebih kurang ajar lagi dia malah memberitahu Mami dan seluruh keluarga besarnya saat seorang produser menawarinya main film.
"Mami, Arian ada kabar baik yang bikin Mami senang. Marlen mau jadi aktor Mi! Pokoknya besok Arian bakal temenin Marlen ke studio buat casting!"
"Kamu serius? Marlen anak Mami yang begitu ditawarin aktor?"
"Ta—tapi kan Alen belum setuju," kata Marlen.
Siapa yang peduli dia setuju atau tidak? Mereka bahkan tak mendengarkannya sama sekali. Malah sujud syukur dan sudah merencanakan akan menggunakan baju apa ke studio nanti.
"Heh, rumput laut! Lo tuh mau malu-maluin pacar gue, yah?!" seru Jessy, ketika mereka dalam perjalanan menuju studio.
Arian yang sedang menyetir, mendelik sinis ke arah Jessy. "Apanya yang malu-maluin? Oh lo malu punya pacar kayak Marlen?"
"Bukan gitu anjir! Lo tau sendiri dia nggak bisa akting! Nyentuh orang aja dia nggak bisa, gimana nanti pas syuting? Lo harus tanggung jawab yah kalau ada apa-apa sama Marlen!"
"Belum juga syuting udah cemburu!"
Jessy memukul-mukul pundak Arian membuat lelaki itu mengaduh kesakitan.
Selang beberapa menit dalam perjalanan, mobil berhenti di tempat parkiran. Tak jauh di depan mereka, studio Stars Cinema menjulang angkuh seakan menantang mereka untuk masuk ke sana. Arian mengembuskan napas panjang dan melirik Marlen yang sudah tegang di samping.
"Len, lihat gue." Kata Arian, Marlen yang sudah keringat dingin pun perlahan meliriknya.
"Ini saatnya lo punya mimpi baru selain ngurung di kamar jadi gamers ansos. Lo harus tahu kalau dunia nggak seseram itu. Nggak ada salahnya kesempatan ini dicoba, mana tahu bisa nyembuhin lo dari trauma masa lalu. Iya kan?"
Marlen mulai tercenung.
"Nanti lo bakal berterima kasih ma gue karena udah ngeluarin lo dari zona nyaman. Seenggaknya sebelum gue pindah, gue pengen ngelakuin sesuatu yang baik buat tetangga gue." Arian tersenyum. "Tuh, di depan mata lo ada mimpi baru yang menunggu. Jangan diem aja, trus nanti nyesel."
"..."
"Tarik napas deh, baru turun mobil. Turunnya kalo udah siap. Kita bakal nunggu kok sampe lo siap."
Lalu setelah beberapa menit, akhirnya Marlen pun siap turun dari mobil—tentu saja masih ada drama latihan ekspresi dulu yang membuat Jessy dan Arian yang kesabarannya setipis helai rambut dibagi sepuluh gemas, ingin mencubit tapi harus bersabar karena ini adalah sebuah perjuangan.
Sementara itu di kamar beraroma chamomile dengan nuansa serba putih bak khayangan, Aurelie segera menerima panggilan masuk yang datang dari Jessy.
"Hey, Jess? Marlen gimana?" tanya Aurelie.
"Udah dipanggil, tapi gue yang deg-degan. Doain deh semoga Marlen nggak diapa-apain," jawab Jessy di sebrang telepon.
"Tapi dia udah latihan dikit kan soal ekspresi?"
"Udah, tapi ya gitu. Aduh, tau deh, Rel. Kok gue yang pusing yah?!"
"Tenang aja. Marlen pasti ngasih yang terbaik kok. Nanti kalau keterima, daftarin dia ke kelas akting aja buat latihan lebih luwes lagi."
"Aurelie!"
Mendengar panggilan Johan dari luar kamar, Aurelie terhentak dan buru-buru berbisik, "Jess, aku dipanggil tante. Aku matiin yah."
"Iya, tante?" Setelah menjawab, pintu kamar terbuka. Aurelie bisa melihat wajah Johan di ambang pintu.
"Kamu dipanggil Papi di atas, ada yang harus dibicarain. Sekarang yah?"
"Iya, tante. Aurel ke sana sekarang."
Johan tersenyum. Sebelum Aurelie benar-benar pergi, Johan menahan lengannya dan menatapnya penuh arti.
"Aurel, apa pun yang Papi perintahkan, jangan membantah yah. Tante mohon banget, jangan ikutin Jessy. Udah cukup Jessy yang malu-maluin tante di hadapan Papi, kamu jangan kayak gitu yah?" Johan tersenyum, tapi matanya malah menyorotkan tajam yang membuat Aurel tertegun. "Tante udah besarin kamu sama Adnan dengan peraturan keluarga yang baik, tolong yah jaga nama baik tante? Cuma kamu sama Adnan yang bisa tante harapkan."
Untuk kesekian kalinya, Aurel memulai perang dengan batinnya sendiri tentang keinginan dan kewajiban yang ingin ditentang, tapi tak punya kuasa yang cukup untuk itu. Kenyataannya dia masih berada pada peraturan keluarga yang sama, sekalipun sudah melepaskan jiwanya dari sana. Persaingannya dengan Adly yang sudah seharusnya berakhir, malah menjadi masalah yang besar bagi keluarganya.
Sementara Adly? Persaingan baginya sudah tak berarti lagi. Sekalipun ingin, dia tetaplah si nomor satu yang tak bisa dikalahkan. Dunianya sekarang bertumpu pada kemenangan-kemenangan yang pasti, walau jauh dalam batinnya ada luka yang belum juga sembuh. Tentangnya dan hal yang disebut rumah.
"Nggak apa-apa kok kalau kamu nggak dapat PIN emas itu. Nggak dapat PIN emas, bukan berarti dunia kamu hancur kan, nak?"
Adly menaikkan tirai jendela sambil mendengarkan ocehan Raya, ibunya yang masih berbaring di tempat tidur.
"Iya," jawab Adly lalu menatap Raya. "Ada yang lebih pantas juga dapat PIN itu."
Raya tersenyum. "Tapi kamu udah ada rencana belum mau ke mana lulus sekolah nanti?"
Adly terdiam sesaat lalu menggeleng. "Belum."
"Loh kok belum? Bentar lagi udah mau kelas ujian lho." Raya menatap khawatir. "Adly punya cita-cita kan?"
Cita-cita. Impian.
Terkadang, Adly berpikir—lima tahun nanti, dia akan berada di mana dan dalam keadaan apa? Seperti apakah Adly di masa itu? Berbagai rencana dalam benak, tapi sejauh apa pun dia berpikir, Adly tak tahu kenapa, ia tak punya bayangan apa-apa tentang masa depan.
Atau, apa ia masih punya hari esok untuk hal itu?
"Mama nggak mau nentuin masa depan kamu. Kamu lebih tahu apa yang kamu. Mama juga nggak akan nuntut apa-apa kok. Tapi, kamu harus yakin kalau kamu udah rencanain masa depan kamu yah? Mama pengen lihat kamu sukses dengan pilihan kamu sendiri."
Tak ada tuntutan atau peraturan yang membuatnya tertekan, tapi kenapa hatinya terasa kosong?
Keinginan seakan surut dan ia merasa setengah dirinya tidak hidup lagi. Entah perasaan apa ini, Adly merasa asing.
"Hm. Mama sehat aja dulu. Jangan sakit, biar bisa lihat Adly di masa depan."
Setelah bilang begitu, Adly melihat layar ponselnya menyala. Ada pesan masuk dari seseorang.
Airin Clark: barusan beli buku-buku segini banyak. buku pelajaran lg. gmn? keren ga? 😊
Adly membuka foto yang dikirim. Ya, benar sih ada banyak buku yang dibeli Airin, tapi tetap saja yang paling banyak itu buku-buku fiksi seperti novel dan komik. Buku pelajaran hanya terhitung tiga buah, itu juga terbitan lama.
Adly: banyakan komik
Airin Clark: tapi udh ada kemajuan tau beli buku banyak 😂
Adly: bsk mau ke toko buku bareng?
Airin Clark: gitu kek ngajak😆
Airin Clark: mau lahh
Di seberang sana, Airin yang sudah mengatur buku-bukunya di rak tersenyum bangga. Tentu saja bangga karena udah menghamburkan uang untuk hal-hal yang berguna. Ah, tak yakin juga sih karena Airin belum tentu mau membaca buku pelajaran, tapi setidaknya di rak buku itu tak hanya ada novel dan komik. Kamarnya selangkah lebih berfaedah sekarang.
Ponsel kembali berdering. Airin pikir itu balasan pesan dari Adly, tapi ternyata itu pesan dari Arian yang sedang mengabari berada di studio bersama Jessy dan mengirimkan selfie. Mereka sedang mengantar Marlen untuk ikut casting film layar lebar.
Airin tersenyum.
"Wah, Marlen serius mau jadi aktor yah," gumam Airin.
Setelah bilang begitu, dia melihat keluar jendela tepatnya ke langit.
"Bentar lagi, orang-orang mau bersinar. Mereka punya rancangan masa depan yang bagus, pasti bakal sukses. Gue ... di masa depan bakal bersinar juga nggak yah?"
Terkadang Airin merasa hanya dunianya yang berhenti berputar di tengah-tengah mereka yang dunianya terus berjalan. Selama ini tak tahu apa yang dikejar, apa yang bisa ia lakukan? Karena walaupun ia punya PIN perak, Airin merasa itu belum cukup. Ia merasa tidak ada apa-apanya dibanding pemegang PIN perak lain yang dianugerahi bakat khusus.
Ah, Airin selalu merasa seperti ini, sambil berharap dalam hati ...
Gue pasti bisa nyusul mereka. Gue pasti bisa bersinar bareng mereka, nanti.
◽◽◽
Chapt 1; DREAM HIGH
coming soon! ⭐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro