TEAM: 9: PROGRAM OSIS
HAPPY READING
...
Hari ini sekolah ramai akan kedatangan peserta studi banding sekaligus tim penilai yang akan memberikan skor pada kandidat calon ketua osis SMA Bintang Favorit. Aurelie dan Adly. Pemandangan yang sudah biasa bagi mereka yang berstatus kakak kelas, juga pemandangan unik yang mengejutkan bagi mereka yang baru saja menjadi murid baru di sekolah.
Di sinilah Aurelie dan Adly berada, menyambut para peserta studi banding dengan pakaian putih abu-abu lengkap dengan almamater mereka yang khas dengan warna abu-abu. Tak lupa jepitan perak sebagai penanda mereka adalah pemegang PIN menggantung rapi di kerah seragam mereka. Simbol unik yang estetik, yang pastinya mampu membuat orang-orang bertanya; kenapa hanya mereka yang menggunakan jepitan perak itu?
"Kita pernah dengar tentang program PIN di sekolah ini. Tapi, kita masih belum ngerti bagaimana cara kerja program PIN ini? Apa berarti pemegang PIN itu kelas unggulan?"
Aurelie tersenyum, "Di sekolah kami tidak ada kelas unggulan. Program PIN ini adalah tanda dari sekolah memberi feedback bagi kami yang masuk kualifikasi. Di pertengahan semester, setiap siswa yang masuk kualifikasi akan lanjut ujian dan seleksinya akan dilihat secara keseluruhan."
"Kualifikasinya hanya dilihat dari siswa yang menyumbang prestasi di sekolah, ya?"
"Nggak kok, bukan berarti hanya orang-orang yang pernah ikut lomba. Kualifikasinya dilihat dari skor yang dikumpulkan. Setiap poin dari peraturan sekolah jika ditaati dengan baik, skornya akan meningkat dan lolos kualifikasi."
"Tapi, yang kita dengar pemegang PIN di sekolah ini emang cuma orang-orang yang punya piagam penghargaan aja."
"Itu mungkin hanya kabar lewat, sekolah ini memandang status semua siswa itu sama kok."
Aurelie masih menampilkan senyuman ramah, seakan senyum itu menghipnotis orang-orang untuk terpesona dengannya. Meyakinkan pada tim penilai betapa uniknya program sekolah mereka. Padahal, sebenarnya gerah juga membahas tentang program PIN dan harus mengagungkan sekolah seperti ini.
Aslinya program PIN ini tidak semulus itu. Sekolah tidak memandang sama setiap siswa. Selalu ada yang diistimewakan, dalam konteks ini mereka yang berhasil ikut ajang lomba dengan membawa pulang piala sekolah adalah murid yang akan dihargai dan pasti akan diluluskan dalam program PIN.
Memangnya, sekolah mana yang menganggap semua murid itu sama?
"Trus, apakah program PIN berpengaruh kalau seandainya kalian melakukan pelanggaran sekolah?"
"Pelanggaran itu hal yang nggak bisa ditoleransi. Jadi, program PIN akan sangat berpengaruh kalau kita punya catatan kelakukan buruk selama di sekolah. Pin kita pasti akan dicabut dan harus ikut ujian lagi kalau mau kembali."
Mereka yang ikut mendengarkan mengangguk-angguk paham.
Sementara itu di tempat lain, tepatnya di belakang sekolah di mana Adly membawa kelompok peserta studi banding lainnya menjelajahi sekolah juga menjelaskan hal yang sama tentang program PIN.
"Jadi, kalau nggak mau PIN-nya dicabut, kita harus taat peraturan sekolah dan lebih giat belajar lagi."
"Wah, berarti menarik banget ya kalau nantinya kita lulus program-nya. Ngebayangin lepas dari biaya sekolah pasti lega banget," komentar salah satu dari peserta studi banding.
Adly hanya mengangguk setuju.
"Trus, apa perbedaan PIN kalian dengan PIN emas? Info yang kita dengar, Adnan Sevenor satu-satunya orang yang bisa sampai ke tahap Pin itu 'kan?"
"Ya. Adnan Sevenor berhasil lulus ke tahap PIN emas. Itu berarti masa depannya udah dijamin sekolah."
Mereka mengernyit bingung, bersamaan dengan Adly yang menghentikan langkah melirik mereka.
"SMA Bintang Favorit udah bekerja sama dengan perguruan tinggi Internasional, seperti Ivy League, bekerja sama dengan beberapa perusahaan lokal dan interlokal. Jadi, bagi mereka yang punya PIN emas bebas memilih mau kuliah atau kerja di tempat-tempat yang direkomendasikan sekolah. Itu keistimewaannya."
Percaya tak percaya, mereka berdecak kagum.
Ini lebih dari gila. Bagaimana bisa ada sekolah yang seniat itu bekerja sama dengan Ivy League atau bahkan perusahaan dan menjamin anak didiknya ke sana? Tentu harus punya biaya yang besar dan jaminan yang kuat untuk itu. Yang mana untuk sekolah seperti SMA Bintang Favorit, hal itu terdengar tidak masuk akal.
Setidaknya tidak untuk Adly yang cukup mengetahui tentang sekolah ini.
Sekolah ini agak gila. Dengan seorang pemimpin yang gila kompetisi dan kepala sekolah yang ambisius, hal itu pasti masuk akal. Dari info yang Adly tau tentang sekolah aneh ini, pemimpin mereka itu seorang wanita yang jarang sekali menunujukan presensinya dalam meeting atau dalam pertemuan penting sekolah. Dia orang yang sangat tertutup. Tapi Adly yakin, ia pasti memantau siswa-siswi dari cctv yang ada di setiap sekolah.
Atau mungkin saja dia punya mata-mata.
Dengan adanya program PIN yang seketat ini, Adly menarik kesimpulan bahwa pemimpin sekolahnya itu pastilah sosok yang sangat jenius dan gila.
Sekitar setengah jam sejak KBM dimulai, baik Adly atau Aurelie yang posisinya membawa tim terpisah, mereka tidak tau berapa skor yang mereka dapatkan sekarang. Yang mereka tau, skor itu ada dalam catatan sang ketua peserta studi banding yang sekarang tersenyum bijak mendengar penjelasan dari Adly.
"Oh ya, kemarin, kita sudah melihat wawancara nak Adly tentang robot kalkulator yang menang kompetisi tahun kemarin. Saya baru ingat kalau kamu dan Aurelie menjuarai kontes robot itu. Kalau begitu ... bisa kami melihat ... hasil robotnya?"
◽
Tak hanya Adly dan Aurelie yang sekarang ada di auditorium bersama robot kalkulator yang katanya hasil kolaborasi dari Adly dan Aurelie tahun kemarin, tertera di meja. Atas dasar permintaan dari seorang pria yang menjadi peserta studi banding, mereka pun sepakat untuk mempresentasikan hasil robot di depan tim penilai dan disaksikan langsung oleh seluruh anggota OSIS; Adnan Sevenor yang sekarang duduk di atas panggung dan kepala sekolah yang berada di lantai atas, memantau.
Meski tidak dapat dipastikan, di ruangan ini hanya Adly yang terlihat antusias memamerkan robot buatannya. Sedangkan Aurelie, entah gerangan apa tapi tiba-tiba ia hanya memaku dengan senyuman canggung pada peserta studi banding. Sesekali melirik Adnan yang tengah memicing awas ke arahnya, seakan memberi peringatan pada Aurelie agar menjaga image-nya di depan tim penilai.
"Pantas aja robot ini bisa menang, beratnya aja dua puluh lima kilo!" seru para peserta, menampilkan binar kagum setelah melihat timbangan pada robot itu.
Adly tersenyum simpul, "Ya, ini terbuat dari aluminium asli yang diimpor dari UK, kebetulan keluarga saya bekerja di sana sebagai salah satu peneliti aluminium."
Mereka kompak berseru kagum akan penuturan Adly di sana.
"Pengen liat dong gimana cara ngendaliin robotnya!"
Adly pun mengangkat remote tepat ke antena yang terpasang di kepala robot dan menekan tombol ON. "Silakan, tanya aja apa pun yang pengen kalian tau, berhubungan dengan matematika."
Salah seorang peserta mendekat, berdehem pelan tepat di depan robot. Tampak mata robot itu biru menyala, mendeteksi gerakan bibir pria di depannya.
"Rumus trigonometri."
Seketika, layar pada wajah robot dalam menampilkan deretan rumus trigonometri yang bergulir perlahan seiring dengan peserta yang tertarik membaca tulisan-tulisan di sana sambil berdempetan, penasaran. Tak hanya para peserta studi banding, tapi anggota osis juga turut kagum melihat hasil robot itu.
Melihat itu, mereka langsung antusias menyebutkan soal-soal lainnya di depan wajah robot.
"Rumus sudut rangkap dua."
"Sin 2A = 2 sin A cos A"
"Dua ribu sembilan ratus sembilan puluh lima dikali sepuluh ribu tiga ratus tiga puluh."
"30. 938. 350"
"Luas lingkaran dari panjang jari-jari lingkaran delapan sentimeter."
"L = 3,14 x 82 = 200,96 cm2 "
"Wah, keren banget!" seru mereka. "Ini mah robot google sih dibanding kalkulator. Pasti mahal kalau dijual. Kalian ada niatan mau jual robot ini?"
Adly menghela napas panjang dan menggeleng, "Robot ini hanya diikutsertakan dalam kontes, tidak untuk dijual."
"Sayang banget kalau gitu." Salah seorang pria yang merupakan ketua dari mereka melirik Adnan. "Calon ketua osis kali ini lebih hebat lagi ternyata. Pasti berat bagi kalian memilih siapa yang tepat dijadikan pemimpin, bukan?"
Adnan tersenyum ramah, "Terima kasih banyak, Pak. Kami juga turut senang dengan keahlian kandidat ketua osis di sekolah ini."
"Remaja berusia enam belas tahun seperti kalian sudah bisa merakit robot secanggih ini. Benar-benar tidak adil dengan usia saya." Pria itu terkekeh, "Bisa kami tau, gimana cara kalian bekerja sama menyusun ide robot ini dan berapa lama waktu yang dibutuhkan?"
Pria itu melirik Adly dan Aurelie secara bergantian.
"Ah, kerja sama ya? Pertanyaan yang bagus, Pak." Adly pun ikut melirik Aurelie yang sedari tadi hanya diam di sampingnya. "Mungkin Aurelie yang mau menjelaskan karena ... kayaknya dia diam aja dari tadi. Gimana, Rel?"
"Eh?" Aurelie sempat terperangah, kemudian bibirnya langsung mengulas senyuman canggung. "I—iya."
Adly memicing, berusaha menemukan kegugupan yang disembunyikan gadis itu sejak di ruangan ini.
"Dari yang kami pelajari, karena robot ini butuh pemrograman, jadi waktu yang dibutuhkan kira-kira tiga bulan. Ide untuk menjadikan robot ini serupa dengan kalkulator adalah murni ... ide kami berdua. Adly selalu mendapat bagian pemrograman dan Aurelie sendiri yang merakit robot ini."
Mereka yang turut mendengar penjelasan Aurelie ber-oh ria. Isyarat mata mereka yang saling melirik seakan menandakan, "Tidak diragukan lagi kalau Aurelie merakit robot. Dia 'kan Sevenor." alias, tak ada yang bisa menandingi kecerdasan keluarga mereka.
Tapi Adly langsung menengahi penjelasan itu dengan senyum miring, "Oh, merakit robot, ya? Kalau gitu, boleh lo jelasin ke mereka komponen apa yang dipakai dalam badan robot ini?"
Aurelie dengan cepat meliriknya.
"Microcontroller, otak robot yang bisa bekerja kalau diprogram." Aurelie menjawab sambil tersenyum.
"Pendeteksinya?" tanya Adly lagi dengan tatapan yang menantang.
"Sensor."
"Jenis?"
Aurelie mengernyit sekilas, membaca perang yang tersirat dari tatapan lelaki itu. Kemudian kembali melirik para tim penilai yang sepertinya tertarik mendengar presentasi mereka saat ini.
"Gimana dengan akuatornya?" tanya Adly lagi ketika Aurelie belum juga menjawab pertanyaan sebelumnya. Lelaki itu menyeringai, "Kestabilan saat robotnya percobaan pertama? Nilai maksimum dan minimumnya? Pengendaliannya?"
Mendengar Adly yang semakin gencar memberikan pertanyaan, para tim penilai dibuat bingung sekarang dengan sikap mereka. Lelaki itu tak terlihat seperti meminta kerja sama Aurelie, malah terlihat seperti mengintrogasinya.
"Kenapa diem aja? Soalnya susah, ya? Belum briefing?"
"Adly—"
"Kalau lo cukup pintar, harusnya soal itu nggak susah-susah amat. Berat robotnya dua puluh lima kilo, berarti komponen yang dipake nggak terlalu banyak. Ingat, ini hanya robot kalkulator, udah gue sebutin pake aluminium. Akuator listrik karena jenis sensornya fototransistor dengan tinggi tegangan lima volt." Adly menjelaskan dengan wajah datar, dan setelahnya ia mendekati Aurelie hingga menatap lekat manik gadis itu. "Gimana bisa seorang perakit robot nggak jawab itu dalam waktu lima detik?"
Entah itu terdengar kasar atau tidak, tapi konversasi mereka terdengar dingin di ruangan ini sekarang. Tak ada persaingan sehat yang terlihat dari pancaran mata keduanya, yang membuat peserta studi banding saling melirik heran.
Tanpa sadar, kepala sekolah yang tengah memantau di lantai dua tersenyum sinis. "Sangat menyenangkan. Ternyata anak itu mau mulai perang juga, hm."
◽◽◽
"Adly!" teriak Aurelie, di koridor lantai satu yang sepi.
Lelaki yang sudah berjalan lebih dahulu akhirnya menghentikan langkah ketika mendengar suara itu mendekat. Tepat ketika Aurelie sampai di depannya, Adly mengerjap datar.
"Maksud lo apa mojokin gue kayak gitu?"
"Siapa yang mojokin?"
"Lo sengaja banget 'kan bahas tentang robot buat mojokin gue?"
Adly terkekeh sinis, "Bukannya lo sendiri yang bilang tadi kalau ide robot itu hasil pemikiran kita berdua? Kenapa? Takut orang-orang tau kalau sebenarnya lo nggak bisa rakit robot alias cuma numpang nama doang ... tahun kemarin?"
"Hasil robot itu udah berlalu. Semua orang tau robot itu hasil kerja sama kita berdua. Jadi lo nggak usah ungkit apa pun soal tahun lalu!"
"Kasian banget ya lo," cibir Adly. "Ide robot lo itu gagal, cuma karena lo udah terlanjur daftar kompetisinya jadi ngemis kepala sekolah buat gabung sama gue. Lo itu—sebenarnya udah bikin malu keluarga Sevenor."
Aurelie geram, telapak tangannya terangkat berniat melayangkan tamparan untuk Adly. Tapi, entah kenapa itu tidak terjadi. Tangannya hanya mengudara, mengerjap benci ke arah Adly yang tetap saja menatap datar seakan tidak peduli, tidak juga terkejut jika Aurelie bersikap kasar seperti itu.
Hah, akhirnya kelihatan juga aslinya.
Akhirnya, Aurelie pun menurunkan tangannya dan memutar tubuh. Di banding kembali ke kelas, gadis itu memilih ke toilet. Memutar kran wastafel dan berdiri menatap pantulan dirinya di cermin.
"Gue bakal bikin perhitungan sama lo, Adly. Lihat aja. Gue pasti bisa ngalahin lo kali ini. " Aurelie bermonolog.
Tapi semua kebenciannya pada Adly mendadak berganti ketika menyadari ... ia akan bertemu dengan Adnan pulang sekolah nanti. Dengan kejadian memalukan yang terjadi di auditorium, sepertinya Aurelie akan mendapat cibiran kakaknya, lagi.
"Sial! Sial, sial, sial!" gumamnya, kali ini dengan tangan yang terkepal. "Keluarga sialan!"
"Eh? Aurel?"
Teguran dari seseorang yang berdiri di ambang pintu toilet membuat Aurelie tertegun seketika. Cepat-cepat gadis itu menetralkan wajahnya, mematikan kran air dan mengulas senyum lebar kala menoleh pada sosok yang ada di sana.
"Jessy?"
"Udah selesai penilaiannya?"
Aurelie mengangguk ramah. "Udah jam istirahat, ya?"
"Belum sih. Gue kebelet soalnya."
"Oh, gitu ya. Kalau gitu aku duluan ya."
Jessy mengiakan dan menyilakan Aurelie untuk keluar dari sana.
Seiring dengan kepergian Aurelie dan senyum ramahnya itu, Jessy menghela napas berat. Pelan-pelan kepalanya menoleh ke arah punggung sepupunya yang sudah jauh dari toilet. Sedetik kemudian, Jessy memicing curiga.
◽ TO BE CONTINUED ◽
...
chapt 10: J
coming soon! ⭐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro