Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TEAM: 5: AMBITIOUS PRINCIPAL

⭐ RE-PUBLISH 2025 ⭐

HAPPY READING

...

Gelak tawa menggelegar di kantor kepala sekolah membuat beberapa guru di sana saling tatap bingung. Tampaknya, mood wanita bersanggul dengan pakaian formal itu sangat baik hari ini untuk meminta para guru bertemu dengannya. Memutar kursi, berhadapan dengan mereka semua, kepala sekolah memperlihatkan bacaan korannya pada mereka.

"Lihat, kalian lihat!"

Mendengar perintah dari kepala sekolah, para guru maju selangkah, merapatkan barisan untuk membaca kabar yang tertera di sana.

Pembongkaran gedung Jakarta International Prime School dilakukan sejak hari Rabu, 28 Juli sampai dengan sekarang.

Belum selesai mereka membaca, kepala sekolah langsung melempar koran dengan tawa yang masih menggeledak, bersamaan dengan para guru yang mengambil posisi ke tempat semula.

"HAHAHA, ini kabar yang paling bagus seumur hidup saya, kalian tau itu?!"

Bu Rahma yang ada di barisan depan tersenyum canggung. Tentu semua guru tau dengan jelas kalau itu adalah kabar menggembirakan bagi kepala sekolah.

Pasalnya, sekolah yang ada dalam kabar itu menjadi saingan terbesar sekolah mereka sejak lima tahun terakhir, apa lagi di sana terdapat kehadiran gadis berprestasi yang namanya hampir terkenal di seluruh Indonesia, membuat SMA Bintang Favorit harus berusaha lebih keras lagi meraup posisi sekolah terbaik nomor satu di Indonesia.

Tapi, sejak setahun yang lalu di mana sekolah itu resmi dibubarkan karena kasus yang besar, sekolah mereka berhasil merebut kembali posisi sekolah terfavorit. Terlebih setelah kehadiran tim lima laminasi wajah dari angkatan yang baru saja naik kelas ini.

"Saya tidak tau lagi bagaimana harus bersuka cita, oh! kalau perlu kita harus merayakannya dengan berpesta nanti, hahaha ...,"

Kepala sekolah masih terbahak hingga tak sadar air matanya menetes. Memegang perutnya yang mulai tidak enak sembari mengusap bulir yang mengintip di pelupuk mata. Se-lucu itukah kabar yang ia dengar? Mereka tak habis pikir, bagaimana bisa wanita itu bersuka cita atas penderitaan orang lain? Apa dia tau kalau sekolah yang dibubarkan itu mengalami kerugian yang paling parah?

Hening setelahnya, yang membuat para guru tidak tau harus menanggapi kebahagiaan kepala sekolah itu seperti apa. Pada akhirnya hanya menahan napas dan saling melirik dengan ekor mata.

Tawa itu pun reda. Berganti menjadi cengiran lebar, menatap satu per satu para guru yang sudah memaksakan senyum mereka.

"Kalau begini jadinya, kita tidak perlu memikirkan saingan lagi. Saya yakin tahun ajaran ini pasti akan lebih banyak lagi siswa-siswi yang bisa membawa baik nama sekolah kita," ujar kepala sekolah, sembari melirik laminasi wajah yang ada di dalam lemari kaca.

Para guru mengangguk setuju.

Sekarang, pemegang PIN perak itu menjadi satu-satunya kebanggan kepala sekolah. Sumber kebahagiaannya selain Adnan Sevenor, ketua osis yang sebentar lagi akan lulus dari sana. Juga, baru kali ini sekolah mereka mendapatkan pemegang PIN perak terbanyak, berjumlah lima orang. Kalau tahun kemarin, pemegang PIN perak hanya satu orang. Itu juga hanya berasal dari garis keturunan Sevenor.

"Semoga saja, tahun ini mereka membawa pulang lebih banyak piala lagi untuk sekolah kita dan kita akan perlihatkan pada mereka seberapa berkualitasnya sekolah ini. Kalian tidak lupa juga untuk menyelenggarakan program guru tahunan 'kan?"

Mereka mengangguk lagi.

Kepala sekolah tersenyum penuh arti, "Tapi, walau kalian berusaha. Kalian tidak mungkin bisa mengalahkan Bu Rahma. Bu Rahma punya dua anak didik yang paling berprestasi di sekolah ini. Gelar guru favorit pasti akan didapat oleh Bu Rahma lagi. HAHAHA!"

Beberapa guru melirik Bu Rahma yang ada di barisan depan, membuat wanita itu kikuk sendiri. Menggerutu dalam hati. Bisa-bisanya kepala sekolah blak-blakan seperti itu pada mereka. Tidak tahukah beliau jika itu akan memunculkan musuh-musuh terbaru yang semakin membenci Bu Rahma? 

Sialan! Bagaimana bisa dia tertawa sekencang itu?

Setelah keluar dari ruangan kepala sekolah, para guru kembali ke ruang mereka. 

Bu Rahma jelas bisa mendengar suara bisik-bisik mereka yang mana disana terkandung butir-butir kedengkian karena Bu Rahma selalu terkenal dengan image guru favorit di sekolah atau ... bisik-bisik itu terjadi karena ulah Bu Lala. Musuh bebuyutan Bu Rahma selama di sekolah.

"Ya, Bu Rahma emang selalu nyari muka sih depan kepala sekolah. Pasti dia juga yang minta untuk bisa jadi perwaliannya Adly dan Aurelie biar nanti dapat gelar guru favorit lagi. Bener-bener serakah."

Ampun deh, julid banget!

"Maaf ya, Bu Lala. Saya nggak pernah tuh minta jadi perwaliannya Adly atau Aurelie. Jadi jangan sembarangan kalau ngomong," balas Bu Rahma, berusaha sabar untuk tidak menjitaknya. 

Bu Lala mencibir, bibirnya yang berlipstick merah tebal itu bergerak tidak karuan. "Kalau gitu, kenapa bisa berturut-turut Bu Rahma dapet anak didiknya Sevenor? Pasti Bu Rahma 'kan yang minta? Nggak masuk akal banget kalau Bu Rahma selalu dapetnya Sevenor. Mentang-mentang mereka keluarga yang pinter-pinter jadi Bu Rahma manfaatin mereka."

"Saya nggak memanfaatkan keluarga Sevenor!"

Setelah membentak seperti itu, Pak Willy masuk ke dalam ruangan. Sempat canggung dengan mereka karena sepertinya ia masuk dalam suasana yang dingin-dingin asem sekarang. Begitu melihat Pak Willy masuk, Bu Lala dan sejumlah guru yang lain langsung merapikan tatanan rambut mereka, dan menampilkan senyum manis seramah mungkin. 

Bu Rahma yang menyadari para guru berubah kalem pun mendelik. Yah, maklumlah. Pak Willy ini guru yang sangat tampan, jangankan guru-guru berumur seperti mereka, para siswi saja ada yang terpesona dengannya. 

Mereka tidak tau saja kalau Pak Willy yang tampan ini sudah menjadi kekasih Bu Rahma.

"Eh, ada Pak Will. Udah jam istirahat nih, bapak belum makan juga?" tanya Bu Lala dengan wajah genit. 

Pak Willy masih dalam keadaan canggung, berusaha memahami apa yang terjadi sebelum ia masuk ke ruang guru ini dan ... kenapa pacarnya malah memicing tajam?

Pak Willy pun berusaha untuk tersenyum ke arah Bu Lala dan guru-guru itu, "Belum, bu."

Sedang Bu Rahma jadi panas dibuatnya. Ia mengepalkan tangan dan segera keluar dari ruang guru, meninggalkan Pak Willy yang masih kebingungan digoda Bu Lala dan kawan-kawan. 

"Mau makan bareng nggak, pak?" goda Bu Lala. Yang lain malah berseru mengajak makan bersama. 

"Eh, saya permisi dulu, bu," ucap Pak Willy, sopan dan segera keluar ruangan tanpa menunggu respons mereka lagi. Berniat mengejar Bu Rahma. Dilihatnya wanita itu berada di ujung selasar dengan wajah cemberut. "Rahma, tunggu!"

Ketika sejajar dengan Bu Rahma, Pak Willy pun langsung menatap wajahnya dengan menghentikan langkah. "Rahma, kamu tuh kenapa sih?"

"Enak banget ya kamu, senyum mulu sama mereka! Kamu tau nggak aku habis diomongin yang nggak-nggak sama Bu Lala?"

Ternyata itu masalahnya

"Ya kan kamu tau sendiri. Mereka itu gimana orangnya. Kamu nggak usah emosi, cuekin aja mereka."

"Cuekin? Kamu gampang banget ngomongnya! Aku difitnah tahu, dikata aku manfaatin Sevenor buat jadi guru favorit di sini."

"Ya, ya ... terus aku bisa apa?"

Bu Rahma mendesah kesal. Pake nanya lagi.

"Ya kamu publish aja hubungan kita! Biar mereka nggak genit sama kamu lagi, seenggaknya kuasa kamu tuh bisa bikin mereka nggak berani hujat aku lagi."

Pak Willy terdiam cukup lama mendengarnya. Menimbang. Atau sepertinya lebih ke arah ragu untuk menyetujui hal itu. Bu Rahma masih tidak tau apa alasannya. Tentang kenapa Pak Willy tidak pernah mau mengumumkan hubungan mereka? 

"Bakal aku umumin, tapi belum sekarang juga, Ma. Ini masih terlalu cepat."

Selalu jawaban yang sama yang membuat Bu Rahma melengos. Pak Willy mengejarnya lagi, berusaha menahan langkah Bu Rahma.

"Rahma, tiga bulan deh. Kasih waktu tiga bulan buat aku publish hubungan kita."

"Kenapa lama banget sih? Satu bulan aja!"

"Tiga bulan, habis itu aku janji bakal nikahin kamu secepatnya."

Bu Rahma sempat terdiam dengan raut berpikir. Menikah? Ulangnya, benarkah mereka akan menikah? Karena sejujurnya Bu Rahma sudah kepengen nikah dan Pak Will belum juga menunjukkan tanda-tandanya. 

"Bener yah, Mas?" 

Pak Willy mengangguk-angguk sebagai jawaban. "Senyum dong, jangan cemberut lagi."

Sementara itu, di ruangan kepala sekolah, wanita dengan sanggul tinggi itu tersenyum puas menonton dari CCTV pribadinya di mana para guru sedang meributkan perihal guru favorit yang akan diselenggarakan tahun ini. Pasti mereka sangat pesimis dan merasa kalau Bu Rahma yang akan menjadi guru favorit lagi. 

Dari sini, bisa terlihat betapa besar keinginan mereka menjalankan program sekolah. Bukan hanya para siswa yang punya ambisi, tapi para guru juga punya ambisi meraih gelar yang dibuat sekolah—di mana hal itu secara tak sadar menimbulkan keributan bagi mereka. 

Siapa yang peduli? Kepala sekolah memang punya ambisi membuat kompetisi menarik di sekolah ini. Semakin mereka berambisi, semakin senang pula wanita bersanggul itu. 

Lalu Kepala Sekolah beralih melirik tim lima laminasi wajah yang spanduk kecilnya yang menghiasi lemari sekolah. Wanita itu memutar kursi dengan senyum yang lebar. 

Sebentar lagi persaingan sesungguhnya antara lima anak-anak itu akan dimulai. Hah, pasti mereka sangat tertekan karena harus sekelas, apalagi Adly dan Aurelie.

"Ini akan jadi kompetisi yang menyenangkan!"

◽◽◽

Hari berikutnya berjalan seperti biasa; rutinitas para guru yang sibuk menyiapkan bahan ajar di kelas sebelum jam istirahat berakhir, serta menyesuaikan jam belajar dari program tahunan yang telah disusun sejak lama. Berhubung sekolah ini punya program tahunan pemegang PIN perak atau emas berdasarkan skor, pekerjaan mereka bertambah dengan mencatat skor dari setiap murid. 

Bu Rahma menggeleng ketika melihat skor Marlen di tahun ajaran kemarin. 

Kosong. 

Ah, lelaki gemulai itu benar-benar bikin Bu Rahma tak habis pikir. Bagaimana bisa anak sebongsor itu manja? Lebih menyebalkan lagi, bagaimana bisa ia harus menjadi perwalian anak itu?

"Hm? Marlen?"

Suara Pak Willy yang ada di belakang membuatnya terkejut. Jarak bangku mereka memang bersebelahan, jadi jika jam istirahat seperti ini, mereka berdua bisa leluasa berduaan di ruang guru dengan alasan mengurus berkas. 

"Iya, mas. Aku jadi pusing banget mikirin anak itu."

"Eh? Kenapa?"

Bu Rahma mengangkat kertas yang berisi skor para murid di kelasnya. "Skornya nol. Kamu tau? Hari pertama aja masa aku harus nganterin dia ke tempat duduk. Udah gitu dia susah banget dibilangin."

Pak Willy tersenyum, "Mungkin itu kenapa kamu jadi guru favorit di sini, kamu tuh orangnya sabar banget. Makanya dikasih kepercayaan didik Marlen."

Mereka bercerita seolah Marlen adalah anak khusus.

"Apa sih, mas." Bu Rahma tersipu, karena merasa itu pujian untuknya. "Kamu sendiri gimana, mas?"

"Yah, itu—nggak seburuk kamu juga sih," jawab Pak Will, tersenyum masam. Bu Rahma mengernyit. "Sun Shiera. Malah dia yang ada di kelasku."

Berita yang cukup mengejutkan sehingga Bu Rahma terbelalak.

"Sun Shiera? Sunny? Duh, mas. Kalau gitu kamu harus hati-hati. Nggak boleh berbuat kesalahan. Sunny itu bagaikan telur ayam yang harus dijaga, nggak boleh sampe pecah."

"Rahma? Kok kamu sama-samain Sunny sama telur ayam?" seru Pak Will.

"Loh, emang gitu perumpaannya, mas."

"Ya jangan telur ayam, Ma. Terlalu murahan. Nanti kamu bisa kena pasal pencemaran nama baik."

"Astaga iya bener, mas! Duh trus gimana dong? Aku udah terlanjur nyamain Sunny sama telur ayam!"

"Selamat siang, pak."

"Haduh mati saya!" Bu Rahma semakin panik ketika melihat Sunny yang tiba-tiba ada di belakang mereka.

Wajah gadis itu datar menatap Pak Will, seakan tidak tertarik dengan pembahasan telur ayamnya dengan Bu Rahma. Sedang Pak Willy sendiri, ia sudah geregetan karena takut Sunny akan melaporkan pembahasan absurd mereka tadi.

"Eh Su—Sunny?"

"Saya mau izin pulang ke rumah siang ini, saya nggak enak badan."

"Oh, si—silakan, Sunny. Boleh. Kamu boleh pulang sekarang. Istirahat yang full yah di rumah, banyak minum obat juga."

"Kalau banyak minum obat nanti saya mati, Pak," tutur Sunny datar.

Pak Willy dan Bu Rahma terdiam, menelaah selama beberapa detik. Lalu sama-sama terkejut.

"Bu—bukan begitu maksud saya, Sunny. Saya nggak nyumpahin kamu mati. Maaf, Sunny. Maaf."

Pak Will sampai harus menunduk selama beberapa kali berkata seperti itu. Bu Rahma linglung sejenak. Pada akhirnya ikut menundukkan tubuh juga seakan Sunny adalah seorang ratu yang harus dihormati.

Sunny hanya mengerjap datar, "Saya permisi."

"Iya, Sunny. Mau saya antar sampai di depan?"

"Nggak perlu. Saya bisa sendiri."

Sunny benar-benar pergi dari hadapan Pak Will dan Bu Rahma yang sudah gugup setengah mati. Pak Will dan Bu Rahma secara bersamaan mengembuskan napas lega dan menyapu-nyapu dada mereka.

"Duh aku pikir hari ini akan kena masalah, mas," seru Bu Rahma.

Pak Willy tersenyum canggung. Ya, akan sangat gawat jika tahun ajaran baru ini dia akan kena masalah dari anak didiknya sendiri. Pasti hari ini akan jadi hari terburuknya selama ia hidup. Untung saja Sunny tadi hanya izin mau pulang.

"Tapi, mas. Si Sunny itu sakit apa yah? Wajahnya sampe pucat gitu."

◽ TO BE CONTINUED ◽ 

TADDA! Aku masukin Jakarta International Prime School alias JIPS di part ini untuk mengenang pembongkaran sekolahnya hihihi. Yang berarti setting cerita ini, bersamaan dengan dibongkarnya gedung JIPS. 

Bagi kalian yang nggak tau tentang JIPS, itu adalah sekolah yang ada di cerita sebelah. Judulnya SEAMLESS. Kalau berkenan, silakan dibaca ya^^

...

chapt 6; Sun Shiera 

coming soon!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro