TEAM: 16: ARIAN'S MISSION
"Bahkan bagi mereka yang ada di sekelilingnya pun, dia masih misteri."
ARIAN
HAPPY READING
...
"ARIAN!"
Satu-satunya orang yang bisa berteriak seperti itu pada Arian adalah Airin.
Sejak kecil, gadis itu punya hobi berteriak jika memanggil namanya. Entah apa bagusnya memanggil dengan suara besar seperti itu, apa ia pikir telinga Arian itu bermasalah? Tak ada yang tahu.
Coba saja kalau gadis itu memanggil Leon, pasti suaranya berubah lembut dan ada pancaran kegembiraan di dalamnya yang pasti dapat ditebak semua orang—kecuali Leon sendiri.
"Apa sih? Ini gue denger," gerutu Arian.
Gadis itu malah cengengesan dan merangkul Arian. "Lo tau, nggak? Di fore ada promo lho. Nih."
Airin memperlihatkan layar ponselnya yang menampilkan promo fore coffee, berharap Arian akan menyambutnya dengan antusias. Tapi, yang terjadi cowok itu malah menatap Airin remeh.
"Terus?"
"Ya lo bayarin gue kek ke sana. Udah lama nih kita nggak ngopi."
"Dih, yang ada juga elu yang harus bayarin. Lu pulang dari San Fransisco juga nggak bawa oleh-oleh, malah seenaknya minta traktir."
Airin menekuk wajah, melepaskan rangkulannya dan memukul bahu Arian pelan. "Kan udah gue bilang ketinggalan di hotelnya. Ya masa gue harus balik ke sana lagi sih buat ngambil?"
"Ha-ha-ha, lucu banget," cibir Arian.
Airin masih tetap menekuk wajahnya, kali ini tertekuk semakin dalam hingga bibirnya mengerucut seperti bebek. "Lu mah gitu. Coba kalo ada Leon, pasti dia mau diajak ke sana."
Ya, memang benar sih. Soalnya Leon selalu menuruti keinginan Airin. Bisa dibilang dia paling sering memanjakan cewek aneh itu, jadi jangan heran kenapa Airin bisa jatuh hati pada Leon. Sayangnya cowok itu sedang latihan basket sekarang.
Sedangkan kalau Airin bersama Arian, yang akan terjadi adalah mereka saling cibir satu sama lain, bertengkar dan adu bacot. Intinya Airin dan Arian itu bagikan Tom and Jerry yang akur kalau ada misi tertentu.
"Mending lu tuh cari pacar biar lu bisa ajak jalan ke mana-mana."
Mendengar ucapan Arian, Airin membuang pandangan ke tempat lain. Bibirnya yang tadi mengerucut, beralih seperti semula. Sepertinya salah tingkah, atau memang tidak ingin membahas itu.
Airin memang sih pernah ditembak beberapa cowok di SMP dulu. Tapi, semuanya ditolak. Tahu kan, apa alasannya?
"Jangan nungguin yang nggak pasti," sambung Arian lagi.
"Heh! Jangan sok tahu," balas Airin.
"Dih lu pikir gue nggak tahu? Jelas banget. Bisa dilihat dari ujung langit ke tujuh perasaan lu itu arahnya ke mana."
Kali ini Airin menatap lelaki itu serius. "E—emang iya? Lo tahu?"
Arian mengangguk-angguk. Kali ini mendekati Airin dan merangkul gadis itu, setengah berbisik. "Lu suka sama Adnan kan?"
"Dih, ngapain suka sama si bebelac?" Airin berseru kesal.
"Udah ngaku aja. Lumayan lu bisa jadi salah satu spesies unik di keluarga Sevenor. Ntar anak lu juga bisa pinter kek Adnan, ganteng pula. Dapet tante cantik kek Aurelie. Wih, selamat lahir batin lu, Rin." Arian menggeleng-gelengkan kepala, tak bisa membayangkan sahabatnya akan berganti marga menjadi Sevenor. Impresif!
"Ini namanya penghinaan, Yan. Nggak bisa dibiarin. Nggak bisa." Airin menggelengkan kepalanya, tak terima. Arian hanya tersenyum simpul. "Lagian juga gue kalau suka sama cowok pasti gue cerita kok, di antara kita nggak ada rahasia 'kan?"
Apanya yang nggak ada rahasia? Arian merotasikan bola matanya. Jelas-jelas malah cewek itu yang bermain rahasia dengan mereka. Menyimpan perasaan pada sahabat sendiri tanpa mengutarakannya, bukankah itu termasuk rahasia?
"Lo juga gitu, Yan. Jangan main rahasia-rahasiaan. Kalau lo punya perasaan sama seseorang, cerita. Tuh kek Leon, dia nggak malu lho ngomongin perasaan dia tentang Prity ke kita."
Dan dalam jarak yang sangat dekat, Arian akhirnya membalas tatapan Airin yang ada dalam rangkulannya. Entah kenapa, tatapan serta perkataan yang keluar dari mulut gadis itu seakan menyindirnya yang selama ini tak pernah memberitahu apa pun soal perasaannya.
Jangankan tentang perasaan, bahkan kehidupan Arian saja masih abu-abu. Baik Airin atau Leon, mereka tidak tahu banyak tentang Arian karena lelaki itu tak pernah mau membuka diri. Yang mereka tahu, ayah Arian adalah donatur sekolah, Arian itu kaya raya dan di mana letak rumah Arian. Hanya itu saja yang mereka tahu setelah bersahabat bertahun-tahun lamanya.
Arian lebih banyak menjadi pendengar dibanding bicara. Kalaupun Arian ingin bicara, itu pasti hanya mengejek Airin atau Leon, membuat bahan lawakan atau menyapa para penggemar gadungannya yang kelewat centil. Percayalah, jika Airin atau Leon menanyakan banyak hal tentang dirinya pun, Arian hanya akan menjawab dengan kedikan bahu.
Memang tidak adil bagi Airin dan Leon yang sering menceritakan banyak hal tentang dunia mereka. Namun, semakin lama mereka sadar juga kalau Arian itu membatasi pribadinya pada mereka. Tidak semua harus diceritakan, sedekat apa pun mereka. Tetap saja harus ada batasan-batasan yang menurut mereka tidak nyaman diberitahu, jadilah Airin dan Leon paham dan tidak mengorek masalah pribadi Arian lebih jauh.
Dan dari pribadi Arian yang seperti itu mereka menyimpulkan bahwa Arian itu ... misteri.
"Iya ntar kalau gue nikah ma Gigi Hadid gue cerita," jawab Arian akhirnya memutuskan pandangannya dari Airin. Lalu bibirnya membentuk senyuman manis. "Yuk ke fore, gue jajanin lu sepuasnya deh."
Airin mengernyit melihat keanehan itu. Lihat saja, bibirnya tersenyum tapi matanya malah memancarkan kekosongan.
◽◽◽
Pulang dari fore coffee selepas dipalak Airin, Arian kembali ke rumah ketika hari sudah hampir malam. Mau bagaimana lagi? Demi memanjakan sahabat imutnya itu, Arian harus merelakan waktunya terbuang sia-sia. Lagi pula, selama ini Arian agak kasihan dengan Airin. Tahun ajaran kemarin gadis itu kesepian karena Leon sibuk mengejar kejuaraan event basketball, sedang Arian sibuk berlatih piano untuk bisa tampil dalam pementasan di luar negeri.
Ia tahu pasti Airin merasa jauh dari mereka berdua, dan juga ... kadang Arian sering menangkap raut murung gadis itu bila para murid hanya menyapa Leon atau Arian seolah mereka tidak menyadari keberadaan gadis dengan half-bun itu. Makanya Arian mau memanjakan Airin hari ini meski hanya sekedar membeli butterscotch sea salt latte dan camilan fore lainnya.
"Lho Tuan Muda udah pulang?" sapa seorang pria dengan setelan jas abu-abu yang mendadak hadir di depan Arian ketika lelaki itu membuka pintu.
Langsung saja Arian menghembuskan napas panjang. Wajahnya berubah datar ketika menyadari kehadiran pria itu.
"Tumben sekali Tuan Muda pulang jam begini? Biasanya pulang lebih awal."
"Lu tuh kerja apa mau bacot sih? Kepo banget urusan orang," ketus Arian.
Kemudian bergegas naik tangga, membiarkan pria berjas itu mengikutinya dengan senyuman lebar dari belakang.
"Senang bisa kembali bekerja di rumah ini lagi dan bertemu Tuan Muda. Apa kabar, Tuan?"
"Baik."
"Baguslah kalau begitu. Berhubung saya sudah kembali di sini, bagaimana kalau kita memulai pembicaraan di ruangan seperti biasa? Ada sedikit info dari Pak Direktur."
Arian menghentikan langkah ketika sampai di lantai pertama, wajahnya terlihat lesu tapi pada akhirnya terpaksa berhadapan dengan pria berjas yang senyumnya agak menyebalkan ini. Ya, setidaknya menyebalkan bagi Arian.
Pria ini adalah Mr. Bee, suruhan sekaligus kepercayaan orang tua Arian selama di rumah sejak Arian kecil. Sudah setahun Mr. Bee tidak bekerja lagi hingga Arian mengira pria itu sudah dipecat atau memang sedang cuti ke luar Negeri. Entahlah ... tapi sekarang malah datang lagi dengan info terbaru yang katanya dari Pak Direktur? Ini menyebalkan.
Apa pun yang berurusan dengan orang tuanya memang selalu menyebalkan.
"Nah, ide bagus tuh. Gue juga bertanya-tanya, ngapain coba lu balik lagi ke sini? Bukannya lagi liburan?"
"He, Tuan Muda jangan gitu dong. Aku bukan liburan kok, aku hanya mencari inspirasi."
Arian menurun-naikan alisnya. "Ya udah. Ngomong di sini aja, gue capek ke ruangan lu."
Mr. Bee tersenyum ramah. "Ah, baiklah." Lalu melangkah, mengitari Arian yang stagnan di tempat. "Tuan Muda, tahu kan usia Tuan Muda ini beranjak tujuh belas tahun? Dan dalam catatan saya, jika usia Tuan Muda sudah tujuh belas tahun maka Tuan Muda akan menjalani misi yang sudah diputuskan Pak Direktur."
Arian mendengkus, sepertinya sudah tau ke mana arah pembicaraan mereka. Harusnya ia memang sudah peka sejak awal karena misi kali ini adalah misi yang selalu disampaikan orang tuanya berulang kali.
Mr. Bee tersenyum simpul, "Jadi, sepertinya Tuan Muda sudah paham kan misi Tuan Muda kali ini?"
"Paham. Tapi gue lagi capek, nanti aja ngomonginnya. Bye!"
"Maaf sekali, Tuan Muda. Tapi, Pak Direktur minta laporannya hari ini. Kalau tidak, mungkin Tuan sendiri yang harus berhadapan dengan Pak Direktur."
Arian benar-benar jengkel mendengar itu, ia pun mendongak melihat pancaran mata Mr. Bee yang sepertinya juga tidak peduli dengannya. Orang-orang di rumahnya sama saja, semuanya selalu tidak peduli dengan Arian.
"Tuan tahu kan? Tuan dilahirkan untuk misi penting ini."
Dan juga, kalimat menyebalkan itu selalu terdengar setiap saat. Apa lagi jika orang tuanya ada di rumah, kalimat itu selalu menjadi keramat bagi Arian yang tak pernah mau ia dengar. Sialnya, walaupun tak ada orang tua, yang mengucapkan itu malah Mr. Bee, suruhan mereka sendiri.
"Gue dilahirkan buat nentuin hidup gue sendiri, bukan buat misi ga jelas. Ngerti lu?"
Kali ini Arian menuruni anak tangga, niatnya untuk berlama-lama di kamar tidak terealisasikan dengan baik. Mr. Bee memanggil-manggil namanya dan mengejar, tetapi akhirnya berhenti ketika Arian sudah keluar dari rumah dan menutup pintu dengan keras, beralih menuju paviliun di samping rumah di mana segala macam peralatannya untuk sekedar bersantai ada di sana. Termasuk piano.
Bagi Arian, piano adalah samsaknya. Tempat di mana Arian bisa mengekspresikan perasaan, meluapkan emosi atau bersuka cita. Di mana setiap tutsnya selalu melambangkan makna-makna kehidupan. Ya, Arian sangat mencintai piano. Dengan atau tanpa tujuan memenangkan apa pun, dia akan selalu berlatih piano setiap hari.
Di sinilah sekarang, Arian membiarkan jemarinya menekan setiap tuts piano. Menjadikan nada-nada minor yang bervariasi terdengar indah, bersamaan dengan matahari yang perlahan mulai turun ke peraduan menciptakan senja yang mengagumkan.
Bukan hanya paviliun yang berisik, tapi kepala Arian juga. Sibuk, memikirkan apa yang Mr. Bee ucapkan—tentang misi-misi meresahkan yang harus dijalaninya.
"Ini cuma misi biasa kok, Arian. Ayah yakin kamu pasti suka."
Apa pun yang disukai orang tua, belum tentu disukai anaknya 'kan?
"Di usia tujuh belas tahun kamu harus kenalan dengan seseorang, layani dan lindungi dia karena orang itu akan berperan besar di masa depan kamu nanti."
Kira-kira begitulah petuah dari Ayahnya dulu pada Arian yang masih kelas dua SMP.
Arian pikir, maksud perkataan masa depan itu berarti ia akan dijodohkan. Cih, emangnya ini zaman Siti Nurbaya, pake acara jodoh-jodohan? Selain basi, perjodohan itu bukan hal yang diinginkan Arian. Bayangkan saja, bertemu dan berkenalan secara paksa lalu akan hidup bersama sampai tua nanti ... bukankah itu sangat norak?
Tapi, ternyata bukan hanya perjodohan yang dimaksud orang tuanya. Masa depan berarti semua kehidupan Arian bergantung hanya pada gadis itu; pekerjaan, status sosialnya dan juga perasaannya.
"Kenapa harus orang itu? Arian juga bisa nyiptain masa depan Arian sendiri tanpa bergantung siapa pun!"
"Kamu nggak akan bisa, anak lugu. Kamu dilahirkan untuk orang itu dan itu kesepakatan yang udah Ayah buat sebelum kamu ada. Diusia tujuh belas tahun, Ayah yakin kamu pasti ngerti."
Walaupun sampai sekarang masih tidak mengerti, Arian yakin. Pasti kesepakatan itu tentang bisnis orang dewasa yang Arian sama sekali tidak mengerti dan tidak mau mengerti. Apa-apaan itu? Arian dilahirkan hanya untuk orang itu? Parah sekali pemikiran mereka!
"Lagian, orang yang kamu jaga itu bukan tipe yang memalukan kok. Dia gadis ... yang sangat anggun. Ayah udah lihat dia, cantik, pintar, multitalented, she loves art and music just like you."
Membantah pun rasanya sia-sia saja, karena Arian tak punya hak untuk itu. Ia tidak berhak atas dirinya sendiri.
"Emangnya siapa? Selemah apa cewek itu sampe dia butuh pelindung?"
"Jaga dia dari orang-orang yang berniat jahat dan orang-orang yang berniat memanfaatkan kehidupannya. Buat dia jatuh cinta dan kamu akan mendapatkan apa yang kamu mau." Dengan senyuman yang puas, Ayahnya pun melirik Arian, "Namanya ... Sun Shiera."
◽ TO BE CONTINUED ◽
...
chapt 17: tiga serangkai
coming soon! ⭐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro