Tujuh Belas
Urata sudah punya firasat buruk tentang ini. Ayahnya yang menjemputnya tiba-tiba di sekolah. Ibunya yang menyambutnya pulang dalam balutan dress berwarna hitam.
"Urata, lekas ganti baju. Kita akan makan siang di luar," kata ibu sembari menyebutkan nama sebuah restoran terkenal.
Urata mengangguk. Berjalan dalam diam menuju kamarnya.
Firasat buruk itu semakin menguat.
***
Meja yang berisikan keluarga tiga orang itu nampak dingin. Ayah, ibu dan anak itu hanya diam dan makan. Tak ada candaan, tak ada obrolan.
Atau mungkin belum?
"Urata-kun," akhirnya sang ibu membuka suara, "Sebenarnya, alasan kami mengajakmu makan diluar adalah..."
"Karena kami akan bercerai."
Urata sontak menghentikan pisau dan garpunya.
Ah....
Sudah kuduga...
***
Kayu bakar berbentuk tunas kelapa itu diselimuti api yang menyala-nyala.
Api unggun sudah menyala. Apinya besar sekali. Cahaya api itu menari-nari dalam gelapnya malam. Para peserta Perkemahan Kemerdekaan bertepuk-tangan gembira.
"Malam semuanyaaa!" Senra yang jadi MC acara, bersama dengan Luz, menyapa.
Cewek-cewek bersorak heboh kegirangan.
"Nah, di acara api unggun ini, kita akan adakan unjuk kebolehan! Yeyy!" Senra bersorak sendiri. Cewek-cewek ikut bersorak girang.
"Nah, ayo ayo! Yang merasa punya bakat boleh maju ke depan! Terserah mau nyanyi, mau joget, mau geboy mujaer, mau nembak gebetan juga boleh!" seru Luz.
Penonton tertawa.
"Ada yang mau maju?"
Hening seketika.
Ada yang diam. Ada yang bisik-bisik. Ada yang menunjuk-nunjuk temannya. Ada yang pingin maju tapi (sok) malu-malu.
Sedangkan panitia yang lain hanya mengawasi dari sudut sambil nyeduh milo dan ngegibah.
#gagibahgaasik
"Ada yang mau tampil gak? Ayo, ayo, jangan malu-malu!" Luz membujuk.
"Aku!" tiba-tiba sebuah tangan teracung ke atas. Dan pemilik tangan itu tak lain tak bukan adalah Sakata!
Urata keselek milo panas seketika.
"Silahkan maju ke depan," Senra tersenyum lebar, "Sakata-kun, ya?" lanjutnya dengan suara yang lebih rendah. Mata Senra menatap tajam Sakata yang kini maju ke depan dengan sebuah gitar.
"Urataaaa... Pacar luu!" Lon guncang-guncang bahu Urata. Ssuu milo yang lagi dipegangnya jadi muncrat kemana-mana.
"Ga usah fitnah lu! Liat nih milo gua tumpah-tumpah jadinya ah elah!" Urata ngamuk.
Sakata mengetuk-ngetuk microphone yang dipegangin Luz, "Ehm, ehm... Jadi lagu ini buat orang yang udah sabar banget ngajarin aku, ngedidik aku. Aku emang belum bisa ngasih apa-apa, tapi aku akan membawakan dua lagu untuknya!"
"Cie, cieee! Dia siapa tuh?" tanya Luz.
"Urata Wataru-san!"
Terkejut terheran-heran yang mendengar. Senra memicing. Lon teriak-teriak sampai hidungnya banjir darah. Urata pengen kabur aja.
Luz mendekat dan berbisik ke telinga Sakata, "Lu homo dek?"
"Apa? Homogen?"
Yhaaa budek
Luz dan Senra pun mempersilahkan Sakata menyanyi. Pemuda berambut merah itu memetik senar gitar dan mulai menyanyi.
"Terimakasih padamu Cik Gu..."
Hening...
"Jasamu akan kukenang selalu. Tak kenal lelah untuk ajarmu."
Tawa meledak seketika. Sakata bodo amat yang penting lanjut nyanyi. Urata menutup wajah malu. Rasanya bener-bener pengen hilang dari dunia ini.
"Nah itu tadi lagu pertama!" Sakata menggenjreng gitar, menyudahi lagu OST serial Upin-Ipin tersebut. "Selanjutnya lagu kedua!"
"SAKATAAAA!!! ITU LAGU MASIH BUAT ORANG YANG SAMA??" Lon dengan kurang ajarnya teriak kenceng banget di sebelah telinga Urata.
Kayaknya habis ini Urata kudu ke dokter THT
Sakata tersenyum, mengangguk. Lon tambah kenceng jeritnya. Urata nutup telinga.
"Ga mau liat gua, ga mau denger gua..." komat-kamit Urata baca doa.
Sakata pun mulai menggenjreng gitar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro