Sembilan Belas
Acara perkemahan sukses besar. Hari ini anggota OSIS dan Pramuka berencana untuk merayakan kesuksennya. Mereka berencana untuk makan-makan di sebuah restoran ayam goreng jika saja Urata tidak absen dengan alasan sakit.
"Sepertinya Ura-chan kecapekan," pikir Senra, "Tadi pagi aku menjemputnya di depan rumahnya, tetapi tak ada sahutan darinya. Teleponku juga tak diangakat."
"Yah, ga ada yang bisa di bully dong," sedih Lon, "Ga asik ah, kalo anggotanya kurang."
"Hm," tanggap Soraru dengan mata terfokus pada layar hape. Memang apatis hanpen yang satu itu, bikin Lon gemas ingin menendangnya.
"Kalau begitu kita rayakan di hari lain saja. Sekarang kita doakan Urata-san, semoga dia baik-baik saja," putus Kashitaro dengan senyuman yang subhanallah.
Jadi heran, kenapa dia ga masuk OSIS aja?
Minimal jadi ketua divisi kerohanian gitu...
***
"Sakata-kun," Sakata mendongak dan mendapati Pak Gero.
"I-iya pak?" Sakata kaget.
Pak Gero menunjuk jam dinding, "Sudah pukul setengah lima. Perpustakaan mau tutup. Kau juga harus segera pulang."
"Ah, eh, baik pak," Sakata salah tingkah. Segera saja pemuda berambut merah itu bangkit dari kursinya kemudian melangkah keluar perpustakaan sembari asal menyandang ransel.
Hari ini Urata-san tidak datang. Kenapa ya? Kalau dia tak bisa datang karena keperluan OSIS, harusnya kan dia menghubungiku!
Sakata membuka loker sepatu. Mengganti sandal ruangannya dengan sepatu.
Apa gara-gara pelukan itu dia jadi membenciku?
Sakata menunduk, merenung.
"Ah, Sakata ya?" sebuah suara membuat Sakata menoleh. Didapatinya seorang pria dengan kemeja dan celana kain panjang melambaikan tangan.
"Pak T?"
Pak T tertawa-tawa mendekat. Sang guru menepuk pundak Sakata berkali-kali, "Hebat ya! Kamu sudah ada kemajuan! Akhir-akhir ini nilaimu sudah mulai membaik, meski rata-rata pas KKM sih."
Sakata melongo.
"Urata yang mengajarimu, ya?"
Ah, benar... Urata-san...
"Anu, Pak T," kata Urata, "Kalau boleh tahu..."
***
Perceraian itu sekitar dua minggu lagi. Urata duduk melamun di meja belajarnya.
Sebentar lagi...
Memang benar selama ini kedua orangtuanya sering bertengkar. Saling berteriak, saling mencaci-maki, saling melempar barang. Bahkan Urata pun pernah jadi korban lempar barang tersebut.
Tetapi Urata selalu bertahan. Selalu berpura-pura menjadi anak baik yang tidak tahu apa-apa.
Karena dari lubuk hati Urata yang terdalam, ia berharap agar orangtuanya kembali seperti dulu. Saling mencintai.
Urata menatap lengannya yang dipenuhi sayatan. Sepertinya sayatan baru akan membuatnya menjadi lebih baik. Atau kalau perlu, sekalian saja ia memutus urat nadinya.
Tentu di surga ia tak akan merasa gundah gulana seperti ini kan?
Cutter berwarna merah diraih. Bunyi krek terdengar menggema. Diarahkannya ujung cutter ke atas pergelangan tangan.
Urata memejamkan mata.
Ting tong! Ting tong!
Urata seakan-akan menuli, tak menghiraukan bel rumahnya yang berbunyi. Tak peduli betapa semakin kerasnya bel rumah ditekan oleh seseorang siapapun itu.
Sret...
Cairan berwarna merah keluar bersamaan dengan kulit putihnya yang tergores ujung cutter.
Urata memejamkan mata semakin erat, meresapi euforia dari self harm yang baru saja dilakukannya. Ujung cutter ditarik membentuk sayatan tajam.
Urata membuka mata sejenak. Melihat hasil perbuatannya. Tersenyum datar.
Kini urat nadi nya menjadi perhatian. Urata kembali menorehkan cutter, memejamkan mata. Bersiap menorehkan luka di atas saraf yang menjadi bukti kehidupannya.
BRAKK!!
Pintu kamar didobrak begitu keras, entah oleh siapa. Urata terkejut. Rasa terkejutnya belum hilang ketika sosok yang seenaknya masuk ke kamarnya itu mengambil paksa cutter nya dan membuangnya jauh-jauh.
"Tanganmu berdarah!" kata orang itu dengan nafas tersengal.
Urata mendongak untuk mendapati siapakah orang asing kurang ajar yang telah mengusiknya.
Tetapi orang itu lebih dulu merengkuhnya. Memeluknya erat. Erat sekali. Seakan-akan tak memperbolehkan Urata pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro