Dua Puluh Satu
Shima menatap wajah adik sepupu kesayangannya. Nampak damai dalam tidurnya yang lelap. Perlahan dengan lembut, Shima mengelus pucuk rambut Urata.
"Aku tahu kau tertekan, tetapi harusnya kau bercerita. Dasar adik bodoh," gumam Shima.
Jujur saja dia shock ketika mendapati sang adik sepupu mencoba self harm. Untung saja ujung tajam cutter tak mengenai nadi. Jika ya, entah apa yang akan terjadi.
Shima membetulkan selimut Urata dan berbisik lembut, "Tidurlah. Abang Shima akan menjagamu."
"Ngh," balas Urata dengan erangan kecil. Entah dia bermimpi apa, semoga itu adalah sesuatu yang baik. Shima tersenyum dan perlahan melangkah keluar kamar tidur Urata.
"Ini semua salahmu!"
Hal pertama yang didapati Shima saat keluar kamar adalah mendapati kedua orangtua Urata sibuk menyalahkan.
"Mengapa ini jadi salahku? Tentu saja ini semu salahmu! Kau yang melahirkannya!"
"Kau ayahnya dasar bodoh!"
Shima menatap tajam pada pertengkaran rumah tangga itu, "Itu salah kalian semua!"
Ayah dan ibu Urata menoleh. Wajah keduanya merah padam.
"Sesekali pikirkan lah perasaan Urata. Jangan hanya sibuk bertengkar," lanjut Shima dingin sembari berjalan menuju kamar tamu.
"Dan jika kalian memang ingin bertengkar, pastikan agar Urata tidak mendengarnya. Suara kalian terlalu nyaring!"
Pintu kamar tamu pun ditutup keras oleh Shima.
***
Ada tiga serbet di meja makan, padahal yang duduk saat ini hanya dua orang. Seorang ayah dan anak laki-laki nya. Keduanya tengah menyantap seafood sebagai makan malam.
"Sebentar lagi Ibu ulangtahun. Kapan dia akan pulang, ya? Apa dia tidak rindu pada suami nya yang tampan ini?" racau sang ayah sembari tergelak sendiri.
Sakata menatap ayahnya datar. Dia lelah dengan ayahnya yang lebih suka hidup dalam kepompong. Menutup mata atas kenyataan bahwa sang istri dinyatakan hilang dalam sebuah kecelakaan pesawat.
"Ayah, kau masih punya aku," bisik Sakata sangat pelan.
"Eh? Kau tadi bilang apa?"
Sakata diam. Hening menyelimuti ruangan sejenak sebelum akhirnya ia tersenyum, "Masakan ayah enak."
Ayah tertawa.
***
"Senra-san!"
Senra menoleh. Manik emasnya mendapati seorang kouhai berambut merah dengan kantung plastik di tangan.
"Ada apa?"
Sakata menatap Senra lurus, "Aku mau jenguk Urata-san."
***
Senra memperhatikan Urata. Teman masa kecilnya itu nampak lebih kurus dan pucat. Ada perban yang membungkus pergelangan tangannya. Sungguh tak tega Senra melihat penampilan Urata yang kacau seperti ini.
"Urata-san, aku beli sandwich keju lho!" kata Sakata memecah keheningan.
Urata mengangguk, "Kau sudah mengerjakan PR yang kuberikan tempo hari?"
"Duh! Kok mengkhawatirkan PR?! Kondisi tubuhmu yang harusnya diperhatikan saat ini!" omel Sakata dan Senra diam-diam setuju.
Senra merebut bungkus sandwich dari tangan Sakata. Ia membukanya dan menyodorkannya pada Urata, "Makan dulu, Ura-chan."
Urata mengangguk, "Terimakasih," ucapnya kemudian mulai mengunyah roti sandwich.
Hening kembali menyergap.
"Hei," tiba-tiba Urata membuka mulutnya.
Senra dan Sakata sontak mencondongkan tubuhnya. Menajamkan pendengaran. Siapa tahu Urata tiba-tiba butuh sesuatu.
"Kalau kalian disuruh memilih, tinggal dengan ayah atau ibu, kalian akan pilih siapa?"
Tetapi pertanyaan pedih yang terlontar dari mulut Urata.
Sakata dan Senra diam, menunduk. Tidak tahu harus menjawab apa. Tinggal dengan orangtua yang terpisah karena keegoisan orang dewasa.
"Yah, kalian tahu kan orangtua ku akan segera bercerai. Jadi kurasa aku harus memikirkan nya dengan lebih serius," Urata tersenyum, tertawa kecil.
Senra tidak tahu harus menjawab apa. Keluarganya tidak pernah mengalami konflik rumah tangga seperti Urata. Orangtuanya akur, bucin malahan. Berbeda dengan orangtua Urata yang lebih suka bertengkar selama hampir lima tahun silam.
Jika Senra ada di posisi Urata...
"Aku..."
"Aku tak akan memilih siapapun!" suara Sakata tiba-tiba bergema, "Karena mereka adalah orangtua ku!"
Uarata menggigit bibirnta. Hati kecilnya bergetar mendengar jawaban Sakata. Urata menarik nafas sebelum kemudian memukul kepala adik kelasnya dengan bungkus roti sandwich.
"Dasar bodoh! Lalu aku akan tinggal dengan siapa?"
Krek!
Pintu kamar tiba-tiba terbuka saat Sakata sibuk memikirkan jawaban. Rupanya itu Shima. Pemuda yang lebih tua beberapa tahun itu masuk dengan nampan berisi empat gelas cokelat panas.
"Aku membuat cokelat panas," katanya.
"Melihat kalian berkumpul begini aku jadi ingat masa-masa SMA. Rasanya rindu sekali."
"Kau terdengar seperti kakek-kakek," canda Senra.
"Diamlah! Aku ini masih muda!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro