Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4 - Loker Baru

Aku berdiri sembari menatap gedung rumah sakit Lita Armalia yang didominasi warna hijau muda dengan mata berair. Aku masih ingat betapa bahagianya saat aku diterima di rumah sakit Lita Armalia satu tahun yang lalu. Orang-orang mengatakan aku beruntung bisa masuk di bagian tim casemix dan seruangan dengan dokter serta satu lantai dengan orang-orang penting di rumah sakit.

Selama satu tahun ini, aku berada di tim casemix yang dihormati dan disegani oleh bagian-bagian yang lain. Dan sekarang aku dicampakkan begitu saja, setelah disanjung. Hatiku hancur berkeping-keping.

Aku menghapus air mata yang mengalir di kedua pipiku. Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya. "Aluna, kamu harus kuat. Saat di rumah nanti jangan biarkan mama dan papa tahu."

***

"Beb, jadi kamu ngga diangkat jadi karyawan tetap? Kok bisa sih? Kamu 'kan kerjanya bagus padahal."

"Aku kenal gimana sifat kamu, beb. Kita 'kan udah kenal lama sejak zaman kuliah dulu." Disty, temanku menatapku seakan tidak percaya.

"Nah itulah, beb, kamu aja kaget setengah mati. Apalagi aku yang tuan diri. Aku tambah shock," ucapku.

Disty menggenggam tanganku, menguatkanku. "Beb, yang sabar ya! Aku tahu kamu pasti bisa melewati semua ini."

Aku mengangguk pelan. "Terima kasih, Beb."

"Beb, aku kebetulan masak gulai ikan nila. Kamu mau 'kan? Ayo kita makan di dapur sambil cerita-cerita lagi biar kamu ngga sedih," ajak Disty, aku tidak menolak ajakannya.

Aku dan Disty sudah lama berteman sejak hari pertama pendaftaran kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bintang Fajar sampai hari ini. Aku dan Disty sangat dekat seperti saudara kandung. Sebenarnya, kami memiliki circle pertemanan sejak zaman kuliah yang terdiri dari tiga orang yaitu aku, Disty, dan Rama. Rama bekerja di luar kota, Bengkulu. Kami sangat jarang bertemu sejak wisuda dua tahun yang lalu.

Aroma gulai tempoyak ikan nila seketika langsung menggelitik hidungku saat Disty menuangkan dua iris ikan ke dalam piring nasiku.

Aku menyendokkan ikan dan nasi ke dalam mulut, lalu mengunyahnya pelan.

"Gimana enak ngga?" tanya Disty menunggu jawabanku.

"Enak, Beb. Kamu pintar masak," pujiku.

"Syukurlah aku senang kalau masakanku enak."

Setelah perut kenyang, aku dan Disty kembali duduk di ruang depan.

"Beb, penis punya orang Barat itu gede-gede," ucap Disty di sela-sela makan camilan keripik kentang.

"Memangnya kamu sudah pernah melihatnya?" tanyaku balik. Ya, memang tidak heran lagi Disty membahas hal-hal yang berbau ranjang. Disty memang sering menonton film biru berlabel 18+.

"Aku pernah lihat di foto dan video. Beb, ingin melihat videonya ngga? Aku simpan banyak video orang barat lagi ena-ena." Disty memasang wajah tersenyum menggoda.

Aku menggeleng, mengernyitkan dahi. "Ngga ah, ngga mau."

"Ayolah Beb, nonton bareng yuk! Aku yakin kamu pasti akan ketagihan menontonnya," bujuk rayu Disty.

"Ngga ah, aku ngga mau. Beb, kamu tonton sendiri aja," tolakku.

"Kenapa? Kamu masih kepikiran soal masalahmu?" tanya Disty.

"Bukan Beb, aku lagi ngga mood aja. Nanti kapan-kapan, ya."

***

Tak dirasa langit telah berubah menjadi malam. Para hewan yang berkeliaran di luar mencari makan kini telah kembali ke sarang untuk menghangatkan diri. Aku di dalam kamar sedang melipat pakaian yang menumpuk. Beberapa hari ini, hujan terus sehingga pakaian tidak kering.

Apa yang akan aku lakukan? Aku ngga mungkin bilang dengan mama dan papa kalau aku besok sudah ngga kerja.

Di tengah suasana yang hening dan sepi, hanya ada suara kipas angin. Tiba-tiba aku mendengar dari luar kamarku suara mamaku yang berteriak.

"Aduh ada apa? Apa mama bertengkar lagi?" tanyaku pada diriku sendiri.

Aku segera keluar kamar dan ternyata mamaku sedang bertengkar dengan nenekku di dapur. Ada masalah apa lagi ini?

"Kamu itu ngga punya malu, bawa suami tinggal di sini. Anak sudah umur 23 tahun masih numpang di sini. Ngga punya malu! Kalian bertiga pergilah dari rumah ini, aku ngga senang lihat kalian ada di sini!" teriak wanita beruban itu dengan tatapan benci dan tidak suka saat melihat mamaku.

Terlihat jelas raut wajah mamaku yang terluka dan sakit hati. Pasti mama sakit hati apalagi kalimat kasar itu diucapkan oleh ibu kandungnya sendiri. "Iya, Bu. Tunggulah, ngga lama lagi, kami akan pindah. Setelah kami pindah dari sini, tinggal kenangan saja."

"Kami tinggal di sini hanya numpang rumah saja, Bu. Soal makan, minum, dan semuanya kami sedikitpun ngga memberatkan. Lagipula, rumah ini sedikit pun ngga rusak kami tinggali."

"Pergilah dari rumah ini! Yang lain juga mau tinggal di sini, bukan kalian saja!"

"Ah, sudah beberapa kali kamu bilang mau pindah. Sampai hari ini belum pindah. Dulu katanya cuma mau menamatkan Aluna sekolah, sekarang sudah lebih dari 13 tahun masih tinggal di sini."

Jleb, kata demi kata diucapkan nenekku dengan kasar dan jahat. Tanpa aku sadari, air mataku kembali menetes. Baru juga apa, aku bilang. Nenekku kembali mengusir kami bertiga.

Mamaku berjalan ke kamarku dengan tergesa karena nenekku ingin memukul mamaku dengan sapu. Aku segera menutup pintu. Dari luar, nenekku memukul pintu dengan sapu menggedor-gedornya berulang kali.

"Pergi kalian dari rumah ini! Aku benci dengan kalian!" teriak nenekku kencang, kembali mengusir kami.

Setiap kali ada pertengkaran, tubuhku selalu bergetar ketakutan. Kapan kami bisa tenang? Hampir setiap hari selalu saja ada masalah.

Mamaku menatap dengan matanya yang berair dan basah. "Aluna, kapan kamu diangkat jadi karyawan tetap? Lihat nah, nenekmu kembali mengusir kita."

"Nenekmu menyalahkan mama. Padahal Santi yang jelas salah, tetapi dia tetap membela Santi karena Santi punya rumah sendiri dan mobil."

"Sedangkan kita, dilihatnya kita ngga punya rumah, ngga ada harta. Jadi, seenaknya saja dia menyalahkan kita."

"Kalau kita sudah punya rumah sendiri, kita baru bisa tenang," sambung mamaku.

"Sabar dulu, Ma. Kalau aku sudah diangkat jadi karyawan tetap. Kita langsung kredit kpr rumah," ujarku menjanjikan. Yang aku sendiri tidak tahu, apakah aku bisa mewujudkannya atau tidak ke depannya? Tapi yang jelas, aku ingin membuat hati mamaku lebih tenang saat ini.

Akhirnya, nenekku tidak lagi menggedor-gedor pintu. Wanita itu sudah pergi dari depan pintu kamarku.

"Mama istirahat di kamarku dulu, aku mau lihat situasi dulu," ujarku, mamaku mengangguk menurut.

Mamaku menghapus air mata yang tersisa di kedua sudut matanya. Aku sedih sekali, melihat keadaan mamaku yang berantakan dan tertekan batin.

Aku memberanikan diri untuk keluar, aku melihat nenekku di dapur masih mengoceh. Wanita tua itu mengoceh menghina kekurangan papaku, papaku yang bicaranya kurang lancar dan mengatai papaku yang sarjana, tapi bodoh karena bekerja sebagai buruh bangunan. Aku marah dan kesal karena nenekku seenaknya saja menghina orang  tuaku tanpa memikirkan yang mendengarkan akan merasa sakit hati. Aku menggenggam gaun coklat selutut yang kupakai sampai lecek sebagai pelampiasan amarahku.

Nenekku sejak dulu selalu saja menyakiti hati dan perasaan kami. Entah, kapan dia akan berubah menjadi lebih baik kepada kami? Jujur, aku tidak pernah merasakan nenekku baik kepadaku, yang aku tahu dia hanya bisa menyakiti dan menghinaku saja. Aku terkadang iri, teman-temanku memiliki nenek yang sayang, peduli, perhatian, dan baik pada mereka. Jangankan kasih sayang dan perhatian, nenek tidak menghina kami saja aku sudah merasa bersyukur.

Aku kembali ke kamar, dan mengunci pintu. "Ma, nenek seperti biasa masih ngoceh-ngoceh."

Mama menghela napas panjang. "Entah, kapan mama bisa merasakan kasih sayang dari nenekmu."

***

Hari ini dengan terpaksa aku pura-pura pamit kepada mamaku untuk berangkat ke tempat kerja. Aku belum sanggup untuk bilang kepada orang tuaku fakta yang sebenarnya.

Aku berjalan masuk ke dalam ruangan lobby rumah sakit Lita Armalia dan duduk di kursi yang kosong. Lobby rumah sakit seperti biasa ramai oleh pasien dan keluarga pasien. Para karyawan bekerja seperti biasa. Rumah sakit mana mungkin rugi kehilangan seorang karyawan, pihak rumah sakit bahkan telah menggantinya dengan anak magang baru.

Udara dingin dari AC ruangan tidak mampu menenangkan hatiku yang gelisah. Aku harus cari kerja lagi, jangan sampai kedua orang tuaku tahu jika akau telah dipecat.

Aku membuka aplikasi ungu di handphoneku. Dan mataku yang awalnya sendu dan lesuh, tiba-tiba menjadi bersinar saat aku menemukan lowongan kerja di perusahaan besar.

Ah, kebetulan sekali! Perusahaan Bulan dan Bintang sedang buka loker. Dan kualifikasinya cocok denganku.

Aku segera mencari alamat perusahaan Bulan dan Bintang. Tanpa menunggu waktu lama, aku segera berangkat menuju ke perusahaan tersebut setelah mendapatkan alamatnya.

***

Aku dipanggil ke ruangan setelah menunggu selama lebih kurang lima belas menit. Aku mengetuk pintu sebelum berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut. Di sana aku melihat seorang pria yang duduk di kursi kerjanya yang besar sambil tersenyum menatapku.

"Bukankah dia?... " ujarku pelan, terkejut.

❤❤❤

See you next chapter 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro