Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2 - Harapan Orang Tua

Mama mengernyitkan dahi. "Kenapa kok diam, Luna?" tanya mama.

"Ngga kok, Ma. Aku belum dapet kabar dari rumah sakit aku diangkat jadi karyawan tetap atau ngga, Ma," kataku dengan terpaksa berbohong.

Maafkan aku, Ma, aku belum siap untuk memberitahu kabar buruk itu, aku sungguh ngga tega.

Mama mengangguk-ngangguk mengerti. "Luna, kamu tahu 'kan rencana kita sejak awal. Kalau kamu sudah diangkat jadi karyawan tetap, berselang tiga bulan atau enam bulan ke depan kita bisa cari kpr rumah." Wanita itu minum air sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Mama juga sudah dapat informasi dari develover rumah PT. Bina Lestari. Dari Kak Alfa, katanya DP 12 juta sudah bisa ngambil kpr rumah. DP 12 juta itu sudah dapat rumah yang batubata. Katanya lagi promo."

"Kalau ngga lagi promo DP 12 juta ngga dapat. Paling kecil 18 juta DPnya."

Aku mendengarkan apa yang dikatakan oleh mamaku. Aku sungguh ngga tega menghancurkan impian mama sejak lama. Mama sangat ingin sekali memiliki tempat tinggal sendiri.

"Lun, kalau kita sudah angkat kaki dari sini. Yang lain baru tahu, kalau kita itu juga mampu kredit rumah. Dan juga kita bisa membungkam apa yang dikatakan nenekmu dan saudara-saudara mama kalau kita selamanya bakalan tinggal di sini."

"Kita harus bisa buktikan, kalau kita hanya numpang sementara aja di sini, ngga numpang seumur hidup. Mama, juga sudah bosan tinggal di sini, Lun. Di sini hampir tiap hari banyak yang mengejek, merendahkan, dan menghina mama dan papamu, itu sudah jadi makanan sehari-hari."

"Jadi, mama sangat berharap. Kalau Luna diangkat jadi karyawan tetap. Supaya kita bisa pindah dari sini. Mama ngga berharap pengen rumah mewah yang besar, karena itu terlalu tinggi dan sulit untuk digapai. Rumah tipe 36 aja mama sudah sujud syukur. Di sini kepala mama pening."

"Jujur aja mama di sini seperti terpijak di diri, sudah ngga tahan lagi. Mama selama ini bertahan-tahan aja. Dada mama sudah luka." Cairan bening menetes di salah satu sudut mata mama. Menyiratkan seberat berat beban yang ditanggung wanita yang telah melahirkanku itu.

Napasku seakan tercekat. Hatiku terasa seperti tertusuk ribuan jarum mendengar harapan dan keinginan mama yang sepertinya sangat sulit untuk diwujudkan.

Tanganku terangkat mengusap air mata mama. "Mama, tenang aja kok. Pokoknya nanti kita pasti bisa punya rumah sendiri. Mama sabar dulu, ya."

Aku ngga tau bagaimana caranya kami mengajukan kpr rumah jika aku ngga diangkat jadi karyawan tetap.

"Aluna adalah satu-satunya harapan mama dan papa." Ya, mama benar karena aku adalah anak tunggal, tidak punya kakak atau adik yang bisa dijadikan tumpuan harapan.

"Mama yang kuat dan sabar, Ma. Kita sekarang ini posisi lagi di bawah, suatu saat nanti posisi kita akan berada di atas," ujarku berusaha menenangkan hati mama yang tertekan batin.

***

Di langit bulan tampak bulat sempurna. Cahayanya yang indah menerangi malam. Begitu pula dengan bintang yang setia menemani bulan. Namun semua itu tak sesuai dengan suasana hatiku yang sangat kacau.

Sudah sejak satu jam yang lalu, setelah makan malam bersama mama dan papa di dapur. Aku menatap selembar surat dari SDM. Andai saja aku punya sihir, pasti akan aku sihir pikiran direktur SDM itu akan dia tidak berbuat kejam dan curang kepada orang lemah sepertiku.

Aku sangat membutuhkan pekerjaan, dan dengan tega dan kejamnya direktur SDM membuatku dalam sekejap kehilangan pekerjaan. Pekerjaan yang aku dapat sekarang adalah hasil aku berjuang keras melawan 40 orang saingan di tes awal. Aku menjalani empat kali tes termasuk tes kesehatan.

Pak Dimas dan Elsa apa tidak takut akan ada karma di masa yang akan datang? Yang bisa saja akan terjadi pada anak-anak mereka ketika dewasa nanti.

Sekarang aku harus bagaimana? Aku tahu mendapatkan pekerjaan itu sangatlah tidak mudah. Apalagi zaman sekarang, jumlah sarjana per tahunnya lebih banyak daripada jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia di lapangan. Belum lagi, harus bersaing dengan orang yang punya orang dalam, kakak tingkat, dan adik tingkat yang baru saja diwisuda.

Aku mengacak rambutku sampai berantakan. Luna harusnya kamu sadar diri posisimu di rumah sakit Lita Armalia itu. Kamu tidak punya siapa-siapa, tidak punya sandaran. Sudah untung diberikan kesempatan bisa kerja di rumah sakit yang bagus. Mengapa sok-sokan ingin mencari masalah dengan Elsa, keponakan direktur SDM. Dan sekarang, kamu sendiri yang terkena dampak negatifnya, sedangkan pelakunya duduk santai dan tertawa melihatmu. Kamu sendiri yang rugi! Dan sekarang bagaimana mau cari kerja lagi susah 'kan? Harusnya kamu mikir dua kali!

Suara-suara itu terdengar di dalam kepalaku saling bersahut-sahutan. Membuat kepalaku pusing dan semakin merasa apa yang aku lakukan membela diri itu salah.

Beban yang kupikul sungguh berat sekali lebih berat dari bumi yang aku tinggali mungkin. Andai saja, aku punya keluarga yang bekerja di rumah sakit Lita Armalia di posisi yang tinggi. Aku yakin mereka tidak akan berani memandangku rendah dan mengusikku, tapi apa daya semua hal buruk sudah terjadi.

***

Tiba hari dimana aku akan mengembalikan semua barang yang diberikan rumah sakit kepadaku. Selama lima hari ini, rekan kerja satu ruanganku tampaknya biasa-biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Entahlah, aku tidak tahu, apakah mereka pura-pura tidak tahu jika aku akan pergi dari sini atau sudah tahu, tetapi memilih tetap diam saja.

"Mbak Sasa, ngga sedih aku ngga kerja lagi di sini?" tanyaku di sela-sela mengkoding penyakit. Pertanyaanku jelas memecahkan keheningan yang terjadi di dalam ruangan.

Mbak Sasa mengalihkan pandangan dan menoleh ke arahku, bibirnya membentuk senyum tipis, tetapi belum menjawab.

"Mbak Sasa pasti sedih Luna. Apalagi kita di sini sudah satu tahun seruangan bersama," jawab dokter Felly sambil tersenyum khas. Ya, dia salah satu dokter cantik yang baik denganku dan peduli denganku serta sering sekali membantuku tanpa ragu saat aku mengalami kesulitan ketika mengerjakan pekerjaanku.

Huhuhu, aku sedih sekali bakalan meninggalkan dokter Felly. Kami ke depannya mungkin tak akan pernah bertemu lagi.

"Aluna, Mbak juga sedih seperti yang dikatakan oleh dokter Felly, tetapi di sini sudah sering karyawan keluar masuk. Jadi, sudah biasa saja," jawab Mbak Sasa. Raut wajahnya pun tampak biasa saja, tidak ada sedikitpun rasa sedih di sana.

Aku menghela napas. Aku tertawa dalam hati, ya mana mungkin Mbak Sasa sedih dengan kepergianku dari tim casemix. Mungkin saja, dia justru tertawa riang. Aku pernah memergokinya bicara dengan Mbak Elsa, dan membicarakanku dari belakang.

"Iya, Mbak Sasa. Besok kita ngga ketemu lagi, aku besok udah ngga kerja lagi di sini," kataku berusaha menyembunyikan raut sedihku.

Mbak Sasa hanya mengangguk menanggapiku setelahnya dia seolah tidak peduli, dia kembali bekerja. Aku pun kembali ke layar komputerku, di hari terakhir aku bekerja, aku ingin bekerja sebaik mungkin.

Aku mengusap komputer yang aku gunakan selama satu tahun, kemudian printer, keyboard, dan laci penyimpananku.

"Aku akan merindukan kalian. Terima kasih telah menemaniku selama satu tahun. Maafkan aku, yang ngga bisa mempertahankan kalian," bisikku.

Aku juga mendengar tiga hari yang lalu, bahwa akan ada anak baru yang akan menggantiku. Secepat itukah, aku tergantikan? Aku tersenyum miris.

Di dunia kerja yang kejam dan jahat, jika tidak memiliki sandaran maka bisa saja akan tersingkirkan dengan sendirinya. Ini pengalaman pertamaku bekerja, dan akan menjadi cambuk untukku ke depannya.

❤❤❤

Yang sabar, ya, Luna. Segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Kamu pasti akan mendapatkan dua kali lipat lebih baik dari yang sebelumnya🥺

See you next chapter ❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro